Anda di halaman 1dari 26

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA TENTANG AKIBAT HUKUM PERKAWINAN


YANG TIDAK DICATATKAN TERHADAP STATUS ANAK KANDUNG

A. Pengertian Perkawinan

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan

bahwa “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang

wanita dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia

dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.1 Sedangkan menurut

Kompilasi Hukum Islam (KHI) perkawinan adalah “Akad yang sangat kuat

atau mitsaqan ghalidzhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya

merupakan ibadah”.2

Perkawinan telah menjadi sunatullah yang berlaku bagi seluruh makhluk

ciptaannya, baik itu manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan. Semua makhluk

telah diciptakan berpasang-pasangan oleh Allah SWT. Dalam firman Allah

SWT pada Q.S. Al-Dzariyat ayat 49 telah dijelaskan bahwa Allah telah

menciptakan segala sesuatunya secara berpasang-pasangan, Allah SWT

berfirman:

َ‫ش ْيءٍ َخلَ ْقنَا زَ ْو َجي ِْن لَ َعلَّ ُك ْم تَذَ َّك ُر ْون‬
َ ‫َو ِم ْن ُك ِل‬

1
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan
2
Zaenuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2012), hlm.7

25
26

Artinya; “Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan agar kamu

mengingat (kebesaran Allah)”. (QS. Al-Dzariyat: 49)3

Perkawinan adalah perintah Allah kepada setiap hambanya yang telah

mampu untuk segera melaksanakannya karena perkawinan merupakan salah

satu cara untuk menghindari diri dari kemaksiatan. Akan tetapi jika hamba

tersebut belum memiliki kemampuan secara fisik ataupun materil untuk

melangsungkan perkawinan maka Rasulullah SAW menganjurkan umatnya

untuk berpuasa Karena orang yang berpuasa akan memiliki penghalang untuk

tidak melakukan perilaku tercela seperti perzinahan dan lain sebagainya.4

Perkawinan dalam literatur fiqih biasa disebut dengan dua kata, yaitu Zawaj

dan Nikah. Kedua istilah ini banyak ditemukan di dalam kitab suci Al-Qur’an

dan juga Hadits-Hadits Nabi Muhammad SAW.5 Kata nikah merupakan bentuk

mashdar dari kata “Nakaha-Yankihu-Nikah” yang pada asalnya berarti

“bersetubuh” dan “berkumpul”. Kata nikah sangat banyak disebut di dalam Al-

Qur’an, seperti pada Q.S An-Nisa ayat 3:

َ ‫س ۤا ِء َمثْ ٰنى َوث ُ ٰل‬


‫ث َو ُر ٰب َع ۚ فَا ِْن‬ ِ َ‫اب لَ ُك ْم ِمن‬
َ ‫الن‬ َ ‫ط‬َ ‫ط ْوا ِفى ْال َي ٰتمٰ ى فَا ْن ِك ُح ْوا َما‬
ُ ‫َوا ِْن ِخ ْفت ُ ْم ا َ ََّّل ت ُ ْق ِس‬

‫ت ا َ ْي َمانُ ُك ْم ۗ ٰذ ِل َك اَد ْٰنٰٓى ا َ ََّّل تَعُ ْولُ ْو ۗا‬ ِ ‫ِخ ْفت ُ ْم ا َ ََّّل ت َ ْع ِدلُ ْوا َف َو‬
ْ ‫احدَة ً ا َ ْو َما َم َل َك‬

3
Kementerian Agama RI, Ar-Rahim Al-Qur’an dan Terjemahan, (Bandung: Mikraj Khazanah Ilmu,
2014), hlm. 108
4
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2014), hlm. 7.
5
Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Isam di Indonesia (Jakarta: Prenada Media Grup,2006) hlm 35
27

Artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-

hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah

wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga, atau empat, kemudian jika

kamu takut tidak akan dapat berlaku adil maka (kawinilah) seorang saja”.6

Perkawinan secara bahasa memiliki dua arti, yaitu arti yang sebenarnya dan

juga arti kiasan. Arti yang sebenarnya dari perkawinan adalah mengumpulkan,

memegang, menggenggam, menyatukan, menyandarkan, dan menggabungkan.

Sedangkan pengertian perkawinan menurut ensiklopedi Indonesia adalah akad

yang mengahalalkan pergaulan antara seorang pria dengan seorang wanita yang

pada awalnya mereka bukan muhrim dan dilakukan dengan ijab qobul.7

Perkawinan menjadi hal yang sangat sakral karena secara hukum peristiwa

tersebut akan menyatukan dua orang yang berbeda menjadi sebuah pasangan

yang utuh.

Perkawinan menjadi salah satu asas pokok hidup dalam pergaulan atau

dalam masyarakat yang sempurna. Perkawinan dapat dipandang sebagai satu

jalan menuju pintu perkenalan dari satu golongan dengan golongan lainnya

yang mana perkenalan tadi akan menjadi pintu untuk menyampaikan serta

memberikan pertolongan santara satu dengan yang lainnya. Istilah perkawinan

sering dihubung-hubungkan dengan persetubuhan, terlepas dari makna

6
Kementerian Agama RI, Ar-Rahim Al-Qur’an dan Terjemahan, (Bandung: Mikraj Khazanah Ilmu,
2014), hlm. 56
7
Hasan Sadily, Ensiklopedi Indonesia,( Jakarta: Ichtiar Baru, 1980) hlm 2388
28

etimologis nya, masih ada beberapa definisi yang lebih luas memaknai

perkawinan dalam konteks hubungan badan yang akan diuraikan dibawah ini;

Menurut istilah hukum Islam: ada perbedaan pendapat dari beberapa

kalangan ulama mengenai makna ushuli dari perkawinan, beberapa pendapat

itu kemudian dibagi menjadi tiga. Pendapat pertama adalah perkawinan

hakikatnya adalah watha yang artinya bersenggama sedangkan makna majaz

nya adalah akad. Pendapat kedua menyebutkan bahwa makna hakikat dari

perkawinan adalah akad dan makna majaz nya adalah watha. Pendapat pertama

dan pendapat kedua merupakan kebalikan atau lawan dari pengertian

kelompoknya masing-masing menurut sudut pandang bahasa. Sedangkan

pendapat ketiga mengatakan bahwa makna hakikat dari perkawinan adalah

musytarak yang artinya gabungan dari penegertian akad dan watha.

Menruut madzhab Maliki, perkawinan adalah akad yang didalamnya

terkandung ketentuan hukum yang semata-mata hanya untuk membolehkan

watha atau bersenggama, bersenang-senang dengan lawan jenis. Golongan

Syafi’iyah berpendapat bahwa perkawinan adalah akad yang mengandung

ketentuan hukum kebolehan untuk watha dengan menggunakan lafadz tazwij

atau yang semakna dengan keduanya. Sedangkan golongan Hanafiyah

mendefinisikan perkawinan sebagai akad yang berfaidah untuk memiliki,

bersenang-senang dengan sengaja.


29

Dari tiga pandangan diatas dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa para

ulama terdahulu memandang perkawinan hanya dari satu sisi saja yaitu

kebolehan hukum antara seorang pria dengan seorang wanita untuk

berhubungan yang pada hukum asalnya adalah dilarang. Oleh sebab itu para

mujtahid (orang yang telah memiliki kemampuan untuk berijtihad) bersepakat

bahwa nikah itu adalah hal yang dianjurkan syari’at. Bahkan orang yang sudah

memiliki keinginan serta kemampuan untuk menikah dan jika tidak menikah

ditakutkan akan terjerumus kedalam kemaksiatan maka orang tersebut sangat

dianjurkan untuk melangsungkan perkawinan. Istimewanya sebuah perkawinan

ialah ia menjadi salah satu sunatullah yang tidak hanya berlaku bagi umat

manusia saja, tapi hewan dan tumbuh-tumbuhan pun pasti melangsungkan

perkawinan.8

Dala kitab Fiqh Al-Sunnah Sayyid Sabiq mengatakan bahwa perkawinan

merupakan sunatullah yang berlaku bagi seluruh makhluk ciptaannya baik itu

manusia, hewan, ataupun tumbuhan. Perkawinan merupakan salah satu cara

ataupun jalan bagi manusia untuk berkembang biak serta untuk melestarikan

kehidupannya dengan konsekuensi memiliki hak dan kewajiban untuk

menciptakan keharmonisan dalam rumah tangga yang sesuai dengan tujuan

perkawinan. Demi menjaga martabat dan kehormatan manusia, Allah

8
Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Isam di Indonesia (Jakarta: Prenada Media Grup,2006) hlm.
37-38
30

memberikan hukum sesuai dengan martabatnya, hingga laki-laki dan

perempuan memiliki hubungan yang berdasarkan aturan-atiran yang baik dan

diatur secara terhormat berdasarkan sifat saling meridhai, dan juga dalam

melaksanakan hubungan antara laki-laki dan perempuan harus dihadiri oleh

saksi yang melihat bahwa pasangan tersebut telah memiliki ikatan.9

Perkawinan bukan hanya menjadi urusan pribadi yang bersangkutan saja,

melainkan perkawinan menjadi urusan keluarga, kerabat, serta masyarakat. Hal

inilah yang melatarbelakangi para fuqaha (ahli fiqih) untuk mewajibkan adanya

wali dan juga saksi dalam proses perkawinan tersebut. Ini menunjukan bahwa

perkawinan bukan hanya menjadi urusan pribadi saja, lebih dari itu perkawinan

juga menjadi urusan keluarga dan masyarakat.10 Esensi dari sebuah perkawinan

dalam syariat agama Islam yaitu mentaati perintah Allah SWT dan

melaksanakan Sunnah Rasul-Nya, yaitu menciptakan kehidupan rumah tangga

yang harmonis serta mampu mendatangkan kemaslahatan bagi pelaku

perkawinan itu sendiri, anak turunannya, kerabat, serta masyarakat. Oleh

karena itu perkawinan disebut juga sebagai suatu perikatan yang kokoh

(mitsaqan ghalidzan).11

Selain pentingnya nilai-nilai moral ketentraman dan kasih sayang, Islam

tidak berhenti sampai disini saja. Islam memperluas pengertian serta peranan

9
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), hlm. 10.
10
Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), hlm. 87
11
Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), hlm. 13
31

fungsi dari perkawinan ini dengan sangat gamblang seperti yang akan diuraikan

di bawah ini;

1. Cara untuk memperoleh keturunan yang sah.

2. Mempunyai fungsi sosial.

3. Merupakan alat untuk memenuhi kebutuhan emosi dan seksual yang

sah dan benar.

4. Mendekatkan hubungan antar keluarga dan solidaritas kelompok.

5. Suatu mekanisme untuk mengurangi ketegangan.

6. Merupakan perbuatan menuju takwa merupakan sebuah bentuk

ibadah, yaitu pengabdian kepada Allah dan mengikuti sunnah

Rasulullah SAW.

Dengan gamblangnya Islam mendefinisikan tentang perkawinan. Jadi

perkawinan itu tidak hanya berkaitan dengan hubungan seksual saja, lebih dari

itu perkawinan bisa mencakup berbagai macam aspek yang lainnya seperti apa

yang telah peneliti jelaskan di atas.

A. Syarat Perkawinan

Perkawinan merupakan salah satu hubungan manusia dalam hal

keperdataan, akan tetapi memiliki nilai ibadah dalam melaksanakannya. Oleh

sebab itu, Allah SWT memberikan penegasan bahwa perkawinan ini sebagai

akad yang kuat atau mitsaqan gholidzan untuk mentaati perintah-Nya dan
32

menjalankannya merupakan ibadah. Demikian bagi setiap manusia yang

memiliki keinginan untuk melaksanakan perkawinan perlu di atur dengan

syarat dan rukun yang sesuai dengan hukum syara’, agar tujuan

dilaksanakannya perkawinan tercapai.

Syarat adalah suatu hal yang harus dipersiapkan atau harus ada sebelum

dilaksanakannya proses akad nikah dan setiap rukun juga harus memenuhi

syarat-syaratnya. Syarat-syarat perkawinan pada dasarnya ada dua, yaitu syarat

Lazimiyyah, dan syarat Tahsiniyyah.

1. Syarat Lazimiyyah, adalah syarat yang diharuskan ada, baik syarat

tersebut ada pada pihak calon mempelai pria dan calon mempelai wanita

dan juga pada pihak yang menyelenggarakan akad nikah.

Disyaratkan dapat sah nya suatu akad nikah apabila dihadiri oleh empat

orang, yaitu:

a. Wali

b. Hadirnya Calon suami dan isteri

c. Hadirnya dua saksi dari pihak kedua mempelai

d. Apabila adanya pihak yang berhalangan hadir maka dapat

digantikan kepada orang yang memenuhi syarat sebagai wakil.


33

2. Syarat Tahsiniyyah, adalah syarat yang dapat menambah kesempurnaan

dalam perkawinan, meskipun syarat tahsiniyyah ini tidak diharuskan

untuk dilakukan. Syarat tersebut meliputi:

a. Hantaran dan Hadiah-Hadiah atau Seserahan

b. Khitbah, termasuk juga lamaran, melihat calon mempelai wanita

dan pria, perkenalan (Ta’aruf)

c. Mengikuti adat istiadat daerah tertentu yang tidak bertentangan

dengan syariat agama Islam.

B. Rukun Perkawinan

Perkawinan yang memiliki nilai dan tujuan untuk menciptakan

kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, warahmah, maka perlu

adanya Rukun dan Syarat yang telah mengatur perihal perkawinan ini. Unsur

pokok suatu perkawinan adalah laki-laki dan perempuan yang akan

melaksanakan perkawinan, akad nikah, wali melangsungkan akad dengan calon

suami dan adanya dua orang saksi yang menyaksikan akad nikah tersebut.

Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam menentukan aturan mengenai

ketentuan kawin yang berbunyi: “untuk melaksanakan perkawinan harus ada:

calon suami, calon isteri, wali nikah, dua orang saksi, dan ijab qabul”. Ulama

madzhab Syafi’iyah menyatakan bahwa rukun nikah ada lima, yaitu:


34

1. Calon mempelai laki-laki

Calon mempelai laki-laki disini yaitu calon suami, yang mana calon

suami ini memiliki syarat yang memang harus dipenuhi. Di antaranya syarat

tersebut adalah calon suami bukan mahram daricalon isteri, mengatasdasarkan

kemauan sendiri untuk menikah tanpa adanya paksaan, dan tidak sedang

menjalankan ihram haji maupun umroh.12

2. Calon mempelai perempuan

Maksud dari calon mempelai perempuan adalah calon isteri, seorang

perempuan boleh dinikahi asalkan tidak bertentangan dengan syar’i dan

perkawinan yang sah adalah antara seorang laki-laki dan perempuan selain itu

perkawinan tidak sah. Sebagaimana Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an

surah An-Nur ayat 32 yang berbunyi;

‫صا ِل ِحينَ ِم ْن ِع َبا ِد ُك ْم َو ِإ َمائِ ُك ْم ۚ ِإ ْن َي ُكونُوا فُقَ َرا َء يُ ْغنِ ِه ُم‬َّ ‫َوأ َ ْن ِك ُحوا ْاْل َ َيا َم ٰى ِم ْن ُك ْم َوال‬
‫ع ِليم‬ َ ‫ض ِل ِه ۗ َواللَّهُ َوا ِس ٌع‬ ْ َ‫اللَّهُ ِم ْن ف‬
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan orang-orang

yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-

hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan

menumpukan mereka dengan karunia-Nya. dan Allah Maha Luas Lagi Maha

mengetahui”13.

12
Alhamdani, Risalah Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Pustaka Amani, 2002), hlm.87
13
Kementerian Agama RI, Ar-Rahim Al-Qur’an dan Terjemahan, (Bandung: Mikraj Khazanah Ilmu,
2014), hlm. 288
35

3. Adanya Wali dari mempelai perempuan

Pada dasarnya wali hanya diwajibkan bagi pihak mempelai perempuan

dan yang menjadi walinya adalah ayah kandungnya yang sah secara agama dan

aturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Perihal wali memiliki

dua kategori yaitu: wali aqrob dan wali ab’ad, menjadi wali tentunya harus

memenuhi syarat di antaranya beragama Islam, baligh, merdeka, sehat, berakal,

dewasa, bukan anak kecil karena tidak boleh menjadi wali. Sebagaimana hadist

Nabi Muhammad SAW yang berbunyi:

ُّ ‫ى ثنا ُم َحمدُ ب ُْن َم ْر َوان العُقَ ْي ِل‬


َ‫ي ثنا ِهشَا ُم اب ُْن َحسَّان‬ َ ‫َحدَثَنَا َج ِم ْي ُل ب ُْن ْال َح‬
ٌ ‫س ِن ال َعتَ ِك‬
َ ‫سلَّ ْم‬
‫"َّل تُزَ ِو ُج‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ ُ ‫ قَ َل َر‬:‫ع ْن ُم َح َّمد ُ ب ُْن ِسي ِْريْنَ َع ْن أبِى ُه َري َْرة َ قَ َل‬
َ ‫س ْو ُل الل ِه‬ َ
‫س َها (رواه‬ َ ‫ي ال ِتي تُزَ ِو ُج نَ ْف‬ َ ‫س َها فَ ِأنَّهُ الز ِنيَةَ ِه‬َ ‫وَّلَ تُزَ ِو ُج ْال َم ْرأَة ُ نَ ْف‬.
َ ُ ‫اْل َم ْرأَة ُ ْال َم ْرأَة‬
)‫ابن ماجه‬

“Telah menceritakan kepada Jamil bin Hasan Al-Atakiy, telah


menceritakan kepada kami Muhammad bin Marwan Alal-Uqaylil:
Telah menceritakan kepada kami Hisyam bin Hasan dari Muhammad
Bin Sirin dari Abu Hurairah berkata: Rasulullah Saw bersabda
“janganlah seorang perempuan menikahkan perempuan lainnya, dan
janganlah seorang perempua menikahkan dirinya sendiri.
Sesungguhnya seorang pezina adalah yang menikahkan dirinya
sendiri”. (H.R. Ibnu Majah)14
4. Adanya dua orang saksi

Ulama madzhab syafi’iyah menjelaskan bahwa dua orang saksi

haruslah adil. Ketika perkawinan disaksikan oleh dua orang yang mana saksi

14
Muhammad Fu’ad Abdullah Baqi, Sunan Ibnu Majah, (Jakarta: Gema Insani, 2016), hlm. 605
36

tersebut belum diketahui mereka adil atau tidaknya maka perkawinan tetap

dianggap sah. Karena perkawinan dapat terjadi dimana-mana baik kota maupun

kampung-kampung terpencil. Maka berdasarkan itu melihat orang adil atau

tidaknya dari lahiriah nya maka disitu bisa melihat kefasiqannya, bilamana

dikemudian hari kefasiqannya muncul atau tiba-tiba terlihat setelah

melaksanakan akad nikah maka dapat dilanjutkan saja proses perkawinannya

dalam artian hukumnya tetap sah.15 Sebagaimana hadist Nabi Muhammad

SAW yang berbunyi;

ُ ‫ َع ْن‬،‫الز ْه ِرى‬
،َ ‫ع ْر َوة‬ ُ ‫ع ْن‬
َ ،ِ‫ع ْن َح َّجاج‬ ِ ‫َحدَّثَنَا أَبُو ُك َر ْي‬
َ َ‫ َع ْبد ُ الل ِه ب ُْن ال ُمب‬.‫ب‬
َ ،‫ار ِك‬
:‫ قَ َل‬،‫َّاس‬ َ ،َ‫ع ْن ِع ْك ِر َمة‬
ِ ‫ع ْن اب ِْن َعب‬ ً ‫ َو‬،‫سل ْم‬ َ ُ‫صلَّى الله‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ ،َ‫شة‬
َ ‫ع ِن الن ِبي‬ َ ‫ع ْن‬
َ ِ‫عائ‬ َ
‫ع ْد ٍل (روه ابن‬
َ ‫ي‬ َ ‫"َّل ِن َكا َح ا ََِّّل ِب َو ِلي ِ َو‬
ْ َ‫ش ِهد‬ َ ُ ‫صلَّى الله‬
َ ‫ع َل ْي ِه َو‬
َ ‫سل ْم‬ ُ ‫قَ َل َر‬
َ ‫س ْو ُل الله‬
)‫ماجه‬

“Telah menceritakan kepada saya Abu Quroib, telah menceritakan dari

Abdullah bin Mubarak dari Hajjaj dari Az-Zuhri dari Urwah dari Aisyah

dari Rasulullah SAW dari Ikrimah dari Ibnu Abbas keduanya berkata:

Rasulullah SAW bersabda: jangan menikah tanpa wali dan dua orang saksi.

(H.R. Ibnu Majah)16

5. Ijab dan Qabul

15
Slamet Abidin dan Aminudin, Fiqh Munakahat Juz 1, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), hlm. 102
16
Ibnu Hajar Al-Asqalani, Bulugh Al-Maram, (Beirut: subulus salam), hlm. 106
37

Ketetapan perkawinan tentunya penting aka tetapi yang paling penting

dari perkawinan adalah proses ijab dan qabul, karena ini merupakan hal

yang paling sakral dalam proses akad nikah dimana serah terima dari wali

mempelai perempuan kepada mempelai laki-laki. Perasaan ridha sesuai

bagaimana ini tidak bisa diterawang melalui mata atau hati maka harus

adanya pengucapan secara nyata melalui lisan sebagai bukti

mengekspresikan perasaan tersebut. Pengucapan tersebut diutarakan

melalui prosesi ijab dan qabul.17

C. Dasar Hukum Perkawinan

Jumhur Ulama berpendapat bahwa hukum perkawinan itu adalah sunnah, hal

ini disandarkan pada banyaknya anjuran dari Allah SWT dan Rasulullah SAW

dalam Al-Qur’an dan juga hadits untuk melangsungkan perkawinan.18 Allah

SWT berfirman di dalam Q.S An-Nur ayat 32 yang berbunyi:

۟ ُ‫ص ِل ِحينَ ِم ْن ِع َبا ِد ُك ْم َو ِإ َما ٰٓ ِئ ُك ْم ۚ ِإن َي ُكون‬


‫وا فُقَ َرآٰ َء يُ ْغنِ ِه ُم‬ ۟ ‫َوأَن ِك ُح‬
َّ ٰ ‫وا ْٱْل َ ٰ َي َم ٰى ِمن ُك ْم َوٱل‬

َ ‫ض ِلِۦه ۗ َوٱللَّهُ ٰ َو ِس ٌع‬


‫ع ِلي ٌم‬ ْ َ‫ٱللَّهُ ِمن ف‬

Artinya: “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendiri an diantara kamu, dan

orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki

dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan

17
Muhammad Fu’ad Abdullah Baqi, Sunan Ibnu Majah, (Jakarta: Gema Insani, 2016), hlm.606
18
Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, hlm 38
38

memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-

Nya) lagi Maha Mengetahui.”19

Allah SWT juga berfirman dalam Q.S. An-Nisa Ayat 3:

َ ‫س ۤا ِء َمثْ ٰنى َوث ُ ٰل‬


ۚ ‫ث َو ُر ٰب َع‬ َ ِ‫اب َل ُك ْم ِمنَ الن‬ َ ‫ط‬ َ ‫ط ْوا فِى ْاليَ ٰتمٰ ى فَا ْن ِك ُح ْوا َما‬ ُ ‫َوا ِْن ِخ ْفت ُ ْم ا َ ََّّل ت ُ ْق ِس‬
‫ت ا َ ْي َمانُ ُك ْم ۗ ٰذ ِل َك اَد ْٰنٰٓى ا َ ََّّل تَعُ ْولُ ْو ۗا‬ ِ ‫فَا ِْن ِخ ْفت ُ ْم ا َ ََّّل تَ ْع ِدلُ ْوا فَ َو‬
ْ ‫احدَة ً ا َ ْو َما َملَ َك‬
Artinya: “Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil
terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka
kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi; dua, tiga, atau empat.
Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah)
seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah
lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”20

Selain tertera di dalam Al-Qur’an, anjuran ini juga terdapat di dalam

Hadits Nabi Muhammad SAW, seperti beberapa hadits di bawah ini:

‫ َو َم ْن لَ ْم يَ ْستَ ِط ْع فَعَ َل ْي ِه‬، ْ‫ع ِم ْن ُك ُم البَا َءة َ فَ ْليَت َزَ َّوج‬ َ َ‫ب َم ِن ا ْست‬
َ ‫طا‬ َّ ‫يَا َم ْعش ََر ال‬
ِ ‫شبَا‬

‫ص ْو ِم فَإِنَّهُ لَهُ ِو َجا ٌء‬


َّ ‫ِبال‬

Artinya: “Wahai sekalian pemuda, siapa diantara kalian yang telah

mempunyai ba’ah, maka hendaklah ia menikah, dan barangsiapa yang belum

19
Kementerian Agama RI, Ar-Rahim Al-Qur’an dan Terjemahan, (Bandung: Mikraj Khazanah Ilmu,
2014), hlm. 288
20
Kementerian Agama RI, Ar-Rahim Al-Qur’an dan Terjemahan, (Bandung: Mikraj Khazanah Ilmu,
2014), hlm. 56
39

mampu, hendaklah ia berpuasa karena hal itu akan lebih meredakan

gejolaknya.” (H.R.Al-Bukhori)21

Asal hukum nikah itu adalah mubah (boleh). Hal ini sesuai dengan

firman Allah SWT di dalam Al-Qur’an Surah An-Nur ayat 32 yang berbunyi:

‫ص ِل ِحيْنَ ِم ْن ِعبَا ِد ُك ْم َواِ َم ۤا ِٕى ُك ۗ ْم ا ِْن يَّ ُك ْونُ ْوا فُقَ َر ۤا َء يُ ْغ ِن ِه ُم‬
ّٰ ‫َوا َ ْن ِك ُحوا ْاَّلَيَامٰ ى ِم ْن ُك ْم َوال‬

َ ‫ض ِل ۗه َواللّٰهُ َوا ِس ٌع‬


‫ع ِل ْي ٌم‬ ْ َ‫اللّٰهُ ِم ْن ف‬

Artinya: “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu,


dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang
lelaki dan jamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah
akan memampukan mereka dengan karunia-Nya dan Allah Maha Luas
(pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.”22

Walaupun asal hukum perkawinan itu adalah mubah (boleh), tapi

hukum tersebut bisa berubah menjadi haram, wajib, makruh, dan sunnah sesuai

dengan keadaan dari calon pengantin tersebut. Perubahan hukum tersebut akan

berubah jika:

a. Haram: Orang yang belum mampu untuk menafkahi lahir (membiayai

kebutuhan rumah tangga) dan batin (impoten). Hal tersebut menyebabkan

perkawinan itu haram baginya karena dikhawatirkan akan menyakiti perasaan

perempuan yang dinikahinya.

21
Ibnu Hajar Al-Asqalani, Bulugh Al-Maram, (Beirut: subulus salam), hlm. 213
22
Ibnu Hajar Al-Asqalani, Bulugh Al-Maram, (Beirut: subulus salam), hlm. 354
40

b. Wajib: Jika orang tersebut sudah merasa mampu untuk menafkahi lahir

(membiayai kebutuhan rumah tangga) dan batin (tidak impoten), serta ada

keinginan untuk segera membina rumah tangga karena jika tidak disegerakan

dikhawatirkan akan terjerumus kedalam perbuatan dosa atau zina. Dihukumi

wajib karena menjaga diri untuk tidak jatuh kedalam perbuatan dosa (haram)

itu wajib hukumnya.

c. Makruh: Orang yang tidak dapat memenuhi kebutuhan nafkah lahir dan batin

tetapi hal itu tidak sampai menyusahkan pasangannya (pihak perempuan). Jika

perempuan tersebut berasal dari keluarga berada dan kebutuhan biologisnya

tidak terlalu dijadikan sebuah patokan sebuah tuntutan yang harus dipenuhi,

maka hukum yang menimpa orang tersebut adalah makruh untuk melakukan

sebuah perkawinan sebab walau bagaimanapun nafkah lahir dan juga batin itu

menjadi kewajiban bagi seorang suami, baik di minta ataupun tidak oleh istri.

d. Sunnah: Jika seseorang telah mampu menafkahi secara lahir dan batin serta

sudah memiliki keinginan untuk membina rumah tangga, tetapi keinginan nikah

itu tidak dikhawatirkan akan menyebabkan dirinya terjerumus kedalam

perbuatan dosa atau zina maka hukum bagi orang tersebut untuk

melangsungkan perkawinan adalah sunnah.23

23
M. Ali Hasan, Pedoman Hidup Beruma Tangga Dalam Islam, (Jakarta: Penada Media, 2003), hlm.
7-10
41

D. Hukum Perkawinan yang Tidak Dicatatkan

a. Menurut Syari’at Islam

Perkawinan yang tidak dicatatkan menurut ajaran agama islam

hukumnya adalah sah jika seluruh syarat dan rukun perkawinan telah

terpenuhi. Pada dasarnya, jika perkawinan tersebut telah memenuhi syarat

dan rukun perkawinan yang sudah disepakati oleh ulama dan tidak

bertentangan dengan sunnah Nabi maka hukumnya adalah sah. Namun,

praktik perkawinan tidak dicatatkan ini bertentangan dengan anjuran Nabi

SAW untuk memberikan pengumuman kepada masyarakat luas agar tidak

terjadi fitnah dikemudia hari atau dalam istilah ajaran islam ini disebut

dengan Walimah.

Terdapat perbedaan pendapat dari kalangan ulama tentang praktik

perkawinan tidak dicatatkan ini, berikut adalah perbedaan pendapatnya:

1. Madzhab Hanafiyah dan madzhab Hambaliyah mengatakan bahwa

jika syarat dan rukun perkawinan terpenuhi maka perkawinan

tersebut sah menurut syar’i walaupun dilakukan secara diam-diam

dan tanpa melakukan pencatatan.

2. Madzhab Malikiyah tidak membolehkan praktik perkawinan seperti

ini sebab pasangan tersebut bisa dikenakan had (rajam) jika terjadi
42

praktik hubungan seksual da nada keterangan dari empat orang

saksi.24

Pencatatan perkawinan bertujuan untuk menertibkan administrasi

dalam kehidupan bernegara, namun jika perkawinan tersebut dihadiri

oleh dua orang saksi maka menurut agama Islam dihukumi sah. Pada

prinsipnya, fungsi dari pencatatan perkawinan ini adalah untuk

mendapatkan bukti fisik (bayyinah) dalam bentuk akta perkawinan atau

buku nikah untuk membuktikan bahwa dirinya dan pasangannya telah

melangsungkan perkawinan. Sebab satu-satunya bukti fisik yang

berlaku dan memiliki kekuatan hukum adalah akta nikah atau buku

nikah yang dikeluarkan oleh Pegawai Pencatatan Perkawinan (PPN).

Bukti ini berfungsi sebagai alat bukti dihadapan majelis hakim ketika

terjadi sebuah sengketa antara pasangan tersebut, maupun sengketa

lainnya yang berkaitan dengan perkawinan. Selain bukti tertulis, aturan

syari’at telah menjabarkan beberapa bukti lainnya seperti pengakuan

dari saksi-saksi yang hadir dan menyaksikan perkawinan tersebut dan

ada juga pengakuan dari pasangan tersebut (iqrar). Berdasarkan

penjelasan tersebut maka pasangan yang melakukan perkawinan yang

tidak dicatatkan menurut syar’i masih bisa memiliki hubungan

24
Wahbah al-Zuhaili, Fiqh al-Islam wa ‘Adillatuh, Juz VIII, (Cet. III; Beirut: Dar al-Fikr, 1989), hlm.
71
43

pewarisan yang sah dan hubungan-hubungan lahir lainnya. Negara tidak

boleh menolak kesaksian saksi-saksi yang hadir pada pelaksanaan

perkawinan tersebut hanya karena perkawinan tersebut tidak dicatatkan

di PPN. Keterangan saksi yang telah diambil sumpah oleh hakim bisa

menjadi bukti bagi si pasangan tersebut bahwa mereka telah

melangsungkan perkawinan.

Dalam ajaran agama islam, yang menentukan perkawinan tersebut

dikatakan sah atau tidak adalah tentang terpenuhi atau tidaknya rukun

serta syarat nikah. Rukun nikah menurut agama islam ada 5 (lima),

yaitu:

a. Suami, yaitu harus adanya calon suami jika akan

melangsungkan perkawinan.

b. Istri, yaitu harus adanya calon istri jika akan melangsungkan

perkawinan.

c. Saksi, yaitu orang yang ikut serta menghadiri prosesi

perkawinan tersebut. Dibutuhkan dua orang saksi agar

perkawinan tersebut bisa dikatakan sah.

d. Wali, yaitu orang yang memiliki hak atau wewenang untuk

menikahkan seorang perempuan dengan seorang laki-laki.

Dalam hal ini yang berperan menjadi wali biasanya adalah ayah

dari si mempelai perempuan, atau jika berhalangan bisa juga


44

menggunakan wali hakim untuk menggantikan peran sang ayah

tersebut.

e. Akad (Ijab dan Qobul), yaitu proses penyerahan seorang

perempuan kepada seorang laki-laki yang dilakukan oleh wali.

Apabila semua rukun itu terpenuhi maka perkawinan tersebut

dinyatakan sah. Namun dalam perkembangannya, ternyata hal itu saja tidak

cukup. Banyak terjadi ketidakjelasan status perkawinan ketika dipertanyakan

karena mereka tidak memiliki bukti kuat yang bisa membuktikan bahwa

mereka telah melangsungkan perkawinan. Berangkat dari hal tersebut, maka

pemerintah Republik Indonesia membuat aturan untuk menanggulangi

permasalahan tersebut. Dibuatlah aturan dalam Undang-Undang Nomor 1

tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 2 ayat (2) yang menyebutkan bahwa

“Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang

berlaku”. Aturan ini merupakan hasil ijma para wakil rakyat yang ditujukan

untuk kemaslahatan masyarakat Indonesia terutama dalam hal perkawinan.

Pembuatan aturan ini dibenarkan dalam hukum islam karena

menggunakan metode ushul fiqih dalam penggalian hukumnya yaitu dengan

menggunakan metode ijma dan maslahat mursalah. Agama islam juga

membenarkan tentang pencatatan perkawinan ini. Dalam kompilasi hukum

islam pasal 5 ayat (1) disebutkan bahwa “Agar terjamin ketertiban perkawinan

bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat”. Tujuan dari adanya
45

aturan ini pun sama seperti aturan pada undang-undang yaitu untuk

memberikan bukti autentik bagi pasangan tersebut bahwa mereka telah

melangsungkan perkawinan. Namun, dengan adanya pasal 2 ayat (2) Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan ini tidak berpengaruh

terhadap keabsahan perkawinan tersebut. Karena telah disebutkan dalam pasal

2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan bahwa

“Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing

agamanya dan kepercayaannya itu.”

Dari uraian-uraian di atas, maka dapat diambil kesimpulan mengenai

hukum dari perkawinan yang tidak dicatatkan adalah sah karena pencatatan

perkawinan tidak mempengaruhi sah atau tidaknya sebuah perkawinan. Pencatatan

hanya bersifat administratif untuk menertibkan dan mencegah adanya

permasalahan dikemudian hari.

E. Teori Maqashid Syari’ah

Maqashid al-Syari’ah berasal dari gabungan dua kata yaitu maqashid

dan al-syari’ah, maqashid berasal dari kata maqshud, qashd maqshd atau

qushud merupakan gabungan kata kerja qashada yaqshudu, memiliki banyak

arti seperti menuju suatu arah atau tujuan tengah yang adil serta tidak melewati

batasan jalan yang lurus. Syariah secara Bahasa adalah jalan yang lurus menuju

kearah sumber pokok kehidupan yang benar, sedangkan syariah menurut istilah

adalah al-mushuh al-muqasaddasah kalimat-kalimat atau tulisan yang suci dari


46

Al-qur’an dan Sunnah yang mutawwatir belum sama sekali tercampur oleh

pemikiran manusia biasa. Muatan yang terdapat didalam syariah ini yaitu

aqidah amaliyyah dan akidah khuluqiyyah, Maqashid al-Syari’ah mempunyai

istilah berkembang dari yang sederhana sampai menyeluruh. Ulama ahli ushul

fiqih mengidentifikasi bahwa terdapat hubungan yang erat antara maqashid al-

syari’ah dengan hikmah, ilat, niat, tujuan, serta kemaslahatan.25 Dalam istilah

lain maqashid al-syari’ah adalah maksud dan tujuan-tujuan Allah dan Rasul-

Nya dalam membuat ketetapan aturan hukum Islam. Ulama ushul fiqh

memberikan istilah Asrar al-Syari’ah artinya rahasia-rahasia pada hukum yang

ditetapkan oleh syariat Islam untuk mewujudkan suatu kemaslahatan pada umat

manusia agar mencapai kehidupan yang baik.26

Imam As-syatibi menjelaskan dalam kitabnya yang berjudul Al-

Muwafaqat ia berkata: “sekali-kali tidaklah syari’at dibuat terkecuali untuk

merealisasikan manusia di dunia mapun di akhirat untuk mencegah

kemafsadatan yang akan menimpa mereka”. Tujuan umum maqashid syari’ah

sendiri untuk merealisasikan kemaslahatan kehidupan manusia denagn baik dan

agar dapat menghindari kemadharatan. Sapiudin shidiq dalam bukunya ushul

fiqh memberikan penjelasan mengenai lima unsur yang memang harus

dipelihara kemaslahatan nya, yaitu: agama, jiwa, harta, akal, dan keturunan.27

25
Ahmad Imam Mawardi, Fiqh Minoritas Fiqh Al-Aqaliyyat dan Evolusi Maqashid Al-Syar’iah dari
Konsep ke Pendekatan, (Yogyakarta: Kiss Printing Cemerlang, 2010), hlm.179
26
Satria Effendi, Ushul Fiqh, (Jakarta: Pustaka Kencana, 2017), hlm.213
27
Saipudin Shidiq, Ushul Fiqh, (Jakarta: Pustaka Kencana, 2011), hlm. 230
47

Secara detai dijelaskan, sebagai berikut:

a. Hifz Ad-Din (memelihara agama)

Menjaga dan memelihara agama berdasarkan kepentingannya dapat


dibedakan menjadi tiga peringkat:

1. Memelihara agama dalam tingkat dharuriyat (Pokok), yaitu


memelihara dan melaksanakan kewajiban agama yang termasuk
tingkat primer seperti melaksanakan shalat lima waktu. Kalau shalat ini
diabaikan maka akan terancamlah keutuhan agama.
2. Memelihara agama dalam tingkat hajiyyat, yaitu melaksanakan
ketentuan agama dengan maksud menghindari kesulitan seperti shalat
jama’ dan qashar bagi orang yang berpergian. Kalau ketentuan itu tidak
dilaksanakan, maka tidak akan mengancam eksistensi agama
melainkan hanya mempersulit orang yang sedang dalam berpergian.
3. Memelihara agama dalam tingkat tahsiniyat, yaitu mengikuti petunjuk
agama dan menjunjung tinggi martabat manusia sekaligus melengkapi
pelaksanaan kewajibannya kepada Tuhan. Misalnya, menutup aurat
baik dalam shalat maupun diluar shalat, membersihkan pakaian, dan
badan. Kegiatan ini erat hubungannya dengan akhak terpuji. Jika hal
ini tidak dilakukan, maka tidak akan mengancam keutuhan agama dan
tidak mempersulit orang yang melakukannya. Artinya jika tidak ada
penutup aurat maka seseorang boleh saja shalat jangan sampa
meninggalkan shlat yang termasuk daruriyyat.

b. Hifz An-Nafs (memelihara jiwa)

Memelihara jiwa berdasarkan pada tingkatan kepentingannya dapat


dibagi kedalam 3 tingkat, yaitu:
48

1. Memelihara jiwa pada tingkat dharuriyat, seperti halnya memenuhi


kebutuhan hidup yang sifatnya pokok berupa bentuk makanan atau
minuman untuk tetap menjaga kelangsungan hidup. Apabila kebutuhan
pokok ini tidak terpenuhi maka akan mengancam kehidupan jiwa
manusia.
2. Memelihara jiwa pada tingkat hajiyyah, seperti halnya manusia
diperbolehkan mencari makan dan minum dengan berburu atau dapat
menikmati makanan yang enak. Apabila perilaku ini digunakan hanya
akan mempersulit hidupnya saja akan tetapi jika tidak dilakukan maka
akan mengancam eksistensi manusia.
3. Memelihara jiwa pada tingkat tahsiniyyah, seperti halnya membuat
aturan mengenai tata cara makan dan minum, hal ini berkaitan dengan
perilaku kesopanan dan tidak akan mengancam keberlangsungan hidup
manusia.
c. Hifz Al-Aql (memelihara akal)
Memelihara akal dapat dilihat dari segi kepentingannya maka dapat
dibagi kedalam 3 tingkatan, yaitu;
1. Memelihara akal pada tingkat dharuriyah, seperti halnya diharamkan
bagi manusia meminum alcohol atau minum-minuman keras yang
dapat memabukkan, apabila hal ini dilakukan maka akan
mengakibatkan tidak stabilnya akal.
2. Memelihara akal pada tingkat hajiyyah, seperti halnya menganjurkan
bagi setiap manusia untuk menimba ilmu pengetahuan, apabila hal ini
tidak dilakukan tidak akan mengancam akal akan tetapi akan menjadi
kesulitan bagi kehidupan seseorang.
3. Memelihara akal pada tingkat tahsiniyyah, seperti halnya manusia
memiliki impian dan kemudian berkhayal atau mendengar hal-hal yang
tidak ada faedahnya, hal ini tidak akan mengancam eksistensi akal itu
sendiri tapi hal ini berkaitan erat dengan etika.
49

d. Hifz An-Nasl (memelihara keturunan)

Memelihara keturunan dapat dilihat dari segi kepentingannya, maka


dapat dibagi pada 3 tingkatan, yaitu:

1. Memelihara keturunan pada tingkat dharuriyah, seperti halnya


disyariatkan bagi orang yang sudah mampu moril dan materil untuk
segera menikah agar tidak melakukan perilaku yang hina seperti
berzina, apabila hal ini tidak dilakukan maka akan mengancam
keutuhan keturunan,
2. Memelihara keturunan pada tingkat hajiyyah, seperti halnya
ditetapkannya manusia berikan hak untuk menyebutkan mahar pada
saat menikah serta hak talak bagi seorang laki-laki, apabila hal ini tidak
dilakukan makan berat bagi seorang suami karena harus membayar
mahar mitsil. Adapun mengenai talak suami akan kesuitan apabila ia
tidak menggunakan hak talaknya disaat keadaan rumah tangganya
sudah berada diujung tanduk perpisahan dan sudah tidak harmonis lagi.
3. Memelihara keturunan pada tingkat tahsiniyyah, seperti halnya
disyariatkan manusia untuk mengkhitbah (meminang) orang yang
dicintainya serta diperbolehkannya membuat acara walimah nikah, jika
hal ini dilakukan maka akan menjadi penyempurna saja dan apabila
tidak dilakukan tentu tidak mengancam keutuhan keturunan tetapi
hanya sedikit mempersulit.
e. Hifz al-Mal (memelihara harta)

Memelihara harta dapat dilihat dari segi kepentingannya, maka dapat


dibagi kedalam 3 tingkatan, yaitu:

1. Memelihara harta pada tingkatan dharuriyah, seperti halnya


ditetapkannya aturan tata cara kepemilikan harta serta dilarang untuk
50

merampas harta orang lain dengan cara paksaan atau tidak sah, apabila
hal ini tidak dipatuhi maka akan mengancam keutuhan harta.
2. Memelihara harta pada tingkat hajiyyah, seperti halnya disyariatkan
manusia untuk melakukan jual beli dengan cara salam, apabila tidak
dilakukan maka tidak akan mengancam eksistensi harta hanya saja akan
memberikan kesulitan bagi orang yang membutuhkan dalam
penanaman modal usaha.
3. Memelihara harta pada tingkat tahsiniyyah, seperti halnya terdapat
ketentuan agar tidak melakukan usaha yang bersifat penipuan, hal ini
tentu akan merusak eksistensi harta dan juga berkaitan dengan etika
dalam bermuamalah serta berbisnis.

Perwujudan kemaslahatan adalah untuk mencapai kemanfaatan dan


menghindari kemadharatan serta kerusakan bagi umat manusia didunia dan
akhirat. Tujuan mulia ini bermaksud menciptakan kehidupan manusia yang
dipenuhi dengan keharmonisan, kedamaian, keamanan, ketertiban, serta
kesejahteraan. Sehingga pada kehidupan manusia selanjutnya diakhirat nanti
akan mencapai pada tempat kebahagiaan yang kekal di surga dapat merasakan
berbagai kenikmatan dan terhindar dari azab siksaa Allah yang sangat
mengerikan di neraka yang penuh dengan kesengsaraan diakhirat.

Anda mungkin juga menyukai