Anda di halaman 1dari 37

1

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Perkawinan

1. Pengertian Perkawinan

Secara bahasa, nikah artinya menghimpun. Nikah juga berarti bersetubuh

dan akad. Menurut ahli usul dan bahasa, bersetubuh merupakan makna hakiki dari

nikah, sementara akad merupakan makna majazi. Pernikahan adalah ikatan lahir

batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan

membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha

Esa.1 Perkawinan dalam literatur fiqih disebut dengan dua kata, nikah dan zawaj.2

Kedua kata ini yang biasa dipakai dalam kehidupan sehari-hari dan banyak

terdapat dalam Al-Qur’an maupun hadis Rasulullah Saw. Sebagai contoh kata na-

ka-ha (dalam Al-Qur’an yang berarti kawin sebagaimana terdapat dalam Al-

Qur’an Surat An-Nisa’ ayat 3:

َّ‫َواَنَ خَفَتَمَ االَّت قسطوا فَ الَيَتَامَى فَنَكَحََوا ماطابَ لكمَ منَ النساءَ مَثَنَ وثالثَ ورابعَ فَإنَ خفتمَ أ َال‬

.‫ ذالكَ َأدَنَ أ َالَّ ت عولوا‬.‫تَعَدَلََوا فََوا حداةَ َأ َومَا ملكتَ َأيَا نك َم‬
“Dan jika takut tidak akan berlaku adil terhadap anak yatim, maka
kawinilah perempuan-perempuan lain yang kamu senangi, dua, tiga atau
empat orang, dan jika kamu takut tidak akan berlaku adil, maka cukup satu
orang”.3
Berdasarkan pada ayat tersebut jelas tertulis ketentuannya bahwa jika

seorang suami tidak mampu atau khawatir tidak dapat berlaku adil terhadap hak-

1
Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
2
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia; Antara Fiqh Munakahat dan Undang-
undang Perkawinan, (Jakarta : Kencana, 2014), h. 35
3
Al-Qur’an & Terjemahnya, Surat An-Nisa’ Ayat: 3.
2

hak istri bila ia menikah istri yang jumlahnya lebih dari seorang, maka cukuplah

bagi suami itu untuk memiliki seorang istri saja.

Demikian juga kata zawaj dalam Al-Qur’an yang berati kawin

sebagaimana yang terdapat dalam QS. Al-Ahzab ayat 37:

‫فَلَ ََّما قَضَى زيدَ مَنَ َها َوطََرا َزََّوجَنَاكَ َها لك َي َال يكونَ عَلَى المؤمنيَ خرجَ فَ أزواجَ أدعيائه َم‬
“Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan (menceraikan) istrinya,
kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang
mukmin untuk (mengawini) mantan istri-istri anak angkat mereka”.4
Dalam pengertian majaz, nikah di istilahkan dengan akad, dimana akad

merupakan sebagai diperbolehkannya bersenggama.5 Karena nikah adalah akad,

maka pernikahan didefinisikan sebagai suatu akad yang sangat kuat atau

mitssaqan ghalidhan untuk memenuhi perintah Allah dan melaksanakannya

merupakan ibadah. Dengan kata lain nikah menurut arti asli adalah hubungan

seksual, sedangkan menurut arti majazi atau arti hukum nikah adalah akad atau

perjanjian yang menjadikan halal hubungan seksual antara seorang pria dengan

seorang wanita sebagai suami istri.6

Adapun istilah akad nikah diartikan sebagai perjanjian suci untuk

mengikatkan diri dalam perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita

guna membentuk keluarga yang bahagia dan sejahtera. Suci disini berarti

mempunyai unsur agama atau ketuhanan yang Maha Esa. Oleh karena itu makna

berdasarkan ketuhanan yang Maha Esa yang dimaksud bahwa perkawinan tidak

terjadi begitu saja, melainkan sebagai karunia Tuhan kepada manusia sebagai

4
Al-Qur’an & Terjemahnya, QS. Al-Ahzab, ayat 37
5
Kumudi Ja’far, Perkawinan Islam Di Indonesia, (Bandar Lampung, Arjasa Pratama, 2021), h, 14
6
Moh. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam suatu analisis dari UU No. 1 Tahun 1974 dan
kompilasi Hukum Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 2004), h. 1
3

makhluk yang beradab, karena itu perkawinan dilakukan secara beradab sesuai

dengan ajaran agama yang diturunkan Tuhan kepada manusia.

Dengan demikian, perkawinan adalah akad/perjanjian yang menghalalkan

pergaulan, membatasi hak dan kewajiban serta sikap tolong menolong antara

seorang pria dan seorang wanita yang keduanya bukan muhrim. Sehingga

terbentuklah fungsi masing-masing pihak sebagai akibat dari adanya ikatan lahir

batin, serta terjadi pertalian yang sah antara seorang pria dan seorang wanita

dalam waktu yang lama.7

Selanjutnya mengenai pengertian perkawinan atau pernikahan kiranya

dapat dikemukakan beberapa pendapat sebagai berikut :

a. Menurut Sayuti Thalib, perkawinan adalah suatu perjanjian yang suci,

kuat dan kokoh untuk hidup bersama secara sah antara seorang laki-

laki dengan seorang perempuan guna membentuk keluarga yang kekal,

santun-menyantuni, kasih-mengasihi, tentram dan bahagia.

b. Menurut Hazairin, perkawinan adalah hubungan seksual, sehingga

tidak ada perkawinan bilamana tidak ada seksual, sebagai contoh

apabila tidak ada hubungan seksual antara suami istri, maka tidak perlu

ada tenggang waktu menunggu (Iddah) untuk menikahi lagi bekas istri

itu dengan laki-laki lain.

c. Menurut Mahmud Yunus, perkawinan adalah hubungan seksual

(setubuh), dimana beliau mendasarkan pendapatnya itu kepada hadis

7
Kumudi Ja’far, Perkawinan Islam Di Indonesia, h, 15
4

Rasulullah Saw, yang berbunyi : Allah mengutuk orang yang menikah

(setubuh) dengan tangannya.

d. Menurut Ibrahim Husen, perkawinan berarti akad dengannya menjadi

halal hubungan kelamin antara pria dan wanita.

e. Menurut Imam Syafi’i, nikah adalah suatu akad yang dengannya

menjadi halal hubungan seksual antara pria dengan wanita, sedangkan

menurut arti majazi (mathaporic) nikah artinya hubungan seksual. 8

Dengan demikian perkawinan merupakan perjanjian (akad), tetapi makna

perjanjian yang dimaksudkan di sini berbeda dengan perjanjian seperti yang diatur

dalam Buku III KUH Perdata. Yang merupakan perjanjian yang tujuannya adalah

untuk mewujudkan kebahagiaan antara kedua belah pihak (pasangan suami dan

istri), dan tidak dibatasi dalam waktu tertentu dan mempunyai sifat religius

(adanya aspek ibadah).9

2. Dasar Hukum Perkawinan

Landasan perkawinan yang dianjurkan dengan adanya nilai-nilai roh

keislaman yakni sakinah, mawaddah, dan warahmah yang dirumuskan dalam

firman Allah dalam QS. Ar-rum 21 :

َ‫َورْحةََا َّن‬ َّ ‫ومنَاٰيٰتهَانَخلقَلكمَمنَان فسكمَازواجاَلتسكن ْٓواَالي هاَوجعلَب ي نكم‬


َّ ‫َمودَّة‬

َ َ‫تَلقوٍمَيَّت ف َّكرون‬
ٍ ٰ‫ِفَ ٰذلكَالٰي‬

“Dan diantara tanda-tanda kekuasaannya ialah dia menciptakan untukmu


isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa
tentram kepadanya, dan dijadikannya diantara kamu rasa kasih dan

8
Kumudi Ja’far, Perkawinan Islam Di Indonesia, h, 16-17
9
Tengku Erwinsyahbana, Sistem Hukum Perkawinan Pada Negara Hukum Berdasarkan Pancasila,
Jurnal Ilmu Hukum, Vol, 3, No. 1, 2021, h, 4-5
5

sayang. Sesungguhnya yang demikian itu berarti benar terdapat tanda-


tanda bagi kaum yang berfikir”. 10
Menikah merupakan Sunnah para Nabi dan ri-salah para Rasul,

sebagaimana terdapat dalam QS. Al-Ra’d/13: 38.

‫ك َو َجعَلَنَا َلمَ َأَزَواجَا وذريََّة‬


َ َ‫ولقَدَ َأَرسَلَنَا َرسالَ منَ قَبَل‬
“Dan sesungguhnya kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu
dan kami memberikan kepada mereka istri-istri dan keturunan”.11
Menikah merupakan salah satu bentuk ketaatan umat muslim (ibadah)

untuk menyempurnakan separuh agamanya. Seperti yang diriwayatkan Anas bin

Malik antara lain:

ٍَ ‫س بنَ مال‬
‫ك رضيَ للاَ عنَهَ َأ ََّن رسولَ للاَ صََلَّ َى للاَ عليهَ وسلَّمَ قالَ منَ رزقهَ للاَ إمرأةَ صاِلَة‬ َ ‫عنَ أن‬
12
‫ف قدَ أعانهَ عَلَى شطرَ دينهَ ف لي تَّقَ للاَ فَ الشَّطرَ الَبَاقَ َي‬
“Barang siapa yang telah dianugerahi isteri shalehah maka Allah swt.
Telah menolongnya dalam menyempurnakan separuh agamanya. Maka,
hendaklah ia bertakwa kepada Allah SWT untuk menyempurnakan
separuh yang lain “.13
3. Prinsip Dan Asas-Asas Perkawinan

Perkawinan yang diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI)

menentukan prinsip-prinsip atau asas-asas mengenai perkawinan yaitu meliputi

segala sesuatu hal yang berhubungan dan berkenaan dengan perkawinan yang

sifatnya antisipatif terhadap perkembangan dan tuntutan zaman. 14 Prinsip-prinsip

hukum perkawinan yang bersumber dari Al-Quran dan Al-Hadits yang kemudian

dituangkan dalam garis-garis hukum melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun

10
Kementerian Agama RI, Al-Qur’an & Terjemah, (Bandung : CV Mikraj Hazanah Ilmu, 2013),
404.
11
Al-Qur’an & Terjemahnya, Surat Al-Ra’d Ayat: 13
12
Yasin Taher Algha, Kehidupan Pernikahan, Juz I, h, 99
13
Rusdaya Basri, Fiqh Munakahat 4 Madzhab Dan Kebijakan Pemerintah, (Sulawesi Selatan:
Kaaffah Learning Center, 2019), h, 8
14
Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013), 56.
6

1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam Tahun 1991 mengandung

beberapa asas atau kaidah hukum yang menjadi nilai dalam mengadakan sebuah

perkawinan. Asas-asas tersebut di antara lain:

a. Asas Kesukarelaan dan Persetujuan

Kesukarelaan yang dimaksud disini tidak hanya datang dari kedua

pihak mempelai, melainkan juga orang tua kedua belah pihak. Hal ini

didasarkan pada pasal 16 dan 17 Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan

bahwa perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai

tanpa adanya paksaan.15 Persetujuan ini penting agar masing-masing suami

dan istri memasuki gerbang perkawinan dan berumah tangga benar- benar

dapat dengan senang hati membagi tugas, hak, dan kewajibannya secara

proporsional.

b. Asas Membentuk Keluarga yang Sifatnya Bahagia dan Kekal

Hal ini sesuai dengan Pasal 3 Kompilasi Hukum Islam dan QS. an-

Nisa’ ayat 1 yang menyebutkan tujuan perkawinan adalah untuk

mewujudkan suatu keluarga yang sakinah, mawaddah dan warohmah.

Dengan melangsungkan perkawinan, diharapkan dapat melahirkan keluarga

yang bahagia dan damai serta berlangsung selamanya hingga akhir hayat.

c. Asas Keabsahan dan Kepastian Hukum Perkawinan

Asas ini didasarkan pada hukum agama dan kepercayaan bagi pihak

yang melaksanakan perkawinan. Keabsahan yang dimaksud disini adalah

bahwa perkawinan yang dilangsungkan harus dicatat oleh petugas yang

15
Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, 57.
7

berwenang. Hal ini sesuai dengan hadits Rasul dan pasal 5 sampai 10 KHI

yang mengharuskan umat Islam untuk mencatatkan perkawinannya di

bawah Pegawai Pencatat Nikah. 16

d. Asas Monogami Terbuka

Asas ini menyatakan bahwa seorang muslim dibolehkan atau boleh

beristri lebih dari seorang asal mampu berlaku adil dengan istri-istrinya.

Akan tetapi Islam lebih mengutamakan seorang laki-laki kawin dengan satu

orang perempuan.

e. Asas Kesiapan Kedua Belah Pihak

Berdasarkan pada asas ini jelas bahwa baik suami dan istri harus

telah siap dan matang jiwa raganya dalam melangsungkan perkawinan

agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik, mendapat

keturunan yang baik dan sehat, sehingga tidak berpikir kepada perceraian.

f. Asas Untuk Selama-lamanya dan Mempersulit Perceraian

Asas ini adalah cerminan atau pantulan dari Pasal 2 Kompilasi

Hukum Islam yang menjelaskan bahwa perkawinan adalah akad yang

sangat kuat dan bertujuan untuk menaati perintah Allah dan menjalankan

ibadah sehingga sudah seharusnya perkawinan diniatkan untuk

berlangsung selama-lamanya. Itulah sebabnya Islam tidak menghendaki

adanya perceraian, meskipun perbuatan itu halal. Allah SWT senantiasa

mengingatkan manusia agar jangan terlalu mudah menjatuhkan talak.

Perceraian bagi umat Islam adalah “pintu darurat” yang hanya dapat

16
Sabri Samin, Dinamika Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Yogyakarta: TrustMedia,
Publishing, 2016), h, 56
8

digunakan apabila mengalami keadaan yang amat membahayakan dengan

tujuan agar perceraian itu tidak menimbulkan perbuatan yang sifatnya

sewenang-wenang.17

B. Perjanjian Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

Dan Kompilasi Hukum Islam

1. Pengertian Perjanjian Perkawinan

Perjanjian Perkawinan adalah persetujuan yang dibuat oleh calon

mempelai pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan dan masing-

masing sepakat dan berjanji akan mentaati apa yang tersebut dalam

kesepakatannya. Perjanjian yang dibuat tersebut harus disahkan oleh pencatat

nikah.18

Perjanjian menurut Subekti adalah suatu peristiwa dimana satu orang

berjanji kepada yang lain atau dimana dua orang saling berjanji untuk

melaksanakan sesuatu. Suatu perjanjian harus didasarkan pada prinsip

kesepakatan bersama dan tidak ada paksaan. Dalam perjanjian yang demikian

timbul persekutuan yang artinya janji itu mengikat kedua belah pihak yang

membuat perjanjian itu. Sehingga tidak ada pihak yang diperbolehkan mengubah

perjanjian kecuali atas persetujuan kedua belah pihak. Dalam perjanjian terdapat

syarat-syarat yang harus dipenuhi, syarat-syarat tersebut dibagi dua yaitu: syarat

subjektif dan syarat objektif. Adapun syarat subjektif terdiri dari: “kesepakatan

dan cakap”. Artinya orang-orang yang ingin membuat perjanjian harus sama-sama

17
Sabri Samin, Dinamika Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Yogyakarta: TrustMedia,
Publishing, 2016), h, 57
18
Abd Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2014), h,. 119
9

sepakat dan cakap hukum. Sedangkan syarat objektif yaitu: "Mengenai hal

tertentu dan sebab yang halal".

Dengan artian bahwa objek perjanjian haruslah jelas: hal-hal yang ingin

diperjanjikan sama-sama diketahui dan dipahami oleh kedua belah pihak. Selain

itu, perjanjian juga tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang dan

ketertiban umum. Pasal 1313 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer)

meringkas, persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana 1 (satu) orang atau

lebih mengikatkan diri terhadap 1 (satu) orang lain atau lebih.19

Menurut Wirjono Prodjodikoro, perjanjian adalah sebagai suatu hubungan

hukum mengenai harta benda kekayaan antara dua pihak, dalam mana satu pihak

berjanji untuk melakukan sesuatu hal atau untuk tidak melakukan sesuatu hal,

sedangkan pihak yang lain berhak menuntut pemenuhan janji. Undang-Undang

Perkawinan ataupun KHI tidak secara tegas menjelaskan tentang rumusan

perjanjian perkawinan, namun mengakui akan adanya perjanjian perkawinan

tersebut. Oleh karenanya, para ahli memberikan beberapa definisi tentang

perkawinan, sebagai berikut:

a. R. Subekti, perjanjian perkawinan adalah perjanjian mengenai harta benda

suami istri selama perkawinannya yang menyimpang dari asas atau pola

yang diatur oleh undang-undang.

b. Komar Andasasmita, perjanjian atau syarat nikah” adalah perjanjian yang

dibuat oleh calon atau calon suami istri dalam mengatur (keadaan) harta

atau kekayaan sebagai akibat dari perkawinan mereka.

19
Moh. Ali Wafa, Hukum Perkawinan Di Indonesia, (Tanggerang Selatan: YASMI, 2018), h, 217-
218
10

c. Soetojo Prawirohamidjojo dan Asis Safioedin, perjanjian kawin adalah

perjanjian (persetujuan) yang dibuat oleh calon suami isteri sebelum atau

pada saat perkawinan dilangsungkan untuk mengatur akibat-akibat

perkawinan terhadap harta kekayaan mereka.

Dari beberapa definisi yang dirumuskan oleh para ahli tersebut cukup

jelas, bahwa perjanjian perkawinan dibuat hanya mengenai harta benda atau

kekayaan antara suami dan isteri. Harta benda yang tercantum dalam perjanjian

perkawinan selanjutnya akan disepakati apakah disatukan seluruhnya, disatukan

secara terbatas saja atau dipisah dengan tidak menyatukannya sama sekali.

Selanjutnya pasal 29 ayat (2) mengatur bahwa perjanjian tidak dapat disahkan

apabila melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan. 20

Dari penjelasan diatas dapat dipahami bahwa perjanjian perkawinan

menurut Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 merupakan pernyataan

kehendak dari kedua belah pihak yang membuatnya, sedangkan perjanjian

perkawinan atau ta’lik talak dalam Kompilasi Hukum Islam merupakan

pernyataan kehendak secara sepihak. Perjanjian perkawinan dalam Undang-

undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 dapat dibuat sebelum atau pada saat

perkawinan dilangsungkan dan dapat dirubah apabila kedua belah pihak telah

memenuhi persyaratan atas perubahan perjanjian tersebut.

2. Dasar Hukum Perjanjian Perkawinan

Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan diatur

masalah perjanjian perkawinan dalam Pasal 29.

20
Moh. Ali Wafa,. Hukum Perkawinan Di Indonesia, h, 219
11

Pasal 29
1) Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas
persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh
Pegawai Pencatat Perkawinan, Setelah masa isinya berlaku juga terdapat pihak
ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.
2) Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas
hukum, agama dan kesusilaan.
3) Perjanjian tersebut berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.
4) Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat diubah,
kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk mengubah dan
perubahan tidak merugikan pihak ketiga. 21

Penjelasan Pasal 29 tersebut menyatakan bahwa perjanjian dalam pasal ini

termasuk taklik talak. Namun dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun

1975 Pasal 11 menyebutkan satu aturan yang bertolak belakang.

Pasal 11
1) Calon suami isteri dapat mengadakan perjanjian sepanjang tidak bertentangan
dengan hukum Islam.
2) Perjanjian yang berupa taklik talak dianggap sah kalau perjanjian itu
diucapkan dan ditandatangani suami setelah akad nikah dilangsungkan.
3) Sighat taklik talak ditentukan oleh Menteri Agama. 22
Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam itu sendiri memuat 8 Pasal

tentang perjanjian perkawinan yaitu Pasal 45 sampai dengan Pasal 52. Kedua

calon mempelai dapat mengadakan perjanjian perkawinan dalam bentuk:

Pasal 45
1) Taklik talak, dan
2) Perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.
Pasal 46
1) Isi taklik talak tidak boleh bertentangan dengan hukum Islam.
2) Apabila keadaan yang disyaratkan dalam taklik talak betul terjadi kemudian
tidak dengan sendirinya talak jatuh. Supaya talak sungguh-sungguh jatuh,
isteri harus mengajukan persoalannya ke Pengadilan Agama.
3) Perjanjian taklik talak bukan perjanjian yang wajib diadakan pada setiap
perkawinan, akan tetapi sekali taklik talak sudah diperjanjikan tidak dapat
dicabut kembali.23

21
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, h, 128
22
Peraturan Menteri No. 3 Tahun 1975, h, 127
23
Kompilasi Hukum Islam, (Bandung, Citra Umbara, 2012), h, 128
12

Artinya bahwa taklik talak adalah talak yang jatuhnya digantungkan pada

suatu perkara. Isi taklik talak tidak boleh bertentangan dengan hukum islam, bila

bertentangan dengan hukum islam maka isi taklik talak tersebut tidak wajib untuk

dipenuhi. Perjanjian taklik talak bukanlah suatu perjanjian yang wajib diadakan

pada setiap perkawinan, namun bila sekali ditetapkan perjanjian taklik talak maka

persoalan tersebut tidak dapat di cabut kembali. 24

Perjanjian tersebut lalu dilekatkan pada akta nikah dan merupakan bagian

yang tidak terpisahkan dengan surat nikah, dan perjanjian perkawinan dibuat atas

persetujuan atau kehendak bersama, yang dibuat secara tertulis, dan disahkan oleh

pegawai pencatat sipil, serta tidak boleh bertentangan dengan hukum, agama dan

kesusilaan. Perjanjian perkawinan berisi syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh

pihak-pihak yang melakukan perjanjian dalam arti pihak-pihak yang berjanji

untuk memenuhi syarat yang ditentukan. 25

Dari beberapa penjelasan di atas dapat disimpulkan sekilas bahwa

perjanjian perkawinan menurut Perspektif Hukum Islam adalah mubah (boleh)

selama apa yang dipersyaratkan tidak melanggar batas-batas yang telah ditetapkan

dalam syariat Islam.

3. Syarat Sahnya Perjanjian Perkawinan

Pada dasarnya setiap individu sebagai subyek hukum berhak secara bebas

mengadakan atau melakukan perjanjian, kecuali mereka yang belum dewasa atau

berada dalam pengampuan orang tuanya. Hal ini berarti sepanjang perjanjian

24
Kompilasi Hukum Islam, Bab VII pasal 45, h, 336
25
Alya Nurhafidza, Perjanjian Perkawinan Dalam Hukum Islam, (Skripsi, Fakultas Hukum
Universitas Lampung, 2017), h, 4
13

dibuat oleh kedua belah pihak harus memenuhi syarat yang ditetapkan oleh

perundang-undangan, maka perjanjian tersebut dapat dilakukan.

Pada prinsipnya perjanjian perkawinan itu sama dengan perjanjian pada

umumnya, oleh karena itu agar perjanjian perkawinan tersebut menjadi sah,

diharuskan untuk memenuhi unsur-unsur pasal 1320 Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata, yaitu:26

a. Sepakat mereka yang mengikat dirinya.


b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.
c. Suatu hal tertentu.
d. Suatu sebab yang halal

Dari rumusan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata diatas

dapat dipahami bahwa perjanjian didasarkan atas persetujuan bersama dalam arti

apa yang dikehendaki oleh calon suami harus juga dikehendaki oleh calon istri.

Suami istri haruslah cakap dalam membuat perjanjian perkawinan, dan di antara

para pihaknya harus dewasa.

Abdul Kadir Muhammad berpendapat bahwa persyaratan perjanjian

perkawinan adalah sebagai berikut:

1) Dibuat pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan.

2) Dalam bentuk tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat nikah.

3) Isi perjanjian tidak melanggar batas-batas hukum, agama dan

kesusilaan.

4) Mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.

5) Selama perkawinan berlangsung, perjanjian tidak dapat diubah.

26
Happy Susanto, Pembagian Harta Gono-Gini Saat Terjadi Perceraian, Cet. Ke-III (Jakarta:
Visimedia, 2008), h. 97
14

6) Perjanjian perkawinan dimuat dalam akta perkawinan.

Disamping itu persetujuan bersama dalam mengadakan perjanjian suami

istri juga harus memenuhi syarat administrasi yaitu perjanjian perkawinan tersebut

harus dinyatakan secara tertulis dan disahkan oleh pegawai pencatat nikah. Oleh

karena itu perjanjian perkawinan yang tidak dibuat secara tertulis dan disahkan

oleh pegawai pencatat perkawinan tidak mempunyai kekuatan hukum.27

4. Perjanjian Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun

1974 Tentang Perkawinan

Perjanjian Perkawinan Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

secara umum, perjanjian perkawinan (prenuptial agreement) berisi tentang

pengaturan harta kekayaan calon suami istri. Pada prinsipnya pengertian

perjanjian perkawinan itu sama dengan perjanjian pada umumnya, yaitu suatu

perjanjian antara dua orang calon suami istri untuk mengatur harta kekayaan

pribadi masing-masing yang dibuat menjelang perkawinan, serta disahkan oleh

pegawai pencatat nikah. 28

Perjanjian perkawinan dalam Undang-undang Perkawinan diatur dalam

Bab V Pasal 29 yang terdiri dari empat ayat, yakni sebagai berikut:

Pasal 29
1) Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas
persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh
Pegawai Pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap
pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.
2) Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas
hukum, agama, dan kesusilaan.
3) Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.

27
John Kenedi, Analisis Fungsi dan Manfaat Perjanjian Perkawinan, h, 49-50
28
Happy Susanto, Pembagian Harta Gono-Gini Saat Terjadi Perceraian, h, 78.
15

4) Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat dirubah,


kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan
perubahan tidak merugikan pihak ketiga. 29
Perjanjian perkawinan, jika mengacu dari Pasal 29 UUP menentukan

bahwa perjanjian perkawinan harus dibuat sebelum perkawinan dilangsungkan

tidak ditentukan suatu jangka waktu maksimum tertentu yang boleh lewat antara

dibuatnya perjanjian kawin dan perkawinan. Dengan demikian, perkawinan boleh

dilangsungkan bertahun-tahun setelah perjanjian kawin telah dibuat tanpa

mengakibatkan tidak berlakunya perjanjian perkawinan.

Perjanjian perkawinan yang diatur dalam Pasal 29 Undang-undang Nomor

1 Tahun 1974 bukan hanya mengatur masalah harta benda dan akibat perkawinan

saja, namun juga meliputi hak-hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh kedua

belah pihak sepanjang perjanjian itu tidak bertentangan dengan batas-batas

hukum, agama dan kesusilaan. Perjanjian dibuat guna untuk memudahkan untuk

menemukan jawaban atas beberapa persoalan yang biasanya muncul setelah suami

dan isteri mengalami perceraian. Yang dimasalahkan biasanya bagaimana nasib

harta bawaan dan pembagian harta bersama di antara mantan suami-isteri tersebut.

Permasalahan harta bawaan dan harta bersama ini setelah perceraian sudah

diatur dalam Pasal 35 dan Pasal 37 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. 30

Seandainya suami-isteri memiliki perjanjian, maka harta bawaan dan harta

bersama setelah perceraian akan diatur sesuai dengan ketentuan yang telah

disepakati dan dirumuskan. Pada ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

mengatur bahwa perjanjian perkawinan tidak dapat disahkan bilamana isi

29
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan h, 7
30
Sukardi, Kajian Yuridis Perjanjian Perkawinan Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, Jurnal Khatulistiwa Of
Islamic Studies, Vol. 6 No. 1 2016, h, 29-30
16

perjanjian itu melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan. Nilai-nilai

moral dan adat istiadat. Hal ini telah diatur sesuai dengan pasal 29 UU No. 1

Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam membuat perjanjian perkawinan perlu

dipertimbangkan beberapa aspek yaitu :

a. Keterbukaan

Dalam mengungkapkan semua detail kondisi keuangan baik

sebelum maupun sesudah pernikahan.

b. Kerelaan

Perjanjian perkawinan harus disetujui dan ditanda tangani oleh ke

dua belah pihak secara sukarela tanpa paksaan.

c. Pejabat yang objektif

Pilihlah pejabat berwenang yang bereputasi baik dan bisa menjaga

obyektivitas, sehingga dalam membuat isi perjanjian perkawinan bisa

tercapai keadilan bagi kedua belah pihak.

d. Notariil

Perjanjian perkawinan sebaiknya tidak dibuat dibawah tangan

tetapi harus disahkan oleh notaris. Kemudian harus dicatatkan pula dalam

lembaga pencatatan perkawinan.31

Dari penjelasan diatas dapat dipahami bahwa sebenarnya Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974 tidak mengatur secara tegas tentang perjanjian perkawinan,

hanya saja dinyatakan bahwa kedua belah pihak dapat mengadakan perjanjian

tertulis yaitu perjanjian perkawinan. Dalam ketentuan ini tidak disebutkan batasan

31
Herniati, Kedudukan Perjanjian Perkawinan Dalam Hukum Positif di Indonesia, Jurnal, Hukum
Ius Publicum, Vol. 1 No. 1, 2020, h, 8
17

yang jelas mengenai perjanjian perkawinan, bahwa perjanjian perkawinan itu

mengenai hal apa saja. Sehingga dapat dikatakan bahwa Undang-Undang

perjanjian perkawinan ini tidak mencakup banyak hal. Disamping itu Undang-

Undang perkawinan tidak mengatur lebih lanjut terkait hukum dari perjanjian

perkawinan yang dimaksud.

5. Perjanjian Perkawinan Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI)

Islam sebelumnya memang tidak mengenal adanya perjanjian perkawinan

tetapi praktik seperti perjanjian perkawinan (contohnya seperti calon istri boleh

mengajukan syarat sebelum hari akad diadakan/pada saat di khitbah/dilamar)

memang sudah dikenal dalam Islam. Kompilasi Hukum Islam mengatur pada

asasnya tidak ada percampuran antara harta suami dan isteri karena perkawinan.

Harta isteri tetap menjadi hak isteri dan dikuasai penuh olehnya demikian juga

suami. Namun, para pihak dapat mengadakan perjanjian mengenai kedudukan

harta dalam perkawinan dengan membuat perjanjian perkawinan.

Kompilasi Hukum Islam secara tegas membolehkan calon pasangan suami

istri mengadakan perjanjian perkawinan dengan kategori perjanjian dibagi dalam

dua hal sebagaimana bunyi pada pasal 45 dibawah ini.32

Pasal 45
1) Ta’lik talak.
2) Perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.
Pasal 46
1) Isi ta’lik talak tidak boleh bertentangan dengan hukum islam.
2) Apabila keadaan yang di syaratkannya dalam ta’lik talak betul-betul terjadi
kemudian, tidak dengan sendirinya jatuh talak. Supaya talak sungguh-sungguh
jatuh, istri harus mengajukan persoalannya ke Pengadilan Agama.

32
Pasal 46, Kompilasi Hukum Islam.
18

3) Perjanjian ta’lik talak bukan perjanjian yang wajib diadakan pada setiap
perkawinan, akan tetapi sekali ta’lik talak sudah diperjanjikan tidak dapat
dicabut kembali.
Pasal 47
1) Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua calon mempelai
dapat membuat perjanjian tertulis yang di sahkan pegawai pencatat nikah
mengenai kedudukan harta dalam perkawinan.
2) Perjanjian tersebut dalam ayat 1 dapat meliputi percampuran harta pribadi dan
pemisahan harta pencaharian masing-masing sepanjang hal itu tidak
bertentangan dengan Islam.
3) Di samping ketentuan dalam ayat 1 dan 2 di atas, boleh juga isi perjanjian itu
menetapkan kewenangan masing-masing untuk mengadakan ketetapan hipotik
atas harta pribadi atau harta bersama atau harta syarikat.
Pasal 48
1) Ketentuan harta apabila dibuat perjanjian pra nikah tidak memenuhi ketentuan
tersebut pada ayat 1 dianggap tetap terjadi pemisahan harta bersama atau harta
syarikat dengan kewajiban suami menanggung biaya kebutuhan rumah tangga.
2) Jika dianggap tetap terjadi pemisahan harta bersama dengan kewajiban suami
tetap menanggung biaya kebutuhan rumah tangga. 33
Pasal 49
1) Perjanjian pencampuran harta pribadi dapat meliputi semua harta, baik yang di
bawa masing-masing ke dalam perkawinan maupun yang diperoleh masing-
masing selama perkawinan.
2) Dengan tidak mengurangi ketentuan tersebut pada ayat (1) dapat pula
diperjanjikan bahwa pencampuran harta pribadi hanya terbatas pada harta
pribadi yang dibawa pada saat perkawinan dilangsungkan, sehingga
pencampuran ini tidak meliputi harta pribadi yang diperoleh selama
perkawinan atau sebaliknya.
Pasal 50
1) Perjanjian perkawinan mengenai harta, mengikat kepada para pihak dan pihak
ketiga terhitung mulai tanggal dilangsungkannya perkawinan di hadapan
Pegawai Pencatat Nikah.
2) Perjanjian perkawinan mengenai harta, dapat dicabut atas persetujuan bersama
suami istri dan wajib mendaftarkannya di Kantor Pegawai Pencatat Nikah
tempat perkawinan dilangsungkan.
3) Sejak pendaftaran tersebut, pencabutan telah mengikat kepada suami istri
tetapi terhadap pihak ketiga pencabutan baru mengikat sejak tanggal
pendaftaran itu diumumkan oleh suami istri dalam suatu surat kabar
setempat.34
4) Apabila dalam tempo 6 (enam) bukan pengumuman itu tidak dilakukan yang
bersangkutan, pendaftaran pencabutan dengan sendirinya gugur dan tidak
mengikat pihak ketiga.

33
Pasal 48, Kompilasi Hukum Islam.
34
Pasal 50 Kompilasi Hukum Islam,
19

5) Pencabutan perjanjian perkawinan mengenai harta tidak boleh merugikan


perjanjian yang telah diperbuat sebelumnya dengan pihak ketiga.
Pasal 51
Pelanggaran atas perjanjian perkawinan memberi hak kepada istri untuk meminta
pembatalan nikah atau mengajukannya sebagai alasan gugatan perceraian ke
Pengadilan Agama.
Pasal 52
Pada saat dilangsungkan perkawinan dengan istri kedua, ketiga, atau keempat,
boleh diperjanjikan mengenai tempat kediaman, waktu giliran dan biaya rumah
tangga bagi istri yang akan dinikahinya itu.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat dipahami bahwa perjanjian

perkawinan yang dimaksud dalam Kompilasi Hukum Islam sebagian besar

berkaitan dengan permasalahan harta dalam perkawinan. Namun, pada dasarnya

calon pasangan suami istri diberi keleluasaan untuk mengadakan perjanjian

tentang apapun yang dinilai oleh kedua belah calon pasangan suami istri akan

menjadi faktor penting sehingga perlu dibuatkan perjanjian, akan tetapi terdapat

batasan materi perjanjian yang dibuat tidak boleh bertentangan dengan Al-Qur’an

dan sunnah. Dalam hal ini perjanjian yang dibuat tidak boleh menghilangkan

kewajiban asal dari kedua belah pihak.

6. Isi perjanjian perkawinan

Mengenai isi yang dapat diperjanjikan dalam perjanjian perkawinan,

dalam ilmu hukum dapat dikemukakan pendapat antara lain sebagai berikut:35

a. Sebagian ahli hukum berpendapat bahwa perjanjian perkawinan dapat

memuat apa saja, yang berhubungan dengan hak dan kewajiban suami-

isteri maupun mengenai hal-hal yang berkaitan dengan harta benda

perkawinan. Mengenai batasan-batasan yang dapat diperjanjikan dalam

35
Happy Susanto, Pembagian Harta Gono-Gini Saat Terjadi Perceraian, h, 78
20

perjanjian perkawinan, hal ini merupakan tugas hakim untuk

mengaturnya.

b. R. Sardjono berpendapat bahwa sepanjang tidak diatur di dalam

peraturan perundang-undangan, dan tidak dapat ditafsirkan lain, maka

lebih baik ditafsirkan bahwa perjanjian perkawinan sebaiknya hanya

meliputi hak-hak yang berkaitan dengan hak dan kewajiban dibidang

hukum kekayaan.

c. Nurnazly Soetarno berpendapat bahwa perjanjian perkawinan hanya

dapat memperjanjikan hal-hal yang berkaitan dengan hak dan

kewajiban di bidang hukum kekayaan, dan hal itu hanya menyangkut

mengenai harta yang benar-benar merupakan harta pribadi suami isteri

yang bersangkutan, yang dibawa ke dalam perkawinan.

Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor

69/PUU-XIII/2015 tidak diatur bahwa isi perjanjian kawin hanya mengenai harta

perkawinan atau bisa mengenai selain harta perkawinan. Kemudian berdasarkan

putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69 PUU-XIII/2015 diubah menjadi

perjanjian kawin dapat mengenai harta perkawinan atau perjanjian lainnya. 36

Sedangkan alasan perjanjian perkawinan dibuat semata-mata untuk

menjaga kepentingan usaha dan menghargai martabat masing-masing pihak.

Terdapat beberapa alasan dalam perjanjian perkawinan yang dibuat oleh calon

suami istri antara lain:

36
Benny Djaja, Perjanjian Kawin Sebelum, Saat, dan Sepanjang Perkawinan, (Depok: PT Raja
Grafindo Persada, 2020), h, 18
21

1) Bilamana terdapat sejumlah harta kekayaan yang lebih besar pada

salah satu pihak dari pada pihak yang lain.

2) Kedua belah pihak masing-masing membawa masukan yang cukup

besar.

3) Masing-masing mempunyai usaha sendiri-sendiri sehingga andai kata

salah satu jatuh pailit yang lain tidak tersangkut. Atas hutang-hutang

yang mereka buat sebelum kawin, masing-masing akan bertanggung

gugat sendiri-sendiri.

4) Masing-masing pihak atau salah satu pihak telah pernah berkeluarga,

punya anak dan mempunyai harta kekayaan, sehingga mereka

bersepakat untuk membuat perjanjian perkawinan.

Perjanjian sebagaimana tersebut haruslah dilaksanakan sebelum

perkawinan dilangsungkan dan haruslah dibuat dalam bentuk akta otentik dimuka

notaris, akta otentik itu sangat penting karena dapat dijadikan bukti dalam

persidangan pengadilan apabila terjadi sengketa tentang harta bawaan masing-

masing. Jika tidak ada perjanjian kawin yang dibuat sebelum perkawinan

dilaksanakan maka semua harta suami dan isteri terjadi perbauran. 37

Maka dengan membuat perjanjian perkawinan pasangan suami isteri

mempunyai kesempatan untuk saling terbuka, dan bisa berbagi rasa atas keinginan

yang telah disepakati untuk menjalani isi perjanjian tersebut. Biasanya perjanjian

perkawinan dibuat untuk kepentingan perlindungan hukum terhadap harta masing-

masing suami isteri, karena UU Perkawinan tidak mengatur tujuan perjanjian

37
Haedah Faradz, Tujuan Dan Manfaat Perjanjian Perkawinan, Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 8
No. 3 September 2008. 249.
22

perkawinan, segalanya diserahkan kepada kedua belah pihak yaitu suami dan

isteri.

7. Fungsi Perjanjian Perkawinan

Perjanjian perkawinan dibuat semata-mata untuk menjaga kepentingan

usaha dan menghargai martabat masing-masing pihak. Perjanjian perkawinan

dapat memastikan bahwa pasangan anda menikah dengan anda, bukan dengan

kekayaan anda. Sehingga niatan tulus anda dan calon pasangan dapat dibuktikan

sebelum membangun rumah tangga. Lebih lanjut, urgensi dari dibuatnya

perjanjian perkawinan adalah sebagai berikut:38

a. Menjamin keamanan dan kepentingan usaha contoh kecilnya adalah jika

salah satu pasangan merupakan pemilik usaha (atau menjabat sebagai

pemimpin usaha, meskipun bukan pemilik usaha), dan suatu hari usahanya

tersebut dituntut kerugian maka kedua pasangan akan terlibat. Perjanjian

perkawinan dapat mencegah terjadinya hal tersebut, sehingga pasangan

dan buah hati anda tidak turut terlibat kerugian usaha.

b. Menjamin berlangsungnya harta peninggalan keluarga dalam pasal 35 ayat

(2) Undang-Undang perkawinan menyatakan bahwa, harta bawaan dari

masing- masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-

masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-

masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Melalui perjanjian

perkawinan dapat ditegaskan kembali sehingga dipastikan tidak akan ada

hadiah atau warisan keluarga yang berpindah. Karena dalam praktiknya,

38
Abd Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat, h, 29.
23

dalam hal pasangan pemilik warisan keluarga meninggal maka

peninggalan tersebut akan dimiliki oleh pasangannya yang masih hidup. 39

c. Melindungi kepentingan seorang istri dalam hal suami melakukan

poligami. Perjanjian perkawinan dapat memastikan pemisahan harta

peninggalan terhadap istri, baik untuk perkawinan yang pertama, kedua,

ketiga bahkan untuk perkawinan yang keempat. Masing-masing isteri akan

tenang dan hidup terjamin. Jauh dari pertikaian dan perselisihan antar ahli

waris.

d. Menjamin kondisi finansial setelah perkawinan putus atau berakhir,

ditemui pihak perempuan tidak lagi bekerja setelah menikah dengan

harapan agar calon istri dapat berperan sebagai ibu rumah tangga dengan

lebih maksimal.

e. Menghindari motivasi perkawinan yang tidak sehat dengan dibuatnya

perjanjian perkawinan maka dapat menghindari niat tidak tulus dari calon

pasangan yang ternyata memiliki maksud untuk melunasi hutang-hutang

debiturnya melalui kekayaan hasil pernikahan.

8. Akibat Hukum Dibuatnya Perjanjian Perkawinan

Perjanjian perkawinan merupakan sarana untuk melakukan proteksi

terhadap para pihak. Maka perjanjian perkawinan dapat memuat pengaturan

mengenai harta bersama maupun harta bawaan. Suami istri di bebaskan untuk

melakukan tindakan hukum. Adanya perjanjian perkawinan melahirkan akibat

39
Abd Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat, 30-31
24

hukum, karena perjanjian tersebut di kehendaki oleh para pihak, sehingga

menimbulkan beberapa akibat, antara lain :40

a. Secara hukum para pihak saling terkait dengan di adakannya perjanjian

perkawinan dan masing-masing harus melaksanakan kewajiban dan hak

nya. Para pihak juga harus siap dengan konsekuensi hukum yang akan

timbul bila melakukan pelanggaran terhadap perjanjian perkawinan.

b. Secara psikologis, perjanjian perkawinan akan menimbulkan perasaan

tidak percaya terhadap pasangan hidupnya. Ia akan di bayangi perasaan

takut kalau pasangannya melakukan pelanggaran terhadap perjanjian nya

tersebut. Kecemasan ini akan mengakibatkan ketidak bahagiaan dalam

menjalani rumah tangga.

c. Secara sosiologis dan budaya, perjanjian perkawinan menimbulkan adanya

cultur shock. Masyarakat timur yang kekeluargaannya tidak mengenal

individualistis tentu menolak adanya perjanjian perkawinan. Perjanjian

perkawinan di anggap sebagai hal yang tidak ada karena mementingkan

harta saja. Walaupun tidak selamanya perjanjian perkawinan berorientasi

pada harta dalam perkawinan.41

9. Pencatatan Dan Pelaporan Perjanjian Perkawinan

Pencatatan pelaporan perjanjian perkawinan, menyampaikan beberapa hal

sebagai berikut:

40
Mardani, Hukum Perkawinan Islam di Dunia Modern, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2015). 75.
41
Mardani, Hukum Perkawinan Islam di Dunia Modern, h, 76.
25

a. Perjanjian perkawinan dapat dibuat sebelum, pada saat dan selama

perkawinan berlangsung dengan akta notaris dan dilaporkan kepada

instansi pelaksana atau unit pelaksana teknis (UPT) instansi pelaksana.

b. Persyaratan dan tata cara pencatatan atas pelaporan perjanjian

perkawinan serta perubahan perjanjian perkawinan atau pencabutan

perjanjian perkawinan, sebagaimana dimaksud pada lampiran I.

c. Terhadap pelaporan perjanjian perkawinan sebagaimana dimaksud

pada angka 1, pejabat pencatatan sipil pada instansi pelaksana atau

UPT instansi pelaksana membuat catatan pinggir pada registrasi akta

dan kutipan pada angka 1 huruf a dilakukan dengan persyaratan:

1) Foto copy KTP-el;

2) Foto copy KK;

3) Akta notaris perjanjian perkawinan yang telah dilegalisir dengan

menunjukkan aslinya.

4) Foto copy akta notaris perjanjian perkawinan yang telah dilegalisir

dengan menunjukkan aslinya.

5) Kutipan akta perjanjian perkawinan suami dan istri.

d. Pencatatan pelaporan perjanjian perkawinan sebagaimana dimaksud

pada angka 1 huruf b dilakukan dengan persyaratan:

1) Foto copy KTP-el;

2) Foto copy KK;

3) Foto copy akta notaris perjanjian perkawinan yang telah dilegalisir

dengan menunjukkan aslinya.


26

4) Kutipan akta perkawinan suami dan istri.42

e. Pencatatan pelaporan perjanjian perkawinan sebagaimana dimaksud

pada angka 1 huruf c dilakukan dengan persyaratan:

1) Foto copy KTP-el;

2) Foto copy KK;

3) Foto copy akta notaris perjanjian perkawinan yang telah dilegalisir

dengan menunjukkan aslinya.

4) Kutipan akta perkawinan atau dengan nama lain yang diterbitkan

oleh negara lain.

5) Surat keterangan pelaporan akta perkawinan yang diterbitkan oleh

negara lain.

f. Pencatatan pelaporan perjanjian perkawinan sebagaimana dimaksud

pada angka 1 huruf d dilakukan dengan memenuhi persyaratan:

1) Foto copy KTP-el;

2) Foto copy KK;

3) Foto copy akta notaris perjanjian perkawinan yang telah dilegalisir

dengan menunjukkan aslinya.

4) Kutipan akta perkawinan atau dengan nama lain yang diterbitkan

oleh negara lain.

5) Surat keterangan pelaporan akta perkawinan yang diterbitkan oleh

negara lain.

42
Benny Djaja, Perjanjian Kawin Sebelum, Saat, dan Sepanjang Perkawinan, h, 22
27

g. Pencatatan pelaporan perjanjian perkawinan sebagaimana dimaksud

pada angka 1 huruf a, b, c dan d, dilakukan dengan tata cara:

1) Pasangan suami dan atau istri menyerahkan persyaratan

sebagaimana pada angka 2, 3, 4, dan 5.

2) Pejabat pencatatan sipil pada UPT instansi pelaksana atau instansi

pelaksana membuat catatan pinggir pada register akta dan kutipan

akta perkawinan atau menerbitkan surat keterangan bagi perjanjian

perkawinan yang dibuat di Indonesia dan pencatatan

perkawinannya dilakukan di negara lain.

3) Kutipan akta perkawinan yang telah dibuatkan catatan pinggir atau

surat keterangan diberikan kepada masing-masing suami dan atau

istri.43

C. Perjanjian Perkawinan Perspektif Hukum Islam

1. Pengertian Perjanjian Perkawinan Perspektif Hukum Islam

Perjanjian perkawinan adalah salah satu hal yang penting di dalam sebuah

perkawinan. Tetapi hal ini jarang dikaji oleh para ulama klasik, bahkan tidak

ditemukan secara khusus bab yang membahas tentang perjanjian perkawinan.

Pandangan masyarakat terhadap keberadaan perjanjian perkawinan masih

menganggap bahwa itu adalah perbuatan tidak baik (etis) dan tidak perlu untuk

dilakukan. Anggapan itu tidak salah sama sekali, mengingat masyarakat ada yang

berpikir bahwa apa yang perlu diperjanjikan bagi mereka yang sudah kawin.

43
Benny Djaja, Perjanjian Kawin Sebelum, Saat, dan Sepanjang Perkawinan, h, 23
28

Ketika mereka sudah kawin, maka segala sesuatu apa yang mereka mililki

menjadi satu kesatuan.

Perjanjian perkawinan adalah persetujuan yang dibuat oleh calon

mempelai pada saat perkawinan dilangsungkan yang disahkan oleh pegawai

pencatat nikah mengenai kedudukan harta dalam perkawinan yang mengikat bagi

mereka dan pihak ketiga. Artinya pembuatan perjanjian perkawinan di Indonesia

secara sah hanya boleh dibuat sebelum perkawinan dilangsungkan. Bilamana ada

perjanjian perkawinan dilakukan setelah adanya perkawinan dimungkinkan terjadi

tetapi itu semua harus didasari atas putusan hakim di pengadilan. 44

Membuat perjanjian dalam perkawinan hukumnya mubah, artinya boleh

seseorang untuk membuat perjanjian dan boleh pula tidak membuat. Namun kalau

sudah dibuat bagaimana hukum memenuhi syarat yang terdapat dalam perjanjian

perkawinan itu, menjadi perbincangan dikalangan ulama. Jumhur ulama

berpendapat bahwa memenuhi syarat yang dinyatakan dalam bentuk perjanjian itu

hukumnya adalah wajib sebagaimana hukum memenuhi perjanjian lainnya;

bahkan syarat-syarat yang berkaitan dengan perkawinan lebih berhak untuk

dilaksanakan.45

Kata perjanjian dalam kitab fiqih tidak ditemukan, yang ada persyaratan

dalam perkawinan, artinya perkawinan yang di syaratkan, bukan sebagai syarat

sahnya perkawinan, tapi yang dibahas disini persyaratan yang diucapkan di luar

44
Umar Haris Sanjaya, Dkk, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, h, 88
45
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan, h. 146.
29

46
akad nikah. Al-Syaukani menambahkan alasan lebih layaknya memenuhi

persyaratan yang berkenaan dengan perkawinan itu adalah karena urusan

perkawinan itu sesuatu yang menuntut ke hati-hatian dan pintu masuknya sangat

sempit. Kewajiban memenuhi persyaratan yang terdapat dalam perjanjian dan

terikat dengan kelangsungan perkawinan tergantung kepada bentuk persyaratan

yang ada dalam perjanjian. Dalam hal ini ulama membagi syarat itu menjadi tiga:

Pertama: Syarat-Syarat yang langsung berkaitan dengan pelaksanaan

kewajiban suami istri dalam perkawinan dan merupakan tuntutan dari perkawinan

itu sendiri. Umpamanya, suami istri bergaul secara baik; suami mesti memberi

nafkah untuk anak dan istrinya; istri mesti melayani kebutuhan seksual suaminya

dan istri mesti memelihara anak yang lahir dari perkawinan itu.

Kedua: Syarat-syarat yang bertentangan dengan hakikat perkawinan atau

yang secara khusus dilarang dilakukan atau memberikan mudhorat kepada pihak-

pihak tertentu. Umpamanya, suami atau istri mensyaratkan tidak akan beranak;

istri mensyaratkan suami menceraikan istri-istri yang lebih dahulu; suami

mempersyaratkan dia tidak akan membayar mahar atau nafkah dan suami

meminta istrinya mencari nafkah secara tidak halal, seperti melacur. 47

Ketiga: Syarat-syarat yang tidak menyalahi tuntutan perkawinan dan tidak

ada larangan secara khusus namun tidak ada tuntutan dari syara‟ untuk dilakukan.

Umpamanya, istri mempersyaratkan bahwa suami tidak akan memadunya, hasil

pencarian dalam rumah tangga menjadi milik bersama.

46
Ru’fah, Abdullah, Perjanjian Dalam Perkawinan Perspektif Hukum Islam Dan Perundang-
undangan, h, 33
47
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan Undang-
Undang Perkawinan, h, 147
30

Ulama sepakat mengatakan bahwa syarat-syarat dalam bentuk pertama

wajib dilaksanakan. Mereka mengatakan hadis Nabi Saw. Yang disebutkan diatas

mengarah kepada syarat-syarat dalam bentuk pertama ini. Pihak yang terlibat atau

berjanji wajib memenuhinya. Pihak yang berjanji terikat dengan persyaratan

tersebut. Namun bila pihak yang berjanji tidak memenuhi persyaratan tersebut

tidak menyebabkan perkawinan dengan sendirinya batal, risiko dari tidak

memenuhi persyaratan ini ialah adanya hak bagi pihak yang dirugikan untuk

menuntut suaminya di pengadilan untuk batalnya perkawinan.

2. Dasar Hukum Perjanjian Dalam Hukum Islam

Perjanjian perkawinan harus didasarkan pada landasan yang kuat, Landasan

perjanjian perkawinan dalam Islam didasarkan pada tiga hal yaitu:

a. Keyakinan atau keimanan. Iman merupakan sesuatu yang sangat penting

bagi kehidupan seseorang. Imanlah yang menjadi syarat diterimanya amal

perbuatan manusia. Mengingat pentingnya iman bagi seseorang, sudah

seharusnya bila akad nikah menetapkan tauhid ini menjadi dasar atau asas

pertamanya. Artinya, akad nikah tidak boleh bertentangan dan harus

menumbuhkan serta memupuk iman seseorang. Suatu ikatan perkawinan

diharapkan kokoh dan kuat sehingga apapun ujian dan goncangan yang

ada dikemudian hari tidak akan goyah dan sirna, karena antara mempelai

laki-laki dan perempuan melakukan akad nikahnya dengan dilandasi oleh

keimanan yang mapan.48

48
Jamaluddin, Dkk, Buku Ajar Hukum Perkawinan, h, 58
31

b. Al-Islam. Maksudnya bahwa akad nikah merupakan suatu aktivitas ibadah

yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Oleh karena itu, dalam

pelaksanaannya harus sesuai dengan ajaran-ajaran dan norma-norma Islam

yang bersumber pada Al-Qur’an dan Sunnah Rasul , serta ijtihad, terutama

dalam bentuk Ijma’ dan Qiyas.

c. Al-Ihsan, maksudnya bahwa akad nikah haruslah dilandasi suatu prinsip

taqarrub kepada Allah dan untuk Allah, sehingga akad nikah itu dapat

melahirkan manusia-manusia yang takwa, dekat kepada Allah, giat

beribadah, dan mencurahkan segenap aktivitas hidupnya untuk mencari

ridha Allah SWT.

Dasar hukum akad nikah apabila ditinjau dari aspek khusus dan lebih

spesifik terdapat dalam Al-Quran surat Ali Imran ayat 76, antara lain yaitu:

‫ي‬
َ ‫ب المتَّق‬
َ ‫الل ُي‬ َٰ ‫ب ٰلى منَ او‬
َٰ ‫واتَّقٰى فا ََّن‬. َ‫ف بعهده‬
Sebenarnya barang siapa menepati janji dan bertakwa, maka sungguh,
Allah mencintai orang-orang yang bertakwa.49

ٰۤ ٰۤ
َ‫يٰاي ها الَّذينَ اٰمن وا اوف وا ابلعقود‬
Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah janji-janji itu.50

3. Syarat-Syarat Perjanjian Perkawinan Dalam Hukum Islam

Syarat-syarat yang paling layak untuk dipenuhi adalah syarat yang

berkenaan dengan perkawinan. Kewajiban memenuhi persyaratan yang terdapat

dalam perjanjian dan terikatnya dengan kelangsungan perkawinan tergantung

49
Al-Qur’an dan Terjemahannya, (QS. Ali Imran ayat 76).
50
Al-Qur’an dan Terjemahannya, (QS. Al-Maidah ayat 1)
32

kepada bentuk persyaratan yang ada dalam perjanjian. Oleh karenanya seseorang

boleh dan sah membuat perjanjian perkawinan maupun tidak. Namun demikian

untuk menepati janji yang hukumnya adalah wajib ditepati sepanjang dalam

perjanjian tersebut tidak terdapat pihak-pihak yang memaksa. Hal ini didasarkan

pada riwayat Al-Bukhari:

َ ‫أح َق الشَّر‬: َ‫اللَ عليَه وسلَّم‬


َ‫وط أن‬ َّ ‫قالَ رسولَ للاَ صلَّ َى‬: َ‫حديثَ عقبَة بنَ عام ٍَر رضيَ للاَ عنَه قال‬

‫نوفوا بهَ ما استحللتمَ بَه الفروج‬


Uqbah bin Amir RA. berkata: Rasulullah Saw bersabda: “Syarat yang
layak (harus) ditepati ialah diadakan mahar untuk menghalalkan farji
(yakni dalam perkawinan)”.51
Dalam literatur lain disebutkan bahwa kewajiban memenuhi persyaratan

yang terdapat dalam perjanjian perkawinan tergantung pada bentuk persyaratan

yang ada dalam perjanjian. Dalam hal ini Ulama membagi syarat tersebut menjadi

tiga bagian:52

a. Syarat-syarat yang langsung berkaitan dengan pelaksanaan kewajiban

suami istri dan merupakan tuntutan dari perkawinan itu sendiri.

Umpamanya, suami istri bergaul secara baik, suami memberi nafkah untuk

anak dan istrinya, istri mesti melayani kebutuhan biologis suaminya dan

suami istri wajib memelihara dan mendidik anak mereka.

b. Syarat-syarat yang bertentangan dengan hakikat perkawinan atau yang

secara khusus dilarang untuk dilakukan. Umpamanya, suami istri

mempersyaratkan untuk tidak akan beranak istri mempersyaratkan

51
Muhammad Fu’ad Abdul Baqi, Shahih Bukhari Muslim, Bab Memenuhi Syarat-Syarat Dalam
pernikahan. Dikeluarkan oleh Bukhari pada Kitab ke-54, (Jakarta: Kompas Gramedia, 2017), h,
500
52
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, 146.
33

suaminya untuk menceraikan istri-istrinya yang lebih dahulu, suami

mempersyaratkan dia tidak akan membayar mahar atau nafkah, dan suami

mempersyaratkan istrinya untuk mencari nafkah secara tidak halal, seperti

melacur.53

c. Syarat-syarat yang tidak menyalahi tuntutan perkawinan dan tidak ada

larangan secara khusus namun tidak ada tuntutan dari syara’ untuk

dilakukan. Sebagai contoh, istri mempersyaratkan bahwa suaminya tidak

akan memadunya atau misalnya harta yang dihasilkan selama berumah

tangga menjadi milik bersama.

Para ulama sepakat mengatakan bahwa perjanjian yang pertama itu wajib

dilaksanakan. Perjanjian perkawinan pada bagian kedua di atas tidak

diperbolehkan (haram) dilaksanakan atau dipenuhi, dan adapun perjanjian dalam

bentuk ketiga terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. 54 Demikian pula

pendapat madzhab Hambali bahwa wanita itu secara hukum sah mengambil

haknya laki-laki seperti: calon istri mensyaratkan agar hak talak diserahkan

kepada istri, dengan arti kata pihak wanita berhak melaksanakannya. Begitu juga

sebaliknya jika syarat tersebut diucapkan oleh laki-laki (calon suami) itu sendiri,

maka Abu Hanifah mengatakan bahwa syarat tersebut adalah batal, karena hak

talak berada di tangan laki-laki, oleh karenanya tidaklah wajar jika haknya sendiri

dipindahkan kepada perempuan. 55

4. Asas-Asas Perjanjian Dalam Hukum Islam

53
Zayyin Alfijihad1, Perjanjian Dalam Perkawinan Perspektif Maqosid Al-Syari’ah, hlm, 95-96
54
Umar Ali, Kepastian Hukum Perkawinan Di Bawah Tangan Ditinjau Dari Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, (Thesis, 2018), h, 39-41.
55
Ru’fah Abdullah, Perjanjian Dalam Perkawinan Perspektif Hukum Islam Dan Perundang-
Undangan, Jurnal Studi Gender Dan Anak, Vol, 3, No, 1, 2016, h, 39-40
34

Asas-asas perjanjian/akad adalah landasan prinsip dalam pelaksanaan

akad. Asas-asas akad ini dirumuskan dari prinsip-prinsip umum yang terdapat

dalam pelaksanaan akad menurut syariah (hukum Islam). Menurut Syamsul

Anwar asas-asas akad (perjanjian) ini antara lain, yaitu:

a. Asas kebolehan (mabda’ al-Ibahah)

Asas ini kebalikan dari asas yang berlaku dalam ibadah. Dalam

hukum Islam, untuk tindakan-tindakan ibadah berlaku asas bahwa

bentuk-bentuk ibadah yang sah adalah bentuk-bentuk yang disebutkan

dalil-dalil syariah. 56 Orang tidak dapat membuat bentuk baru ibadah

yang tidak pernah ditentukan oleh Nabi SAW. Bentuk-bentuk baru

ibadah yang dibuat tanpa pernah diajarkan oleh Nabi SAW itu disebut

bid’ah dan hukumnya tidak boleh. Sebaliknya, dalam tindakan-

tindakan muamalah berlaku asas sebaliknya.

b. Asas kebebasan (mabda al-huriyyah)

Hukum Islam mengakui kebebasan berakad, yaitu suatu prinsip

hukum yang menyatakan bahwa setiap orang dapat membuat akad

jenis apapun tanpa terikat kepada nama-nama (istilah-istilah) yang

telah ditentukan dalam syariah dan memasukkan klausul apa saja ke

dalam akad yang dibuatnya sesuai kepentingannya sejauh tidak

berakibat tidak makan harta sesama dengan cara bathil. 57

c. Asas konsensualisme (mabda ar-radha’iyyah)

56
Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah, Studi Tentang Teori Akad dalam Fiqih Muamalat,
h, 83
57
Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah, Studi Tentang Teori Akad dalam Fiqih Muamalat,
84
35

Asas konsensualisme (kesepakatan) menyatakan bahwa untuk

terciptanya suatu akad cukup dengan tercapainya kata sepakat antara

para pihak tanpa perlu dipenuhinya formalitas-formalitas tertentu.

Ayat-ayat al Qur’an dan Hadis Nabi SAW serta kaidah hukum Islam

merupakan dasar dari asas ini dalam pelaksanaan akad.

d. Asas janji itu mengikat

Dalam al Quran dan Hadis terdapat banyak perintah tentang

kewajiban untuk memenuhi janji. Ini menunjukkan bahwa janji selain

wajib dipenuhi berarti juga mengikat.

e. Asas keseimbangan dan keadilan (mabda al-Tawazun fi

almufawwadah)

Hukum Islam menekankan keseimbangan dalam bertransaksi.

Keseimbangan itu adalah keseimbangan dari apa yang telah diberikan

dan apa yang diterima maupun keseimbangan dalam memikul risiko.

Hal ini tercermin dari dibatalkannya suatu akad yang mengalami

ketidakseimbangan prestasi yang mencolok.

f. Asas kemaslahatan

Asas ini berkaitan dengan asas sebelumnya, bahwa tujuan dari

suatu keseimbangan adalah agar tercipta kemaslahatan antara para

pihak yang melaksanakan akad. Begitu juga tidak menimbulkan

kerugian dan keadaan yang saling menyulitkan diantara pihak yang


36

berakad. 58 Oleh karena itu berdasarkan asas akad ini, apabila dalam

pelaksanaan suatu akad, terjadi suatu keadaan yang sebelumnya tidak

diketahui, membawa kerugian yang fatal bagi para pihak yang berakad

sehingga memberatkannya maka kewajiban dapat diubah kepada batas

yang masuk akal.

g. Asas amanah

Asas amanah bertujuan bahwa masing-masing pihak yang

berakad haruslah melaksanakan itikad baik dan tidak dibenarkan satu

pihak mengeksploitasi pihak yang lainya. Dalam hukum Islam ada

suatu akad yang dikenal dengan akad berdasarkan amanah seperti wadi

’ah dan pada saat sekarang juga dikenal akad takaful (asuransi).

Kejujuran dan tanggung jawab diantara para pihak yang berakad

merupakan suatu sikap yang harus dilaksanakan menurut hukum

Islam.

h. Asas kerelaan (al-ridha)

Asas ini menyatakan bahwa segala transaksi yang dilakukan

harus ada dasar kerelaan antara masing-masing pihak, harus

didasarkan pada kesepakatan bebas dari para pihak.

i. Tertulis (al-kitabah) 59

Bahwa setiap akad hendaknya dibuat secara tertulis, lebih

berkaitan demi kepentingan pembuktian jika dikemudian hari terjadi

58
Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah, Studi Tentang Teori Akad dalam Fiqih Muamalat,
85-86
59
Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah, Studi Tentang Teori Akad dalam Fiqih Muamalat,
87.
37

sengketa. Dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 282-283

mengisyaratkan agar akad yang dilakukan benar-benar berada dalam

kebaikan bagi semua pihak. Bahkan juga di dalam pembuatan akad

hendaknya juga disertai adanya saksi-saksi (syahadah), dan prinsip

tanggung jawab individu.

Anda mungkin juga menyukai