Anda di halaman 1dari 23

PROPOSAL TESIS

DISPENSASI KAWIN HAMIL ANAK BAWAH UMUR ANALISIS

PUTUSAN PENGADILAN AGAMA SURAKARTA


TAHUN 2016
( Tinjauan dari Undang-undang Perkawinan, KHI, dan Undang-undang
Perlindungan Anak )

Oleh:

Dody Laksana Putra : 1620311033

Matakuliah Proposal Tesis

Dosen Pembimbing :
Dr. Ibnu Muhdir, M.Ag

HUKUM KELUARGA
MAGISTER HUKUM ISLAM
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2017

1|Page
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Perkawinan merupakan suatu peristiwa yang sangat penting dalam

kehidupan manusia. Dasar-dasar perkawinan dibentuk oleh unsur-unsur

alami dari kehidupan manusia itu sendiri yang meliputi kebutuhan dan

fungsi biologis, melahirkan keturunan, kebutuhan akan kasih sayang,

persaudaraan, memelihara anak-anak tersebut menjadi anggota masyarakat

yang sempurna.

Pernikahan atau nikah artinya terkumpul dan menyatu. Menurut

istilah lain juga dapat berarti Ijab Qobul (akad nikah) yang mengharuskan

perhubungan antara sepasang manusia yang diucapkan oleh kata-kata yang

ditujukan untuk melanjutkan pernikahan, sesuai peraturan yang diwajibkan

oleh islam. Kata az-zawaj digunakan dalam Al-Qur’an artinya adalah

pasangan yang dalam penggunaannya pula juga dapat diartikan sebagai

pernikahan, Allah menjadikan manusia itu saling berpasangan,

menghalalkan pernikahan dan mengharamkan zina.

Rasulullah bersabda:

‫ِط‬
‫ وَمْن ْمَل َيْس َت ْع‬، ‫َي ا َم ْع َش َر الَّش َباِب َمْن اْس َتَطاَع اْلَب اَءَة َفْلَيَتَز َّو ْج‬
‫ا‬ ‫ِو‬ ‫ُه‬‫َل‬ ‫ُه‬‫َّن‬ ‫َعَلْيِه ِباْلَّص ِم َفِإ‬
‫َج ٌء‬ ‫ْو‬ ‫َف‬
Wahai para pemuda dan barang siapa yang telah memiliki kemampuan
(menikah) maka menikahlah, dan barang siapa belum mampu, maka
hendaklah ia melakukan shaum, karena shaum itu adalah penekan nafsu
syahwat bagi dirinya.1

1
(HR. Al-Bukhari pada kitab ke-68 Kitab Nikah)

2|Page
Dan nikah itu adalah sunnah nabi, dalam firman Allah SWT:

‫َو ِم ن ُك ِّل َش ۡي ٍء َخ َلۡق َنا َز ۡو َج ۡي ِن َلَع َّلُك ۡم َتَذَّك ُروَن‬


Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu
mengingat kebesaran Allah. (QS. Adz Dzariyat (51) : 49)
Islam mendorong untuk membentuk keluarga. Islam mengajak

manusia untuk hidup dalam naungan keluarga, karena keluarga seperti

gambaran kecil dalam kehidupan stabil yang menjadi pemenuhan keinginan

manusia, tanpa menghilangkan kebutuhannya.

Keluarga merupakan tempat fitrah yang sesuai dengan keinginan Allah

SWT bagi kehidupan manusia sejak keberadaan khalifah, Allah SWT

berfirman:

       


          
   
Dan Sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan
Kami memberikan kepada mereka isteri-isteri dan keturunan. dan tidak ada
hak bagi seorang Rasul mendatangkan sesuatu ayat (mukjizat) melainkan
dengan izin Allah. bagi tiap-tiap masa ada kitab (yang tertentu). (QS. Ar-Ra’d
(13): 38)

Kehidupan manusia secara individu berada dalam perputaran

kehidupan dengan berbagai arah yang menyatu dengannya. Karena

sesungguhnya fitrah kebutuhan manusia mengajak untuk menuju keluarga

sehingga mencapai kerindangan dalam tabiat kehidupan. Bahwasanya tiadalah

kehidupan yang dihadapi dengan kesungguhan oleh pribadi yang kecil.

Bahkah telah membutuhkan unsur-unsur kekuataan, memperhatikan-

nya pada tempat-tempat berkumpul, tolong menolong dalam menanggung

beban, menghadapi kesulitan, dari segenap kebutuhan aturan keluarga.

3|Page
Hal itu adalah fitrah kehidupan dan penghidupan, manusia
mengharapkan kemuliaannya.2
        
         
     
Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah
atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak
ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahui. (QS. Ar-Rum (30): 30)

Sebagai salah satu dari nilai kebaikan sebuah pernikahan, Islam

berpendirian tidak ada pelepasan kendali naluri seksual untuk dilepaskan tanpa

batas dan tanpa ikatan. Untuk itulah maka diharamkannya zina dan seluruh

yang membawa kepada perbuatan zina dan dianjurkannya melaksanakan

perkawinan.3Perkawinan dalam Islam merupakan perjanjian suci, bahkan

sebelum melakukan perkawinan diajarkan pula beberapa syarat agar seseorang

mengetahui dengan benar hakikat sebuah perkawinan4.

Di Indonesia ketentuan yang berkenaan dengan perkawinan telah

diatur dalam perundang-undang Negara yang khusus berlaku bagi warga

Negara Indonesia. Aturan perkawinan yang dimaksud adalah dalam bentuk

undang-undang yaitu undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan peraturan

pelaksanaannya dalam bentuk peraturan pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.

Undang-undang ini merupakan hukum materiil dari perkawinan, sedangkan

hukum formalnya ditetapkan dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989,

Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 dan Undang-undang Nomor 50 Tahun

2
Ali Yusuf As-Subki, Fiqh Keluarga, (Jakarta: Penerbit Amzah, 2010), hlm. 23-24.
3
Yusuf Qardhawi, Halal Dan Haram, (Bandung: Penerbit Jabal, 2007),hlm.181.
4
Najmuddin Zuhdi dan Elvi Na’imah, Studi Islam 2, (Surakarta: Penerbit LPID, 2010),
hlm. 104.

4|Page
2009. Sedangkan sebagai aturan pelengkap yang akan menjadi pedoman bagi

hakim di lembaga peradilan agama adalah Kompilasi Hukum Islam di

Indonesia yang telah ditetapkan dan disebarluaskan melalui Instruksi Presiden

Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Yang dimaksud

dengan Undang-Undang Perkawinan adalah segala sesuatu dalam bentuk

aturan yang dapat dan di jadikan petunjuk dalam hal perkawinan dan dijadikan

pedoman hakim di lembaga Peradilan Agama dalam memeriksa dan

memutuskan perkara perkawinan, baik secara resmi dinyatakan sebagai

peraturan perundang-undangan Negara atau tidak.5

Generasi masa depan adalah generasi yang terancam. Gejala keresahan

ini tampak pada semakin rapuhnya ikatan keluarga masa kini dan rapuhnya

pribadi-pribadi manusia modern. Di dunia barat, yang menjadi model

masyarakat modern, para pemikir mereka menyaksikan bahwa yang sedang

mengancam peradaban umat manusia sesungguhnya adalah semakin

melemahnya nilai-nilai keluarga tradisional. Keluh kesah semakin “santer”

setelah menyaksikan retaknya ikatan-ikatan keluarga di sekitar mereka,

melemahnya fondasi perkawinan, menghindarnya orang muda dari tanggung

jawab perkawinan, ketidaksukaan wanita untuk menjadi seorang ibu,

merosotnya kasih sayang kebapakan atau keibuan, bergelimangnya pria dan

wanita dalam pemuasan hawa nafsu yang bersifat sementara tanpa ada ikatan

yang resmi, tumbuh suburnya tempat-tempat pelacuran, memasyarakatnya

kumpul kebo, seks bebas, semakin beraninya homo seksual unjuk diri,

5
Khoiruddin Nasution, Hukum Perkawinan, (Yogyakarta: Penerbit Academia Tazafa,
2004), hlm.37.

5|Page
meningkatnya anak-anak haram hasil hubungan di luar perkawinan, aborsi,

serta sangat jarangnya keterpaduan dan kesetiaan dalam rumah tangga.6

Mengenai perkawinan, dalam undang-undang perkawinan di Indonesia

telah diatur batas usia yang di perbolehkan demi tercapainya tujuan

perkawinan. Umur minimal boleh kawin menurut UU No. 1 Tahun 1974

adalah 19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan. Seperti yang

disebutkan pada pasal 7 ayat (1),”Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria

sudah mencapai usia Sembilan belas tahun dan pihak wanita telah mencapai

usia enam belas tahun”. Dalam pasal ini terkandung beberapa prinsip untuk

menjamin cita-cita luhur perkawinan, yaitu asas sukarela, partisipasi keluarga

dan kedewasaan mempelai (kematangan fisik dan mental kedua calon

mempelai).7

Sebuah perkawinan apabila yang terjadi akibat hubungan intim yang

dilakukan oleh anak di bawah umur sehingga menyebabkan kehamilan di luar

nikah merupakan problem yang sangat perlu sekali perhatian bagi seluruh

kalangan, khususnya orang tua dan Negara. Ketika orang tua mengetahui

peristiwa tersebut terjadi, orang tua dari pihak perempuan merasa malu dan

meminta pada pihak yang berwenang untuk menikahkan kedua anak tersebut,

karena kedua mempelai (laki-laki dan perempuan) umurnya belum

mencukupi, maka perlulah mengajukan permohonan dispensasi nikah di

Pengadilan Agama setempat. Padahal dalam UU No. 35 Tahun 2014 Tentang

6
Ibnu Musthafa, Keluarga Islam Menyongsong Abad 21, (Bandung: Penerbit Al-Bayan,
2003), hlm.23.
7
Mufidah, Isu-Isu Gender Kontemporer dalam Hukum Keluarga, (Malang: Penerbit UIN
Maliki Press, 2010), hlm.63.

6|Page
Perlindungan Anak Bab Kewajiban dan Tanggung Jawab Keluarga dan Orang

Tua dalam pasal 26 ayat 1 huruf C ialah (mencegah terjadinya perkawinan

pada usia anak-anak).

Agama Islam, sebagai agama yang dianut oleh mayoritas masyarakat

Indonesia tidak memberikan batasan umur untuk melangsungkan perkawinan

sebagaimana yang tertera dalam pasal 7 ayat 1 Undang-undang perkawinan.

Syariat Islam hanya menetapkan ukuran dewasa seseorang apabila ia telah

baligh dan tidak ada ayat Al-Qur’an yang secara jelas menyebut tentang batas

usia perkawinan dan tidak pula hadits Nabi yang secara langsung menyebut

batas usia untuk melangsungkan perkawinan. Para ulama ahli fikih sepakat

dalam menentukan taklif yaitu ketika sudah keluar mani bagi laki-laki dan

sudah haid bagi perempuan.8

Keterangan diatas telah menjadi bukti bahwa pengaruh agama Islam

sangat kental terhadap keberlangsungan Undang-undang perkawinan. Hal ini

terbukti dengan ketentuan dalam Undang-undang perkawinan yang tidak bisa

terlepas dari ketentuan dalam ajaran agama Islam. Sebagai, imbasnya

ketentuan-ketentuan tersebut diselewengkan dan dijadikan peluang untuk

memanfaatkan kelonggaran Undang-undang perkawinan dengan dalih agama.

Pada hakikatnya peraturan dibuat untuk ditaati dan demi terjaminnya

hak-hak setiap orang, tidak berbeda dengan Undang-undang No. 1 Tahun

1974 tentang perkawinan yang mempunyai tujuan menjamin hak-hak setiap

orang yang melangsungkan perkawinan. Undang-undang No.1 Tahun 1974

tentang perkawinan diberlakukan dengan harapan agar seluruh masyarakat


8
Ibid., hlm.147.

7|Page
Indonesia dapat melaksanakan perkawinan dengan mengacu pada undang-

undang tersebut. Akan tetapi, kemajuan zaman yang semakin berkembang

menyebabkan antara tuntutan realitas dan idealitas tidak beriringan. Dan

kenyataannya masih banyak terjadi perkawinan di bawah umur pada

masyarakat Indonesia, dan itu menjadi beban tanggungan Negara Indonesia.

Bahkan undang-undang memberikan peluang untuk terjadinya perkawinan di

bawah umur sebagaimana di ungkapkan pada pasal 7 ayat (2) bahwa dalam

hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal 7 UU No. 1 Tahun 1974 ini dapat

meminta dispensasi ke Pengadilan Agama setempat.

Di Pengadilan Agama Surakarta terdapat kasus perkara permohonan

dispensasi kawin karena hamil di tahun 2016 berjumlah 53 perkara dan yang

di putus oleh Majelis Hakim Pengadilan Agama Surakarta berjumlah 47

perkara dan 6 perkara masih belum diketahui entah kemana, ada indikasi

bahwa 6 perkara tersebut dicabut kembali karena calon mempelai perempuan

tidak hamil atau harus diputus di tahun 2017 ini, dan secara keseluruhan

perkara dispensasi kawin hamil yang berjumlah 47 tersebut di kabulkan oleh

Majelis Hakim.9 Penulis hendak menganalisis putusan perkara dipensasi

kawin hamil di Pengadilan Agama Surakarta, karena seluruh perkara yang

masuk permasalahannya sama yaitu karena hamil terlebih dahulu (zina), dan

penulis ingin meninjau dari Undang-undang Perkawinan dan Kompilasi

Hukum Islam, serta Undang-undang Perlindungan Anak guna meninjau

permasalahan yang terkait dengan dispensasi nikah hamil anak dibawah umur.

9
Wawancara Drs. Arif Rohman selaku Panmud Hukum Pengadilan Agama Surakarta
pada tanggal 24 Oktober 2015 bertempat di ruang tunggu

8|Page
Dari data diatas memotivasi penulis untuk meneliti kasus permohonan

dispensasi perkawinan di Pengadilan Agama Surakarta. Penulis mengadakan

penelitian dalam bentuk skripsi dengan judul “Dispensasi Kawin Hamil Anak

Bawah Umur : Analisis Putusan Pengadilan Agama Surakarta Tahun 2016”

B. Rumusan Masalah

Dari uraian diatas, agar menjadi bahan pertimbangan dalam

melanjutkan penulisan tesis ini, maka penulis mencoba untuk lebih berhati-

hati dalam membuat batasan pertanyaan yang lebih mengacu pada dasar

rumusan masalah yaitu sebagai berikut:

1. Apa yang menjadi dasar pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Agama

Surakarta dengan memutuskan perkara dispensasi nikah anak di bawah

umur karena hamil (zina)?

2. Mengapa Hakim Pengadilan Agama Surakarta selalu mengabulkan perkara

dispensasi nikah anak di bawah umur karena hamil?

3. Bagaimana hasil tinjauan putusan Majelis Hakim Pengadilan Agama

Surakarta dengan menggunakan Undang-undang Perkawinan, KHI dan

Undang-undang Perlindungan Anak?

C. Tujuan Penelitian
Tujuan yang hendak dicapai oleh penulis dalam penelitian ini adalah

untuk mengetahui putusan Hakim Pengadilan Agama Surakarta mengenai

perkara dispensasi nikah anak di bawah umur karena hamil pada tahun 2016

yang dikhawatirkan akan membuka peluang untuk terus meningkatnya

peristiwa hamil di luar nikah anak di bawah umur.

9|Page
Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah:

1. Teoritis

Sebagai sumbang pemikiran bagi perkembangan hukum Islam di bidang

perkawinan khususnya yang masih di bawah umur.

2. Praktis

a. Untuk dapat diambil manfaat maupun hikmahnya bagi pembaca dan

instansi terkait dalam persoalan perkawinan yang masih di bawah

umur.

b. Untuk menambah referensi pada Universitas Islam Negeri Sunan

Kalijaga.

c. Guna melengkapi salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar

kesarjanaan (S-2) dalam bidang Hukum Keluarga.

D. Kajian Pustaka
Pada dasarnya penelitian mengenai dispensasi nikah sudah banyak,

namun ada beberapa hal yang membedakan yaitu sudut pandang dan

lokasi yang dijadikan penelitian seiring majunya zaman.

Skripsi dari Nadiyatun Nikmah mahasiswi Universitas Islam

Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta yang berjudul Dispensasi Perkawinan

Bagi Pasangan di Bawah Umur penetapan No.

0283/PDT.P/2013/PA.KAB.KDR di Pengadilan Agama Kabupaten Kediri

(Tinjauan Menurut Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang

10 | P a g e
Perlindungan Anak), dimana pembahasannya ialah hasil putusan hakim

perkara dispensasi nikah pasangan di bawah umur bukan karena hamil

yang belum sesuai dengan UU No.23 Tahun 2002 tentang perlindungan

anak, karena tidak dijadikan sebagai rujukan.

Sementara ada beberapa buku yang membahas dampak dari

terjadinya perkawinan anak di bawah umur yaitu Stop KDRT buku

karangan Abu Hamzah ‘Abdul Lathif al-Ghamidi yang telah

diterjemahkan oleh Yunus, S.Ag dan buku Halal dan Haram karangan DR.

Yususf Qardhawi, dimana membahas mengenai hal-hal yang diharamkan

dan dihalalkan dalam perkawinan dan rumah tangga.

Dan penulis yang akan melakukan penelitian berkaitan dengan

dispensasi nikah anak di bawah umur karena hamil di Pengadilan Agama

Surakarta Tahun 2016.

E. Kerangka Teori

Pengadilan Agama merupakan salah satu penyelenggara kekuasaan

kehakiman yang memberikan layanan hukum bagi rakyat pencari keadilan

yang beragama islam mengenai perkara perdata tertentu yang diatur dalam

Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang telah

diubah dengan Undang-undang Nomor 3 tahun 2006 dan Undang-undang

Nomor 50 Tahun 2009. Kekuasaan kehakiman dilingkungan Peradilan Agama

dilaksanakan oleh Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama yang

11 | P a g e
berpuncak pada Mahkamah Agung Republik Indonesia sebagai Pengadilan

Negara tertinggi. Seluruh pembinaan baik pembinaan teknis peradilan maupun

pembinaan organisasi, administrasi dan keuangan dilakukan oleh Mahkamah

Agung Republik Indonesia. Pengadilan Agama merupakan Pengadilan

Tingkat Pertama yang bertugas dan berwenang memeriksa, mengadili dan

memutus perkara-perkara di tingkat pertama di bidang perkawinan, kewarisan,

wasiat dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum islam serta waqaf, zakat,

infaq dan shadaqah serta ekonomi Syari’ah sebagaimana di atur dalam Pasal

49 UU Nomor 50 Tahun 2009.10 Definisi perkawinan dapat kita lihat di

peratuan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia dalam kaitan ini

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 Tentang

Perkawinan, dan instruksi Presiden Nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi

Hukum Islam yang merumuskan tentang perkawinan: “Perkawinan ialah

ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami

istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan

kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 2, perkawinan menurut hukum

Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalidan

untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. 11 Di

dalam Undang-undang perkawinan yang berlaku di Indonesia juga mengatur

mengenai batas usia untuk berkawin, namun tidak terdapat keseragaman pada

10
http://www.pa-kraksaan.go.id/index.php/layout/tupoksi.html /diakses 21 Desember 2015
11
Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Direktorat Jenderal
Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1999), hlm. 14.

12 | P a g e
setiap agama, tetapi batas usia dewasa menurut setiap agama berbeda satu

dengan yang lainnya.

Undang-undang perkawinan pasal 6 ayat 2 menyebutkan, untuk

melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua

puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua. 12 Kemudian di ikuti

pasal 7 yang berbunyi:

1. Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur

19(sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai 16(enam

belas) tahun.

2. Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta

dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua

orang tua pihak pria maupun pihak wanita.

Didalam penjelasan pasal tersebut dinyatakan, maksud perkawinan

agar suami dan istri dapat membentuk keluarga yang kekal dan bahagia dan

sesuai pula dengan hak asasi manusia, perkawinan harus disetujui oleh kedua

belah pihak yang melangsungkan perkawinan tersebut, tanpa ada paksaan dari

pihak manapun.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, dispensasi artinya

pengecualian dari aturan karena adanya pertimbangan yang khusus;

pembebasan dari suatu kewajiban atau larangan, atau pengecualian tindakan

berdasarkan hukum yang menyatakan bahwa suatu peraturan perundang-

undangan tidak berlaku untuk suatu hal yang khusus.13 Sedangkan kawin
12
Undang-undang RI Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
13
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet. 2 (Jakarta:
balai pustaka, 2002), hlm. 270.

13 | P a g e
berarti membentuk keluarga dengan lawan jenis; bersuami atau beristri;

menikah.14

Di dalam Al-qur’an surah An-Nisa’ ayat 6 disebutkan bahwa manusia

boleh kawin, disesuaikan dengan keadaan dewasa:

      


       
    
“Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. kemudian
jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta),
Maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. dan janganlah kamu
Makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan (dewasa).....”

Dari ayat tersebut jelas, umur wanita yang boleh kawin dan umur dari

suatu anak perempuan yang berakal disamakan dewasa. Sebab perkawinan

adalah suatu suatu perikatan, di mana keizinan pribadi sangat bergantung, dari

berbagai ayat dan hadits keizinan itu tak dapat dirampas begitu saja oleh pihak

lain, wanita yang telah mencapai dewasa, yaitu jika seorang wanita telah dapat

mengurus harta bedanya dan dapat menetapkan pilihan terhadap calon

suaminya sendiri.15

Sungguh, dalam Islam rutinitas dalam hidup dan masalah duniawi

dikaitkan dengan ibadah dan kepatuhan pada Allah yang diiringi niat yang

baik. Jika seseorang menikmati hubungan intim dengan istrinya,

menginginkan anak, dan menjaga kesucian dengan istrinya, maka itu dinilai

sebagai ibadah yang digantikan pahala di akhirat kelak.

Kapanpun tindakan yang dihalalkan bagi orang-orang beriman diiringi

dengan niat yang bersih, maka tindakannya dinilai sebagai ibadah. Tetapi
14
Ibid,. hlm. 518.
15
Jafizham, Persentuhan Hukum Di Indonesia Dengan Hukum Perkawinan Islam....,
hlm. 261.

14 | P a g e
tidak demikian untuk yang haram. Betapa pun baiknya niat, luhurnya tujuan,

dan mulianya maksud, maka yang haram tetap haram.

Islam tidak akan pernah mengijinkan umatnya untuk menggunakan

cara yang haram dengan tujuan mendapat pujian. Sesungguhnya, Islam bukan

hanya mengharuskan tujuan yang mulia tapi juga cara yang dipilih harus

baik.16

Dari ketentuan-ketentuan diatas sejalan dengan salah satu prinsip

dalam Undang-undang No.1 Tahun 1974 yaitu calon suami-isteri harus telah

matang jiwa dan raganya untuk melangsungkan perkawinan agar dapat

mewujudkan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan

mendapatkan keturunan yang baik dan sehat. Untuk itu harus dicegah adanya

perkawinan antara calon suami-isteri yang masih di bawah umur. Sebagai

konsekuensi dari prinsip ini adalah:

a. Kebiasaan anak-anak atau perkawinan yang masih berumur kurang dari

batasan umur yang telah ditetapkan harus dihapuskan, karena hanya akan

menambah beban dan tanggung jawab orang tua.

b. Prinsip-prinsip ini juga untuk menunjang terlaksananya program

pemerintah yaitu keluarga berencana, guna menjaga pertumbuhan

penduduk yang menjadi masalah nasional.

c. Diharapkan pula prinsip-prinsip ini mampu untuk mengurangi angka-

angka kelahiran dan angka perceraian. Karena perkawinan yang dilakukan

oleh calon suami-isteri yang masih sangat muda, belum mampu

16
Yusuf Qardhawi, Halal dan Haram, (Bandung:Penerbit Jabal, 2007), hlm.45.

15 | P a g e
bertanggung jawab sendiri sehingga sangat mudah menimbulkan

perceraian.17

Meskipun batasan minimal usia nikah telah ditentukan, namun

Undang-undang perkawinan memberikan kelonggaran untuk menyimpang

dari aturan syarat umur tersebut. Melalui pasal yang berbunyi:

Dalam penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta

dispensasi ke Pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua

pihak pria atau wanita.

Legalnya perkawinan yang terjadi usia bawah umur ini bertentangan

dengan UU. No 35 Tahun 2014 tentang perlindungan anak. Dalam undang-

undang tersebut dijelaskan bahwa yang dinamakan anak adalah seseorang

yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun. Dari pengertian anak tersebut,

dapat dikatakan bahwa anak yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun

seharusnya memperoleh haknya yaitu berhak untuk dapat hidup, tumbuh,

berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan

martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan

diskriminasi. Salah satu hak yang terpenting adalah hak untuk mendapatkan

pendidikan yang layak. Sebagaimana yang telah diatur dalam UU No. 35

Tahun 2014 bahwa:

Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam

rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan

minat dan bakatnya.18


17
Dadan Muttaqien, Cakap Hukum Bidang Perkawinan dan Perjanjian, (Yogyakarta:
Penerbit Insani Citra Press, 2006). hlm. 62.
18
Pasal 9 UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.

16 | P a g e
Selain itu juga ditekankan lagi pada pasal 49 Undang-undang

perlindungan anak, bahwa Negara, pemerintah, keluarga dan orang tua wajib

memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada anak untuk memperoleh

pendidikan.

Tujuan berlakunya peraturan dalam Undang-undang perkawinan

adalah untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal

berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Apabila kita amati tujuan

perkawinan menurut konsepsi Undang-undang tersebut tidak ada yang

bertentangan dengan tujuan perkawinan menurut konsepsi Hukum Islam.

Apabila ditinjau dari segi ilmu kesehatan, bahwa permpuan yang

menikah pada usia di bawah 18 tahun dan mengalami kehamilan dapat

membawa risiko tinggi pada kehamilan dan persalinan kelak. Perempuan

tersebut akan menghadapi risiko kematian pada saat melahirkan, dua sampai

lima kali risiko lebih besar dari pada kehamilan perempuan yang berusia dua

puluhan.19

Berdasarkan uraian-uraian dampak dari perkawinan di bawah umur di

atas patut menjadi pertimbangan orang tua untuk tidak menikahkan anaknya di

usia dini. Sebagaimana diatur dalam UU. No 35 Tahun 2014 bahwa orang tua

berkewajiban dan bertanggung jawab untuk:

a. Mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak.

b. Menumbuh kembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat dan

minatnya; dan

19
Zohra Andi Baso dan Judy Raharjo, Kesehatan Reproduksi Panduan Bagi Perempuan,
(Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar,1999).hlm.12.

17 | P a g e
c. Mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.

d. Memberikan pendidikan karakter dan penanaman nilai budi pekerti pada

anak. 20

Berdasarkan peraturan pemerintah RI No. 21 Tahun 1994 mengenai

penyelenggaraan pembangunan keluarga sejahtera telah dirumuskan delapan

fungsi keluarga, salah satu fungsi sosialisasi dan pendidikan bahwa peran

keluarga adalah untuk mendidik keturunan agar bias melakukan penyesuaian

dengan alam kehidupannya di masa yang akan datang.

Sudah seharusnya perkawinan di bawah umur harus dilihat sisi mana

yang lebih berat bahayanya, serta manfaat dan madharat yang ditimbulkan

antara membolehkan dan melarangnya.

F. Metode Penelitian
1. Jenis penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian literatur

2. Sifat penelitian

Penelitian ini bersifat diskriptif analisis, maka data yang digunakan

adalah data kualitatif yaitu data yang berbentuk suatu penjelasan yang

menerangkan keadaan dan pengkajian yang bersumber dari bahan-bahan

yang berkaitan dengan tema pembahasan.

3. Sumber data

20
Pasal 26 UU. No 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.

18 | P a g e
Karena penelitian ini termasuk penelitian lapangan yang ditopang

kepustakaan maka peneliti memperoleh data yang diperlukan dari:

a. Sumber data primer, yaitu berupa sumber yang berasal data-data atau

informasi-informasi yang diperoleh dari penelitian lapangan yaitu

Pengadilan Agama Surakarta.

b. Sumber data sekunder, yaitu berupa sumber yang berasal melalui

bahan-bahan kepustakaan, undang-undang, KUHP, KHI, hasil-hasil

penelitian dan informasi-informasi yang secara tidak langsung

membahas tentang masalah perkawinan yang masih di bawah umur.

4. Analisis data

Untuk menganalisa data-data yang diperoleh dalam penelitian ini dengan

menggunakan metode diskriptif kualitatif, yaitu dengan memaparkan atau

menggambarkan data-data yang diperoleh kemudian disusun secara

sistematis. Kemudian akan ditarik kesimpulan dengan menggunakan

metode:

a. Deduktif

Yaitu menggunakan kaidah, teori dan dalil yang relevan yang bersifat

umum bahwasanya bagaimana analisis hakim terhadap dispensasi

kawin seperti yang terdapat Undang-undang Perkawinan dan

Kompilasi Hukum Islam, dianalisis dengan kenyataan yang terjadi di

Pengadilan Agama Surakarta tentang analisis hakim terhadap

dispensasi kawin, kemudian diakhiri dengan kesimpulan yang bersifat

khusus.21

21
Sutrisno Hadi, Metodologi Research Jilid I, (Yogyakarta: Andi, 2001), hlm.42.

19 | P a g e
b. Induktif

Yaitu menggunakan data yang terdapat di Pengadilan Agama

Surakarta dan kemudian dianalisis dengan teori dan dalil yang bersifat

umum yang relevan dan diakhiri dengan kesimpulan bersifat umum.22

5. Metode pengumpulan data

Guna memperoleh hasil yang baik dan mengingat dalam penelitian

ini merupakan penelitian lapangan, maka untuk mengkaji permasalahan

dalam penyusunan skripsi ini metode pengumpulan data yang dipakai

adalah:

a. Wawancara

Yaitu pengumpulan data yang dilakukan melalui wawancara secara

lisan untuk mendapatkan informasi secara langsung dengan

mengungkapkan pertanyaan-pertanyaan pada responden.23

Teknik wawancara yang digunakan berpedoman pada wawancara tidak

terstruktur yaitu wawancara yang hanya memuat garis besar yang akan

ditanyakan,24 kepada Hakim yang masih bertugas di Pengadilan

Agama Surakarta. Sehingga wawancara dengan jenis ini banyak

tergantung dari kreatifitas pewawancara.

b. Dokumentasi

22
Ibid., hlm.42
23
P. Joko Subagyo, Metode Penelitian (Dalam Teori dan Praktek), (Jakarta: Penerbit
Rineka Cipta, 1997), hlm.39.
24
Suharsini Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: Penerbit
Rineka Cipta, 2002), hlm.20.

20 | P a g e
Yaitu cara memperoleh data dengan melihat dokumen yang ada

hubungannya dengan pokok permasalahan, dokumen dapat berupa

catatan-catatan atau arsip-arsip yang ada di Pengadilan Agama.

G. Sistematik Pembahasan
Dalam menyusun skripsi penulis menggunakan sistematika

penulisan sebagai berikut:

Bab I : Pendahuluan, yang terdiri dari latar belakang masalah, rumusan

masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, kerangka teori,

telaah pustaka dan sistematika penulisan.

Bab II : Membahas mengenai tinjauan umum tentang konsep perkawinan

bawah umur dan konsep nikah bawah umur.

Bab III : Membahas tentang kasus yang terjadi di Pengadilan Agama

Surakarta tentang perkara dispensasi kawin hamil anak di bawah umur

tahun 2016 dan membahas gambaran Pengadilan Agama Surakarta.

Bab IV : Merupakan analisa dan pembahasan putusan Hakim terhadap

perkara dispensasi kawin hamil anak di bawah umur tahun 2016

Pengadilan Agama Surakarta.

Bab V : Sebagai penutup yang mengetengahkan kesimpulan akhir dari

skripsi dan saran-saran yang ada kaitannya dengan pokok permasalahan.

21 | P a g e
Daftar Pustaka

Abdurrahman, 1995, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta:CV.


Akademik Pressindo.

Abdul Rahman Ghozali, 2010, Fiqh Munakahat, Jakarta; Kencana Prenada Media
Group.

Abd. Shomad, 2010, Hukum Islam: Penormaan Prinsip Syariah Dalam Hukum
Indonesia, Jakarta, Kencana Prenada Media Group.

Ali Hasan, 2003, Pedoman Hidup Berumah Tangga dalam Islam, Jakarta: Siraja.

Dadan Muttaqien, 2006, Cakap Hukum Bidang Perkawinan dan Perjanjian,


Yogyakarta: Penerbit Insani Citra Press.

22 | P a g e
Depag RI, Ilmu Fiqh II, Sayyid Sabiq, op.cit..

Departement Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Departemen Agama R.I, Kompilasi Hukum Islam.

M. Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional.

Moh. Idris Ramulyo, 2002, Hukum Perkawinan Islam (Studi Analisis Dari
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam), Jakarta:
Bumi Aksara.

23 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai