Anda di halaman 1dari 32

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pernikahan merupakan fitrah manusia. Islam menganjurkan untuk

menikah karena setiap manusia mempunyai naluri kemanusiaan. Apabila

naluri ini tidak dipenuhi dengan jalan yang sah, maka ia akan dimanfaatkan

oleh setan yang akan menjerumuskan manusia ke dalam kesesatan.

Firman Allah SWT1 :

َ‫ق هَّللا ِ ۚ ٰ َذلِك‬


ِ ‫يل لِخَ ْل‬ ْ ِ‫م َوجْ هَكَ لِلدِّي ِن َحنِيفًا ۚ ف‬Hْ ِ‫فََأق‬
َ َّ‫ط َرتَ هَّللا ِ الَّتِي فَطَ َر الن‬
َ ‫اس َعلَ ْيهَا ۚ اَل تَ ْب ِد‬

ٰ
ِ َّ‫الدِّينُ ْالقَيِّ ُم َولَ ِك َّن َأ ْكثَ َر الن‬
َ‫اس اَل يَ ْعلَ ُمون‬

“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam), (sesuai)


fitrah Allah, disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu.
Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahui.”

Di dalam sebuah perkawinan terdapat ikatan lahir batin antara dua

insan sebagai pasangan untuk menciptakan keluarga yang bahagia, tentram

dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa2. Perkawinan dalam hukum

1
Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, PT Perca Semarang, hal
408
2
Khoiruddin Nasition, Hukum Perkawinan Islam, 2013, hal 22
2

Islam menjadi sunnatullah yang sangat dianjurkan dan diridhoi oleh Allah

SWT dengan tujuan untuk melestarikan kehidupan manusia dalam mencapai

kebahagiaan .3

Secara alami seseorang tertarik kapada lawan jenisnya. Mula-mula

seseorang akan mempertimbangan jasmani atau segi lahiriyah, dilanjutkan

ketertarikan kepada segi kepribadian atau nilai-nilai bathiniyah yang lainnya.

Landasan perkawinan dengan nilai-nilai keislaman yakni sakinah, mawaddah

dan rahmah telah dirumuskan dalam firman Allah dalam Al-Qur’an surat Ar-

Rum ayat 214 :

ً‫ق لَ ُك ْم ِم ْن َأ ْنفُ ِس ُك ْم َأ ْز َواجًا لِتَ ْس ُكنُوا ِإلَ ْيهَا َو َج َع َل بَ ْينَ ُك ْم َم َو َّدة‬


َ َ‫َو ِم ْن آيَاتِ ِه َأ ْن خَ ل‬

ٍ ‫َو َرحْ َمةً ۚ ِإ َّن فِي ٰ َذلِكَ آَل يَا‬


‫ت لِقَوْ ٍم يَتَفَ َّكرُون‬

“Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu


isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram
kepadanya, dan di jadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bgi
kaum yang berfikir.”(Q.S. ar-Ruum:[30]: 21)

Penghargaan Islam terhadap ikatan pernikahan sangat besar sekali,

sampai-sampai ikatan itu ditetapkan sebanding dengan separuh agama.

Sahabat Anas bin Malik radhiyallaahu ‘anhu berkata: “Telah bersabda

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:


3
Wasman dan Wardah Nuroniah, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia,
Yogyakarta, 2011, hal 33

4
Departemen Agama, Al Qur’an dan Terjemahnya, PT Perca Jakarta, hal 407
3

)‫ف ْالبَا ق (رواه الطبراني‬ ِ َّ‫ فَ ْليَت‬،‫َم ْن تَ َز َّو َج فَقَ ِد ا ْستَ ْك َم َل نِصْ فَ ْاِإل ْي َما ِن‬
ِ ْ‫ق هللاَ فِي النِّص‬

“Barangsiapa menikah, maka ia telah melengkapi separuh imannya. Dan


hendaklah ia bertaqwa kepada Allah dalam memelihara yang separuhnya
lagi."5(H.R. Ath-Tabrani)

Dirumuskan dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang

perkawinan bahwa6 :

“Ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Kemudian dalam Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam mendefinisikan bahwa

perkawinan ialah akad yang kuat (mitsaqon gholidhan) untuk menaati

perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.7

Perkawinan merupakan sarana terbentuknya satu keluarga besar yang

berasal dari dua keluarga yang tidak saling mengenal satu sama lain, yaitu dari

keluarga besar pihak suami dan keluarga besar pihak isteri.8 Pasangan yang

hidup di tengah masyarakat tentu tidak hanya menganut pada ajaran Islam,

5
Ath-Thabrani, Mu’jamul Ausath, No. 7643
6
Undang-Undang RI Nomor 1 tahun 1974, tentang perkawinan, cet. Ke-7,
Citra Umbra, Bandung, 2016, psl 1

7
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta,
2007, hal 7
8
Dominikus Rato, Pengantar Hukum Adat, Pressindo, Yogyakarta, 2009, hlm.
3
4

biasanya mereka juga terikat dengan adat yang berlaku pada suatu masyarakat

tertentu.

Setiap masyarakat memiliki kebudayaan dan adat yang berbeda.

Perbedaan inilah yang menunjukkan bahwa setiap masyarakat memiliki ciri

khas sebagai identitas bangsa yang bersangkutan. Kebudayaan inilah yang

membedakan bangsa Indonesia dengan bangsa lain.

Salah satu adat yang terbentuk di Indonesia yaitu adanya kepercayaan

akan mitos. Di Desa Batursari Kecamatan Mranggen Kabupaten Demak

terdapat sebuah mitos mengenai pantangan perkawinan “ngetan ngulon”.

Berdasarkan mitos yang dipercayai di desa tersebut apabila perkawinan

ngetan ngulon tetap dilaksanakan maka akan terjadi hal-hal yang buruk yang

menimpa pasangan pernikahan maupun keluarga mereka.

Berdasarkan fenomena yang terjadi, maka penulis tertarik untuk

mengangkat masalah tersebut dalam skripsi yang berjudul Pantangan

Perkawinan “Ngetan Ngulon” di Tinjau Menurut Hukum Islam (Studi

Kasus di Desa Batursari Kecamatan Mranggen Kabupaten Demak).

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan diatas, penulis

mengidentifikasi masalah-masalah yang ada dalam penelitian ini sebagai

berikut :
5

1. Kepercayaan masyarakat Desa Batursari Kecamatan Mranggen Kabupaten

Demak terhadap adanya mitos pantangan perkawinan ngetan ngulon yang

tidak sesuai dengan hukum Islam.

2. Syarat perkawinan di Desa Batursari Kecamatan Mranggen Kabupaten

Demak yang mengharuskan adanya pantangan perkawinan ngetan ngulon

antara para pihak calon mempelai.

C. Pembatasan Masalah

Agar penelitian ini lebih terarah, terfokus dan tidak meluas penulis

membatasi penelitian mengenai syarat perkawinan di Desa Batursari

Kecamatan Mranggen Kabupaten Demak yang mengharuskan adanya

larangan perkawinan ngetan ngulon antara para pihak calon mempelai.

D. Rumusan Masalah

Berangkat dari identifikasi masalah dan batasan masalah di atas maka

penulis merumuskan masalah sebagai berikut :

1. Bagaimana pandangan tokoh agama Desa Batursari Kecamatan

Mranggen Kabupaten Demak mengenai pantangan perkawinan

ngetan ngulon ?
6

2. Bagaimana pandangan Sosiologi Hukum Islam tentang pantangan

perkawinan ngetan ngulon di Desa Batursari Kecamatan Mranggen

Kabupaten Demak ?

E. Tujuan dan Kegunaan Penulisan

1. Tujuan Penulisan

Berdasarkan identifikasi masalah, batasan masalah, dan rumusan

masalah di atas maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini

adalah :

a. Mengetahui pandangan tokoh agama di Desa Batursari Kecamatan

Mranggen Kabupaten Demak terhadap pantangan perkawinan

ngetan ngulon.

b. Mengetahui pandangan Sosiologi Hukum Islam tentang pantangan

perkawinan ngetan ngulon di Desa Batursari Kecamatan Mranggen

Kabupaten Demak.

2. Kegunaan Penulisan

a. Kegunaan teoritis

Untuk menambah pengetahuan masyarakat di Desa Batursari

Kecamatan Mranggen Kabupaten Demak dalam mengambil sikap

mengenai larangan perkawinan ngetan ngulon dari kacamata hukum


7

Islam serta mengokohkan keyakinan seseorang terhadap terhadap

ajaran Islam.

b. Kegunaan praktis

Untuk memberi sumbangan pemikiran di bidang keilmuan dan sebagai

bahan kajian penelitian lebih lanjut dalam rangka memperkaya

khazanah ilmu pengetahuan hukum Islam, serta memberikan

kontribusi pada Fakultas Syari’ah Jurusan Ahwal Al-Syakhshiyah

Universitas Islam Sultan Agung Semarang.

F. Metode Penelitian

Metode penelitian merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan data

dengan tujuan dan kegunaan tertentu atau usaha penyelidikan yang sistematis

dan terorganisasi dimulai dengan memunculkan permasalahan, mencari

jawaban permasalahan dengan mengkaji literatur untuk membuat hipotesis,

mengumpulkan data, menganalisis data dengan teknik relevan dan selanjutnya

diambil kesimpulan. Agar penelitian ini dapat dilakukan dengan baik dan

mendapat hasil yang akurat serta dapat dipertanggungjawabkan diperlukan

satu metode penelitian. Adapun metode dalam penelitian skripsi ini dapat

dilihat sebagai berikut :


8

1. Jenis penelitian

Penelitian ini termasuk jenis penelitian lapangan ( field research ), yaitu

dengan cara terjun langsung ke masyarakat Desa Batursari Kecamatan

Mranggen Kabupaten Demak untuk memperoleh informasi yang akurat

dan objektif terkait dengan pantangan perkawinan ngalor ngidul.

2. Sifat penelitian

Penelitian ini bersifat perspektif-analitik, yaitu penelitian dengan cara

melakukan penilaian terhadap kebiasaan masyarakat Desa Batursari

Kecamatan Mranggen Kabupaten Demak tentang adanya pantangan

perkawinan ngalor ngidul, kemudian penulis menganalisis dengan

menggunakan tinjauan sosiologi hukum Islam. Dilihat dari sifatnya,

penelitian ini termasuk kategori penelitian kualitatif, yaitu jenis penelitian

yang temuan-temuannya tidak diperoleh melalui prosedur statistik atau

bentuk hitungan lainnya.

3. Teknik pengumpulan data

a. Wawancara

Wawancara adalah teknik pengumpulan data yang digunakan penulis

untuk mendapatkan keterangan-keterangan lisan melalui bercakap-

cakap dan berhadapan muka dengan delapan informan yang terdiri dari

tokoh masyarakat, masyarakat, dan pelaku perkawinan ngetan ngulon

di Desa Batursari Kecamatan Mranggen Kabupaten Demak. Model

wawancara yang digunakan peneliti adalah wawancara bebas


9

terpimpin,yaitu wawancara yang dilaksanakan dengan pertanyaan-

pertanyaan yang telah peneliti susun sebelumnya, namun tidak terikat

dengan kerangka pertanyaan melainkan disesuaikan dengan kebijakan

pewawancara dan situasi wawancara dilaksanakan. Wawancara ini

bertujuan agar peneliti bisa melakukan wawancara secara bebas dan

menggali secara mendalam terkait larangan perkawinan ngetan

ngulon.

b. Observasi

Observasi merupakan metode pengumpulan data dimana peneliti

mengamati langsung terhadap gejala objek yang diteliti. Dalam hal ini

peneliti melakukan pengamatan secara langsung terkait masalah

pantangan perkawinan ngetan ngulon di Desa Batursari Kecamatan

Mranggen Kabupaten Demak.

c. Dokumentasi

Metode dokumentasi yaitu cara mengumpulkan data dan informasi

mengenai berbagai hal yang ada hubungannya dengan pantangan

perkawinan ngetan ngulon di Desa Batursari Kecamatan Mranggen

Kabupaten Demak baik dari sumber primer dan sekunder yang berupa

buku, jurnal, artikel dan lain sebagainya yang berkaitan langsung

maupun tidak dengan penelitian ini.


10

4. Pendekatan

Adapun metode pendekatan yang penyusun gunakan dalam penelitian ini

adalah pendekatan normatif/ ushul al-fiqh dengan teori ‘urf. Pendekatan

normatif / ushul al-fiqh yaitu pendekatan terhadap suatu masalah dengan

menilai realita yang terjadi di masyarakat bahwa pantangan tersebut

bertentangan dengan hukum Islam atau tidak.

5. Analisis data

Adapun metode analisis yang digunakan untuk menganalisa data adalah

metode induktif, yaitu kerangka berpikir yang diawali dengan fakta-fakta

yang khusus atau peristiwa yang konkret kemudian ditarik kesimpulan

umum.

G. Sistematika pembahasan

Penyusunan dalam skripsi ini menggunakan pokok-pokok pembahasan yang

mempunyai keterkaitan antara pembahasan satu dengan yang lainnya

sehingga menghasilkan pembahasan yang runtut. Dalam sistematikanya

dibagi menjadi beberapa bab, yaitu :

Bab 1 berisi pendahuluan, tujuannya adalah untuk mengantarkan pembahasan

ini secara keseluruhan, yang di dalamnya berisi latar belakang masalah yang

ada, tujuan dan kegunaan dari penelitian yang dikaji dan disesuaikan dengan

pokok masalah, telaah pustaka yang menelusuri berbagai pustaka atau

referensi yang berhubungan dengan masalah yang dikaji, kerangka teoritik


11

yang merupakan teori-teori yang digunakan untuk membedah masalah yang di

bahas, pemaparan metode-metode yang dikaji seperti jenis peneltian, sifat

penelitian, sumber data, pendekatan masalah serta analisis data dan

sistematika pembahasan yang memaparkan pokok pembahasan yang diambil

dari bab-bab yang ada.

Bab II menjelaskan gambaran umum mengenai perkawinan dan larangan

perkawinan dalam hukum Islam yang didalamnya terdiri atas pengertian dan

dasar hukum perkawinan, rukun dan syarat perkawinan, tujuan dan hikmah

perkawinan, larangan perkawinan dalam perkawinan hukum Islam.

Bab III menjelaskan tentang pantangan perkawinan ngetan ngulon di Desa

Batursari Kecamatan Mranggen Kabupaten Demak yang di dalamnya berisi

deskripsi wilayah yang meliputi letak geografis dan kondisi demografis yang

di dalamnya memuat jumlah penduduk dan tingkat pendidikan, sosial

keagamaan dan kondisi ekonomi, adat budaya dan sistem kekerabatan.

Selanjutnya, deskripsi larangan perkawinan ngetan ngulon yang ada di Desa

Batursari meliputi pengertian,faktor-faktor yang melatarbelakangi serta akibat

yang timbul dari melakukan perkawinan ngetan ngulon terhadap kehidupan

keluarga.

Bab IV analisis terhadap praktik pantangan perkawinan ngetan ngulon di Desa

Batursari Kecamatan Mranggen Kabupaten Demak dan pendapat para tokoh

agama terhadap pantangan perkawinan ngetan ngulon.


12

Bab V adalah penutup yang berisi tentang kesimpulan dan saran. Kemudian

sebagai pelengkap peneliti juga menyantumkan daftar pustaka, lampiran-

lampiran serta daftar riwayat hidup.


13

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Perkawinan dan Dasar Hukumnya

1. Menurut Fikih Konvensional

Pengertian perkawinan dalam fikih konvensional tidak lepas dari

pengaruh pendapat para ulama terdahulu, yang mana dengan ijtihadnya

mereka memberikan fatwa tentang pernikahan. Akan tetapi pernikahan

memang sudah menjadi sunnatullah yang diberikan kepada semua

makhluknya untuk dapat melestarikan kehidupannya masing-masing.

Tujuan pernikahan akan terwujud jika masing-masing pasangan

siap dalam melakukan peran positif sebagai suami dan istri9.

Sebagaimana tertuang dalam Al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 1 yang

berbunyi:

ِ‫سو‬
‫اح َد ٍة َو َخلَ َق‬ ِ ِ َّ
َ ٍ ‫َّاس َّات ُقوا َربَّ ُك ُم الذي َخلَ َق ُك ْم م ْن َن ْف‬
ُ ‫يَا َُّأي َها الن‬
ِ َّ َّ ِ ِ ِ َّ ‫ِم ْنها َزوجها وب‬
‫اءلُو َن‬
َ‫س‬ َ َ‫ َو َّات ُقوا اللهَ الذي ت‬  ‫اء‬
ً‫س‬ َ ‫ث م ْن ُه َما ِر َجااًل َكث ًيرا َون‬ ََ ََ ْ َ

9
Asrizal Sain, “Status Perkawinan Dalam Hukum Islam”, Jurnal Hukum
Keluarga Islam, Al-Ahwal, Vol. 7, No. 2, 2014, hal 182
14

‫بِه‬ :‫﴿النساء‬  ‫ِإ َّن اللَّهَ َكا َن َعلَْي ُك ْم َرقِيبًا‬  ‫ام‬


َ ‫اَأْلر َح‬
ْ ‫َو‬

١﴾
Artinya:“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang
telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah
menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang
biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada
Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta
satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya
Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu”. (QS. [4]:1)

Dari ayat diatas Allah telah mengatur manusia dalam hal

pernikahan. Allah memberi jalan agar manusia hidup aman dalam

menyalurkan naluri seksualnya demi menjaga keturunan yang baik dan

menjaga status wanita agar terjaga martabatnya.

Ada beberapa definisi pernikahan yang dikemukakan fuqaha,

antara lain: Pertama, ulama Hanafiah mendefinisikan pernikahan sebagai

akad yang mengakibatkan kepemilikan untuk bersenang-senang secara

sadar bagi pria dan wanita terutama untuk memenuhi kebutuhan biologis.

Kedua, ulama Malikiah mengartikan pernikahan sebagais suatu akad

yang dikerjakan dan bertujuan untuk kenikmatan semata. Ketiga, ulama

syafiiyah memberi makna pernikahan sebagai akad yang menjamin

kepemilikan untuk bersetubuh dengan menggunakan lafal nikah dan zauj.

Sedangkan yang Kelima, ulama Hanabilah menyebutkan bahwa


15

pernikahan merupakan akad yang menggunakan lafal inkah ((‫ انكح‬atau

tazwij (‫ )تزويج‬untuk mendapatkan kepuasan baik pria maupun wanita10.

2. Menurut Fikih Kontemporer

Secara bahasa perkawinan berasal dari kata zawaj ( (‫زواج‬yang

berarti pasangan dan nikah (‫)نكاح‬yang berarti berhimpun. Perkawinan

berarti berkumpulnya dua insan yang terpisah menjadi satu kesatuan.

Dalam Al-Qur’an kata ‫ زواج‬terulang sebanyak 80 kali. Sedangkan kata

‫اح‬H‫ نك‬disebut sebanyak 23 kali dalam berbagai bentuknya11. Secara istilah

perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang

wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau

rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang

Maha Esa, sesuai agamanya masing-masing, serta dicatatkan menurut

perundang-undangan yang berlaku12.

Dijelaskan pula di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) bahwa

perkawinan ialah akad yang kuat (mitsaqon gholidhan) untuk menaati

perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah 13. Dalam kitab

Ahkam al-Ahwal Asy-syakhsiyyah juz 1 halaman 13 diterangkan bahwa:

10
Boedi Abdullah dan Beni Ahmad Saebeni, Perkawinan Perceraian
Keluarga Islam, Pustaka Setia, Bandung, 2013, hal 18

11
Asrizal Sain, op. cit., hal 183
12
Undang-Undang RI Nomor 1 tahun 1974, loc. cit.
13
Zainuddin Ali, loc. cit.
16

‫ الشريعة االسالمية هو عقد يفيد حل استماع كل واحد من الزوجين بآلخر علي‬H‫وفي‬

‫ ويجعل لكل منهما حقوقا قبل صاحبه وواجبات عليه‬,‫الوجه المشروع‬

Artinya:”pernikahan adalah akad yang memberikan manfaat halalnya


bersenang-senang (ijma’) antara suami istri atas syariat Islam, dan
menjadikan diantara keduanya hak dan kewajiban yang harus dipenuhi.”

B. Rukun dan Syarat Perkawinan

Suatu akad pernikahan menurut hukum Islam ada yang sah dan ada

yang batal. Akad pernikahan dikatakan sah apabila akad tersebut dilaksanakan

dengan syarat-syarat dan rukun-rukun yang lengkap sesuai dengan ketentuan

agama. Mengenai jumlah rukun nikah, tidak ada kesepakatan fuqaha. Karena

sebagian mereka memasukkan suatu unsur menjadi hukum nikah, sedangkan

yang lain menggolongkan unsur tersebut menjadi syarat sahnya nikah14.

Rukun dan syarat nikah yang harus dipenuhi menurut Imam asy-Syafii

yaitu15:

1. Calon mempelai pria

2. Calon mempelai wanita

3. Wali dari calon mempelai wanita

4. Dua orang saksi (laki-laki)

14
Ahmad Atabik dan Khoridatul Mudhiiah, “Pernikahan dan Hikmahnya
Perspektif Hukum Islam”, Jurnal Pemikiran Hukum dan Hukum Islam, Yudisia, vol.
5, No. 2, Desember 2014, hal 291

15
Ibid.
17

5. Akad nikah

Dari semua rukun nikah tersebut yang paling menentukan adalah ijab

kabul antara wali dari calon mempelai wanita dengan calon mempelai pria.

Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa ijab kabul boleh dilakukan dengan bahasa,

kata-kata, atau perbuatan yang sudah umum dikalangan masyarakat dan

dianggap menunjukkan terjadinya suatu perkawinan. Kemudian para ulama

fikih sepakat bahwa ijab kabul boleh mamakai kata atau bahasa apapun

asalkan mengandung arti rasa ridha dan setuju.

Menurut As-Sayyid Sabiq ijab kabul harus memenuhi syarat-syarat

sebagai berikut:

a. Pihak yang melakukan akad memiliki kecakapan, yaitu berakal, baligh dan

merdeka.

b. Masing-masing pihak memiliki wewenang penuh untuk melakukan akad

c. Kabul tidak boleh menyalahi ijab kecuali kalau wali itu menguntungkan

bagi yng berijab.

d. Akad hendaknya berada dalam satu majlis dan saling memahami ucapan

lawan. (Asy-Sayyid Sabiq, 1973: 34-36)

Para ahli hukum Islam di Indonesia sepakat bahwa akad nikah terjadi

setelah dipenuhinya rukun-rukun dan syarat-syarat nikah, yaitu:

a. Kedua calon pengantin sudah dewasa dan berakal.

b. Harus ada wali bagi calon pengantin wanita.

c. Harus ada mahar (mas kawin) dari calon pengantin pria.

d. Harus ada 2 orang saksi laki-laki yang adil dan merdeka.


18

e. Harus ada upacara ijab kabul.

f. Untuk peresmian hendaknya diadakan walimah (pesta pernikahan).

g. Sebagai bukti otentik terjadinya pernikahan, sesuai dengan analogi syrat

Ali-Imran ayat 282 harus diadakan i’lan an-nikah (pendaftaran nikah),

kepada Pejabat Pencatat Nikah, sesuai dengan UU No. 22 Tahun 1946 jo

UU No. 32 Tahun 1954 jo UU No. 1 Tahun 1974 (lihat juga pasal 7 KHI

Instruksi Presiden RI No. 1 Tahun 1991). (M.Idris Ramulyo, 2002: 48-49)

Adapun syarat-syarat perkawinan itu meliputi:

a. Syarat sebagai calon suami, yaitu:

1) Bukan mahram dari calon istri

2) Tidak terpaksa atau atas kemauan sendiri

3) Jelas orangnya

4) Tidak sedang ihram

b. Syarat sebagai calon istri, yaitu:

1) Tidak ada halangan syarak (tidak bersuami, bukan mahram, dan tidak

sedang iddah

2) Merdeka atau atas kemauan sendiri

3) Jelas orangnya

4) Tidak sedang ihram

c. Syarat sebagai wali, yaitu:

1) Laki-laki

2) Baligh

3) Berakal sehat
19

4) Adil

5) Dapat mendengar dan melihat

6) Bebas, tidak dipaksa

7) Tidak sedang ihram

8) Memahami bahasa yang dipergunakan untuk ijab kabul

C. Tujuan dan Hikmah Perkawinan

Tujuan perkawinan bukan semata untuk menjalankan perintah agama

(syariat), tapi juga untuk memenuhi kebutuhan biologis yang secara kodrat

harus disalurkan16. Diantaranya adalah:

1. Untuk mewujudkan keluarga sakinah, mawaddah dan rahmah

sebagaimana firman Allah di dalam Al-Qur’an:

‫َو ِم ْن ءَايَٰتِ ِۦٓه َأ ْن َخلَ َق لَ ُكم ِّم ْن َأن ُف ِس ُك ْم َْأز َٰو ًجا لِّتَ ْس ُكنُوا ِإلَْي َها َو َج َع َل‬
‫ٰت لَِّق ْوٍم َيَت َف َّك ُرو َن‬
ٍ ‫ك اَل ي‬
َ َ
ِ‫بين ُكم َّمو َّد ًة ورمْح ةً ِإ َّن ىِف َٰذل‬
َ َ َ َ َ َْ
Artinya:” Dan diantara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia
menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu
cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikanNya
diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” [QS. Ar.
Ruum (30):21]

2. Menenangkan pandangan dan menjaga kehormatan diri, sebagaimana


disebutkan dalam hadits:
16
Ahmad Atabik dan Khoridatul Mudhiiah, “Pernikahan dan Hikmahnya
Perspektif Hukum Islam”, Jurnal Pemikiran Hukum dan Hukum Islam, Yudisia, vol.
5, No. 2, Desember 2014, hal 287
20

‫اب َم ِن‬ ِ ‫ يا م ْع َشر الشَّب‬:‫اهلل ص‬


َ َ َ َ
ِ ‫ال رسو ُل‬
ُْ َ َ َ‫ ق‬:‫ال‬ َ َ‫َع ِن ابْ ِن َم ْسعُ ْو ٍد ق‬
‫ َو َم ْن‬.‫ص ُن لِْل َف ْر ِج‬
َ ‫ص ِر َواَ ْح‬
ِ ُّ ‫ فَاِنَّه اَ َغ‬،‫استطَاع ِمْن ُكم اْلباء َة َف ْليتز َّوج‬
َ َ‫ض ل ْلب‬ ُ ْ َ ََ َ َ ُ َ َ ْ
‫الص ْوِم فَاِنَّهُ لَهُ ِو َجاء‬
َّ ِ‫مَلْ يَ ْستَ ِط ْع َف َعلَْي ِه ب‬

Artinya:“Dari Ibnu Mas'ud Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah


Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda pada kami: "Wahai generasi
muda, barangsiapa di antara kamu telah mampu berkeluarga hendaknya
ia kawin, karena ia dapat menundukkan pandangan dan memelihara
kemaluan. Barangsiapa belum mampu hendaknya berpuasa, sebab ia
dapat mengendalikanmu." (Muttafaq Alaihi).

3. Mendapatkan keturunan yang sah, sehat jasmani dan rohani serta

mempererat tali persaudaraan.

Hikmah bagi orang yang melaakukan perkawinan, ialah:

a. Menumbuhkan cinta kasih antara suami dam istri dalam suka maupun

duka

b. Mampu membina rumah tangga yang dami dan sejahtera

c. Tumbuhnya tali silaturahmi

d. Memelihara keturunan dan generasi dari masa ke masa

D. Larangan Perkawinan Dalam Hukum Islam

Pada dasarnya seorang pria diperbolehkan menikahi wanita mana saja

yang mereka sukai, namun didalam Al-Qur’an Allah membatasi wanita mana

saja yang dilarang untuk dinikahi. Menurut hukum Islam, larangan seorang

pria dalam menikahi wanita itu dibagi menjadi dua, yaitu: larangan menikahi
21

untuk selamanya dan menikahi untuk sementara17. Larangan menikahi untuk

selamanya, meliputi:

1. Hubungan darah (nasab)

a. Ibu, perempuan yang ada hubungan darah dalam garis keturunan garis

keatas, yaitu: ibu, nenek dan seterusnya keatas.

b. Anak perempuan, wanita yang mempunyai hubungan darah dalam

garis lurus ke bawah, anak perempuan, cucu perempuan, sampai

seterusnya ke bawah.

c. Saudara perempuan, yaitu semua saudara kandung maupun seayah dan

seibu mapun seayahatau seibu saja.

d. Bibi dari pihak ayah, yaitu saudara perempuan ayah atau kakek, baik

lahir dari kakek dan nenek atau lahir dari keduanya.

e. Bibi dari pihak ibu, yaitu saudara perempuan ibu atau nenek, baik lahir

dari kakek dan nenek atau lahir salah satu dari keduanya.

f. Keponakan perempuan, anak perempuan saudara laki-laki atau

perempuan sekandung seterusnya ke bawah.

2. Hubungan Persusuan

Ialah hubungan yang terjadi antara seorang anak yang menyusu

kepada ibu susuan (bukan ibu kandung). Hal ini dilarang karena air susu

yang dia minum akan menjadi bagian dari darah daging dan membentuk

tulang rusuk. Penyusuan juga dapat menumbuhkan perasaan keibuan dan

17
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, hal 105
22

keanakan, sehingga posisi ibu susuan dihukumi sebagai ibu sendiri (ibu

kandung)18.

Wanita yang diharamkan menikahi karena hubungan persusuan

adalah sebagai berikut:

a. Ibu susuan, nenek susuan, dan seterusnya keatas.

b. Anak perempuan dari ibu susuan, semua anak perempuan

yang menyusu pada ibu susuan, yang menyusu pada cucu

perempuan dari ibu susuan, yang menyusu pada istri anak

laki-laki bapak susuan dan seterusnya ke bawah.

c. Bibi susuan, yaitu saudra perempuan dari bapak atau ibu

susuan, termasuk saudara perempuan nenek atau kakek baik

karena nasab mapupun karena susuan.

d. Saudara susuan perempuan, yaitu semua perempuan yang

disusui ibu kandung, ibu tiri, yang dilahirkan ibu susuan dan

anak perempuan dari bapak susuan.

e. Anak perempuan saudara laki-laki sesusuan dan anak

perempuan saudara perempuan sesusuan seterusnya ke

bawah.

3. Hubungan Perkawinan

Yaitu pertalian karena terjadinya perkawinan. Yang menjadi haram

karena perkawinan adalah sebagai berikut:

18
Yusuf Qardhawi, halal dan haram, Jabal, Bandung, 2012, hal 166
23

a. Mertua perempuan, yaitu ibu kandung dan ibu sesusuannya, baik

wanita itu sudah dicampuri maupun belum.

b. Anak tiri yang ibunya sudah dicampuri atau belum setelah akad nikah

yang sah.

c. Menantu, istri dari anak laki-laki baik yang sudah digauli maupun

belum seterusnya ke bawah.

d. Ibu tiri, istri kakek dan seterusnya keatas, baik dari jalur laki-laki

maupun perempuan, baik yang sudah dicampuri maupun belum.

4. Li’an (kutuk mengutuk dengan sumpah)

Kemudian orang-orang yang haram untuk dinikahi sementara adalah

sebagai berikut19:

a. Dua saudara perempuan (kandung) dalam waktu bersamaan, yaitu dua

orang perempuan bersaudara haram dikawini oleh seorang laki-laki

dalam waktu yang bersamaan. Apabila mengawini tidak dalam waktu

bersamaan seperti kakaknya meninggal dunia maka boleh menikahi

adiknya.

b. Wanita yang masih terikat perkawinan dengan laki-laki lain.

c. Wanita yang sedang menjalani masa ‘Iddah, baik karena kematian

maupun cerai hidup. Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-

Baqarah ayat 228:

َ َ‫ت يَتَ َربَّصْ نَ بَِأنفُ ِس ِه َّن ثَ ٰلَثَةَ قُر ُٓو ٍء ۚ َواَل يَ ِحلُّ لَه َُّن َأن يَ ْكتُ ْمنَ َما خَ ل‬
ُ ‫ق ٱهَّلل‬ ُ َ‫ َو ْٱل ُمطَلَّ ٰق‬ 

ُّ ‫م ٱلْ َءا ِخ ِر ۚ َوبُعُولَتُه َُّن َأ َح‬Hِ ْ‫فِ ٓى َأرْ َحا ِم ِه َّن ِإن ُك َّن يُْؤ ِم َّن بِٱهَّلل ِ َو ْٱليَو‬ 
‫ق بِ َر ِّد ِه َّن فِى‬
19
Zakiyah Daradjat, Ilmu Fiqh, PT. Dana Bhakti Wakaf, Jakarta, 1995, hal 66
24

‫ال َعلَ ْي ِه َّن‬


ِ ‫ِّج‬ Hِ ‫ ٰ َذلِكَ ِإ ْن َأ َراد ُٓو ۟ا ِإصْ ٰلَحًا ۚ َولَه َُّن ِم ْث ُل ٱلَّ ِذى َعلَ ْي ِه َّن بِ ْٱل َم ْعر‬ 
َ ‫ُوف ۚ َولِلر‬

ِ ‫َد َر َجةٌ ۗ َوٱهَّلل ُ ع‬


‫َزي ٌز َح ِكيم‬

Artinya:” Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri


(menunggu) tiga kali quru'. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa
yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada
Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya
dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki
ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan
kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. Akan tetapi para suami,
mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah
Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.(Q.S. Al-Baqarah:[1]: 228)

d. Istri yang ditalak tiga haram kawin dengan mantan suaminya, kecuali

jika istri sudah kawin laki-laki lain dan telah melakukan hubungan

badan, kemudian diceraikan dan telah habis masa ‘Iddahnya.

e. Wanita yang sedang melaksanakan ihram baik untuk haji maupun

umroh.

f. Wanita musyrik, yaitu wanita yang menyembah selain Allah SWT.

Larangan perkawinan dalam konsep perkawinan Islam antara lain:

a. Nikah Mut’ah

Yaitu pernikahan sementara. Perkawinan ini merupakan

bentuk perkawinan yang terjadi sebelum datangnya Islam. Bentuk

perkawinannya ialah berupa perjanjian atau akad pribadi antara

seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup bersama dalam batas

waktu yang telah disetujui keduanya dengan maksud untuk bersenang-


25

senang atau memuaskan nafsunya hanya untuk waktu yang relatif

singkat.

b. Nikah muhallil

Yaitu menghalalkan sesuatu yang haram menjadi halal atau

boleh melakukan. Tujuan perkawinan ini untuk menghalalkan bekas

istri yang telah di talak tiga kali sehingga mantan suaminya bisa kawin

kembali dengan cara mencarikan laki-laki untuk menikahi bekas

istrinya supaya diceraikannya.

c. Nikah Syighar

Ialah seorang laki-laki mengawinkan wanita yang telah

dibawah pertaliannya dengan laki-laki lain, dengan syarat laki-laki ini

mengawinkan pula wanita dibawah pertaliannya dikawinkan

dengannya tanpa adanya mahar dari keduanya.

E. Perkawinan Menurut Hukum Adat

Hukum adat merupakan hukum yang mencerminkan kepribadian dan

jiwa bangsa, dan diyakini hukum adat masih relevan dalam membentuk

sistem hukum Indonesia20. Hukum Adat dalam perkawinan sering kali

terdapat larangan atau pantangan yang harus dipatuhi oleh penganutnya. Di

Jawa mayoritas masyarakatnya menganut hukum adat, khususnya dalam hal

perkawinan. Dalam perkawinan tersebut banyak sekali aturan yang harus

Ratna Winayu Lestari Dewi, “Peranan Hukum Adat Dalam Pembangunan


20

KUHP Nasional”, Jurnal Perspektif, Vol. X, No. 3, Juli 2015


26

dipatuhi, salah satunya yaitu pantangan bagi laki-laki menikah ngetan-ngulon

akan mendapat banyak cobaan dalam kehidupan rumah tangganya.

Pantangan perkawinan ngetan ngulon di Desa Batursari Kecamatan

Mranggen Kabupaten Demak dalam usũl al-fiqh merupakan bentuk ‘urf. ‘Urf

merupakan sesuatu yang dikenal oleh manusia dan menjadi sebuah tradisi

baik ucapan, perbuatan maupun berupa pantangan-pantangan.

Masalah perkawinan ngetan ngulon tersebut tidak ada ketentuannya

dalam hukum Islam, tapi terdapat kaidah dalam usũl al-Fiqh yang berbunyi :

‫االصل في االشياء االباحة‬

Adapun kaidah usũl al-Fiqh yang berkaitan dengan ‘urf:

‫العادة محكمة‬

1. ‘Urf ditinjau dari obyeknya dibagi menjadi dua, yaitu ‘urf qauly dan ‘urf

‘amaly:

a) ‘Urf qauly, kebiasaan dalam menggunakan suatu kata dalam bahasa

seperti kebiasaan orang mengartikan “walad” khusus anak laki-laki

bukan anak perempuan.

b) ‘Urf ‘amaly, kebiasaan dalam melakukan sesuatu seperti kebiasaan

melakukan anggukan sebagai bentuk setuju dan menggeleng berarti tidak.

2. ‘Urf ditinjau dari cakupannya dibagi menjadi dua, yaitu ‘urf ‘ᾱm dan ‘urf

khᾱs:
27

a) ‘Urf ‘ᾱm, yaitu suatu kebiasaan yang berlaku secara luas di seluruh

penjuru masyarakat, seperti jual-beli mobil selalu disertai dengan

alat untuk memperbaikinya (donkrak, obeng, dll).

b) ‘Urf khᾱs, yaitu suatu kebiasaan yang berlaku di daerah maupun

masyarakat tertentu dan tidak berlaku pada semua tempat, seperti

larangan perkawinan ngetan ngulon di Desa Batursari Kecamatan

Mranggen Kabupaten Demak karena tidak berlaku di semua

tempat.

3. ‘Urf ditinjau dari segi keabsahannya ada ‘urf ṣᾱhih dan ‘urf fᾱsid:

a) ‘Urf ṣᾱhih atau adat yang baik, adat yang diterima secara hukum

syara’ dan tidak bertentangan dengan hukum Islam seperti

menghidangkan jamuan dalam walῑmatul ursy.

b) ‘Urf fᾱsid atau adat yang buruk, suatu kebiasaan yang berlaku di

masyarakat namun bertentangan dengan hukum Islam dan hukum

syara’ seperti menjamu minuman keras ketika pesta perkawinan.

Para ulama sepakat bahwa ‘urf ṣᾱhih merupakan ‘urf yang dapat

dijadikan sebagai sumber penetapan hukum selama tidak bertentangan dengan

nash dan hukum syara’. Adapun syarat-syarat ‘urf (adat) dijadikan sebagai

sumber penetapan hukum yaitu :

1. Adat itu bernilai maslahat, dapat membawa kebaikan kepada umat serta

menghindarkan dari bentuk kerusakan.


28

2. Adat itu berlaku untuk umum dan bersifat merata dalam lingkungan

masyarakat tertentu.

3. Adat itu telah berlaku sebelum itu, dan tidak ada adat yang datang

kemudian.

4. Adat itu tidak bertentangan dengan dalil syara’.

Demikianlah kerangka teoretik yang dibuat oleh peneliti sebagai

pedoman dalam penyelesaian masalah terkait pandangan masyarakat di Desa

Batursari Kecamatan Mranggen Kabupaten Demak terkait pantangan

perkawinan ngetan ngulon.

A. KAJIAN PENELITIAN YANG RELEVAN

Dalam penyusunan sebuah skripsi, studi pustaka merupakan bagian

penting untuk mengetahui bahwa penelitian ini belum pernah diteliti dan

dibahas. Peneliti telah melakukan pra-penelitian terhadap beberapa karya

tulis.

Peneliti menemukan banyak skripsi yang mempunyai kolerasi dengan

skripsi ini. Beberapa karya ilmiah tersebut diantaranya adalah:

Pertama, karya tulis Mohammad Ansori yang berjudul “Larangan

Adat Kawin Lusan dalam Perspektif Hukum Islam Studi di Kelurahan

Sambungmacan Kab. Sragen”,dalam karyanya ia membahas mengenai adat

larangan nikah Lusan yang berkembang di masyarakat Sambungmacan karena

asumsi bahwa jika pernikahan anak ketelu dan anak sepisan dilaksanakan dapat
29

menyebabkan malapetaka bagi para pelakunya. Dalam penelitian ini

menggunakan metode pendekatan normatif-antropologi yaitu dengan melihat

dan menilai perilaku sehari-hari dan permasalahan-permasalahan yang ada di

masyarakat Sambungmacan Dari hasil analisisnya, ia menyimpulkan bahwa

larangan nikah Lusan (anak “ketelu” dengan anak “sepisan”) kurang sesuai

dengan ketentuan hukum Islam, karena dalam nash tidak ada ketentuan

mengenai larangan tersebut juga bukan termasuk golongan orang-orang yang

haram untuk dinikahi. Larangan nikah lusan merupakan ‘urf fᾱsid, sehingga

hukum kawin lusan adalah mubah (boleh).

Kedua, karya tulis Joko Suseno yang berjudul “Tinjauan Hukum Islam

terhadap Larangan Pernikahan Berbeda Letak Tempat Tinggal (Studi Kasus di

Desa Ngombol Kecamatan Ngombol Kabupaten Purworejo)”, dalam karya

tulisnya ia membahas mengenai larangan pernikahan beda letak tempat

tinggal yaitu antara Dusun Ngombol Dukuh dengan Ngombol Krajan yang

hanya dipisahkan oleh pagar tanaman yang apabila dilanggar akan

menyebabkan malapetaka yang akan menimpa rumah tangga para pelaku

berupa kematian, perceraian, gila, dan lain sebagainya. Didalam skripsi ini

menggunakan pendekatan normatif. Di akhir analisisnya, ia menyimpulkan

bahwa larangan perkawinan beda letak tempat tinggal tidak sesuai dengan

ketentuan hukum Islam, karena dalam Nash tidak dijelaskan mengenai hal

tersebut, dengan kata lain hukum pernikahan antara Dusun Ngombol Dukuh

dengan Ngombol Krajan hukumnya boleh (mubᾱh).


30

Ketiga, karya tulis Yushadeni yang berjudul “Tinjauan Hukum Islam

terhadap Larangan Perkawinan Sesuku di Kecamatan Pangean Kabupaten

Kuantan Singingi Provinsi Riau”, dalam karya tulisnya ia membahas

mengenai adat istiadat berupa larangan perkawinan Sesuku yang terjadi di

Riau yaitu seorang laki-laki dilarang menikahi wanita yang semarga atau

sesuku dengannya. Dalam skripsi ini menggunakan pendekatan usūl al-fiqh,

yaitu dengan menilai realita yang terjadi di masyarakat bahwa larangan

tersebut bertentangan dengan hukum Islam atau tidak. Dari hasil analisisnya,

penyusun menyimpulkan bahwa larangan kawin sesuku tidaklah sesuai dengan

ketentuan hukum Islam karena baik didalam Al-Qur’ᾱn maupun Hadits tidak

ada ketentuan yang melarangnya dan bukan merupakan orang-orang yang

haram dinikahi. Menurutnya larangan ini mubah (boleh), akan tetapi jika takut

berdampak buruk bagi keturunannya lebih baik dihindari karena mengangkut

kualitas keturunan.
31

BAB III

PANTANGAN PERKAWINAN “NGETAN-NGULON” DI TINJAU

MENURUT HUKUM ISLAM (STUDI KASUS DI DESA BATURSARI

KECAMATAN MRANGGEN KABUPATEN DEMAK)

A. Deskripsi Wilayah Desa Batursari Kecamatan Mranggen

Kabupaten Demak

1. Keadaan Geografi

Desa Batursari merupakan salah satu desa yang termasuk dalam

wilayah kecamatan Mranggen Kabupaten Demak. Letak geografis desa

Batursari berada di wilayah barat daya kabupaten Demak yang berbatasan

dengan kota Semarang. Desa Batursari mempunyai luas wilayah kurang

lebih 651,963 hektar dan desa paling luas di Kecamatan Mranggen

Kabupaten Demak. Kondisi letak desa Batursari sebagian kontur tanahnya

berupa tanah datar didominasi perumahan dan sebagian besar digunakan

untuk pertanian. Dan sebagian kecil lagi digunakan untuk irigasi di

wilayah Pucang gading.

Secara administratif desa tersebut terdiri atas 7 dusun yang

memiliki 297 RT dan 38 RW. Jumlah seluruh penduduk desa Batursari

mencapai 34.406 jiwa, laki-laki sebanyak 17.196 jiwa dan perempuan


32

sebanyak 17.210 jiwa. Mayoritas masyarakatnya beragama Islam, yaitu 72

persen, Kristen Protestan sebanyak 11 persen, 17 persen lainnya adalah

agama Kristen Katolik, Hindu, dan Budha.

Jumlah penduduk menurut umur dan jenis kelamin ialah sebagai

berikut:

No Usia Laki-laki Perempuan Jumlah

1 0-4 1397 1289 2686

2 5-9 2441 2467 4908

3 10-14 2468 2341 4809

4 15-19 2324 2332 4656

5 20-24 2268 2328 4596

6 25-29 2930 2890 5820

7 30-39 1139 1213 2352

8 40-49 869 908 1777

9 50-59 784 803 1587

10 60 + 576 639 1215

Anda mungkin juga menyukai