Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH HUKUM KELUARGA KONTEMPORER

Perjanjian Perkawinan : Perspektif Hukum Islam Kontemporer

Disusun oleh:

1. Ahmad Syarif (2120101038)

2. Yuli Elfriana (2120101042)

3. Angga Nanda Pratama (2120101044)

Dosen Pengampu: Dr. Qodariah Barkah, M.H.I

UNIVERSITAS ISLAM NEGRI RADEN FATAH PALEMBANG


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
HUKUM KELUARGA ISLAM
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah


menganugerahkan banyak nikmat sehingga kami dapat menyusun makalah yang
berjudul “Perjanjian Perkawinan: Perspektif Hukum Islam Kontemporer” ini
dengan baik. Makalah ini kami susun secara cepat dengan bantuan dan dukungan
dari dosen pengampu kami yaitu Dr. Qodariah Barkah, M.H.I. Oleh karena itu
kami sampaikan terima kasih atas waktu, tenaga dan pikirannya yang telah
diberikan. Dalam penyusunan makalah ini, kami menyadari bahwa masih banyak
kekurangan dan sangat jauh dari kata sempurna. Maka kami sangat membutuhkan
saran dan kritik agar kami dapat memperbaiki kinerja kami dimasa yang akan
datang.

Palembang, 2023

i
DAFTAR ISI
Cover
Kata Pengantar..........................................................................................i
Daftar Isi.....................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN...........................................................................1
A. Latar Belakang........................................................................................1
B. Rumusan Masalah ..................................................................................2
C. Tujuan Penulisan.....................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN............................................................................3
A. Pengertian Perjanjian Perkawinan...........................................................3
B. Perjanjian Perkawinan dalam Kompilasi Hukum Islam..........................6
C. Perjanjian Perkawinan di berbagai Negara Muslim lainnya...................9
BAB III PENUTUP....................................................................................11
A. Kesimpulan ............................................................................................11
B. Saran........................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................12

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kata nikah atau kawin berasal dari bahasa Arab, yaitu An-nikah
dan yang secara bahasa mempunyai arti (setubuh atau senggama)' dan
(berkumpul). Nikah (kawin) menurut arti asli ialah hubungan seksual
tetapi menurut arti majazi atau arti hukum ialah akad atau perjanjian yang
menjadikan halal hubungan seksual sebagai suami istri antara seorang pria
dan seorang wanita.1
Perkawinan merupakan sunatullah yang umum dan berlaku pada
semua makhluk-Nya, baik pada manusia, hewan maupun tumbuh-
tumbuhan. Perkawinan merupakan suatu cara yang dipilih oleh Allah SWT
sebagai jalan makhluk-Nya untuk berkembang biak dan melestarikan
hidupnya.2 Allah berfirman dalam surat Anisa yang artinya sebagai
berikut: Artinya: “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu
yang Telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah
menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang
biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.” (QS. An-Nisa’: 1).
Allah SWT tidak menjadikan manusia seperti makhluk lainnya,
yang hidup bebas mengikuti nalurinya dan berhubungan antara jantan dan
betina secara (anargik) tidak ada aturan, akan tetapi untuk menjaga
kehormatan dan martabat manusia, maka Allah SWT mengadakan hukum
sesuai dengan martabat tersebut. Dengan demikian, hubungan antara laki-
laki dan perempuan diatur secara terhormat berdasarkan kerelaan dalam
suatu ikatan berupa perkawinan.3

1
Moh. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, Suatu analisis dari Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1947 dan Kompilasi Hukum Islam (Jakarta: Bui Aksara, 2002) hal.1
2
Slamet Abidin dan Aminudin, Fiqih Munakahat, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), hal. 9
3
Ibid,. hal. 10

1
B. Rumusan Masalah
1. Jelaskan apa yang dimaksud dengan Perjanjian Perkawinan?
2. Bagaimana Perjanjian Perkawinan dalam Kompilasi Hukum Islam?
3. Bagaimana Perjanjian Perkawinan di berbagai negara muslim lainnya?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian perkawinan
2. Memahami perjanjian perkawinan dalam kompilasi hukum islam
3. Mengetahui perjanjian perkawinan dari berbagai negara muslim lainnya

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN PERJANJIAN PERKAWINAN


Istilah “perjanjian” dalam hukum Indonesia, disebut “akad” dalam
hukum Islam. Kata “akad” berasal dari kata ‫)انعمذ‬al-„aqd), yang berarti
“mengikatkan (tali), menyimpulkan, menyambung, atau menghubungkan
(arrabt)”. Sebagai suatu istilah hukum Islam, banyak pendapat tentang
definisi yang diberikan kepada akad (perjanjian).
Secara etimologis perjanjian dalam bahasa Arab diistilahkan
dengan mu‟ahadah ittifa‟, atau akad. Dalam Bahasa Indonesia dikenal
dengan kontrak, perjanjian atau persetujuan yang artinya adalah suatu
perbuatan di mana seseorang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap
seseorang lain atau lebih.
Dalam Al-Qur‟an sendiri setidaknya ada 2 (dua) istilah yang
berkaitan dengan perjanjian, yaitu kata akad (al-aqadu) dan kata „ahd (al-
„ahdu), Al-Qur‟an memakai kata pertama dalam arti perikatan atau
perjanjian, sedangkan Perkawinan dalam syariat Islam disebut dengan
nikah, yaitu salah satu azas hidup dalam masyarakat yang beradat dan
sempurna.
Islam memandang bahwa sebuah pernikahan itu bukan saja
merupakan jalan yang mulia untuk mengatur kehidupan rumah tangga dan
keturunan, tetapi juga merupakan pintu perkenalan antarsuku bangsa yang
satu dengan suku bangsa yang lainnya. Perkawinan merupakan
sunnatullah yang umum dan berlaku pada semua makhluk-Nya, baik pada
manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan. Ia adalah salah satu cara yang
dipilih oleh Allah SWT sebagai jalan bagi makhluknya untuk berkembang
biak dan melestarikan hidupnya.4

4
Ibid,. hal.9

3
1. Pengertian Perkawinan Menurut Etimologi
Pernikahan dalam istilah ilmu fiqih disebut ‫( زوا‬,)‫اح‬NN‫ (نك‬keduanya
berasal dari bahasa arab. Nikah dalam bahasa arab mempunyai dua arti
yaitu (‫)الوطء والضم‬
1. Arti hakiki (yang sempurna) ialah ( ‫م‬NN‫ ( الض‬yang berarti menindih,
menghimpit berkumpul.
2. Arti methaphoric, majas (kiasan) ialah ( ‫وطء‬N‫ ( ال‬atau ( ‫د‬N‫ ) العق‬yang
berarti bersetubuh, akad atau perjanjian.

2. Pengertian Perkawinan menurut Terinologi


Adapun makna tentang pernikahan secara terminologi, masing
masing ulama fiqih berbeda pendapat dalam mendefinisikan pernikahan,
antara lain:
a. Ulama’ Hanafiyah mendefinisikan pernikahan sebagai suatu
akad yang berguna untuk memiliki mut‘ah dengan sengaja.
Maksudnya adalah bahwasannya seorang laki-laki dapat
mengusai perempuan dengan seluruh anggota badannya untuk
mendapatkan sebuah kesenangan dan kepuasan.
b. Ulama’ Syafi’iyah menyebutkan bahwa pernikahan adalah suatu
akad dengan menggunakan lafal ‫ ح كَاِ ن‬, atau ‫ ج وَاَز‬, dimana dari
dua kata tersebut yang menyimpan arti memiliki wat}‘i. Artinya
dengan adanya sebuah pernikahan seseorang dapat memiliki
atau mendapatkan kesenangan dari pasangan.
c. Ulama’ Malikiyah menyebutkan bahwa pernikahan adalah suatu
akad yang mengandung arti mut‘ah untuk mencapai kepuasan
dengan tidak mewajibkan adanya harga. 5
d. Ulama’ Hanabilah menyebutkan bahwa pernikahan adalah akad
dengan ,Artinya .kepuasan mendapatkan untuk ‫ َت ْ ز ْی جِ و‬atau ‫ِا‬
‫ ْنَ كا ح‬lafal menggunakan bahwasannya seorang laki-laki dapat

5
Ibid,.

4
memperoleh sebuah kepuasan dari seseorang perempuan begitu
juga sebaliknya.
e. Menurut Saleh al-Utsaimin, nikah ditinjau dari segi syariat ialah
pertalian hubungan (akad) antara laki-laki dan perempuan
dengan maksud agar masingmasing dapat menikmati yang lain
(istimta’) dan untuk membentuk keluaga yang salih dan
membangun masyarakat yang bersih.6

Menurut Saleh al-Utsaimin, nikah ditinjau dari segi syariat ialah


pertalian hubungan (akad) antara laki-laki dan perempuan dengan maksud
agar masingmasing dapat menikmati yang lain (istimta’) dan untuk
membentuk keluaga yang salih dan membangun masyarakat yang bersih.
Dalam Undang-undang perkawinan No 1 Tahun 1974 pasal 1
merumuskan perkawinan sebagai berikut: “Perkawinan ialah ikatan lahir
batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Disamping definisi yang
diberikan oleh UU No 1 Tahun 1974 di atas, Kompilasi Hukum Islam
memberikan definisi lain, dengan rumusan sebagai berikut: Perkawinan
menurut Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau
mittsaqan ghalizhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya
merupakan ibadah.7
Istilah perjanjian perkawinan dalam hukum Islam dalam literatur
fiqh tidak ditemukan bahasan dengan maksud yang sama, yakni “ijab
kabul yang disertai dengan syarat” atau “persyaratan dalam perkawinan”.
Bahasan tentang syarat dalam perkawinan tidak sama dengan syarat
perkawinan yang ada dalam kitab-kitab fiqh karena yang dibahas dalam

6
M. Sholeh Al-Utsaimin, Pernikahan Islami Dasar Hukum Hidup Berumah Tangga, hal.1
7
Undang-undang Perkawinan di Indonesia, (Surabaya: Arkola, 2007), 5

5
syarat perkawinan itu adalah syarat-syarat untuk sahnya suatu
perkawinan.8
Kaitan antara syarat dalam perkawinan dengan perjanjian
perkawinan adalah karena perjanjian itu berisi syarat-syarat yang harus
dipenuhi oleh pihak yang melakukan perjanjian dalam arti pihak-pihak
yang berjanji untuk memenuhi syarat yang ditentukan. Syarat atau
perjanjian yang dimaksud ini dilakukan di luar prosesi akad perkawinan.
Oleh karena itu, perjanjian perkawinan terpisah dari akad nikah maka tidak
ada kaitan hukum antara akad nikah yang dilaksanakan secara sah dengan
pelaksanan syarat yang ditentukan dalam perjanjian itu. Hal ini berarti
bahwa tidak dipenuhinya perjanjian tidak menyebabkan batalnya nikah
yang sudah sah.9
Apabila di dalam ijab kabul diiringi dengan suatu syarat, baik syarat
itumasih termasuk dalam rangkaian pernikahan, atau menyalahi hukum
pernikahan atau mengandung manfaat yang akan diterima atau
mengandung syarat yang dilarang agama maka masing-masing syarat
tersebut mempunyai ketentuan hukum tersendiri.
Para ahli fiqh mensyaratkan hendaknya ucapan yang dipergunakan
dalam suatu ijab kabul bersifat mutlak tidak disertai syarat-syarat atau
perjanjian tertentu. Namun, apabila dipersyaratkan atau diperjanjikan
maka dapat terjadi dalam bermacam-macam bentuk dengan akibat hukum
yang bermacam-macam pula.

B. PERJANJIAN PERKAWINAN DALAM KOMPILASI HUKUM


ISLAM
Pasal 45
Kedua calon mempelai dapat mengadakan perjanjian perkawinan
dalam bentuk:
1. Taklik talak, dan
8
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan Undang-
Undang Perkawinan, Kencana, Jakarta, 2006, hal. 145.
9
Ibid,. hal. 146

6
2. Perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.

Pasal 46
1. Isi taklik talak tidak boleh bertentangan dengan hukum Islam.
2. Apabila keadaan yang disyaratkan dalam taklik talak betul-betul
terjadi kemudian, tidak dengan sendirinya talak jatuh. Supaya talak
sungguh-sungguh jatuh, istri harus mengajukan persoalannya ke
Pengadilan Agama.
3. Perjanjian taklik talak bukan suatu perjanjian yang wajib diadakan
pada setiap perkawinan, akan tetapi sekali taklik talak sudah
diperjanjikan tidak dapat dicabut kembali.

Pasal 47
1. Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua calon
mempelai dapat membuat perjanjian tertulis yang disahkan
Pegawai Pencatat Nikah mengenai kedudukan harta dalam
perkawinan. 10
2. Perjanjian tersebut pada Ayat (1) dapat meliputi percampuran harta
pribadi dan pemisahan harta pencaharian masing-masing sepanjang
hal itu tidak bertentangan dengan hukum Islam.
3. Di samping ketentuan dalam Ayat (1) dan (2) di atas, boleh juga isi
perjanjian itu menetapkan kewenangan masing-masing untuk
mengadakan ikatan hipotek atas harta pribadi dan harta bersama
atau harta syarikat.

Pasal 48
1. Apabila dibuat perjanjian perkawinan mengenai pemisahan harta
bersama atau harta syarikat, maka perjanjian tersebut tidak boleh
menghilangkan kewajiban suami untuk memenuhi kebutuhan
rumah tangga.

10
Jurnal El-Faqih, Volume 5, Nomor 2, Oktober 2019 E-ISSN : 2503-314x; P-ISSN : 2443-3950

7
2. Apabila dibuat perjanjian perkawinan tidak memenuhi ketentuan
tersebut pada Ayat (1) dianggap tetap terjadi pemisahan harta
bersama atau harta, syarikat dengan kewajiban suami menanggung
biaya kebutuhan rumah tangga.

Pasal 49
1. Perjanjian percampuran harta pribadi dapat meliputi semua harta,
baik yang dibawa masing-masing ke dalam perkawinan maupun
yang diperoleh masing-masing selama perkawinan.
2. Dengan tidak mengurangi ketentuan tersebut pada Ayat (1) dapat
juga diperjanjikan bahwa percampuran harta pribadi hanya terbatas
pada harta pribadi yang dibawa pada saat perkawinan
dilangsungkan, sehingga percampuran ini tidak meliputi harta
pribadi yang diperoleh selama perkawinan atau sebaliknya.11

Pasal 50
1 Perjanjian perkawinan mengenai harta, mengikat kepada para
pihak dan pihak ketiga terhitung mulai tanggal dilangsungkan
perkawinan di hadapan Pegawai Pencatat Nikah.
2 Perjanjian perkawinan mengenai harta, dapat dicabut atas
persetujuan bersama suami-istri dan wajib mendaftarkannya di
Kantor Pegawai Pencatat Nikah tempat perkawinan dilangsungkan.
3 Sejak pendaftaran tersebut, pencabutan telah mengikat kepada
suami-istri tetapi terhadap pihak ketiga pencabutan baru mengikat
sejak tanggal pendaftaran itu diumumkan oleh suami-istri dalam
suatu surat kabar setempat.
4 Apabila dalam tempo enam bulan pengumuman tidak dilakukan
oleh yang bersangkutan, pendaftaran pencabutan dengan
sendirinya gugur dan tidak mengikat kepada pihak ketiga.

11
Jurnal El-Faqih, Volume 5, Nomor 2, Oktober 2019 E-ISSN : 2503-314x; P-ISSN : 2443-3950

8
5 Pencabutan perjanjian perkawinan mengenai harta tidak boleh
merugikan perjanjian yang telah diperbuat sebelumnya dengan
pihak ketiga.

Pasal 51
Pelanggaran atas perjanjian perkawinan memberi hak
kepada istri untuk meminta pembatalan nikah atau mengajukannya
sebagai alasan gugatan perceraian ke Pengadilan Agama.

Pasal 52
Pada saat dilangsungkan perkawinan dengan istri kedua,
ketiga, atau keempat, boleh diperjanjikan mengenai tempat
kediaman, waktu giliran dan biaya rumah tangga bagi istri yang
akan dinikahinya itu.12

C. PERJANJIAN PERKAWINAN DARI BERBAGAI NEGARA


MUSLIM LAINNYA
1. Malaysia
Pertama dimulai dari Perundang-Undangan Keluarga Muslim
Malaysia, dimana disebutkan juga adanya kemungkinan membuat
taklik talak dan perjanjian perkawinan. Kemungkinan ini disebutkan
misalnya pada pasal 22 UndangUndang Selangor (Islamic Family Law
of State of Selangor, Enactment 2003). Adapun alasan yang dapat
dimasukkan dalam taklik talak ada tiga. Pertama, suami meninggalkan
isteri selama 4 bulan, disengaja atau tidak. Kedua, suami tidak
memberikan nafkah sementara isteri patuh kepada suami. Ketiga,
suami melakukan sesuatu yang membuat isteri cacat/sakit. Sekedar
tambahan, hukum mengucapkan sighat taklik talak di Malaysia tidak
wajib, namun tetap berlaku meskipun tidak diucapkan.13
12
Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Depag RI,
2000), hal.32
13
UNISIA, Vol. XXXI No. 70 Desember 2008

9
2. Singapura
Dalam Perundang-undangan Keluarga Singapore, kemungkinan
taklik talak dicantumkan dalam Formulir (form) No. 4. Dalam form ini
diberikan kemungkinan kepada isteri mengajukan perpisahan dengan
empat alasan. Pertama, suami meninggalkan isteri selama 4 bulan,
disengaja atau tidak. Kedua, suami tidak memberikan nafkah
sementara isteri patuh kepada suami. Ketiga, suami melakukan sesuatu
yang membuat isteri rusak/sakit badan dan hartanya, dan menyebabkan
kehilangan kehormatan. Alasan ini berlaku dengan syarat isteri
mengadukan ke pengadilan, ketika pengaduan terbukti, maka jatuh
talak satu.
3. Maroko
Sementara dalam perundang-undangan Perkawinan Maroko,
masalah taklik talak dicantumkan pada pasal 31 the Code of Personal
Status 1957-1958 (Qanûn alAkhwâl al-Syakhsîyah). Isi dari pasal ini
bahwa isteri boleh menetapkan dalam akad nikah bahwa suaminya
tidak akan poligami. Jika suaminya berpoligami, isteri berhak
mengajukan perceraian. Isi dari pasal ini secara khusus hanya
menyinggung poligami sebagai alasan kemungkinan terjadi perceraian,
yang diajukan isteri karena keberatan.14

14
Ibid,.

10
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Istilah perjanjian perkawinan dalam hukum Islam dalam literatur
fiqh tidak ditemukan bahasan dengan maksud yang sama, yakni “ijab
kabul yang disertai dengan syarat” atau “persyaratan dalam perkawinan”.
Bahasan tentang syarat dalam perkawinan tidak sama dengan syarat
perkawinan yang ada dalam kitab-kitab fiqh karena yang dibahas dalam
syarat perkawinan itu adalah syarat-syarat untuk sahnya suatu perkawinan.
Perjanjian perkawinan dalam kompilasi hukum islam terdapat pada
pasal 48-52.
Perjanjian perkawinan juga terdapat di berbagai negara muslim
lainnya seperti Malaysia, Singapura, Maroko dan beberapa negara muslim
lainnya.

B. Saran
Dalam penulisan makalah ini kami mengetahui banyak materi ini
yang belum sempurna. Oleh karena itu kami sangat terbuka untuk kritik
dan saran yang membangun dari pembaca makalah Hukum Keluarga
Kontemporer ini.

11
DAFTAR PUSTAKA

Abidi, Slamet dan Aminudin,1999, Fiqih Munakahat, (Bandung: Pustaka Setia)


Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 2000, Kompilasi Hukum Islam di
Indonesia, (Depag RI)
Rahman, Ghazali Abd.,2003, Fiqih Munakahat,(Jakarta: Kencana Media Group)
Ramulyo, Moh. Idris, 2002, Hukum Perkawinan Islam, Suatu analisis dari Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1947 dan Kompilasi Hukum Islam (Jakarta: Bumi
Aksara)
Syarifuddin Amir, 2006, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh
Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, Kencana, Jakarta
Undang-undang Perkawinan di Indonesia,2007, (Surabaya: Arkola)
UNISIA, Vol. XXXI No. 70 Desember 2008
Jurnal El-Faqih, Volume 5, Nomor 2, Oktober 2019 E-ISSN : 2503-314x; P-ISSN : 2443-
3950

12

Anda mungkin juga menyukai