Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pernikahan terjadi ketika akad nikah telah terucap maka resmilah sepasang
insan menjalin ikatan sebagai suami istri. Hal ini adalah gerbang awal untuk memulai
sebuah rumah tangga yaitu dengan jalan menikah, karena memang di dunia ini telah
ditakdirkan oleh Allah untuk berpasang- pasangan, berjodoh-jodoh adalah naluri
semua makhluk ilahi rabbi.
Pernikahan atau perkawinan merupakan suatu hubungan antara manusia
dengan sesamanya yang menyangkut penyaluran kebutuhan biologis antar jenis dan
hak serta kewajiban yang berhubungan dengan akibat perkawinan.
Pernikahan dalam Islam banyak diatur dalam teks al-Quran dan al-Hadiṡ, baik
secara prinsip-prinsip umum, ataupun secara detail teknis pelaksanaannya. Para
fuqaha mażhab yang mencoba mensistematiskan aturan-aturan pernikahan dan
dituangkan dalam lembaran-lembaran kitab fiqih. Sifat fiqih yang merupakan
pemahaman para ahli fiqih dengan mendialektikakan antara teks suci dan realitas
yang dihadapi, maka menjadi wajar ketika terjadi banyak perbedaan pendapat antara
para imam mażhab.
Terlepas dari perbedaan pendapat itu, secara umum ulama sepakat bahwa
tujuan pernikahan adalah membentuk keluarga yang bahagia, sakinah, mawaddah dan
rahmah.1 Demi terealisasinya tujuan agung tersebut akhirnya para fuqaha
merumuskan persyaratan dan rukun pernikahan sesuai dengan mażhabnya masing-
masing. Akan tetapi, dalam fiqih klasik belum ada kesepakatan dan kejelasan tentang
batas minimal umur pernikahan. Kalaupun ada, sebatas memberikan persyaratan
bahwa syarat kedua pasangan yang akan menikah adalah balig.

1
Lihat pasal 3 Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, (Bandung:Humaniora Utama
Press,1992),h. 18

1
Perkawinan merupakan akad/perjanjian yang sangat kuat (mīṡāqan galīẓan)2
yang menuntut setiap orang yang terikat di dalamnya untuk memenuhi hak dan
kewajiban masing-masing dengan penuh keadilan, keserasian, keselarasan dan
keseimbangan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan diatas, maka dalam
makalah ini mengangkat rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimakah pengertian dari Pernikahan dalam sudut pandang Fiqh.
2. Bagaimanakah landasan lukum pernikahan dalam sudut pandang Fiqh.
3. Bagaimakah rukun dan syarat dalam pernikahan.
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui pengertian dari Pernikahan dalam sudut pandang Fiqh.
2. Untuk mengetahui landasan lukum pernikahan dalam sudut pandang Fiqh.
3. Untuk mengetahui rukun dan syarat dalam pernikahan.

2
Abdurahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, pasal 2 (Jakarta:Akademika
Pressindo,2015),h. 114

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Pernikahan dalam Perspektif Fiqh
Kata pernikahan berasal dari bahasa Arab “nikah”, yang berarti
“pengumpulan” atau “berjalinnya sesuatu dengan sesuatu yang lain”. Misalnya,
ranting-ranting pohon yang saling berjalin satu sama lain.3
Secara bahasa, Az- zawaaj adalah kata dalam bahasa Arab yang menunjukkan
arti bersatunya dua perkara, atau bersatunya ruh dan badan untuk kebangkitan.
Karena pernikahan menunjukkan makna bergandengan, maka disebut juga “Al-Aqd”,
yakni bergandengan (bersatu)nya antara laki-laki dengan perempuan, yang
selanjutnya diistilahkan dengan “zawajaa”.4
Kata dasar dari pernikahan ialah nikah yang merupakan kata serapan dari
bahasa arab ‫ نك==اح‬yang merupakan masdar atau kata asal dari kata kerja, ‫نكح‬
sinonimnya ‫ جّتس‬dan disebut juga dengan istilah perkawinan. Dalam bahasa
Indonesia, “perkawinan berasal dari kata “kawin”, yang menurut bahasa, artinya
membentuk keluarga dengan lawan jenis.5 ‫ نكح‬dalam kamus Al-Munawwir berarti
kawin, nikah.6 Istilah “kawin” digunakan secara umum untuk tumbuhan, hewan dan
manusia, dan menunjukkan proses generatif secara alami. Sedangkan kata nikah
digunakan hanya pada manusia karena mengandung keabsahan secara hukum
nasional, adat istiadat, dan terutama menurut agama.

3
Muhammad Baqir, Fiqih Praktis II Menurut Al-Qur’an As-Sunnah Dan Pendapat Para
Ulama,(Bandung: PT Mizan, 2008),h. 3

4
Nurliana, Fiqh 2 (Pekanbaru, Lppm Stai Diniyah,2012), h. 1.

5
KBBI Offline 1.5 (Kamus Besar Bahasa Indonesia offline)

6
Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir: Arab –Indonesia, )Surabaya: Pustaka
Progresif, 2002(, Cet ke-25, hal: 1461

3
Nikah atau zawaj atau menurut bahasa adalah (adh-dhommu dan al-jam‟u)
yang berarti berkumpul atau bercampur juga diartikan dengan akad (al-„aqdu) atau
ikatan dan wath‟u.7
Nikah artinya suatu akad yang menghalalkan pergaulan antara seorang laki-
laki dan perempuan yang bukan mahram dan menimbulkan hak serta kewajiban
antara keduanya. Dalam pengertian yang luas, pernikahan adalah suatu ikatan lahir
batin antara dua orang, laki-laki dan perempuan untuk hidup bersama dalam suatu
rumah tangga dan keturunan yang dilangsungkan menurut ketentuan-ketentuan
syari’at islam.8
Nikah adalah salah satu asas pokok hidup yang paling utama dalam pergaulan
atau masyarakat yang sempurna. Pernikahan itu bukan saja merupakan suatu jalan
yang amat mulia untuk mengatur kehidupan rumah tangga dan keturunan, tetapi juga
dapat dipandang sebagai satu jalan menuju pintu perkenalan antara suatu kaum
dengan kaum lain, dan perkenalan akan menjadi jalan untuk menyampaikan
pertolongan antara satu dengan yang lainnya.9
Pertalian pernikahan adalah ikatan yang mulia dan penuh berkah. Allah SWT
mensyari’atkannya untuk kemaslahatan hambanya serta kemanfaatan bagi manusia,
agar tercapai maksud-maksud yang baik. Selain dari ibadah kepada Allah SWT, nikah
juga sebagai jalan untuk menyalurkan nafsu seks dengan cara yang Ma’ruf,
mendapatkan keturunan, memperoleh kebahagiaan, mengikuti sunnah rasul,
membentengi diri dari perbuatan zina, serta membentengi ahklak yang luhur. Secara
umum tujuan pernikahan itu adalah untuk menjalankan syari’at islam dalam rumah
tangga dengan baik.10
B. Landasan Hukum Pernikahan
7
Taqiyuddin Abu Bakar, Kifayah Al-Akhyar, )Surabaya: Al-Haromain, 2005(, Juz 2, hal: 36

8
Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap, )Jakarta:
Rajagrafindo Persada, 2010(, Cet: 2, hal: 7

9
Sulaiman Rasjid,Fiqh Islam (Bandung : Sinar Baru Algensindo,2003) Cet. Ke-36. h. 374.

10
Nurliana, Fiqh 2 (Pekanbaru, Lppm Stai Diniyah,2012), h. 5

4
Pernikahan adalah sesuatu yang diperintahkan oleh syari’at, sebagaimana
firman Allah SWT dalam (QS. An-Nisa’: 3) :
        
        
        
   
Artinya : “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak- hak)
perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah
wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian
jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang
saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih
dekat kepada tidak berbuat aniaya”.11
Serta sabda Rasulullah SAW:

Artinya :“Abdullah Ibnu Mas'ud Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu


'alaihi wa Sallam bersabda pada kami: "Wahai generasi muda, barangsiapa di antara
kamu telah mampu berkeluarga hendaknya ia kawin, karena ia dapat menundukkan
pandangan dan memelihara kemaluan. Barangsiapa belum mampu hendaknya
berpuasa, sebab ia dapat mengendalikanmu.” (Muttafaq Alaihi)
Bagi orang yang telah mampu menikah, sangat dianjurkan untuk beristri.
Karena dengan beristri itu hati lebih terpelihara dan lebih bersih dari desakan nafsu.
Al-Qurtubi mengatakan : “bagi orang yang mampu menikah, sedang dia khawatir
dirinya terjerumus kedalam dosa sehingga agamanya tidak terpelihara akibat

11
Departemen Agama RI, Alqur’an Dan Terjemahnya,( Semarang : Toha Putra, 1989 ), h. 115

5
membujang, yang rasanya hal itu akan bisa disembuhkan dengan perkawinan, maka
tak ada perbedaan pendapat mengenai wajibnya perkawinan dalam keadaan seperti
ini.”12
Selain itu secara filosofis, menikah atau berpasangan itu adalah merupakan
ciri dari makhluk hidup. Allah SWT telah menegaskan bahwa makhluk-makhluk
ciptaan-Nya ini diciptakan dalam bentuk berpasangan satu sama lain.
Firman Allah SWT (QS. Az-Zariyat : 49) :
       
Artinya :“Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu
mengingat kebesaran Allah.(QS. Az-Zariyat : 49)”13
Islam adalah agama yang Syumul (universal). Agama yang mencakup semua
sisi kehidupan. Tidak ada suatu masalah pun dalam kehidupan ini yang tidak
dijelaskan. Termasuk dalam masalah pernikahan. Islam telah memberikan konsep
yang jelas tentang tata cara pernikahan berlandaskan Al-Qur’an dan Sunnah Rasul.
Para ulama ketika membahas hukum pernikahan, menemukan bahwa ternyata
menikah itu terkadang hukumnya bisa menjadi sunnah (mandub), terkadang bisa
menjadi wajib atau terkadang juga bisa menjadi sekedar mubah saja. Bahkan dalam
kondisi tertentu bisa menjadi makruh. Dan ada juga hukum pernikahan yang haram
untuk dilakukan.14
Secara normal, ada dua hal utama yang membuat seseorang menjadi haram
untuk menikah. Pertama, tidak mampu memberi nafkah. Kedua, tidak mampu
melakukan hubungan seksual. Kecuali bila telah berterus terang sebelumnya dan
calon suami istri itu mengetahui dan menerima keadaannya.
Selain itu masih ada lagi sebab-sebab tertentu yang mengharamkan untuk
menikah. Misalnya wanita muslimah yang menikah dengan laki-laki yang berlainan
12
Ibrahim Muhammad Al-Jamal, Fiqih wanita (Semarang : Asy-Syifa,1986) h.3

13
Departemen Agama RI, Alqur’an Dan Terjemahnya,( Semarang : Toha Putra, 1989 ), h.
862
14
Ahmad Sarwat, Fiqh Nikah (Kampus Syari’ah : t.t., 2009). cet. Ke- 1. h. 16.

6
agama. Menikahi wanita yang haram dinikahi (mahram), pernikahan wanita yang
punya suami, wanita yang berada dalam masa iddah, pernikahan yang tidak
memenuhi syarat dan rukun, dan pernikahan yang dilakukan ketika sedang ihram Haji
dan Umrah.
Semua jenis pernikahan yang disebutkan di atas adalah bentuk dari
pernikahan yang dilarang atau diharamkan. Pernikahan orang yang sedang ihram
menurut para ulama jumhur seperti, Malik, Syafi’i, dan Ahmad , adalah haram
hukumnya untuk dilakukan, mereka berpendapat bahwa orang yang sedang berihram
tidak boleh melakukan akad nikah. Apabila dia melakukannya maka nikahnya batal
(tidak sah).15
Selain itu, pernikahan bagi manusia bermanfaat untuk mendapatkan keturunan
dan melestarikan kehidupan. Bisa dibayangkan apabila manusia hidup di dunia ini
tanpa sebuah ikatan pernikahan, generasi manusia ke depan akan punah disebabkan
tidak adanya penerus yang menjalankan roda kehidupan. Maka, sudah seharusnya
pernikahan itu dilaksanakan sebaik mungkin dan sesuai dengan aturan yang berlaku.
Hal ini bertujuan agar manusia bisa hidup dengan baik dan membedakan manusia
dengan makhluk hidup yang lainnya.

C. Rukun dan Syarat dalam Pernikahan


Menurut pandangan ulama Ḥanafī, rukun nikah hanya ijab dan qabul,
sementara dalam pandangan jumhur, rukun nikah terdiri dari
a. pengantin lelaki,
b. pengantin perempuan,
c. wali,
d. dua orang saksi, serta
e. ijab dan qabul (akad nikah).
Sementara itu, Mālikiyah menetapkan mahar juga sebagai rukun nikah.
Adapun syarat-syaratnya adalah sebagai berikut:
15
Abu Kamal Malik,Shahih Fiqh Suunah, (Jakarta : Pustaka Azzam, 2007)jilid : 2. h. 339.

7
1. Syarat pengantin laki-laki adalah, a) Islam, b) rida terhadap pernikahan
tersebut, c) orangnya jelas, d) tidak ada halangan shara’, misalnya tidak
sedang ihram haji atau umrah. Menurut Ḥanafiyah, baligh dan berakal bukan
syarat sah-nya nikah, melainkan syarat sahnya pelaksanaan akad nikah,
sementara syarat sahnya nikah cukup mumayyiz, yakni berusia tujuh tahun.
Mālikiyah memperbolehkan ayah dan hakim atau orang yang mendapatkan
wasiat untuk menikahkan orang gila dan anak kecil untuk kepentingan
maslahah seperti dikhawatirkan zina. Shāfi’iyah juga memperbolehkan ayah
dan kakeknya menikahkan anaknya yang mumayyiz, sekalipun lebih dari satu
istri jika hal tersebut membawa maslahah. Ḥanābilah memperbolehkan
seorang ayah menikahkan anak laki-lakinya yang masih kecil, atau gila
walaupun yang bersangkutan sudah tua.16
2. Syarat pengantin wanita adalah a) rida terhadap pernikahan tersebut, b) Islam
atau Ahl al-Kitāb, c) orangnya jelas, d) tidak ada halangan syar’i untuk
dinikahi, baik yang bersifat muabbad (selamanya) karena mahram, atau
muaqqat (sementara) misalnya sedang terikat pernikahan dengan orang lain.
3. Syarat wali. Wali ada dua, yakni wali nasab dan wali hakim. Syarat wali
adalah a) cakap bertindak hukum (baligh dan berakal), b) merdeka, c)
seagama antara wali dan mempelai yang diakadkan, d) laki-laki e) adil. Dalam
pandangan Ḥanafiyah, perempuan dapat menjadi wali sebagai wali pengganti
atau mewakili.17 Adil juga bukan syarat bagi seorang wali menurut Ḥanafiyah
dan Mālikiyah. Seorang yang fasik dapat bertindak sebagai wali.18
4. Syarat saksi adalah a) cakap bertindak hukum, b) minimal dua orang laki-laki,
c) muslim, d) melihat, e) mendengar, f) adil, g) faham terhadap maksud akad,
i) merdeka. Menurut Ḥanābilah, kesaksian budak, sah, karena tidak ada

16
al-Zuḥailī, al-Fiqh al-Islāmī, vol. 9,h. 6534.
17
al-Zuḥailī, al-Fiqh al-Islāmī, vol. 9,h. 6701.

18
al-Zuḥailī, al-Fiqh al-Islāmī, vol. 9,h. 6702.

8
pernyataan naṣṣ yang menolak kesaksian mereka. Adapun keharusan saksi
laki-laki dalam pernikahan berdasarkan hadis Nabi:

Artinya: “Dari Abū Ḥurairah bahwasanya Rasul bersabda: Seorang wanita tidak
boleh menikahkhan wanita lain dan tidak boleh pula menikahkan dirinya
sendiri sesungguhnya seorang pezina wanita adalah yang menikahkan
dirinya sendiri”.19
Ḥanafiyah memperbolehkan saksi seorang laki-laki dan dua orang perempuan
sebagaimana dalam muamalah. Ḥanafī juga memperbolehkan orang buta dan orang
fasik menjadi saksi. Sekalipun memandang bahwa saksi merupakan syarat
pernikahan, namun Mālikiyah berpendapat bahwa saksi itu tidak harus ada pada saat
berlangsungnya akad. Menurut mereka, saksi boleh datang setelah selesai akad,
sepanjang belum terjadi dukhūl (bersetubuh). Dengan demikian, dalam pandangan
Mālikiyah, saksi merupakan syarat sah-nya kebolehan dukhūl (hubungan suami
isteri), bukan syarat sahnya akad.20
5. Syarat ijab-qabul adalah a) lafaz yang diucapkan harus bersifat pasti
(menggunakan fi’il māḍī), b) tidak mengandung makna yang meragukan, c)
lafaz akad bersifat tuntas bersamaan dengan tuntasnya akad. Artinya, akad
tidak digantungkan pada syarat tertentu, misalnya, “saya nikahkan anak saya
jika nanti sudah diterima menjadi pegawai negeri”, d) ijab dan qabul
diucapkan dalam satu majlis, artinya ijab dan qabul berada dalam situasi dan
kondisi yang menunjukkan adanya kesatuan akad. Jika salah satu pihak tidak
hadir dalam majlis akad, namun mengirimkan surat yang berisi kesediaan
terhadap akad, maka ketika surat tersebut dibacakan di hadapan saksi, maka
itulah satu majlis, e) qabul tidak berbeda dengan ijab. Jika jumlah mahar
disebutkan dalam akad, maka jumlah mahar yang disebut dalam qabul harus
19
4 Ibn Mājah Abū Abdllah al-Qazwīnī, Sunan Ibn Majah, vol. 3, (T.t.: Maktabah Abī al-
Mu’āṭī, t.th.), 80.

20
al-Zuḥailī, al-Fiqh al-Islāmī, vol. 9,h. 6561.

9
sama dengan jumlah yang disebut dalam ijab, kecuali jika dalam qabul (pihak
suami) menyebut jumlah mahar yang melebihi jumlah yang disebut dalam
ijab. Dalam hal ini, akad, sah. Sekalipun menurut jumhur mahar bukan rukun,
namun jika disebut dalam akad, maka menjadi bagian dari akad, f) antara ijab
dan qabul harus bersifat segera (al-faur), artinya, tidak ada jarak yang lama
antara ijab dan qabul yang menunjukkan adanya perubahan/pemalingan dari
tujuan akad, g) kedua pihak mendengar ijab dan qabul secara jelas, h) orang
yang mengucapkan ijab tidak mencabut ijabnya, i) harus disampaikan secara
lisan, kecuali orang bisu dan orang yang tidak berada di tempat, j) akad
bersifat abadi, tidak dibatasi oleh waktu, misalnya bahwa pernikahan hanya
selama satu bulan, dan lain-lain.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan pembahasan yang telah dijelaskan diatas, maka
penyusun dapat mengambil beberapa kesimpulan yaitu:
1. Nikah artinya suatu akad yang menghalalkan pergaulan antara seorang laki-
laki dan perempuan yang bukan mahram dan menimbulkan hak serta
kewajiban antara keduanya. Dalam pengertian yang luas, pernikahan adalah
suatu ikatan lahir batin antara dua orang, laki-laki dan perempuan untuk hidup
bersama dalam suatu rumah tangga dan keturunan yang dilangsungkan
menurut ketentuan-ketentuan syari’at islam.
2. Pernikahan adalah sesuatu yang diperintahkan oleh syari’at, sebagaimana
landasan hukum dari firman Allah SWT dalam
a. Surat An-Nisa’: 3
b. Surat Az-Zariyat : 49

10
c. Serta sabda-sabda Rasulullah.
3. rukun nikah terdiri dari :
a. pengantin lelaki,
b. pengantin perempuan,
c. wali,
d. dua orang saksi, serta
e. ijab dan qabul (akad nikah).
4. Adapun syarat-syarat dalam pernikahan adalah sebagai berikut:
a. Syarat pengantin laki-laki adalah, a) Islam, b) rida terhadap pernikahan
tersebut, c) orangnya jelas, d) tidak ada halangan shara’.
b. Syarat pengantin wanita adalah a) rida terhadap pernikahan tersebut, b)
Islam atau Ahl al-Kitāb, c) orangnya jelas, d) tidak ada halangan syar’i
untuk dinikahi
c. Syarat wali. Wali ada dua, yakni wali nasab dan wali hakim. Syarat wali
adalah a) cakap bertindak hukum (baligh dan berakal), b) merdeka, c)
seagama antara wali dan mempelai yang diakadkan, d) laki-laki e) adil.
d. Syarat saksi adalah a) cakap bertindak hukum, b) minimal dua orang laki-
laki, c) muslim, d) melihat, e) mendengar, f) adil, g) faham terhadap
maksud akad, i) merdeka.
e. Syarat ijab-qabul adalah a) lafaz yang diucapkan harus bersifat pasti
(menggunakan fi’il māḍī), b) tidak mengandung makna yang meragukan,
c) lafaz akad bersifat tuntas bersamaan dengan tuntasnya akad.\

11
DAFTAR PUSTAKA
Abdurahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, pasal 2, Jakarta:Akademika
Pressindo,2015
Muhammad Baqir, Fiqih Praktis II Menurut Al-Qur’an As-Sunnah Dan Pendapat
Para Ulama, Bandung: PT Mizan, 2008
Nurliana, Fiqh 2 Pekanbaru, Lppm Stai Diniyah,2012
KBBI Offline 1.5 (Kamus Besar Bahasa Indonesia offline)
Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir: Arab –Indonesia, Surabaya:
Pustaka Progresif, 2002
Taqiyuddin Abu Bakar, Kifayah Al-Akhyar, Surabaya: Al-Haromain, 2005
Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap, Jakarta:
Rajagrafindo Persada, 2010
Sulaiman Rasjid,Fiqh Islam Bandung : Sinar Baru Algensindo,2003
Nurliana, Fiqh 2 Pekanbaru, Lppm Stai Diniyah,2012
Departemen Agama RI, Alqur’an Dan Terjemahnya, Semarang : Toha Putra, 1989
Ibrahim Muhammad Al-Jamal, Fiqih wanita Semarang : Asy-Syifa,1986

12
Departemen Agama RI, Alqur’an Dan Terjemahnya, Semarang : Toha Putra, 1989
Ahmad Sarwat, Fiqh Nikah Kampus Syari’ah : t.t., 2009
Abu Kamal Malik,Shahih Fiqh Suunah, Jakarta : Pustaka Azzam, 2007
al-Zuḥailī, al-Fiqh al-Islāmī
Ibn Mājah Abū Abdllah al-Qazwīnī, Sunan Ibn Majah, vol. 3, T.t.: Maktabah Abī al-
Mu’āṭī, t.th.

13

Anda mungkin juga menyukai