Di Susun oleh :
Saiun :22136004
FAKULTAS SYARI’AH
2023
KATA PENGANTAR
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perjanjian dalam Islam menjadi hal yang harus dipatuhi, hal ini dikarenakan
pada hakikatnya kehidupan setiap manusia diawali dengan perjanjian dengan-Nya
untuk kemudian bersedia hidup bertanggungjawab sebagai Abdullah dan khalifah
dimuka bumi ini. Selain itu, hal tersebut diperkuat dengan firman-firman Allah
yang menjelaskan tentang hakikat dari suatu perjanjian dalam Islam, disebutkan
dalam al-Quran surat al-Mâ‟idah ayat 1“Wahai orang-orang yang beriman
penuhilah janji-janji”1 juga dalam surat al-Isrâ‟ ayat 34 “Dan penuhilah janji
karena janji itu pasti diminta pertanggungjawabannya.”2 Berdasarkan landasan-
landasan inilah perjanjian dalam Islam bukanlah hal yang ringan, karena
kesepakatan yang dibuat oleh kedua pihak pada dasarnya akan menimbulkan suatu
hak di satu sisi, dan suatu kewajiban di sisi lainnya. Hal ini erat kaitannya dengan
aspek hukum yang ada, sehingga di dalam hukum, jika suatu perbuatan memiliki
pengaruh atau akibat yang terkait dengan hukum disebut dengan perbuatan hukum,
termasuk dalam hal ini adalah perjanjian.
B. Rumusan Masalah
1. Pengertian perjanjian pernikahan?
2. Hukum membuat perjanjian dalam pernikahan?
3. Bagaimana perjanjian pernikahan dalam KHI?
BAB II
PEMBAHASAN
Perkawinan dalam syariat Islam disebut dengan nikah, yaitu salah satu azas hidup
dalam masyarakat yang beradat dan sempurna. Islam memandang bahwa sebuah
pernikahan itu bukan saja merupakan jalan yang mulia untuk mengatur kehidupan
rumah tangga dan keturunan, tetapi juga merupakan pintu perkenalan antarsuku
bangsa yang satu dengan suku bangsa yang lainnya. Perkawinan merupakan
sunnatullah yang umum dan berlaku pada semua makhluk-Nya, baik pada
manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan. Ia adalah salah satu cara yang dipilih oleh
Allah SWT sebagai jalan bagi makhluknya untuk berkembang biak dan
melestarikan hidupnya.8 Meskipun istilah pernikahan atau penikahan sudah
menjadi hal yang lazim didengar oleh telinga masyarakat, namun kadang kala
banyak orang awam yang kurang mengerti atau memahami tentang arti pernikahan
yang sebenarnya. Dari kekurang fahaman inilah banyak kalangan masyarakat yang
melakukan penyimpangan ataupun penyalahgunaan dari pernikahan itu sendiri.
5) Menurut Saleh al-Utsaimin, nikah ditinjau dari segi syariat ialah pertalian
hubungan (akad) antara laki-laki dan perempuan dengan maksud agar masing-
masing dapat menikmati yang lain (istimta’) dan untuk membentuk keluaga yang
salih dan membangun masyarakat yang bersih.
Hukum perjanjian dalam nikah itu hukumnya mubāh (boleh), dalam arti tidak
semua yang akan melakukan pernikahan harus membuat perjanjian, bisa saja yang
lain tidah mau melakukan perjanjian. Jumhūrul ‘ulamā mengatakan bahwa
memenuhi syarat yang dinyatakan dalam bentuk perjanjian itu hukumnya adalah
wājib, sebagaimana hukum memenuhi perjanjian lainnya, bahkan syarat-syarat
yang berkaitan dengan perkawinan lebih berhak untuk dilaksanakan, seperti dalam
ḥadīth Rasulullah Saw:
Perjanjian perkawinan yaitu persetujuan yang dibuat ole kedua calon pada
waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, dan masing-masing berjanji akan
mentaati apa yang tersebut dalam persetjuan itu, yang disahkan oleh pegawai
pencatat nikah. Perjanjian perkawinan (Pranikah) tidak familiar dalam budaya
Timur, namun demikian dengan semakin beragam masalah perkawinan, terkait
terbatasnya waktu untuk mengenal pasangan hidup karena kesibukan beraktivitas,
mendorong sebagian masyarakat untuk menerapkan perjanjian perkawinan
(Pranikah).
a) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 29 terdiri dari ayat (1), (2), (3)
dan (4).
(1) Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua belah pihak atas
persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh
pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak
ketiga tersangkut.
(2) Perkawinan tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas
hukum, agama dan kesusilaan.
(1) Isi Ta’līq Ṭalāq tidak boleh bertentangan dengan hukum Islam.
(2) Apabila keadaan yang disyaratkan dalam Ta’līq Ṭalāq betul-betul terjadi
kemudian, tidak dengan sendirinya talak jatuh. Supaya Ṭalāq sungguh-sungguh
jatuh, istri harus mengajukan persoalannya ke Pengadilan Agama.
(3) Perjanjian Ta’līq Ṭalāq bukan suatu perjanjian yang wajib diadakan pada
setiap perkawinan, akan tetapi sekali Ta’līq Ṭalāq sudah diperjanjikan tidak dapat
dicabut kembali.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan