DISUSUN OLEH :
MIRZA FATURRAHIIM
PUSPI DINI
FAKULTAS PERTANIAN
2018/2019
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia adalah mahluk yang tidak dapat hidup sendiri yakni
membutuhkan orang lain dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. 1aik dengan cara
jual beli, sewa menyewa,pinjam-meminjam, bercocok tanam atau usaha- usaha
yang lain, baik dalam urusan diri sendiri maupun untuk kemaslahatan umum.
Agar hubungan mereka berjalan dengan lancar dan teratur, maka agama memberi
peraturan yang sebaiki-baiknya.
Jual beli adalah kegiatan tukar menukar barang dengan cara tertentu yang
setiap hari pasti dilakukan yang kadang kita tidak tahu apakah sah ataupun tidak.
Utang piutang juga suatu kegiatan yang sangat kental dengan kehidupan manusia,
dan kedua kegiatan muamalah tersebut sangat erat dengan riba.
Oleh karena itu, pada makalah ini akan memebahas tentang jual- beli,
utang piutang, agar para penbaca tidak masuk dalam jurang riba.
B. Rumusan Masalah
1. Apa itu Jual Beli?
2. Apa itu Riba?
3. Apa itu Hutang Piutang?
BAB II
PEMBAHASAN
Jual beli merupakan rangkaian kata yang terdiri dari kata jual dan beli.
Kata jual beli dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia bermakna yakni persetujuan
yang saling mengikat antara penjual yaitu sebagai pihak yang menyerahkan
barang, dan pembeli sebagai pihak yang membayar harga barang yang dijual.
Dalam bahasa Arab kata jual (al-bay’) dan kata beli (al-syira’) dimana dua
kata tersebut mempunyai arti yang berlawanan, namun orang-orang Arab biasanya
menggunakan kata jual beli dengan satu kata yaitu al-bay’. Dengan demikian kata
al-bay‘ berarti jual dan sekaligus juga berarti kata beli, yang mana menurut bahasa
al-bay’ berarti menukarkan sesuatu benda dengan benda lain.
Artinya : “Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”
b. Surah An-Nisa’(4) ayat 29 :
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku
dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu.
Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.”
c. Dasar hukum dari as-Sunnah antara lain :
“Dari Rifa'ah Ibnu Rafi' bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam pernah
ditanya: pekerjaan apakah yang paling baik? Beliau bersabda: "Pekerjaan
seseorang dengan tangannya dan setiap jual-beli yang bersih." Riwayat al-Bazzar.
Hadits shahih menurut Hakim.”
Dan Ibnu Qudamah juga menyatakan tentang diperbolehkannya bay’ karena
mengandung hikma yang berdasarkan, bahwa setiap orang mempunyai
ketergantungan terhadap sesuatu yang dimiliki orang lain (rekannya). Padahal
orang lain tidak akan memberikan sesuatu yang ia butuhkan tanpa ada
kompensasi. Sehingga dengan disyari’atkan bay’, setiap orang dapat meraih
tujuannya dan memenuhi kebutuhannya.
C. Hukum Utang Piutang
Dasar hukum utang piutang dapat kita temukan dalam al-Qur’an dan
Hadis. Dalam transaksi utang piutang tersebut, terdapat nilai luhur yang tinggi,
yaitu perintah tolong menolong dalam kebaikan. Pada dasarnya pemberian utang
kepada seseorang haruslah dengan niat yang tulus untuk beribadah kepada Allah
Swt. Sebagaimana dalam al-Qur’an surat al-Hadid ayat 11 :
Artinya:
“…,Barang siapa menghutangkan (karena Allah Swt) dengan hutang yang baik,
maka Allah Swt akan melipatgandakan (balasan) pinjaman itu untuknya dan ia
akan memperoleh pahala yang banyak.”
Dari potongan ayat di atas, dapat digambarkan bahwa Allah SWT mendorong
para ummat islam untuk saling tolong menolong dan juga berlomba-lomba dalam
hal kebaikan, terutama dalam hal menginfakkan maupun menafkahkan hartanya di
jalan yang di ridhoi oleh Allah SWT dan dengan hati yang tulus dan ikhlas. Harta
yang sudah mereka infakkan tadi, nantinya akan diganti oleh Allah SWT dengan
balasan yang berlipat-lipat ganda.
Selain dengan niat yang tulus ikhlas dan karena perintah dari Allah SWT untuk
saling tolong menolong, utang piutang juga memberikan aturan dalam hal
transaksinya, agar sesuai dengan prinsip Syariah. Aturan tersebut ialah, agar setiap
utang piutang hendaknya dilakukan secara tertulis. Ketentuan ini terdapat pada
surat Al-Baqarah ayat 282 :
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai
untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah
seorang penulis diantara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah
penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, maka
hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan
(apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah, dan
janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu
orang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu
mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan
persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika
tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan
dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang
mengingatkannya...”
Selain ayat-ayat Al-Qur’an, dasar hukum atau anjuran-anjuran tentang utang
piutang juga dibahas dibeberapa hadits, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu
Majah :
Artinya:
“Dari Ibnu Mas’ud bahwa Rasulullah Saw bersabda: tidakkah seorang muslim
memberi pinjaman kepada orang muslim yang lain sebanyak dua kali melainkan
pinjaman itu (berkedudukan) seperti sedekah satu kali.” (HR. Ibnu Majah).”
Hadis di atas menjelaskan bahwa memberikan utang kepada seseorang pada saat
ia membutuhkan sebanyak dua kali, maka nilai pahalanya sma dengan
memberikan sedekah sekali.
Dari ayat al-Qur’an dan hadis di atas, dapat digambarkan bahwasannya utang
piutang itu diperbolehkan dan dianjurkan. Dan Allah Swt pasti akan memberikan
balasan berlipat-lipat bagi seseorang yang berkenan memberikan utang kepada
saudaranya yang membutuhkan. Dan untuk orang yang berutang dengan niat yang
baik maka Allah pun akan menolongnya sampai utang tersebut terbayarkan.
Selain itu, para Ulama sendiri juga sepakat dan tidak ada pertentangan mengenai
kebolehan utang piutang, karena kesepaktan ini didasari pada tabiat manusia yang
sejatinya adalah makhluk sosial dan memerlukan bantuan dari manusia lainnya.
Oleh karena itu, utang piutang sudah menjadi salah satu bagian dari kehidupan di
dunia ini, karena Islam adalah agama yang sangat memperhatikan setiap
kebutuhan umatnya.
Meskipun demikian, utang piutang juga mengikuti hukum taklifi, yang
terkadang di hukumi boleh, makruh, wajib dan terkadang haram. Hal ini sesuai
dengan yang dikemukakan oleh Ibnu Qayyim al-Jauziyah dalam kitabnya I’lam
al-Muwaqqi’in sebagaimana berikut :
1. Wajib, apabila diberikan atau dipinjamkan kepada orang yang sangat
membutuhkan, seperti teman yang sedang kesulitan biaya untuk membayar uang
ujian.
2. Haram, jika uang yang dipinjamkan untuk berbuat maksiat ataupun perbuatan
makruh, misalnya untuk membeli narkoba, berjudi, dan lain-lain.
3. Boleh, apabila uang yang dipinjamkan digunakan menambah modal usaha karena
berambisi mendapatkan keuntungan yang besar.
Selain itu, dalam memberikan utang piutang, diharamkan bagi para
pemberi utang dalam mesyaratkan tambahan pada waktu pengembalian utang,
karena itu sama saja seperti riba. Para ulama juga sepakat bahwa utang piutang
yang mendatangkan keuntungan hukumnya haram, jika keuntungan tersebut
disyaratkan sebelumnya. Namun jika belum disyaratkan sebelumnya dan bukan
merupakan tradisi yang biasa berlaku, maka tidak apa-apa. Karena kelebihan atau
keuntungan yang didapat dari tidak ada syarat diawal merupakan kehendak dari
orang yang berutang sebagai balas jasa yang diterimanya. Maka, yang demikian
itu bukanlah riba dan dibolehkan serta menjadi kebaikan bagi si pemberi utang,
karena ini terhitung senbagai al-husnu al-qada (membayar utnag dengan baik).
Ketentuan Jual Beli dan Utang Piutang :
a. Jual Beli
Segala kegiatan yang berkaitan dengan masyarakat diperlukan adanya
suatu aturan yang jelas, agar dalam prakteknya tidak menemui kendala dan
sebagai prefentif adanya kecurangan di antara pihak. Demikian juga dalam
masalah jual beli diperlukan aturan yang jelas juga, adapun jual beli itu diperlukan
aturan adanya syarat dan rukun, selain itu diperlukan batasan-batasan yang jelas
pula dalam larangannya yang harus mereka hindari.
Adapun rukun jual beli adalah sebagai berikut :
1. Adanya ‘aqid, yaitu penjual dan pembeli.
2. Adanya ma’qud ‘alaihi, yaitu barang yang dijual.
3. Adanya sighod aqad, yaitu ijab dan qabul dari penjual dan pembeli.
4. Nilai tukar pennganti barang.
Sedangkan syarat-syarat dari jual beli adalah sebagai berikut :
1. Syarat orang yang berakad
Ulama fiqih sepakat bahwa syarat jual beli harus memenuhi syarat sebagai
berikut, yaitu :
a) Berakal dan tamyiz
Jumhur ulama berpendapat, bahwa orang yang melakukan akad jual beli itu, sudah
baligh dan berakal. Apabila orang yang berakad masih mumayyiz, maka akad jual
beli itu tidak sah, sekalipun mendapat izin dari walinya.
b) Orang yang melakukan akad itu, adalah orang yang berbeda.
Maksudnya, seseorang tidak dapat bertindak sebagai pembeli dan penjual dalam
waktu yang bersamaan.
2. Syarat yang terkait dengan shighat (ijab dan qobul)
Ijab diambil dari kata aujaba yang artinya meletakkan, dari pihak penjual
yaitu pemberian hak milik, dan qabul yaitu orang yang menerima hak milik.
Ulama fiqih sepakat menyatakan, bahwa urusan utama dalam jual beli adalah
kerelaan kedua belah pihak. Kerelaan ini dapat terlihat pada saat akad
berlangsung. Ijab dan qobul harus diungkapkan secara jelas dalam transaksi yang
bersifat mengikat kedua belah pihak, seperti akad jual beli dan sewa-menyewa.
Apabila ijab dan qobul telah diucapkan dalam akad jual beli, maka kepemilikan
barang dan uang telah berpindah tangan. Para Ulama fiqih meyatakan, bahwa
dalam ijab dan qobul jual beli juga terdapat syarat, diantaranya sebagai berikut :
a) Orang yang mengucapkan ijab maupun qobul telah akil baligh dan berakal atau
telah berakal.
b) Qobul sesuai dengan ijab. Contohnya “Saya jual sepeda ini dengan harga sepuluh
ribu”, lalu pembeli menjawab “Saya beli dengan harga sepuluh ribu”.
c) Ijab dan kabul dilakukan dalam satu majlis. Maksudnya kedua belah pihak yang
melakukan akad jual beli hadir dalam membicarakan masalah yang sama.
3. Syarat barang yang diperjual belikan (Ma’qud Alaih)
Syarat barang yang diperjualbelikan sebagai berikut, yaitu :
a) Barang itu ada atau tidak ada ditempat
b) Dapat dimanfaatkan dan bermanfaat bagi manusia.
c) Milik seseorang. Barang yang sifatnya belum dimiliki seseorang, tidak boleh
diperjualbelikan.
d) Dapat diserahkan pada saat akad berlangsung atau pada waktu yang telah
disepakati bersama ketika akad berlangsung.
c. Ahli fiqh mendefinisikan riba sebagai penambahan pada salah satu dari dua
ganti yang sejenis tanpa ada ganti dari tambahan tersebut.
d. Abdul Aziz Muhammad Azzam, riba adalah akad untuk satu ganti khusus tanpa
diketahui perbandingannya dalam penilaian syariat ketika berakad atau bersama
dengan mengakhirkan kedua ganti atau salah satunya. Dari beberapa pengertian di
atas dapat disimpulkan bahwa riba adalah melebihkan jumlah pinjaman pada saat
pengembalian dengan menambah dari jumlah pinjaman pokok, yang dibebankan
kepada peminjam.
2. Dasar Hukum Riba
Dasar keharaman riba disebutkan dalam al-Qur’an dan hadit:
a. Landasan hukum al-Qur’an
ٰۡ
ِ ِلِل َكف
َ]]رين اس بِ ۡٱل ٰبَ ِط] ۚ ِل َوأَ ۡعتَ] ۡ]دنَا
ِ َُّوا َع ۡنهُ َوأَ ۡكلِ ِهمۡ أَمۡ ] ٰ َو َل ٱلن
ْ َوأَ ۡخ ِذ ِه ُم ٱلرِّ بَ ٰو ْا َوقَ ۡد نُه
١٦١ ِم ۡنهُمۡ َع َذابًا أَلِ ٗيما
3. Macam-macam riba
a. Riba fadl
Riba fadl adalah jual beli dengan tambahan pada salah satu barang yang
saling ditukar. Dengan demikian tambahan ini tanpa disertai penangguhan
penyerahan.
Riba ini tidak terjadi kecuali pada dua barang sejenis, seperti satu takar
gandum dengan satu setengah takar gandum yang sama, satu gram emas dengan
satu setengah gram emas. Menurut Hendi Suhendi dalam buku fiqh muamalah
mendefinisikan riba fad}l adalah berlebih salah satu dari dua pertukaran yang
diperjualbelikan. Bila yang diperjual belikan sejenis, berlebih timbangannya pada
barang-barang yang ditimbang, berlebih takarannya pada barang-barang yang
ditakar, dan berlebih ukurannya pada barang-barang yang yang diukur.
b. Riba yad
Riba yad yaitu jual beli dengan menunda penyerahan kedua barang atau
penyerahan salah satu barang tapi tanpa menyebutkan waktu penangguhan.
Maksudnya, akad jual beli yang tidak sejenis, seperti gandum dengan dengan
jelai, tanpa penyerahan barang di majelis akad.
c. Riba nas}i’ah
Riba nas}i’ah adalah kelebihan atas piutang yang diberikan orang yang
berhutang kepada pemilik modal ketika waktu yang disepakati jatuh tempo. Riba
nas}i’ah bisa juga diartikan melebihkan pembayaran barang yang diperjual
belikan, dipertukarkan atau dihutangkan karena diakhirkan waktu pembayarannya
baik yang sejenis maupun tidak.
Menurut ulama’ Syafi’iyah, baik riba yad maupun riba nas}i’ah tidak
mungkin terjadi kecuali pada dua barang yang berlainan jenis. Perbedaannya
adalah bahwa riba yad terjadi ketika terdapat penundaan penyerahan. Sedangkan
riba nas}i’ah terjadi ketika terdapat penangguhan penyerahan dalam batasan
waktu tertentu yang disebutkan dalam akad meskipun waktu tersebut tidak
panjang. Dengan demikian, ulama Syafi’iyah hanya membatasai riba nas}i’ah
pada jual beli yang disertai dengan penentuan waktu penyerahan barang,
sedangkan riba yad terjadi pada jual beli tunai tapi terdapat penundaan
penyerahan.
Para ahli fiqh Islam telah membahas masalah riba dan jenis barang ribawi
dengan panjang lebar dalam kitab-kitab mereka. Dalam kesempatan ini akan
disampaikan kesimpulan umum dari pendapat mereka yang intinya bahwa barang
ribawi meliputi:
a.Emas dan perak, baik itu dalam bentuk uang maupun dalam bentuk lainnya
b.Bahan makanan pokok, seperti beras, gandum, dan gandum serta bahan
makanan tambahan, seperti sayur-sayuran dan buah-buahan.
b) Karena riba menghendaki pengambilan harta orang lain dengan tidak ada
imbangannya, seperti seseorang menukarkan uang kertas Rp. 10.000 dengan uang
recehan senilai Rp. 9.950 maka uang senilai Rp. 50,00 tidak ada imbangannya,
maka uang senilai Rp. 50,00 adalah riba.
c) Dengan melakukan riba, orang tersebut menjadi malas berusaha yang sah
menurut syara’. Jika riba sudah mendarah daging pada seseorang, orang tersebut
lebih suka berternak uang karena ternak uang akan mendapatkan keuntungan yang
lebih besar daripada dagang dan dikerjakan tidak dengan susah payah.
b. Menimbulkan tumbuhnya mental kelas pemboros yang tidak bekerja juga dapat
menimbulkan adanya peimbunan harta tanpa kerja keras sehingga tak ubahnya
dengan pohon benalu (parasit) yang tumbuh di atas jerih yang lain. Sebagaimana
diketahui bahwa Islam menghargai kerjasama dan menghormati orang yang suka
bekerja yang menjadikan kerja sebagai sarana mata pencaharian karena kerja
dapat menuntun orang kepada kemahiran dan mengangkat semangat mental
pribadi.
c. Riba sebagai salah satu cara menjajah. Karena orang berkata penjajahan
berjalan di belakang pedagang dan pendeta. Dan kita telah mengenal riba dengan
segala dampak negatifnya di dalam menjajah negara kita.
d. Setelah semua ini Islam menyeru agar manusia suka mendermakan harta
kepada saudaranya dengan baik jika saudaranya membutuhkan harta.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Jual beli adalah saling menukar (menukarkan). Dan kata Al-Bai (jual) dan
Asy-Syiraa (beli), dua kata ini masing-masing mempunyai makna dua yang sau
sama lain bertolak belakang. Menurut pengertian syariat, jual beli ialah pertukaran
harta atas dasar saling rela. Atau memindahkan milik dengan ganti yang dapat
dibenarkan agar tebedakan
DAFTAR PUSTAKA
Hendi Suhendi. Fiqih Muamalah. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Mughniyyah,Muhammad Jawad.1999.Fiqih Imam Ja’far Shadiq.Jakarta :
Penerbit Lentera