Hukum Perdata
Disusun oleh:
ILMU FALAK
2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan yang maha kuasa yang telah memberikan
kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan makalah ini. Atas rahmat dan
Perkawinan” tepat waktu. Makalah ini disusun guna memenuhi tugas Bapak
Muhammad Shoim, S.Ag, MH pada mata kuliah Hukum Perdata. Selain itu,
penulis juga berharap agar makalah ini dapat menambah wawasan bagi pembaca
Tugas yang telah di berikan ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan
kepada semua pihak yang telah membantu proses penyusunan makalah ini.
Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena
itu, kritik dan saran yang membangun akan penulis terima demi kesempurnaan
makalah ini.
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................................................i
DAFTAR ISI.............................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................................1
1.1 Latar Belakang................................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah...........................................................................................................1
1.3 Tujuan Penulisan.............................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN...........................................................................................................3
2.1 Arti, Syarat, Pencegahan, Pembatalan Perkawinan........................................................3
2.2 Hak dan Kewajiban Suami Istri dan Anak......................................................................9
2.3 Perjanjian Perkawinan...................................................................................................10
2.4 Akibat Perkawinan Terhadap Harta Kekayaan.............................................................15
2.5 Putusnya Perkawinan dan Akibat Hukumnya...............................................................17
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan (LN 1974 Nomor 1,TLN 3019)
1
2
2
Prof. Dr. Jamaluddin, S.H., M.Hum. dan Nanda Amalia, SH, M.Hum. 2016. Buku Ajar
Hukum Perkawinan. Sulawesi: Unimal Press.
3
Kelik Wardiono, et al., Hukum Perdata (Surakarta: Muhammadiyah University Press,
2018) hal 63.
4
4
Rahman Syamsuddin, Pengantar Hukum Indonesia (Jakarta: Kencana, 2019), hal 137-138.
5
Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh munakahat, Jakarta ; Kencana Prenada Media Group, 2006,
hal. 45-46.
6
Jamaluddin, dan Nanda Amalia, Buku Ajar Hukum Perkawinan. Sulawesi: Unimal Press,
2026, hal 29.
5
7
Taufiqurrohman Syahuri, Legislasi Hukum Perkawinan di Indonesia Pro-kontra
pembentukannya hingga putusan mahkamah konstitusi, Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2013, hal. 23.
8
Abd. Rahman Ghazaly, Op.Cit, hal. 49-50
9
Ibid, hal, 54-55.
6
e. Wanita itu tidak dalam ikatan perkawinan dan tidak masih dalam
iddah;
f. Tidak dipaksa;
g. Tidak dalam keadaan ihram haji atau umrah.
3) Pencegahan Perkawinan
Pencegahan perkawinan adalah suatu usaha untuk menghindari
adanya perkawinan yang bertentangan dengan undang-undang atau
peraturan yang berlakudan dalam pasal 13 UU No. 1 Tahun 1974
ditentukan bahwa perkawinan yang tidak memenuhi syarat yang
ditentukan oleh UU dapat dicegah. Adapun orang-orang yang bisa
melakukan pencegahan untuk melangsungkan perkawinan di antaranya:
saudara, keluarga (garis keturunan ke bawah atau ke atas),
wali/pengampu, suami dan/atau istri, pihak-pihak yang berkepentingan
dan pejabat yang ditunjuk.
Pencegahan perkawinan ini dilakukan dengan mengajukan
permohonan kepada pengadilan dalam daerah hukum di mana akan
dilaksanakan perkawinan tersebut, pencegahan perkawinan tersebut juga
diberitahukan kepada petugas KUA/Catatan Sipil untuk membatalkan
perkawinan.10
Asas Monogami dan Poligami: Dalam pasal 3 ayat (2) UU No. 1
Tahun 1974 menyatakan bahwa Pengadilan dapat memberikan izin
kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila
dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Penganut faham yang
anti dan yang pro untuuk berpoligami, golongan yang terakhir dapat
menyetujui asas monogami karena dianggap sesuai dengan ajaran dalam
agamanya namun dalam keadaan tertentu masih dapat mengizinkan suami
untuk berpoligami.
Keadaan tertentu yang dimaksud adalah; (1). Istri tidak dapat
menjalankan kewajibannya sebagai istri. (2). Istri mendapat cacat
badan/penyakit yang tidak dapt disembuhkan. Dan, (3). Istri tidak dapat
melahirkan keturunan. Hal tersebut dapat dijadikan alasan bagi suami
10
Ibid, hal 69-70
7
11
Ibid, hal 71-72
8
12
Ibid, hal 91-92
9
13
Kelik Wardiono, Op.Cit, hal 73-75.
14
H. A. Damanhuri, Segi-Segi Hukum Perjanjian Perkawinan Harta Bersama, Bandung :
Mandar Maju, 2007 hlm. 7
15
Ibid, hal 1.
16
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu,
Sumur, Bandung, 1981, hlm. 11.
11
atau pemisahan harta kekayaan pribadi calon suami dan calon istri yang
menjadi objek perjanjian17
Perjanjian perkawinan umumnya jarang terjadi di dalam masyarakat
Indonesia asli, karena masih kuatnya hubungan kekerabatan antara calon
suami istri, serta kuatnya pengaruh hukum adat. Perjanjian perkawinan asal
mulanya berasal dari masyarakat Barat yang memiliki sifat individualistik
dan kapitalistik, individualistik karena melalui perjanjian perkawinan
mengakui kemandirian dari harta suami dan harta istri, kapitalistik karena
tujuannya untuk melindungi rumah tangga dari kepailitan dalam dunia usaha,
artinya ketika salah satu pihak diantara suami istri jatuh pailit maka yang lain
masih bisa diselamatkan.18
Di Indonesia, terdapat 3 (tiga) produk peraturan perundang-undangan
yang mengatur masalah perjanjian perkawinan, yaitu Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (KUHPerdata) atau Burgerlijk Wetboek (BW), Undang-
Undang Nomor 1 tahun l974 mengenai Perkawinan, dan Inpres Nomor 1
Tahun 1974 tentang Kompilasi Hukum Islam. Sejak berlakunya Undang-
Undang Nomor 1 tahun 1974, sehingga di negara Indonesia telah terjadi
unifikasi dalam bidang Hukum Perkawinan, kecuali sepanjang yang belum
atau tidak diatur dalam undang-undang tersebut, maka peraturan lama dapat
dipergunakan.19
Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
hanya terdapat 1 (satu) pasal yang membahas mengenai perjanjian
perkawinan yaitu Pasal 29 Undang-Undang Perkawinan yang terdiri dari 4
(empat) ayat. bunyi ketentuan Pasal 29 Undang-Undang Perkawinan yaitu:
1. Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas
persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan
oleh pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga bagi
pihak ketiga tersangkut.
2. Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas
hukum, agama, dan kesusilaan.
17
Ibid.
18
R. Soetojo Prawirohamidjojo, Pluralisme dalam Perundang-undangan Perkawinan Di
Indonesia, Airlangga University Press, Surabaya, 1988, hlm. 4
19
K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982, hlm. 3.
12
20
Departement agama RI, Himpunan Peratura perundang-Undangan Dalam Lingkup
Peradilan Agama, Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Jakarta, 2001, hlm.
138.
13
21
Departement agama RI,Himpunan Peratura perundang-Undangan Dalam Lingkup
Peradilan Agama, Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam,Jakarta,
2001, hlm. 328.
22
J. Andy Hartanto, Hukum Harta Kekayaan Perkawinan: Menurut Burgerlijk Wetboek Dan
Undang Undang Perkawinan, Surabaya: Laksbang Pressindo, 2017, hal. 40.
14
harta perolehannya kecuali jika pihak suami dan pihak istri menentukan
lain artinya jika pihak suami istri tersebut membuat perjanjian
perkawinan untuk mengatur harta benda mereka, maka penguasaan harta
perolehan tersebut dilakukan menurut isi perjanjian kawin yang telah
mereka buat. Demikian pula apabila terjadi perceraian maka harta
perolehan tetap dikuasai dan masih tetap menjadi milik masing-masing
suami atau istri kecuali apabila suami istri tersebut menentukan lain,
menentukan lain di sini artinya membuat perjanjian perkawinan, maka
harta perolehan tersebut dipakai sesuai dengan isi perjanjian perkawinan
yang telah mereka buat.
e) Cacat permanen
f) Pertengkaran yang berulang kali dan terus-menerus.
27
Kelik Wardiono, et al., Hukum Perdata …… hal 83-85.
19
28
Ibid, hal 87-88
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Perjanjian Perkawinan merupakan perjanjian atau persetujuan yang
dibuat oleh calon suami isteri, sebelum atau pada saat perkawinan
dilangsungkan untuk mengatur akibat-akibat perkawinan terhadap harta
kekayaan mereka. Perjanjian ini tidak hanya sebatas memperjanjikan
masalah keuangan atau harta, namun hal lainnya dapat pula diperjanjikan.
Perjanjian Perkawinan di Indonesia diatur dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) atau Burgerlijk Wetboek (BW),
Undang-Undang Nomor 1 tahun l974 tentang Perkawinan disertai dengan
Peraturan Pelaksanaan Nomor 9 Tahun 1975, dan Inpres Nomor 1 Tahun
1974 tentang Kompilasi Hukum Islam. Dengan demikian, maka di Indonesia
telah terjadi unifikasi dalam bidang Hukum Perkawinan.
Perjanjian Perkawinan dalam KUHPerdata atau Burgerlijk Wetboek
(BW) masih tetap berlaku, sepanjang masalah yang berkaitn dengan tersebut
tidak diatur dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun l974, dan
Inpres Kompilasi Hukum Islam Nomor 1 Tahun 1974.
DAFTAR PUSTAKA