Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

KETENTUAN TENTANG PERJANJIAN PERNIKAHAN DALAM

HUKUM PERNIKAHAN ISALAM

Di Susun oleh :

Saiun :22136004

Masni Hi. Marsudin : 22136016

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI TERNATE

FAKULTAS SYARI’AH

PRODI AHWAL AL-SYAKSIYYAH

2023
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah,segala puji kita panjatkan atas kehadiran Allah SWT. Yang


telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah ini. yang penulis susun untuk memenuhi tugas mata kuliah FIQIH
MUNAKAHAT. Tak lupa sholawat dan salam semoga tetap tercurah pada Nabi
akhir zaman Muhammad SAW, pada keluarga, para sahabat dan seluruh umatnya.

Penulis mengakui dalam makalah ini mungkin masih banyak terjadi


kekurangan sehingga hasilnya jauh dari kesempurnaan. Penulis sangat berharap
kepada semua pihak kiranya memberikan kritik dan saran yang sifatnya
membangun.

Besar harapan penulis dengan terselesaikannya makalah ini dapat menjadi


bahan tambahan bagi penilaian dosen bidang studi filsafat hukum islam dan
mudah-mudahan isi dari makalah penulis ini dapat di ambil manfaatnya oleh
semua pihak yang membaca makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat
bagi perkembangan ilmu pengetahuan khususnya filsafat hukum islam.
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perjanjian dalam Islam menjadi hal yang harus dipatuhi, hal ini dikarenakan
pada hakikatnya kehidupan setiap manusia diawali dengan perjanjian dengan-Nya
untuk kemudian bersedia hidup bertanggungjawab sebagai Abdullah dan khalifah
dimuka bumi ini. Selain itu, hal tersebut diperkuat dengan firman-firman Allah
yang menjelaskan tentang hakikat dari suatu perjanjian dalam Islam, disebutkan
dalam al-Quran surat al-Mâ‟idah ayat 1“Wahai orang-orang yang beriman
penuhilah janji-janji”1 juga dalam surat al-Isrâ‟ ayat 34 “Dan penuhilah janji
karena janji itu pasti diminta pertanggungjawabannya.”2 Berdasarkan landasan-
landasan inilah perjanjian dalam Islam bukanlah hal yang ringan, karena
kesepakatan yang dibuat oleh kedua pihak pada dasarnya akan menimbulkan suatu
hak di satu sisi, dan suatu kewajiban di sisi lainnya. Hal ini erat kaitannya dengan
aspek hukum yang ada, sehingga di dalam hukum, jika suatu perbuatan memiliki
pengaruh atau akibat yang terkait dengan hukum disebut dengan perbuatan hukum,
termasuk dalam hal ini adalah perjanjian.

B. Rumusan Masalah
1. Pengertian perjanjian pernikahan?
2. Hukum membuat perjanjian dalam pernikahan?
3. Bagaimana perjanjian pernikahan dalam KHI?

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian perjanjian pernikahan

Perkawinan dalam syariat Islam disebut dengan nikah, yaitu salah satu azas hidup
dalam masyarakat yang beradat dan sempurna. Islam memandang bahwa sebuah
pernikahan itu bukan saja merupakan jalan yang mulia untuk mengatur kehidupan
rumah tangga dan keturunan, tetapi juga merupakan pintu perkenalan antarsuku
bangsa yang satu dengan suku bangsa yang lainnya. Perkawinan merupakan
sunnatullah yang umum dan berlaku pada semua makhluk-Nya, baik pada
manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan. Ia adalah salah satu cara yang dipilih oleh
Allah SWT sebagai jalan bagi makhluknya untuk berkembang biak dan
melestarikan hidupnya.8 Meskipun istilah pernikahan atau penikahan sudah
menjadi hal yang lazim didengar oleh telinga masyarakat, namun kadang kala
banyak orang awam yang kurang mengerti atau memahami tentang arti pernikahan
yang sebenarnya. Dari kekurang fahaman inilah banyak kalangan masyarakat yang
melakukan penyimpangan ataupun penyalahgunaan dari pernikahan itu sendiri.

a. Pengertian Menurut Etimologi


Pernikahan dalam istilah ilmu fiqih disebut ( ‫ )زواج‬,(‫ ) نكاح‬keduanya berasal dari
bahasa arab. Nikah dalam bahasa arab mempunyai dua arti yaitu (‫)الوطء والضم‬

1) Arti hakiki (yang sempurna) ialah ( ‫ ) الضم‬yang berarti menindih, menghimpit


berkumpul.

2) Arti methaphoric, majas (kiasan) ialah ( ‫ ) الوطء‬atau ( ‫ ) العقد‬yang berarti


bersetubuh, akad atau perjanjian.

b. Pengertian Menurut Terminologi

Adapun makna tentang pernikahan secara terminologi, masing masing ulama


fiqih berbeda pendapat dalam mendefinisikan pernikahan, antara lain:

1) Ulama’ Hanafiyah mendefinisikan pernikahan sebagai suatu akad yang


berguna untuk memiliki mut‘ah dengan sengaja. Maksudnya adalah bahwasannya
seorang laki-laki dapat mengusai perempuan dengan seluruh anggota badannya
untuk mendapatkan sebuah kesenangan dan kepuasan.

2) Ulama’ Syafi’iyah menyebutkan bahwa pernikahan adalah suatu akad


dengan menggunakan lafal ‫ ِنَك اح‬, atau ‫ َز َو اج‬, dimana dari dua kata tersebut yang
menyimpan arti memiliki wat}‘i. Artinya dengan adanya sebuah pernikahan
seseorang dapat memiliki atau mendapatkan kesenangan dari pasangan.

3) Ulama’ Malikiyah menyebutkan bahwa pernikahan adalah suatu akad yang


mengandung arti mut‘ah untuk mencapai kepuasan dengan tidak mewajibkan
adanya harga.

4) Ulama’ Hanabilah menyebutkan bahwa pernikahan adalah akad dengan


menggunakan lafal ‫ ِاْنَك اح‬atauِ ْ ‫ َت ْز ویج‬untuk mendapatkan kepuasan. Artinya,
bahwasannya seorang laki-laki dapat memperoleh sebuah kepuasan dari seseorang
perempuan begitu juga sebaliknya.

5) Menurut Saleh al-Utsaimin, nikah ditinjau dari segi syariat ialah pertalian
hubungan (akad) antara laki-laki dan perempuan dengan maksud agar masing-
masing dapat menikmati yang lain (istimta’) dan untuk membentuk keluaga yang
salih dan membangun masyarakat yang bersih.

B. HUKUM MEMBUAT PERJANJIAN DALAM PERNIKAHAN

Hukum perjanjian dalam nikah itu hukumnya mubāh (boleh), dalam arti tidak
semua yang akan melakukan pernikahan harus membuat perjanjian, bisa saja yang
lain tidah mau melakukan perjanjian. Jumhūrul ‘ulamā mengatakan bahwa
memenuhi syarat yang dinyatakan dalam bentuk perjanjian itu hukumnya adalah
wājib, sebagaimana hukum memenuhi perjanjian lainnya, bahkan syarat-syarat
yang berkaitan dengan perkawinan lebih berhak untuk dilaksanakan, seperti dalam
ḥadīth Rasulullah Saw:

Artinya:ْ“Sesungguhnya syarat yang paling utama dipenuhi ialah sesuatu yang


dengannya kamu pandang halal hubungan kelamin” (H.R. Al-Bukhārī dalam Kitab
Ṣaḥīḥ-nya).

Perjanjian perkawinan yaitu persetujuan yang dibuat ole kedua calon pada
waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, dan masing-masing berjanji akan
mentaati apa yang tersebut dalam persetjuan itu, yang disahkan oleh pegawai
pencatat nikah. Perjanjian perkawinan (Pranikah) tidak familiar dalam budaya
Timur, namun demikian dengan semakin beragam masalah perkawinan, terkait
terbatasnya waktu untuk mengenal pasangan hidup karena kesibukan beraktivitas,
mendorong sebagian masyarakat untuk menerapkan perjanjian perkawinan
(Pranikah).

Disamping itu, perjanjian pranikah diadakan untuk antisipasi terhadap segala


kemungkinan yang tidak diharapkan, misalnya terkait hutang calon suami isteri
yang terjadi sebelum pernikahan, penguasaan salah satu pihak terhadap harta
bawaan saat terjadinya perceraian, larangan poligami (Poliandri-perselingkuhan)
pengasuhan anak-anak yang lahir dalam perkawinan nantinya. Perjanjian
perkawinan (Pranikah) dapat diartikan sebagai Akta Kesepakatan calon suami-
isteri dalam membuat klausul-klausul yang tertuang dalam perjanjian yang
nantinya akan mengikat dan ditaati setelah terjadinya perkawinan mereka tentang
segala sesuatu yang berkenaan dengan katagori Harta Bersama, melakukan sesuatu
atau melarangnya (termasuk KDRT-Kekerasan Dalam Rumah Tangga), larangan
selingkuh- poligami (poliandri), pengaturan penghasilan masing-masing untuk
kebutuhan rumah tangga, penyatuan atau pemisahan harta yang dihasilkan dalam
perkawinan atau harta bawaan, tanggungjawab hutang masing-masing, pengasuhan
anak, biaya perawatanhidup,pendidikan anak hingga dewasa dan mandiri.

Pengaturan perjanjian perkawinan (Pranikah) terdapat pada:

a) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 29 terdiri dari ayat (1), (2), (3)

dan (4).

Perjanjian perkawinan dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 29

(1) Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua belah pihak atas
persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh
pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak
ketiga tersangkut.
(2) Perkawinan tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas
hukum, agama dan kesusilaan.

(3) Perjanjian tersebut dimulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.

(4) Selama perkawinan dilangsung perjanjian tersebut tidak dapat diubah,


kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk mengubah dan
perubahan tidak merugikan pihak ketiga.

C. Perjanjian pernikahan dalam KHI

Penelitian tersebut membahas tentang perjanjian perkawinan menurut hukum


Islam dan hukum Positif di Indonesia. Metode penelitian yang digunakan yaitu
library research yaitu penelusuran terhadap literatur-literatur yang berhubungan
dengan perjanjian perkawinan. Pendekatan yang digunakan yaitu pendekatan
syar’i merupakan pendekatan hukum Islam dan pendekatan yuridis yaitu
pendekatan terhadap Undang-undang yaitu Kompilasi Hukum Islam, KUHPerdata,
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Hasil penelitian yaitu
perjanjian perkawinan dalam hukum Islam dilakukan dengan memperhatikan
ketentuan-ketentuan syara yang kemudian dimasukkan di dalam Kompilasi Hukum
Islam. Perjanjian perkawinan dalam hukum positif di Indonesia diambil dari
KUHPerdata dan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Asas-asas perjanjian/akad adalah landasan prinsip dalam pelaksanaan akad.


Asas-asas akad ini dirumuskan dari prinsip-prinsip umum yang terdapat dalam
pelaksanaan akad menurut syariah (hukum Islam). Menurut Syamsul Anwar asas-
asas akad (perjanjian) ini antara lain, yaitu:

a. Asas kebolehan (mabda‟ al-Ibahāh)


b. Asas kebebasan (mabda al-huriyyah)
c. Asas janji itu mengikat
d. Asas amanah

Dalam Pasal 45 Kompilasi Hukum Islam (KHI): Kedua calon mempelai


dapatmengadakan perjanjian perkawinan dalam bentuk:

a. Ta’līq Ṭalāq, dan

b. Perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam,

Jadi perjanjian perkawinan seperti ditegaskan dalam penjelasan Pasal 29


Undang-Undang No. I Tahun 1974, telah diubah atau setidaknya, diterapkan
bahwa Ta’līq Ṭalāq termasuk salah satu macam perjanjian perkawinan.20 Pasal 46
Kompilasi Hukum Islam, lebih jauh mengatur isi Ta’līq Ṭalāq tidak boleh
bertentangan dengan hukum Islam, yakni:

(1) Isi Ta’līq Ṭalāq tidak boleh bertentangan dengan hukum Islam.

(2) Apabila keadaan yang disyaratkan dalam Ta’līq Ṭalāq betul-betul terjadi
kemudian, tidak dengan sendirinya talak jatuh. Supaya Ṭalāq sungguh-sungguh
jatuh, istri harus mengajukan persoalannya ke Pengadilan Agama.

(3) Perjanjian Ta’līq Ṭalāq bukan suatu perjanjian yang wajib diadakan pada
setiap perkawinan, akan tetapi sekali Ta’līq Ṭalāq sudah diperjanjikan tidak dapat
dicabut kembali.
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Dapat disimpulkan bahwa perjanjian dalam perkawinan tidak ditemukan


dalam kitab-kitab fiqih, yang dibahas dalam kitab fiqih adalah persyaratan dalam
perkawinan. Imam Ahmad bin Hanbal berpandapat bahwa jika suami melanggar
dalam persyaratan atau perjanjian, maka istri memiliki hak untuk mengajukan
gugat cerai ke Pengadilan.

Menurut Undang-undang, perjanjian perkawinan mengandung maksud baik


dan positif, yaitu; melindungi perempuan dari dari kesewenang-wenangan suami
dalam memenuhi kewajibannya, sebagai hak-hak yang seharusnya diterima oleh
istri. Perjanjian dalam pandangan Islam dibolehkan, berdasarkan dalil, apa yang
dipandang baik oleh kaum muslimin, maka di sisi Allah Swt pun baik.

Anda mungkin juga menyukai