Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Pernikahan merupakan sunnatullah pada alam ini, tidak ada yang keluar dari
garisnya, manusia, hewan maupun tumbuhan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman
“Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan, supaya kamu mengingat
akan kebesaran Allah” -QS adz Dzariyat ayat 491.
       
Artinya :
“ Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat
kebesaran Allah”.

Perkawinan merupakan institusi yang sangat penting dalam masyarakat.


Eksistensi ini adalah melegalkan hubungan hukum antara seorang laki-laki dengan
seorang wanita. Islam mensyari’atkan perkawinan tidaklah semata-mata sebagai
hubungan atau kontrak keperdataan biasa, akan tetapi perkawinan merupakan sunnah
Islam mengatur perkawinan dengan baik dan detail, dengan syarat dan rukun tertentu,
agar tujuan disyariatkannya perkawinan untuk membina rumah tangga dan
melanjutkan keturunan tercapai. Setiap manusia pasti bercita-cita agar perkawinannya
dapat berlangsung kekal abadi selama-lamanya, karena tujuan pernikahan adalah
untuk menciptakan kehidupan rumah tangga yang tenang, tentram, dan bahagia.
Pernikahan bukan semata-mata untuk memuaskan nafsu birahi. Keutuhan dan
kelanggengan kehidupan merupakan suatu tujuan yang digariskan Islam, karena itu
perkawinan dinyatakan sebagai ikatan antara suami isteri dengan ikatan yang paling
suci dan paling kokoh. Jika ikatan suami isteri dinyatakan sebagai ikatan yang kokoh
dan kuat, maka tidak sepatutnya apabila ada pihak-pihak yang merusak ataupun
menghancurkanya. Karenanya, setiap usaha dengan sengaja untuk merusak hubungan
antara suami isteri adalah dibenci oleh Islam, bahkan dipandang telah keluar dari
Islam dan tidak pula mempunyai tempat kehormatan di dalam Islam. Sejalan dengan
perkembangan peradaban dan zaman, masalah perkawinan mengalami perkembangan

1
Alqur’an terjemah, madinah munawarah, cet.ke 3
dan peradaban seiring dengan bergulirnya waktu. Salah satunya adalah muncul
masalah tentang pernikahan kontrak (sementara).
Di antara pernikahan yang diharamkan oleh Islam, antara lain : (1) Nikah
tahlil, yaitu seseorang menikah dengan seorang wanita yang telah dithalak tiga oleh
suaminya, dengan tujuan agar suami pertama dapat rujuk dengannya.2 (2)Nikah
syighar, yaitu seseorang menikahkan putrinya dengan seseorang dengan syarat orang
yang dinikahkan tersebut juga menikahkan putrinya, dan tidak ada mahar diantara
keduanya.3Maqashid al-Syari’ah dirumuskan sebagai sejumlah makna atau sasaran
yang hendak dicapai oleh syara’ dalam semua atau sebagian besar kasus hukumnya.
Atau ia adalah tujuan dari syari’at, atau rahasia di balik pencanangan tiap-tiap hukum
oleh Syar’i (pemegang otoritas syari’at, Allah dan Rasul.

B. Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan nikah mut’ah?
2. Bagaimana nikah mut’ah dalam pespektif imam mzhab?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian nikah mut’ah
2. Untuk mengentahui bagaimana pandangan nikah mut’ah dalam perspektif imam
mazhab

BAB II

2
Mushthafa al-Adawi, Jami’ Ahkam al-Nisaa`, (Kairo : Dar al-Sunnah, 2000), Juz III, hlm.
137
3
Abdurrahman bin Abil Hasan bin Muhammad bin al-Qayyim al-Jauziyah, al-Qayyim, Zad al-Ma’ad,
(Beirut : Muassasah al-Risalah, tt), Juz V, h.108

2
PEMBAHASAN

A. Pengertian
1. Pengertian nikah
Berdasarkan Al-Qur’an dan Hadist, pernikahan disebut dengan berasal dari
kata an-nikh dan azziwaj yang memiliki arti melalui, menginjak, berjalan di atas, 
menaiki, dan bersenggema atau bersetubuh. Di sisi lain nikah juga berasal dari
istilah Adh-dhammu, yang memiliki arti merangkum, menyatukan dan
mengumpulkan serta sikap yang ramah.  adapun pernikahan yang berasalh dari
kata aljam’u yang berarti menghimpun atau mengumpulkan. Pernikahan dalam
istilah ilmu fiqih disebut ( ‫) زواج‬, ( ‫ ) نكاح‬keduanya berasal dari bahasa arab. Nikah
dalam bahasa arab mempunyai dua arti yaitu ( ‫ ) الوطء والضم‬baik arti secara hakiki (
‫ ) الضم‬yakni menindih atau berhimpit serta arti dalam kiasan ( ‫وطء‬LL‫ ) ال‬yakni
perjanjian atau bersetubuh
Secara lughawi nikah berarti ad-damm wal-jam’ (penggabungan dan
pengumpulan) atau al-wath'u (persetubuhan). Secara istilahi nikah adalah ikatan
perjanjian (‘aqd) yang telah ditetapkan oleh Allah SWT untuk mensyahkan 
istimta'  atau hubungan badan antara laki-laki dan perempuan yang bukan
mahramnya. Selain ibadah, nikah merupakan wujud sikap ta’awun atau kerjasama
antara individu dalam pendirian lembaga keluarga dan sarana reproduksi.
Adapun makna tentang pernikahan secara istilah masing-masing ulama fikih
memiliki pendapatnya sendiri antara lain :
 Ulama Hanafiyah mengartikan pernikahan sebagai suatu akad yang
membuat pernikahan menjadikan  seorang laki-laki dapat memiliki dan
menggunakan perempuan termasuk seluruh anggota badannya untuk
mendapatkan sebuah kepuasan atau kenikmatan.
 Ulama Syafi’iyah menyebutkan bahwa pernikahan adalah suatu akad
dengan menggunakan lafal ‫ ُح حا َككنِن‬, atau ‫ك وا ُح ج‬
َ ‫كز‬
َ , yang memiliki arti
pernikahan menyebabkan pasangan mendapatkan kesenanagn.
 Ulama Malikiyah menyebutkan bahwa pernikahan adalah suatu akad atau
perjanjian yang dilakukan untuk mendapatkan kepuasan tanpa adanya
harga yang dibayar.
 Ulama Hanabilah menyebutkan bahwa pernikahan adalah akad dengan
menggunakan lafal ‫ا ُح ح‬LLLL‫ ا ِن ْن ن كَ ك‬atau ‫ك ْن ِن و ْن ُح ج‬
َ yang artinya

3
pernikahan membuat laki-laki dan perempuan dapat memiliki kepuasan
satu sama lain.
 Saleh Al Utsaimin, berpendapat bahwa nikah adalah pertalian hubungan
antara laki-laki dan perempuan dengan maksud agar masing-masing dapat
menikmati yang lain dan untuk membentuk keluaga yang saleh dan
membangun masyarakat yang bersih
 Muhammad Abu Zahrah di dalam kitabnya al-ahwal al-syakhsiyyah,
menjelaskan bahwa  nikah adalah  akad yang berakibat pasangan laki-laki
dan wanita menjadi halal dalam melakukan bersenggema serta adanya hak
dan kewajiban diantara keduanya.

Salah satu maksud dan tujuan kemaslahatan atau maqashid al-syari’ah dari
suatu pernikahan atau perkawinan bagi umat Islam adalah menjaga keturunan.
Oleh karena itu Islam menganjurkan umatnya untuk menikah dan diharamkan
membujang. Islam melarang mendekati perbuatan zina dan menutup sarana-sarana
yang menjurus kepada perbuatan kotor tersebut. Islam juga mengharamkan
perzinaan yang berbalutkan dengan sampul pernikahan, atau pelacuran
menggunakan baju kehormatan.

2. Dasar Hukum Pernikahan


Sebagaimana ibadah lainnya, pernikahan memiliki dasar hukum yang
menjadikannya disarankan untuk dilakukan oleh umat islam. Adapun dasar hukum
pernikahan berdasarkan Al Qur’an dan Hadits adalah sebagai berikut :

        


        
         
  

Artinya :

“ Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari
seorang diri, dan dari padanya. Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah
memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang

4
dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lainmdan (peliharalah)
hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu”.. (q.s :annisa;1)

     


          
  
Artinya:

“. Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak
(berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan.
jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas
(pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui”. (q.s : annur :32)

       


        
    
Artinya :
“ Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari
jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya
diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.”. (qs.arrum : 21)

3. Rukun dan syarat menikah


Pernikahan dalam islam memiliki beberapa syarat dan rukun yang harus
dipenuhi agar pernikahan tersebut sah hukumnya di mata agama baik menikah
secara resmi maupun nikah siri. Berikut ini adalah syarat-syarat akad nikah dan
rukun yang harus dipenuhi dalam sebuah pernikahan misalnya nikah tanpa
wali maupun ijab kabul hukumnya tidak sah.

a. Rukun Nikah
Rukun pernikahan adalah sesuatu yang harus ada dalam pelaksanaan
pernikahan, mencakup :
1. Calon mempelai laki-laki dan perempuan
2. Wali dari pihak mempelai perempuan
3. Dua orang saksi

5
4. Ijab kabul yang  sighat nikah yang di ucapkan oleh wali pihak perempuan
dan dijawab oleh calon mempelai laki-laki.
b. Syarat Nikah
Adapun syarat dari masing-masing rukun tersebut adalah
1. Calon suami dengan syarat-syarat berikut ini
a. Beragama Islam
b. Berjenis kelamin Laki-laki
c. Ada orangnya atau jelas identitasnya
d. Setuju untuk menikah
e. Tidak memiliki halangan untuk menikah
2. Calon istri dengan syarat-syarat
a. Beragama Islam ( ada yang menyebutkan mempelai wanita boleh
beraga nasrani maupun yahudi)
b. Berjenis kelamin Perempuan
c. Ada orangnya atau jelas identitasnya
d. Setuju untuk menikah
e. Tidak terhalang untuk menikah
3. Wali nikah dengan syarat-syarat wali nikah sebagai berikut (baca
juga urutan wali nikah).
a. Laki-laki
b. Dewasa
c. Mempunyai hak perwalian atas mempelai wanita
d. Adil
e. Beragama Islam
f. Berakal Sehat
g. Tidak sedang berihram haji atau umrah
4. Saksi nikah dalam perkawinan harus memenuhi beberapa syarat berikut
ini:
a. Minimal terdiri dari dua orang laki-laki
b. Hadir dalam proses ijab qabul
c. mengerti maksud akad nikah
d. beragama islam
e. Adil
f. Dewasa
6
5. Ijab qobul dengan syarat-syarat, harus memenuhi syarat berikut ini :
Dilakukan dengan bahasa yang mudah dimengerti kedua belah pihak baik oleh
pelaku akad dan penerima aqad dan saksi. Ucapan akad nikah juga haruslah
jelas dan dapat didengar oleh para saksi.

B. Nikah mut’ah
1. Pengertian
Mut’ah berasal dari kata tamattu’ yang berarti bersenang-senang atau
menikmati. Adapun secara istilah mut’ah berarti seorang laki-laki menikahi
seorang wanita dengan memberikan sejumlah harta tertentu dalam waktu tertentu,
pernikahan ini akan berakhir sesuai dengan batas waktu yang telah di tentukan
tanpa talak serta tanpa kewajiban member nafkah atau tempat tinggal dan tanpa
adanya saling mewarisi antara keduanya meninggal sebelum berakhirnya masa
nikah mu’ah itu.4
Dalam definisi lain nikah mut’ah yaitu :
“Pernikahan seorang laki-laki dengan seorang wanita dalam batas waktu tertentu,
dengan sesuatu pemberian kepadanya, berupa harta, makanan, pakaian atau yang
lainnya. Jika masanya telah selesai, maka dengan sendirinya mereka berpisah
tanpa kata thalak dan tanpa warisan. Bentuk pernikahan ini, seseorang datang
kepada seorang wanita tanpa harus ada wali atau saksi. Kemudian mereka
membuat kesepakatan mahar (upah) dan batas waktu tertentu; tiga hari atau lebih,
atau kurang. Biasanya tidak lebih dari empat puluh lima hari; dengan ketentuan
tidak ada mahar kecuali yang telah disepakati, tidak ada nafkah, tidak saling
mewariskan dan tidak ada iddah kecuali istibra` (yaitu satu kali haidh bagi wanita
monopouse, dua kali haidh bagi wanita biasa, dan empat bulan sepuluh hari bagi
yang suaminya meninggal), dan tidak ada nasab kecuali jika
disyaratkan.5

Defenisi nikah mut’ah juga dikemukakan oleh ulama mazhab Syafi’i dan
Maliki yang pada dasarnya menunjuk adanya pembatasan waktu tertentu.7
Menurut ulama madzhab Syafi’i, mazhab Hanbali, dan Mazhab Maliki, nikah
mut’ah disebut juga dengan nikah muaqqat (nikah yang dibatasi waktunya). Akan
tetapi, ulama mazhab Hanafi ada perbedaan antara nikah mut’ah dan muaqqat,

4
Fathul Bari 9/67, syarah shahih muslim 3/554, Jami’ Ahkamin Nisa 3/169
5
Muatafa al-Adawi, Jami’ Ahkam al-Nisaa’ (Kairo : Dar al-Sunnah, 2000), Juz III, H.169-170. Lihat
al-Shan’ani, Subulus Salam, ( Beirut Darul Kutub Ilmiyah, tt), Juz III, H. 243. Ibnu Qudamah, al-Mughni
(Beirut : Dar alam Kutub, tt), Juz x, h. 46

7
dimana akad dalam nikah mut’ah menggunakan kata-kata mut’ah seperti kalimat
mata’tuka nafsi.6
Jadi, yang dimasud nikah mut’ah adalah, seseorang menikah dengan seorang
wanita dalam batas waktu tertentu, dengan sesuatu pemberian kepadanya, berupa
harta, makanan, pakaian atau yang lainnya. Jika masanya telah selesai, maka
dengan sendirinya mereka berpisah tanpa kata thalak dan tanpa warisan
Bentuk pernikahan ini, seseorang datang kepada seorang wanita tanpa harus
ada wali atau saksi. Kemudian mereka membuat kesepakatan mahar (upah) dan
batas waktu tertentu. Misalnya tiga hari atau lebih, atau kurang. Biasanya tidak
lebih dari empat puluh lima hari; dengan ketentuan tidak ada mahar kecuali yang
telah disepakati, tidak ada nafkah, tidak saling mewariskan dan tidak ada iddah
kecuali istibra` (yaitu satu kali haidh bagi wanita monopouse, dua kali haidh bagi
wanita biasa, dan empat bulan sepuluh hari bagi yang suaminya meninggal), dan
tidak ada nasab kecuali jika disyaratkan.

2. Dasar Hukum Nikah mut’ah


Nikah mut’ah merupakan warisan dari tradisi masyarakat pra Islam yang
dimaksudkan untuk melindungi wanita di lingkungan sukunya. Pada masa Islam,
nikah seperti ini mengalami pasang surut. Pada masa Rasulullah SAW, nikah mut’ah
mengalami beberapa kali perubahan hukum, dua kali dibolehkan dan dua kali
dilarang, dan akhirnya diharamkan untuk selamanya. Pada masa sahabat, larangan
Rasulullah SAW pada dasarnya tetap menjadi pegangan jumhur sahabat. Akan tetapi,
ada sebagian kecil di antara mereka yang masih membenarkan, bahkan melakukan
praktek nikah mut’ah, seperti yang dilakukan oleh Jabir bin Abdullah. Pada masa
kekhalifahannya, Umar bin al-Khattab (581-644) secara tegas melarang siapa saja
yang melakukan nikah mut’ah dengan ancaman hukum rajam. Larangan Umar ini
dapat menghentikan secara total praktek nikah mut’ah. Keadaan ini tetap terpelihara
sampai generasi berikutnya. Dalam konteks ini al- Hafizh Ibnu Katsir berkata :
”Tidak ada keraguan lagi, nikah mut’ah hanya diperbolehkan pada permulaan
Islam. Sebagian ulama berpendapat, bahwa ia dihalalkan kemudian dimansukhkan
(dihapus), lalu dihalalkan kemudian dimansukhkan. Sebagian yang lain berpendapat,
bahwa penghalalan dan pengharaman berlaku terjadi beberapa kali”7.
6
Dalam pandangan hanafi, keharaman nikah mut’ah telah menjadi ijma’ sahabat. Hanafi juga
mengemukakan beberapa penjabaran mengenai hadist dan tafsiran sahabat tentang mut’ah. Lebih lengkap
lihat al-Syarkhasi almabsuth, (Beirut ; Dar al Kutub al-Ilmiyah,1993), h.155
7
Abu al-Fida’ Ibnu Katsir, Tafsir al Qur`an al-‘Azhim, (Kairo : Maktabah Ulum wal Hikam,

8
Pada awal perjalanan Islam, nikah mut’ah memang dihalalkan, sebagaimana
yang tercantum dalam banyak hadits diantaranya: Hadits Abdullah bin Mas’ud:
“berkata: Kami berperang bersama Rasululloh Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
sedangkan kami tidak membawa istri istri kami, maka kami berkata bolehkan kami
berkebiri? Namun Rasululloh melarangnya tapi kemudian beliau memberikan kami
keringanan untuk menikahi wanita dengan mahar pakaian sampai batas waktu
tertentu”. (HR. Bukhari 5075, Muslim 1404).
Hadits Jabir bin Salamah: “Dari Jabir bin Abdillah dan Salamah bin ‘Akwa
berkata: Pernah kami dalam sebuah peperangan, lalu datang kepada kami
Rasululloh Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan berkata: Telah diizinkan bagi kalian
nikah mut’ah maka sekarang mut’ahlah”. (HR. Bukhari 5117).
Namun hukum ini telah dimansukh dengan larangan Rasululloh
Shallallahu‘Alaihi wa Sallam untuk menikah mut’ah sebagaimana beberapa hadits
diatas. Akan tetapi para ulama berselisih pendapat kapan diharamkannya niakh
mut’ah tersebut dengan perselisihan yang tajam, namun yang lebih rajih-Wallahu
a’lam- bahwa nikah mut’ah diharamkan pada saat fathu makkah tahun 8 Hijriyah.
Telah datang dalil yang amat jelas tentang haramnya nikah mut’ah,
diantaranya: Hadits Ali bin Abi Thalib Radiyallahu ‘anhu: “Dari Ali bin abi Thalib
berkata: Sesungguhnya Rasululloh Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang nikah
mut’ah dan memakan daging himar jinak pada perang khaibar” (HR. Bukhari 5115,
Muslim 1407). Hadits Sabrah bin Ma’bad Al-Juhani Radiyallahu ‘anhu:
“berkata:Rasululloh Shallallahu ‘alahi wa sallam memerintahkan kami untuk nikah
mut’ah pada waktu fathu makkah saat kami masuk Makkah kemudian beliau
melarang kami sebelum kami keluar dari makkah. Dan dalam riwayat lain:
Rasululloh bersabda: Wahai sekalian manusia, sesunggunya dahulu saya telah
mengizinkan kalian nikah mut’ah dengan wanita. Sekarang Alloh telah
mengharamkannya sampai hari kiamat, maka barangsiapa yang memiliki istri dari
mut’ah maka hendaklah diceraikan” (HR. Muslim 1406, Ahmad 3/404). Hadits
Salamah bin Akhwa Radiyallahu ‘anhu: “berkata:Rasululloh Shallallahu‘Alaihi wa
Sallam memberikan keringanan keringanan untuk mut’ah selama tiga hari pada
perang authos kemudian melarangnya” (HR. Muslim 1023).

tt), Juz I, hlm. 449.

9
Namun ada juga yang menghalalkan nikah mut’ah dengan dasar surat An-
Nisa' ayat 24:

` َ ‫فَآتُوهُنَّ ُأ ُجو َرهُنَّ فَ ِري‬


ً ‫ضة‬

Maka isteri-isteri yang telah kamu campuri di antara mereka, berikanlah


kepada mereka biaya kontrak, sebagai suatu kewajiban. (“Ujrah” yang umumnya
diartikan sebagai mahar ini oleh kalangan yang membolehkan nikah mut’ah diartikan
sebagai biaya kontrak). Selain itu dasar penghalalannya adalah hadis Nabi Muhammd
SAW yang diriwayatkan, ketika Perang Tabuk, bahwa para sahabat pernah
diperkenankan untuk menikahi perempuan-perempuan dengan sistem kontrak waktu.

Pemikiran Mereka Yang Menafsirkan bahwa:

Firman Alloh Ta’ala: “Maka apabila kalian menikahi mut’ah diantara mereka
(para wanita) maka berikanlah mahar mereka” (QS. An-Nisa: 24). Juga karena
Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa Sallam jelas pernah membolehkan nikah mut’ah,
padahal beliau tidak mungkin berbicara dengan dasar hawa nafsu akan tetapi
berbicara dengan wahyu, dan oleh karena ayat ini adalah satu-satunya ayat yang
berhubungan dengan nikah mut’ah maka hal ini menunjukkan akan halalnya nikah
mut’ah.8

Jawaban Atas Syubhat ini adalah:

Memang sebagian ulama’ manafsirkan istamta’tum dengan nikah mut’ah,


akan tetapi tafsir yang benar dari ayat ini apabila kalian telah menikahi wanita lalu
kalian berjima’ dengan mereka maka berikanlah maharnya sebagaimana sebuah
kewajiban atas kalian. Berkata Imam Ath Thabari setelah memaparkan dua tafsir ayat
tersebut: Tafsir yang paling benar dari ayat tersebut adalah kalau kalian
menikahi wanita lalu kalian berjima’ dengan mereka maka berikanlah
maharnya, karena telah datang dalil dari Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa Sallam
akan haramnya nikah mut’ah. (Tafsir Ath-Thabati 8/175). Berkata Imam Al-Qurthubi:
Tidak boleh ayat ini digunakan untuk menghalalkan nikah mut’ah karena Rasululloh
Shallallahu ‘alahi wa Sallam telah mengharamkannya.9 Dan kalau kita menerima
bahwa makna dari ayat tersebut adalah nikah mut’ah maka hal itu berlaku di awal
Islam sebelum diharamkan.10
8
Lihat Al- Mut’ah fil Islam oleh Al-Amili hal 9
9
tafsir Al- Qurthubi 5/132
10
Al-Qurthubi 5/133, Ibnu Katsir 1/474.

10
Kesalahan Pemikiran Pendukung Nikah Mut’ah Berikutnya adalah :

Hadits Abdullah bin Mas’ud, Jabir bin Abdullah dan Salamah bin Akwa’ diatas
menunjukkan bahwa nikah mut’ah halal. Maka Jawaban atas Hal ini adalah:
Semua hadits yang menunjukkan halalnya nikah mut’ah telah di mansukh. Hal ini
sangat jelas sekali dengan sabda Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, yang
artinya: “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya dahulu saya telah mengizinkan
kalian mut’ah dengan wanita. Sekarang Allah telah mengharamkannya sampai hari
kiamat” Berkata Imam Bukhari (5117) setelah meriwayatkan hadits Jabir dan
Salamah: Ali telah menjelaskan dari Rasululloh bahwa hadits tersebut dimansukh.
Syubhat Berikutnya adalah: Sebagian para sahabat masih melakukan nikah mut’ah
sepeninggal Rasululloh Shallallahu‘Alaihi wa Sallam sampai umar melarangnya,
sebagaimana disebutkan dalam banyak riwayat, diantaranya:

Dari jabir bin Abdullah berkata: Dahulu kita nikah mut’ah dengan mahar
segenggam kurma atau tepung pada masa Rasululloh Shallallahu ‘Alaihi wa sallam
juga Abu Bakar sampai umar melarangnya.(Muslim 1023). Jawaban bagi Seorang
Muslim yang Taat Kepada Alloh Ta’ala: Riwayat Jabir ini menunjukkan bahwa
beliau belum mengetahui terhapusnya kebolehan mut’ah. Berkata Imam Nawawi:
Riwayat ini menunjukkan bahwa orang yang masih melakukan nikah mut’ah pada
Abu bakar da Umar belum mengetahui terhapusnya hukum tersebut.11

Perkataan yang salah dari salah seorang tokoh Nikah Mut’ah kontermporer:

Tidak senua orang mampu untuk menikah untuk selamanya terutama para
pemuda karena berbagai sebab, padahal mereka sedang mengalami masa puber dalam
hal seksualnya, maka banyaknya godaan pada saat ini sangat memungkinkan mereka
untuk terjerumus ke dalam perbuatan zina, oleh karena itu nikah mut’ah adalah solusi
agar terhindar dari perbuatan keji itu.12

Jawaban atas Syubhat ini adalah:

11
Syarah Shahih Muslim 3/555, lihat pula fathul bari, zadul Ma’ad 3/462.

12
lihat Al-Mut’ah fil Islam oleh husan Yusuf Al-Amili hal 12-14.

11
Ucapan ini salah dari pangkal ujungnya, cukup bagi kita untuk mengatakan
tiga hal ini :

Pertama: bahwa mut’ah telah jelas keharamannya, dan sesuatu yang haram
tidak pernah dijadikan oleh Allah sebagai obat dan solusi.

Kedua: ucapan ini Cuma melihat solusi dari sisi laki-laki yang sedang
menggejolak nafsunya dan tidak memalingkan pandangannya sedikitpun
kepada wanita yang dijadikannya sebagai tempat pelampiasan nafsu
syahwatnya, lalu apa bedanya antara mut’ah ini dengan pelacuran komersil?

Ketiga: islam telah memberikan solusi tanpa efek samping pada siapapun
yaitu pernikahan yang bersifat abadi dan kalau belum mampu maka dengan
puasa yang bisa menahan nafsunya, sebagaimana sabda Rasululloh
Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, yang artinya:“Wahai para pemuda, barang
siapa yang mampu menikah maka hendaklah menikah, karena itu lebih bisa
menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan, dan barangsiapa yang
tidak mampu maka hendaklah dia berpuasa karena itu bisa menjadi tameng
baginya”. (HR.Bukhari 5066, Muslim 1400).

C. Nikah Mut’ah dalam Perspektif Imam Mazhab

Imam Syafi’i mengatakan, semua nikah yang ditentukan berlangsungnya


sampai waktu yang diketahui ataupun yang tidak diketahui (temporer), maka nikah
tersebut tidak sah, dan tidak ada hak waris ataupun talak antara kedua pasangan suami
istri.13 Syaikh Husain Muhammad Mahluf ketika ditanya mekenai pernikahan dengan
akad dan saksi untuk masa tertentu mengatakan bahwa seandainya ada laki-laki
mengawini perempuan untuk diceraikan lagi pada waktu yang telah ditentukan, maka
perkawinannya tidak sah karena adanya syarat tersebut telah mengalangi
kelanggengan perkawinan, dan itulah yang disebut dengan nikah mut’ah. 14 Para ulama
bersepakat, bahwa nikah mut’ah itu tidak sah, dan hampir tidak ada perselisihan
pendapat. Bentuknya adalah, misalnya seseorang mengawini perempuan untuk masa
tertentu dengan berkata: “Saya mengawini kamu untuk masa satu bulan, setahun dan
semisalnya.” Perkawinan seperti ini tidak sah dan telah dihapus kebolehannya oleh

13
Al Um/ V/7
14
Fatawi Syar’iyah/ II :7

12
kesepakatan para ulama sejak dulu. Apalagi praktik nikah mut'ah sekarang ini hanya
dimaksudkan untuk menghalalkan prostitusi.

Nikah mut’ah menurut ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah, khususnya mazhab
empat, hukumnya haram dan tidak sah (batal). Ada beberapa hal yang menjadi dasar
larangan tersebut yaitu: Pertama, larangan Rasulullah SAW., dalam beberapa hadis.
Menurut Ibnu Rusyd larangan tersebut diketahui secara mutawatir. 15 Seluruh hadis
yang memuat larangan ini menurut ahli hadis adalah shahih. Di antaranya adalah
hadis riwayat Ibnu Majah, Rasulullah SAW.,bersabda, “Wahai sekalian manusia, aku
telah membolehkan kalian melakukan nikah mut’ah. Ketahuilah! Sekarang Allah telah
mengharamkannya sampai hari kiamat nanti.”16 Kedua, sebagian ulama berpendapat
bahwa keharaman nikah mut’ah dalam Islam sudah merupakan hasil ijma’. Ketiga,
dilihat dari tujuannya, nikah mut’ah hanya untuk memenuhi kebutuhan syahwat,
bukan untuk menjaga kesejahteraan dan kelangsungan keturunan, sebagaimana
diharapkan dari perkawinan.17 Sementara itu, beberapa ulama lainnya di kalangan
sahabat dan tabi’in, antara lain Ibnu Mas’ud dan Ibnu Abbas memandang sebaliknya,
yakni nikah mut’ah masih boleh dilakukan. Hal ini didasarkan pada surah an-Nisa’ (4)
ayat 24:
      
         
       
       
       
       
Artinya :
“. dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak
yang kamu miliki[282] (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. dan
Dihalalkan bagi kamu selain yang demikian[283] (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk
dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka,
15
12Artinya berita larangan Rasulullah terhadap nikah mut’ah diketahui secara luas oleh banyak orang
dan diterima dari banyak orang pula, sehingga mustahil di antara mereka terjadi kesepakatan untuk
berdusta. Lihat Abul Faid al-Kattany, Nadm al-Mutanasir Fi al-Ahadits al-Mutawatir, (Beirut: Dar al-
Kutub al-Ilmiyah, 1997), hlm. 1. Ibnu Rusyd, Bidayat al-Mujatahid Wa Nihayat al-Muqtasid, (Ttp: Dar
al-Ma’rifat, tt), Juz II, hlm. 259.
16
Hadis lain yang juga sering digunanakan oleh empat madzhab adalah perkataan Ali yang disampaikan
pada Ibnu Abbas tentang pengharaman nikah mut’ah. Lihat dalam Abu Laits al- Samarqandi, al-
Muhaddzab, (Ttp :, Dar Ihya’ at-Turats al-Araby, tt), Juz II, hlm. 68.
17
Lihat Tujuan Perkawinan dalam : Abu Abdillah al-Qurtubi, al-Jami’li Ahkam al-Qur’an, (Beirut :
Dar al-Fikr, tt), Juz XIV, hlm. 16-17. Ali Ahmad al-Jurjani, Hikmah al-Tasyre’ wa Falsafatuhu, (Beirut
: Dar al-Fikri, 1974), hlm. 102. Abbas al-Mahmud al-Aqqad, al-Mar’ah fĩ al- Qur’an, (Kairo :
Nahdhah Misr, 2003), hlm. 101.

13
berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan Tiadalah
mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan
mahar itu[284]. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Dalam satu qiraatnya, mereka menambahkan kalimat ilaa ajal musamma
(sampai batas waktu tertentu), sehingga ayat tersebut dapat dijadikan acuan hukum
dalam memperbolehkan nikah mut’ah. Menurut Ibnu Abbas, nikah mut’ah
diperbolehkan sejauh dibutuhkan dan dalam situasi darurat atau terpaksa. 15 Ketika
para ulama di kalangan Sunni berupaya menjelaskan keharaman nikah mut’ah, juteru
ulama di kalangan Syi’ah sejak awal membolehkan dan tetap mempertahankannya
sampai sekarang, bahkan menjadi bagian dari aturan hukum perkawinan yang mereka
anut. Menurut ulama kalangan Syi’ah, nikah mut’ah tetap dibolehkan atau dihalalkan
sampai sekarang, sama halnya dengan nikah permanen (nikah daim). Hal ini
didasarkan pada beberapa hal sebagai berikut :
 QS. al-Nisa’ (4) ayat 24 menurut qiraah Ibnu Mas’ud yang didalamnya
disisipkan kalimat ilaa ajal musamma. Mereka menolak pendapat yang
mengatakan bahwa ayat tersebut hukumnya sudah dinasakhkan oelh
dalil lain atau ijmak ulama.
 Hadis yang membolehkan nikah mut’ah, sebagaimana yang
diriwayatkan Imam Muslim dari al-Rabi’ bin Saburah dari Jabir bin
Abdullah. Pendapat beberapa orang sahabat (seperti Ibnu Abbas, Ibnu
Mas’ud, Jabir Bin Abdullah, dan Abu Said al-khudri) dan Tabi’in
(seperti Atha bin Abi Rabah dan Said bin Zubair).
Dalam pembahasan fiqihnya, Syi’ah berkeyakinan, bahwa nikah mut’ah
masih dibolehkan berdasarkan al-Qur’an, Sunnah, Ijma dan Qiyas. Mereka juga
berpendapat bahwa mut’ah adalah sebuah solusi untuk menghindarkan seseorang dari
perzinahan. Bahkan, beberapa imam dan ulama Syi’ah ada yang berfatwa bahwa
nikah mut’ah dapat mengampuni dosa, ada juga yang menyebutnya belum sempurana
seorang mukmin kalau belum nikah mut’ah. Nikah mut’ah menurut ulama Syi’ah,
adalah pernikahan yang terikat dengan waktu atau pernikahan munqati’ (terputus), di
mana seorang laki-laki dan perempuan mengadakanakad nikah dengan ketentuan
waktu sehari, seminggu atau sebulan. Pernikahan sepertiini akan habis masanya
bersama dengan habisnya waktu kontrak. Sedangkan menurut Muhammad Jawad,
sesungguhnya tidak ada bedanya antara nikah mut’ah dengan nikah permanen,
dimana ia tidak sah tanpa adanya akad yang sah yang menunjukkan maksud nikah

14
mut’ah secara jelas. Muhammad Bagir menyebutkan bahwa dinamakan nikah seperti
itu (yang berarti sesuatu yang dinikmati atau dimanfaatkan) karena yang
melakukannya memperoleh kemanfaatan dengannya serta menikmatinya sampai batas
waktu yang ditentukan. Nikah mut’ah memiliki beberapa syarat dan rukun yang harus
dipenuhi. Menurut ulama Syi’ah, syarat-syarat tersebut adalah baligh, berakal, dan
tidak ada halangan syar’i untuk melangsungkanya seperti adanya pertalian nasab,
saudara sesusuan atau masih menjadi istri orang lain. Adapaun rukun nikah mut’ah
yang harus dipenuhi adalah sighat (ikrar nikah mut’ah), calon istri, mahar/ maskawin,
dan batas waktu tertentu.24 Di samping syarat dan rukun, ada beberapa hal yang harus
diperhatikan, yaitu : (1) Calon istri hendaknya wanita muslim atau wanita kitabiyah
(beragama Nasrani atau Yahudi), dalam hal ini dianjurkan mengawini wanita baik-
baik, sedangkan wanita tuna susila dihukumkan makruh, (2) Batas waktu harus
ditentukan pada saat akad berlangsung, dan (3) Besar kecilnya mahar juga disebutkan
pada saat akad, sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak. Persoalan nikah mut’ah
dan perbedaan pendapat ulama di kalangan Sunni dan Syi’ah tentang status hukumnya
merupakan fenomena yang sangat menarik dan diperlukan suatu penyelidikan
mendalam. Bahkan, masalah waktu dan sejarah pembolehan dan pelarangan mut’ah
oleh Nabi saja, ulama masih berbeda pendapat sehingga sangat wajar bila kemudian
terjadi perbedaan yang luar biasa panjang tentang nikah mut’ah, terutama bila
dikaitkan dengan esensi dari pernikahan. Perbedaan ini semakin menjadi-jadi karena
kasus ikhtilaf nikah mut’ah ini terjadi tidak dalam satu rumpun “aliran”, namun
dalam dua blok yang dikenal telah bertikai sangat lama, yakni Sunni dan Syi’ah.
Dalam menyikapi perbedaan pendapat ulama seputar hukum nikah mut’ah
antara kelompok Sunni dan Syi’ah tersebut, M. Quraish Shihab, sebagai salah seorang
ulama tafsir Indonesia justeru mengeluarkan pernyataan berbeda dengan pendapat
ulama Sunni pada umunya, yang menyatakan sebagai berikut :
Anda telah membaca di atas tentang pendapat yang berbeda menyangkut
mut’ah, kehalalan atau keharamannya serta syarat-syaratnya. Masingmasing
mengemukakan alasannya sehingga ulama sepakat menyatakan bahwa nikah mut’ah
yang memenuhi syarat-syaratnya tidak identik dengan perzinaan. Kita juga dapat
berkata bahwa, seandainya alasan ulama Syiah diakui oleh ulama Sunni, tentulah
ulama Sunni tidak akan menyatakan haramnnya mut’ah, demikian juga sebaliknya,
seandainya ulama Syiah puas dengan alasan-alasan kelompok ulama Sunni, tentulah
mereka tidak menghalalkannya. Namun, kalau hendak menempuh jalan kehati-hatian,
15
tidak melakukan mut’ah jauh lebih aman ketimbang melakukannya -kendati anda
menilainya halal- karena tidak ada perintah, bahkan anjuran, untuk melakukannya.
Kalau hendak menempatkan perempuan dalam kedudukan terhormat, tentu seseorang
pun tidak akan rela melakukan mut’ah. Lalu, yang tidak kurang pentingnya adalah
kalau hendak meraih kesucian jiwa, menghindari sedapat mungkin panggilan debu
tanah -seperti makan, minum, dan hubungan seks merupakan jalan mendaki yang
wajar ditempuh. Dengan adanya pernyataan tersebut, oleh beberapa kalangan M.
Quraish Shihab dinilai sebagai agen Syi’ah. Sementara dalam salah satu uraian
tafsirnya tentang nikah mut’ah, ia menjelaskan sebagai berikut :
Secara umum para ulama berpendapat bahwa nikah mut’ah adalah haram.
Nikah mut’ah menurutnya, bertentangan dengan tujuan nikah yang dikehendaki al-
Quran dan Sunnah, yakni pernikahan yang langgeng, sehidup semati, bahkan sampai
Hari Kemudian (QS. Ya Sin: 56). Sebab, pernikahan antara lain dimaksudkan untuk
melanjutkan keturunan, dan keturunan itu hendaknya dipelihara dan dididik oleh
kedua orang tuanya. Hal demikian tentu tidak dapat dicapai, jika pernikahan hanya
berlangsung beberapa hari, bahkan beberapa tahun sekalipun. Berbeda halnya dengan
Buya Hamka yang berpendapat bahwa nikah mut’ah tidak lain merupakan
pembelokan dari hukum Tuhan. Artinya, akal-akalan sementara oleh Nabi SAW.,
pada masa kondisi perang adalah berlaku sesaat sembari mengondisikan mental kaum
muslim setelah mereka menjalani tradisi Jahiliah yang telah beruratberakar hidup
dalam kebebasan seksual. Karenanya pembolehan itu tidak lebih merupakan proses
tadrij (angsuran) sebelum menetapkan hukum yang sesungguhnya, yakni haram.
Dengan demikian jika nikah mut’ah ini tetap dilakukan sama saja dengan praktik
pelacuran untuk bersenang-senang satu malam lalu pagi-pagi dibayarkan sewanya.
Demikian pula Majelis Ulama Indonesia (MUI) memberikan fatwa tentang haramnya
nikah mut’ah atau kawin kontrak dengan sejumlah argumentasi. MUI melihat bahwa
kawin kontrak banyak menimbulkan masalah dan keresahan bagi masyarakat secara
umum. Fatwa Majelis Ulama Indonesia(MUI), Keputusan Fatwa MUI tentang Nikah
Mut’ah Nomor Kep-B-679/MUI/XI/1997, yang menyatakan bahwa nikah Mut’ah
haram hukumnya sebagai berikut :
 Nikah mut`ah hukumnya adalah haram.
 Pelaku nikah mut`ah harus dihadapkan ke pengadilan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.

16
 Surat Keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan
bila dikemudian hari terdapat kekeliruan dalam keputusan ini akan
diadakan pembetulan sebagaimana mestinya.
Demikian juga halnya pendapat para ulama Nahdlatul Ulama (NU) juga telah
menetapkan fatwa terkait nikah mut’ah dalam forum Ba htsul Masail Diniyah Munas
NU pada bulan November 1997 di Nusa Tenggara Barat. Dalam fatwanya, ulama NU
menetapakan bahwa nikah mut’ah atau kawin kontrak hukumnya haram dan tidak sah.
”Nikah mut’ah menurut ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah, khususnya mazhab empat,
hukumnya haram dan tidak sah.”32 Nikah mut’ah berdasarkan jumhur fukaha
termasuk salah satu dari empat macam nikah fasidah (rusak atau tak sah). Sebagai
dasar hukumnya, ulama NU bersandar pada pendapat Imam al-Syafi’iy dan Syaikh
Husain Muhammad Mahluf dalam Fatwa al-Syar’iyyah.

BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari beberapa pendapat diatas terutama ulama imam mazhab menyatakan
bahwa nikah mut’ah ini haram hukumnya. Ada beberapa hal yang menjadi dasar
larangan tersebut yaitu: Pertama, larangan Rasulullah SAW., dalam beberapa hadis.
Menurut Ibnu Rusyd larangan tersebut diketahui secara mutawatir. Seluruh hadis
yang memuat larangan ini menurut ahli hadis adalah shahih. Di antaranya adalah
hadis riwayat Ibnu Majah, Rasulullah SAW.,bersabda, “Wahai sekalian manusia, aku
telah membolehkan kalian melakukan nikah mut’ah. Ketahuilah! Sekarang Allah telah
mengharamkannya sampai hari kiamat nanti.” Kedua, sebagian ulama berpendapat
bahwa keharaman nikah mut’ah dalam Islam sudah merupakan hasil ijma’. Ketiga,

17
dilihat dari tujuannya, nikah mut’ah hanya untuk memenuhi kebutuhan syahwat,
bukan untuk menjaga kesejahteraan dan kelangsungan keturunan, sebagaimana
diharapkan dari perkawinan.
Secara umum para ulama berpendapat bahwa nikah mut’ah adalah haram.
Nikah mut’ah menurutnya, bertentangan dengan tujuan nikah yang dikehendaki al-
Quran dan Sunnah, yakni pernikahan yang langgeng, sehidup semati, bahkan sampai
Hari Kemudian (QS. Ya Sin: 56). Sebab, pernikahan antara lain dimaksudkan untuk
melanjutkan keturunan, dan keturunan itu hendaknya dipelihara dan dididik oleh
kedua orang tuanya. Hal demikian tentu tidak dapat dicapai, jika pernikahan hanya
berlangsung beberapa hari, bahkan beberapa tahun sekalipun. Berbeda halnya dengan
Buya Hamka yang berpendapat bahwa nikah mut’ah tidak lain merupakan
pembelokan dari hukum Tuhan. Artinya, akal-akalan sementara oleh Nabi SAW.,
pada masa kondisi perang adalah berlaku sesaat sembari mengondisikan mental kaum
muslim setelah mereka menjalani tradisi Jahiliah yang telah beruratberakar hidup
dalam kebebasan seksual. Karenanya pembolehan itu tidak lebih merupakan proses
tadrij (angsuran) sebelum menetapkan hukum yang sesungguhnya, yakni haram.
Dengan demikian jika nikah mut’ah ini tetap dilakukan sama saja dengan praktik
pelacuran untuk bersenang-senang satu malam lalu pagi-pagi dibayarkan sewanya.
Demikian pula Majelis Ulama Indonesia (MUI) memberikan fatwa tentang haramnya
nikah mut’ah atau kawin kontrak dengan sejumlah argumentasi. MUI melihat bahwa
kawin kontrak banyak menimbulkan masalah dan keresahan bagi masyarakat secara
umum. Fatwa Majelis Ulama Indonesia(MUI), Keputusan Fatwa MUI tentang Nikah
Mut’ah Nomor Kep-B-679/MUI/XI/1997, yang menyatakan bahwa nikah Mut’ah
haram hukumnya sebagai berikut :
 Nikah mut`ah hukumnya adalah haram.
 Pelaku nikah mut`ah harus dihadapkan ke pengadilan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
 Surat Keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan
bila dikemudian hari terdapat kekeliruan dalam keputusan ini akan
diadakan pembetulan sebagaimana mestinya.
Demikian juga halnya pendapat para ulama Nahdlatul Ulama (NU) juga telah
menetapkan fatwa terkait nikah mut’ah dalam forum Ba htsul Masail Diniyah Munas
NU pada bulan November 1997 di Nusa Tenggara Barat. Dalam fatwanya, ulama NU
menetapakan bahwa nikah mut’ah atau kawin kontrak hukumnya haram dan tidak sah.
18
”Nikah mut’ah menurut ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah, khususnya mazhab empat,
hukumnya haram dan tidak sah.”32 Nikah mut’ah berdasarkan jumhur fukaha
termasuk salah satu dari empat macam nikah fasidah (rusak atau tak sah). Sebagai
dasar hukumnya, ulama NU bersandar pada pendapat Imam al-Syafi’iy dan Syaikh
Husain Muhammad Mahluf dalam Fatwa al-Syar’iyyah.
Memang benar bahwa nikah mut’ah ini pernah dibolehkan ketika awal Islam,
tapi kemudian diharamkan, sebagaimana dinyatakan oleh al-Imam an-Nawawi dalam
kitabnya Syarh Shahih Muslim yang artinya: “yang benar dalam masalah nikah
mut’ah ini adalah bahwa pernah dibolehkan dan kemudian diharamkan sebanyak dua
kali; yakni dibolehkan sebelum perang Khaibar, tapi kemudian diharamkan ketika
perang Khaibar. Kemudian dibolehkan selama tiga hari ketika fathu Makkah, atau
hari perang Authas, kemudian setelah itu diharamkan untuk selamanya sampai hari
kiamat”.
Alasan kenapa ketika itu dibolehkan melaksanakan nikah mut’ah, karena
ketika itu dalam keadaan perang yang jauh dari istri, sehingga para sahabat yang ikut
perang merasa sangat berat. Dan lagi pada masa itu masih dalam masa peralihan dari
kebiasaan zaman jahiliyah. Jadi wajar jika Allah memberikan keringanan (rukhshah)
bagi para sahabat ketika itu. Sementara itu, beberapa ulama lainnya di kalangan
sahabat dan tabi’in, antara lain Ibnu Mas’ud dan Ibnu Abbas memandang sebaliknya,
yakni nikah mut’ah masih boleh dilakukan.
Namun demikian, pendapat yang menghalalkan nikah mut’ah tersebut tidaklah
kuat untuk dijadikan dasar hukum. Sedangkan pendapat yang mengharamkannya
dasar hukumnya sangat kuat, sebab dilandaskan di atas hadis shahih yang artinya :
“Diriwayatkan bahwa sahabat Ali r.a. berkata: Rasulullah s.a.w. melarang nikah
mut’ah ketika perang Khaibar” Hadis dianggap shahih oleh imam Bukhari dan
Muslim.
Dari penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa nikah mut’ah pernah
dibolehkan ketika zaman Rasul s.a.w. masih hidup, tapi kemudian diharamkan oleh
rasulullah s.a.w. sampai hari kiamat. Jika ada yang melaksanakan nikah mut’ah pada
masa sekarang, maka nikah mut’ah tersebut hukumnya batal.

19
DAFTAR PUSTAKA

Abbas al-Mahmud al-Aqqad, 2003. Al-Mar’ah fĩ al- Qur’an. Kairo : Nahdhah Misr.
Abu Abdillah al-Qurtubi, al-Jami’li Ahkam al-Qur’an, Beirut : Dar al-Fikr, tt, Juz
XIV.
Abu al-Fida’ Ibnu Katsir, Tafsir al Qur`an al-‘Azhim. Kairo : Maktabah Ulum wal
Hikam, tt, Juz I.
Abul Faid al-Kattany, 1997 Nadm al-Mutanasir Fi al-Ahadits al-Mutawatir. Beirut:
Dar al-Kutub al-Ilmiyah.
Abu Laits al- Samarqandi, al-Muhaddzab, Ttp :, Dar Ihya’ at-Turats al-Araby, tt, Juz
II.
al-Shan’ani, Subulus Salam, Beirut Darul Kutub Ilmiyah, tt, Juz III.

20
Al-Syarkhasi Almabsuth, 1993 Beirut ; Dar al Kutub al-Ilmiyah.
Fathul Bari 9/67, syarah shahih muslim 3/554, Jami’ Ahkamin Nisa 3/169.
Ali Ahmad al-Jurjani, 1974. Hikmah al-Tasyre’ wa Falsafatuhu. Beirut : Dar al-Fikri.
Ibnu Rusyd, Bidayat al-Mujatahid Wa Nihayat al-Muqtasid. Ttp: Dar al-Ma’rifat, tt,
Juz II
Ibnu Qudamah, al-Mughni, Beirut : Dar alam Kutub, tt, Juz x,
Muatafa al-Adawi, 2000. Jami’ Ahkam al-Nisaa’ . Kairo : Dar al-Sunnah, Juz III,
.

21

Anda mungkin juga menyukai