Anda di halaman 1dari 24

Hukum Perkawinan

Untuk memenuhi tugas mata kuliah:

Hukum Perdata

Dosen pengampu: Muhammad Shoim, S.Ag., MH.

Disusun oleh:

Brian Nouval S - 2002046015

Nur Amalia Setiani - 2002046043

Syarihul Qur’an Muhammad - 2002046047

ILMU FALAK

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN WALISONGO SEMARANG

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan yang maha kuasa yang telah memberikan

kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan makalah ini. Atas rahmat dan

hidayah-Nya lah penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Hukum

Perkawinan” tepat waktu. Makalah ini disusun guna memenuhi tugas Bapak

Muhammad Shoim, S.Ag, MH pada mata kuliah Hukum Perdata. Selain itu,

penulis juga berharap agar makalah ini dapat menambah wawasan bagi pembaca

tentang hukum perkawinan.

Penulis juga mengucapkan termakasih sebesar-besarnya kepada Bapak

Muhammad Shoim, S.Ag, MH selaku pengampu mata kuliah Hukum Perdata.

Tugas yang telah di berikan ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan

terkait bidang yang di tekuni penulis. Penulis juga mengucapkan terimakasih

kepada semua pihak yang telah membantu proses penyusunan makalah ini.

Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena

itu, kritik dan saran yang membangun akan penulis terima demi kesempurnaan

makalah ini.

Jombang, 20 Agustus 2021

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................................i
DAFTAR ISI.............................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................................1
1.1 Latar Belakang................................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah...........................................................................................................1
1.3 Tujuan Penulisan.............................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN...........................................................................................................3
2.1 Arti, Syarat, Pencegahan, Pembatalan Perkawinan........................................................3
2.2 Hak dan Kewajiban Suami Istri dan Anak......................................................................9
2.3 Perjanjian Perkawinan...................................................................................................10
2.4 Akibat Perkawinan Terhadap Harta Kekayaan.............................................................15
2.5 Putusnya Perkawinan dan Akibat Hukumnya...............................................................17

BAB III PENUTUP.................................................................................................................20


3.1........................................................................................................................Kesimpulan
.......................................................................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................22

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Perkawinan merupakan suatu ikatan yang sah untuk membina rumah
tangga dan keluarga sejahtera bahagia di mana kedua suami istri memikul
amanah dan tanggung jawab. Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974
tentang Perkawinan merumuskan, bahwa Perkawinan, ialah ikatan lahir batin
antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.
Setiap mahluk hidup memiliki hak azasi untuk melanjutkan
keturunannya melalui perkawinan, yakni melalui budaya dalam melaksanakan
suatu perkawinan yang dilakukan di Indonesia. Ada perbedaan-perbedaannya
dalam pelaksanaan yang disebabkan karena keberagaman kebudayaan atau
kultur terhadap agama yang dianut.
Setiap orang atau pasangan (pria dengan wanita) jika sudah melakukan
perkawinan maka terhadapnya ada ikatan kewajiban dan hak diantara mereka
berdua dan anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut. Perkawinan
menurut Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
(selanjutnya disebut UU Perkawinan)1. Maka dari itu penulisan makalah ini
dalam rangka menjelaskan dan memaparkan mengenai Hukum Perkawinan
yang berlaku di Indonesia.

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1. Bagaimana penjelasan mengenai Arti, Syarat, Pencegahan, Pembatalan
perkawinan?
1.2.2. Bagaimana penjelasan mengenai Hak dan Kewajiban Suami Istri dan
Anak?
1.2.3. Bagaimana penjelasan mengenai Perjanjian Perkawinan?

1
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan (LN 1974 Nomor 1,TLN 3019)

1
2

1.2.4. Bagaimana penjelasan mengenai Akibat perkawinan terhadap harta


kekayaan?
1.2.5. Bagaimana penjelasan mengenai Putusnya Perkawinan dan Akibat
Hukumnya?

1.3 Tujuan Penulisan


1.3.1. Mengetahui dan memahami penjelasan mengenai Arti, Syarat,
Pencegahan, Pembatalan perkawinan.
1.3.2. Mengetahui dan memahami penjelasan mengenai Hak dan Kewajiban
Suami Istri dan Anak.
1.3.3. Mengetahui dan memahami penjelasan mengenai Perjanjian
Perkawinan.
1.3.4. Mengetahui dan memahami Akibat perkawinan terhadap harta
kekayaan.
1.3.5. Mengetahui dan memahami penjelasan mengenai Putusnya
Perkawinan dan Akibat Hukumnya.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Arti, Syarat, Pencegahan, Pembatalan Perkawinan


1) Pengertian Perkawinan
Perkawinan atau pernikahan dalam literatur fiqh berbahasa arab
disebut dengan dua kata, yaitu nikah dan zawaj. Kedua kata ini yang
terpakai dalam kehidupan sehari- hari orang arab dan banyak terdapat
dalam Al-Qur’an dan hadis Nabi (Amir Syarifuddin, 2006:35).2
Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1 menyatakan
bahwa Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa.3 Sedangkan menurut KUH Perdata (Burgerlijk Wetboek),
pasal 26 dikatakan Undang-undang memandang soal perkawinan hanya
dalam hubungan perdata.
Antara pengertian perkawinan menurut KUH Perdata dengan UU
No. 1 Tahun 1974 terdapat perbedaan menyolok, yaitu dalam KUH
Perdata aspek keagamaan bisa diabaikan dan juga menganut asas
monogami mutlak, sedangkan UU No. 1 Tahun 1974 sangat
memperhatikan aspek keagamaan dan tidak menganut asas monogami
mutlak. Perbedaan lainnya antara KUH Perdata sebagai hukum yang
bersumber dari hukum Barat, suami adalah pemegang kekuasaan atas istri
(marital) dan istri harus tunduk dan patuh pada suami, dengan demikian
setiap perbuatan hukum yang akan dilakukan oleh istri harus diwakili
oleh suaminya. Demikian yang tertuang dalam KUH Perdata, tetapi
mungkin dalam praktik adalah sebaliknya. Hal ini disebabkan kaidah
hukum keluarga bersifat mengatur dan hukum yang bersifat memaksa
tidaklah merupakan sebenarnya (esensial), walaupun dalam pasal 106

2
Prof. Dr. Jamaluddin, S.H., M.Hum. dan Nanda Amalia, SH, M.Hum. 2016. Buku Ajar
Hukum Perkawinan. Sulawesi: Unimal Press.
3
Kelik Wardiono, et al., Hukum Perdata (Surakarta: Muhammadiyah University Press,
2018) hal 63.
4

KUH Perdata dan pasal-pasal lainnya menegaskan bahwa istri harus


tunduk dan patuh pada suaminya.4
2) Syarat Perkawinan
Syarat yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan
tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), tetapi sesuatu itu tidak termasuk dalam
rangkaian pekerjaan itu, seperti menutup aurat untuk shalat. Atau menurut
islam, calon penganten laki-laki/perempuan itu harus beragama islam.5
Pasal 2 ayat 1 KHI menyebutkan bahwa : “Perkawinan adalah sah,
apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu”. Ketentuan ini tidak ada beda dengan Pasal 2 ayat
(1) UU Perkawinan yang menyatakan perkawinan adalah sah apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya
itu. Ini menunjukakan isi dari Kompilasi Hukum Islam masih mengakui
pluralisme dalam hukum perkawinan di indonesia. Namun dapat
ditegaskan bahwa bagi umat Islam berlaku hukum perkawinan Islam,
sedangkan bagi agama selain islam berlaku hukum perkawinan yang
diatur dalam agamanya.6
Dalam Hukum perkawinan islam mengatur agar perkawinan itu
dilakukan dengan akad antara pihak-pihak yang bersangkutan dengan
disaksikan dua orang laki-laki setelah dipenuhi syarat-syarat lain menurut
hukum islam. Dengan dikukuhkannya hukum agama (Fiqh Munakahat)
sebagai syarat sahnya suatu perkawinan, maka berlakunya hukum islam
di Indonesia bukan lagi berdasarkan kepada teori resepsi, melainkan
langsung berdasarkan kepada UU Perkawinan. Dengan demikian,
pelaksanaan Hukum Perkawinan Islam itu disamping menjadi tanggung
jawab pribadi umat islam, juga menjadi tanggung jawab pemerintah
untuk ikut mengawasinya. Adanya pengawasan pemerintah itu

4
Rahman Syamsuddin, Pengantar Hukum Indonesia (Jakarta: Kencana, 2019), hal 137-138.
5
Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh munakahat, Jakarta ; Kencana Prenada Media Group, 2006,
hal. 45-46.
6
Jamaluddin, dan Nanda Amalia, Buku Ajar Hukum Perkawinan. Sulawesi: Unimal Press,
2026, hal 29.
5

dimaksudkan agar supaya dalam pelaksanaan Hukum perkawinan Islam


itu tidak disalahgunakan.7
1. Syarat Sah Perkawinan8
Syarat-syarat perkawinan merupakan dasar bagi sahnya
perkawinan. Apabila syarat-syaratnya terpenuhi, maka perkawinan itu
sah dan menimbulkan adanya segala hak dan kewajiban sebagai suami
isteri. Pada garis besar syarat-syarat sahnya perkawinan itu ada dua:
a) Calon mempelai perempuan halal dikawin oleh laki-laki yang ingin
menjadikannya isteri.
b) Akad nikahnya dihadiri para saksi.
2. Syarat-syarat kedua mempelai9
Syarat bagi calon pengantin pria:
a) Calon suami beragama islam;
b) Terang (jalas) bahwa calon suami itu betul-betul laki-laki;
c) Orangnya diketahui dan tertentu;
d) Calon mempelai laki-laki itu jelas halal kawin dengan calon isteri;
e) Calon mempelai laki-laki tahun/kenal pada calon isteri halal
baginya;
f) Calon suami rela (tidak dipaksa) untuk melakukan perkawinan itu;
g) Tidak sedang melakukan ihram;
h) Tidak mempunyai isteri yang haram dimadu
i) dengan calon isteri;
j) Tidak sedang mempunyai isteri empat.
Syarat calon pengantin perempuan:
a. Beragama islam
b. Terang bahwa ia wanita, bukan khuntsa (banci);
c. Wanita itu tentu orangnya;
d. Halal bagi calon suami;

7
Taufiqurrohman Syahuri, Legislasi Hukum Perkawinan di Indonesia Pro-kontra
pembentukannya hingga putusan mahkamah konstitusi, Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2013, hal. 23.
8
Abd. Rahman Ghazaly, Op.Cit, hal. 49-50
9
Ibid, hal, 54-55.
6

e. Wanita itu tidak dalam ikatan perkawinan dan tidak masih dalam
iddah;
f. Tidak dipaksa;
g. Tidak dalam keadaan ihram haji atau umrah.
3) Pencegahan Perkawinan
Pencegahan perkawinan adalah suatu usaha untuk menghindari
adanya perkawinan yang bertentangan dengan undang-undang atau
peraturan yang berlakudan dalam pasal 13 UU No. 1 Tahun 1974
ditentukan bahwa perkawinan yang tidak memenuhi syarat yang
ditentukan oleh UU dapat dicegah. Adapun orang-orang yang bisa
melakukan pencegahan untuk melangsungkan perkawinan di antaranya:
saudara, keluarga (garis keturunan ke bawah atau ke atas),
wali/pengampu, suami dan/atau istri, pihak-pihak yang berkepentingan
dan pejabat yang ditunjuk.
Pencegahan perkawinan ini dilakukan dengan mengajukan
permohonan kepada pengadilan dalam daerah hukum di mana akan
dilaksanakan perkawinan tersebut, pencegahan perkawinan tersebut juga
diberitahukan kepada petugas KUA/Catatan Sipil untuk membatalkan
perkawinan.10
Asas Monogami dan Poligami: Dalam pasal 3 ayat (2) UU No. 1
Tahun 1974 menyatakan bahwa Pengadilan dapat memberikan izin
kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila
dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Penganut faham yang
anti dan yang pro untuuk berpoligami, golongan yang terakhir dapat
menyetujui asas monogami karena dianggap sesuai dengan ajaran dalam
agamanya namun dalam keadaan tertentu masih dapat mengizinkan suami
untuk berpoligami.
Keadaan tertentu yang dimaksud adalah; (1). Istri tidak dapat
menjalankan kewajibannya sebagai istri. (2). Istri mendapat cacat
badan/penyakit yang tidak dapt disembuhkan. Dan, (3). Istri tidak dapat
melahirkan keturunan. Hal tersebut dapat dijadikan alasan bagi suami

10
Ibid, hal 69-70
7

untuk mengajukan permohonan pada pengadian untuk berpoligami,


alasan tersebut bersifat alternatif artinya syarat/alasan tersebut perlu
dipenuhi salah satu saja sudah cukup agar pengadilan memberi izin suami
untuk beristri lebih dari satu jika dipenuhinya syarat-syarat yang terdapat
dalam pasal 5 UU No. 1 Tahun 1974, antara lain:
a. Adanya persetujuan dari istri/istri-istri. Persetujuan dari istri/istri-istri
tersebut harus dibuat secara tertulis dan ditandatangani oleh istri yang
bersangkutan, apabila persetujuan itu diberikan secara lisan, maka
persetujuan tersebut harus diucapkan dimuka sidang pengadilan.
Persetujuan itu tidak diperuntukkan jika istri/istri-istri tidak mungkin
dapat dimintai persetujuan misalnya karena gila, pemabok, atau
karena alasan-alasan lain yang mendapat penilaian dari hakim.
b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup
istri-istri dan anak-anak mereka. Dalam hal ini suami harus dapat
menunjukkan surat keterangan tentang penghasilan suami yang
ditandatangani oleh bendahara/pejabat tempat di mana ia bekerja, atau
surat keterangan lain yang dapat dterima oleh pengadilan.
c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri
dan anak-anak mereka. Dalam hal ini suami harus membuat
pernyataan dalam bentuk yang ditetapkan untuk itu.11
Perkawinan poligami dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu:
1) Poligini, yaitu perkawinan antara seorang pria dan lebih dari satu
wanita.
2) Poliandri, yaitu perkawinan antara seorang wanita dan lebih dari satu
pria. Misalnya pada orang Eskimo, orang Markesas di Oceania, orang
Filipina di Pulau Palawan dan sebagainya.
4) Pembatalan Perkawinan
Dalam pasal 22 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 menyatakan
bahwa perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak itu tidak memnuhi
syarat untuk melangsungkan perkawinan.

11
Ibid, hal 71-72
8

Secara dogmatis perkawinan dapat dibatalkan artinya perkawinan


itu telah berlangsung yang semula adalah sah, oleh karena perkawinan itu
memiliki kekurangan dalam hal persyaratannya untuk melangsungkan
perkawinan/pernikahan, maka pembatalan dapat dilakukan berdasarkan
putusan dari pengadilan. Berbeda dengan perkawinan itu batal demi
hukum adalah perkawinan telah berlangsung namun oleh karena
perkawinan tersebut melanggar hukum agama maka perkawinan itu batal
demi hukum artinya bahwa perkawinan itu dianggap tidak pernah ada.
Contoh perkawinan yang batal demi hukum karena melanggar hukum
Islam:
a. Adanya hubungan keluarga yang dekat.
b. Seorang wanita nikal lagi dalam masa tunggu.
c. Seorang wanita yang masih dalam keadaan kawin, kawin lagi dengan
pria lain.
d. Seorang suami yang beristrikan 4, kawin lagi dengan istri yang ke-5
Pembatalan perkawinan itu dapat dilakukan oleh pihak yang
bersangkutan yaitu dengan mengajukan surat yang pada intinya memohon
agar pengadilan membatalkan pernikahannya di wilayah kompenenti
relatif pengadilan itu atau di mana perkawinan itu berlangsung,
permohonan pembatalan perkawinan tersebut bagi mereka yang beragama
Islam dapat diperiksa oleh hakim agama (pengadilan agama), sementara
permohonan pembatalan perkawinan untuk mereka yang non-muslim
mengajukan gugatannya/permohonannya di pengadilan negeri.
Alasan untuk membatalkan perkawinan tidak hanya karena para
pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan
namun juga perkawinan tersebut dilakukan di depan pegawai pencatat
perkawinan yang tidak memiliki otoritas di dalamnya, tidak sahnya orang
yang menjadi wali bagi pernikahan dan adanya saksi palsu atau kurang
dari dua orang.12

12
Ibid, hal 91-92
9

2.2 Hak dan Kewajiban Suami Istri dan Anak


Hak adalah sesuatu yang dapat dimiliki atau sesuatu yang merupakan
milik suami atau istri yang timbul karena adanya suatu perkawinan
sedangkan kewajiban adalah sesuatu yang harus dilakukan kedua pasangan
guna terpenuhinya hak-hak yang berasal dari pihak yang ketiga.
1) Kewajiban Suami-Istri
a. Suami dan istri memiliki tempat kediaman yang tetap yang ditentukan
secara bersama-sama oleh suami istri.
b. Suami wajib melindungi istri dan memberi nafkah hidup berumah
tangga sesuai dengan kemampuannya.
c. Istri wajib mengatur rumah tangga dengan sebaik-baiknya.
d. Suami dan istri berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya
dengan sebaik-baiknya sampai anak itu dapat berdiri sendiri atau
kawin.
e. Suami berkedudukan sebagai kepala rumah tangga/keluarga dan istri
sebagai ibu rumah tangga.
2) Hak Suami-Istri
a. Suami dan istri memiliki hak dan kewajiban yang seimbang dalam
kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup dalam masyarakat.
b. Suami dan istri sama-sama berhak melakukan perbuatan hukum.
c. Suami dan istri mempuanyai kesempatan yang sama untuk
mengajukan gugatan ke pengadilan jika ada yang lalai dalam
melakukan kewajiban.
3) Hak-Hak Anak dari Orang Tua
Orang tua yang terdiri dari ayah dan ibu berkewajiban untuk menjamin
pendidikan dan menjamin kecukupan anak-anaknya dengan sebaik-
baiknya, hingga mampu berdiri sendiri atau anak itu telah kawin,
kewajiban orang tua tersebut berlangsung terus, walaupun orang tua
tersebut perkawinannnya telah putus.
4) Hak-Hak Orang Tua dari Anaknya
10

Anak berkewajiban menghormati orang tua dan mentaati kehendak dari


orang tua itu dengan sebaik-baiknya dan apabila anak tersebut telah
dewasa, maka ia juga berkewajiban memelihara orang tuanya sesuai
dengan kemampuannya, bahkan anak diwajibkan pula untuk memelihara
keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas, jika mereka membutuhkan
bantuannya.13

2.3 Perjanjian Perkawinan


Menurut H. A. Damanhuri, pada prinsipnya pengertian perjanjian
perkawinan sama dengan perjanjian pada umumnya, yaitu suatu perjanjian
bagi dua orang calon suami istri untuk mengatur harta kekayaan pribadi
masingmasing yang dibuat menjelang perkawinan, serta disahkan oleh
Pegawai Pencatat Nikah.14 Dalam arti formal perjanjian perkawinan adalah
setiap perjanjian yang dilangsungkan sesuai ketentuan undang-undang antara
calon suami istri mengenai perkawinan mereka, tidak dipersoalkan apa
isinya.15
Menurut Wirjono Prodjodikoro, kata perjanjian perkawinan diartikan
sebagai suatu perhubungan hukum mengenai harta benda kekayaan antara
dua pihak, dalam mana suatu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk
melakukan suatu hal, sedang pihak lain berhak menuntut pelaksanaan
perjanjian itu.16
Dengan demikian kata perjanjian sebagai perhubungan hukum. Apabila
perhubungan itu berkaitan dengan perkawinan maka akan mencakup
pembahasan mengenai janji kawin, sebagai perjanjian luhur antara mempelai
laki-laki dengan mempelai perempuan. Adapun yang termasuk perjanjian
perkawinan antara lain, seperti taklik talak yaitu janji setia dari seorang suami
kepada seorang istri, dan juga perjanjian perkawinan mengenai persatuan

13
Kelik Wardiono, Op.Cit, hal 73-75.
14
H. A. Damanhuri, Segi-Segi Hukum Perjanjian Perkawinan Harta Bersama, Bandung :
Mandar Maju, 2007 hlm. 7
15
Ibid, hal 1.
16
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu,
Sumur, Bandung, 1981, hlm. 11.
11

atau pemisahan harta kekayaan pribadi calon suami dan calon istri yang
menjadi objek perjanjian17
Perjanjian perkawinan umumnya jarang terjadi di dalam masyarakat
Indonesia asli, karena masih kuatnya hubungan kekerabatan antara calon
suami istri, serta kuatnya pengaruh hukum adat. Perjanjian perkawinan asal
mulanya berasal dari masyarakat Barat yang memiliki sifat individualistik
dan kapitalistik, individualistik karena melalui perjanjian perkawinan
mengakui kemandirian dari harta suami dan harta istri, kapitalistik karena
tujuannya untuk melindungi rumah tangga dari kepailitan dalam dunia usaha,
artinya ketika salah satu pihak diantara suami istri jatuh pailit maka yang lain
masih bisa diselamatkan.18
Di Indonesia, terdapat 3 (tiga) produk peraturan perundang-undangan
yang mengatur masalah perjanjian perkawinan, yaitu Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (KUHPerdata) atau Burgerlijk Wetboek (BW), Undang-
Undang Nomor 1 tahun l974 mengenai Perkawinan, dan Inpres Nomor 1
Tahun 1974 tentang Kompilasi Hukum Islam. Sejak berlakunya Undang-
Undang Nomor 1 tahun 1974, sehingga di negara Indonesia telah terjadi
unifikasi dalam bidang Hukum Perkawinan, kecuali sepanjang yang belum
atau tidak diatur dalam undang-undang tersebut, maka peraturan lama dapat
dipergunakan.19
Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
hanya terdapat 1 (satu) pasal yang membahas mengenai perjanjian
perkawinan yaitu Pasal 29 Undang-Undang Perkawinan yang terdiri dari 4
(empat) ayat. bunyi ketentuan Pasal 29 Undang-Undang Perkawinan yaitu:
1. Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas
persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan
oleh pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga bagi
pihak ketiga tersangkut.
2. Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas
hukum, agama, dan kesusilaan.
17
Ibid.
18
R. Soetojo Prawirohamidjojo, Pluralisme dalam Perundang-undangan Perkawinan Di
Indonesia, Airlangga University Press, Surabaya, 1988, hlm. 4
19
K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982, hlm. 3.
12

3. Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.


4. Selama perkawinan berlangsung perjanjian perkawinan tidak dapat
diubah kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk
merubah dan perubahan tersebut tidak merugikan pihak ketiga.20
Menurut Pasal 119 Kitab Undang- 33 Undang Hukum Perdata
(KUHPerdata) menyatakan bahwa “mulai saat perkawinan dilangsungkan,
demi hukum berlakulah persatuan bulat antara harta kekayaan suami dan
istri, sekadar mengenai itu dengan perjanjian perkawinan tidak diadakan
ketentuan lain”.
Dalam penjelasan Pasal 119 KUHPerdata dapat disimpulkan menurut
KUHPerdata terjadinya percampuran harta perkawinan terjadi secara
otomatis setelah terjadinya perkawinan menjadi harta bersama. maka untuk
menghindarkan terjadinya percampuran harta perkawinan yang dibawa suami
istri kedalam perkawinan, KUHPerdata mengakomodir dengan
diperbolehkannya dibuat perjanjian perkawinan untuk menyimpangi sistem
percampuran harta kekayaan dalam perkawinan. seperti yang termuat dalam
Pasal 139 KUHPerdata yang menyatakan “Dengan mengadakan perjanjian
perkawinan, kedua calon suami istri adalah berhak menyiapkan beberapa
penyimpangan dari peraturan undang-undang sekitar persatuan harta
kekayaan, asal perjanjian itu tidak menyalahi tata susila yang baik atau tata
tertib umum dan asal diindahkan pula segala ketentuan dibawah ini menurut
pasal berikutnya”.
Sedangkan perjanjian perkawinan yang diatur dalam Inpres Nomor 1
Tahun 1991 yang termuat dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) terdapat
dalam Buku I Bab VII Pasal 45-51 KHI yang uraiannya sebagai berikut:
“Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua calon
mempelai dapat membuat perjanjian tertulisyang disahkan Pegawai Pencatat
Nikah mengenai kedudukan harta dalam perkawinan”

20
Departement agama RI, Himpunan Peratura perundang-Undangan Dalam Lingkup
Peradilan Agama, Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Jakarta, 2001, hlm.
138.
13

a. Perjanjian tersebut dalam ayat (1) dapat meliputi percampuran harta


pribadi dan pemisahan harta pencaharian masing-masing sepanjang hal
itu tidak bertentangan dengan hukum Islam.
b. Di samping ketentuan dalam ayat (1) dan (2) di atas, boleh juga isi
perjanjian itu menetapkan kewenangan masing-masing untuk
mengadakan ikatan hipotik atas harta pribadi dan harta bersama atau harta
syarikat.21
Macam-macam bentuk perjanjian perkawinan yang menyangkut
mengenai harta yaitu:22
1. Perjanjian Perkawinan Pemisahan Harta Kekayaan
Perjanjian Perkawinan Pemisahan Harta Kekayaan adalah harta
yang diperoleh selama perkawinan dimiliki oleh masing-masing. Dalam
perkawinan terdapat dua harta yaitu harta suami dan harta istri. Hak dan
kewajiban yang diperoleh sebelum atau setelah perkawinan menjadi
tanggung jawab masing-masing. Perjanjian perkawinan yang berisi
pemisahan harta perkawinan maka masing-masing pihak (suami istri)
tetap menjadi pemilik dari barang-barang yang mereka bawa masuk ke
dalam perkawinan.
2. Perjanjian Perkawinan Persatuan Untung Rugi
Perjanjian percampuran untung rugi (gemeenscap van winst en
verlies) yaitu seluruh pendapatan yang diterima suami istri yang didapat
secara cuma-cuma (hibah atau warisan) dan penghasilan yang mereka
terima akan menjadi milik bersama begitu pula semua kerugian atau
pengeluaran menjadi tanggungan bersama. Bentuk perjanjian
perkawinan seperti ini bearti antara suami istri tidak ada persatuan bulat
namun mereka memperjanjikan persatuan secara terbatas yaitu persatuan
untung dan rugi saja. Dengan persatuan demikian maka keuntungan dan
kerugian menjadi hak dan tanggungan suami istri secara bersama-sama.
3. Perjanjian Perkawinan Persatuan Hasil dan Pendapatan

21
Departement agama RI,Himpunan Peratura perundang-Undangan Dalam Lingkup
Peradilan Agama, Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam,Jakarta,
2001, hlm. 328.
22
J. Andy Hartanto, Hukum Harta Kekayaan Perkawinan: Menurut Burgerlijk Wetboek Dan
Undang Undang Perkawinan, Surabaya: Laksbang Pressindo, 2017, hal. 40.
14

Perjanjian persatuan penghasilan (yang terjadi dalam perjanjian ini


hanya persatuan penghasilan saja. Penghasilan yang diterima oleh
masing-masing pihak menjadi harta bersama tetapi untuk pengeluaran
atau kerugian yang diperoleh ditanggung masing-masing pihak.
persatuan hasil dan pendapatan adalah bentuk lain dari macam harta
kekayaan perkawinan yang tidak berupa pemisahan harta secara
keseluruhan dan bukan pula persatuan untung dan rugi.
Persatuan hasil dan pendapatan pada prinsipnya hampir sama
dengan persatuan untung dan rugi, hanya saja bentuk persatuan ini
dilakukan pembatasan bahwa hutang-hutang yang melebihi aktiva
persatuan hasil dan pendapatan (diluar persatuan) hutang-hutang tersebut
akan menjadi tanggungan pribadi dari pihak yang berhutang.
Mengenai isi yang dapat diperjanjikan dalam perjanjian perkawinan,
dapat dikemukakan beberapa pendapat ahli hukum antara lain:23
1. Sebagian ahli hukum berpendapat bahwa perjanjian perkawinan dapat
memuat apa saja, yang berhubungan dengan baik dan kewajiban suami
istri maupun mengenai hal-hal yang berkaitan dengan harta benda
perkawinan. Mengenai batasan-batasan yang dapat diperjanjikan dalam
perjanjian perkawinan. Hal ini merupakan tugas hakim untuk
mengaturnya.
2. R. Sardjono berpendapat bahwa sepanjang tidak diatur di dalam
peraturan perundang-undangan, dan tidak dapat ditafsirkan lain, maka
lebih baik ditafsirkan bahwa perjanjian perkawinan sebaiknya hanya
meliputi hak-hak yang berkaitan dengan hak dan kewajiban di bidang
hukum kekayaan.
3. Nurnazly Soetarno berpendapat bahwa perjanjian perkawinan hanya
dapat memperjanjikan hal-hal yang berkaitan dengan hak dan kewajiban
di bidang hukum kekayaan, dan hal itu hanya menyangkut mengenai
harta yang benar-benar merupakan harta pribadi suami istri yang
bersangkutan yang dibawa kedalam perkawinan. Mengenai harta
bersama undang-undang tidak menentukan secara tegas bahwa hal itu
23
Wahyono Darmabrata dan Surini Ahlan Sjarif, Hukum Perkawinan dan Keluarga di
Indonesia, FHUI, Jakarta, 2015, hlm. 80.
15

dapat diperjanjikan didalam Undang-Undang Perkawinan, maka


menurutnya hal itu juga tidak dapat diperjanjikan dalam perjanjian
perkawinan. Demikian juga harta yang bukan merupakan harta pribadi
suami istri yang dibawa kedalam perkawinan, tidak dapat diperjanjikan.
Menurut pendapat Abdul Kadir Muhammad “Dalam perjanjian
perkawinan tidak termasuk, isi perjanjian perkawinan dapat mengenai segala
hal, asal saja tidak melanggar batas hukum, agama dan kesusilaan. Isi
perjanjian tidak melanggar batas-batas hukum misalnya dalam perjanjian
ditentukan istri tidak diberi wewenang melakukan perbuatan hukum, karena
hukum menentukan bahwa wanita bersuami itu berwenang melakukan
perbuatan hukum apapun. Isi perjanjian perkawinan tidak melanggar batas-
batas agama, misalnya dalam perjanjian perkawinan ditentukan istri atau
suami tetap bebas bergaul dengan lakilaki atau perempuan lain, di luar rumah
mereka. Ini jelas melanggar batas agama, sebab agama tidak membenarkan
pergaulan bebas semacam itu. Melanggar batas kesusilaan, misalnya dalam
perjanjian ditentukan suami tidak boleh melakukan pengontrolan terhadap
perbuatan istri di luar rumah dan sebaliknya.24
2.4 Akibat Perkawinan Terhadap Harta Kekayaan
Akibat perkawinan terhadap harta kekayaan: Harta benda suami istri
dalam perkawinan diatur dalam pasal 35 UU No. 1 Tahun 1974, yang
menyatakan bahwa:25
1) Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
2) Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri, dan harta benda yang
diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah
penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Dari ketentuan tersebut maka dapat diketahui bahwa harta benda suami
istri dalam perkawinan dapat dibedakan menjadi 3 macam:26
1) Harta Bersama Suami Istri dalam Perkawinan
Harta campuran/bersama adalah harta benda yang diperoleh suami-
istri secara bersama-sama pada waktu berlangsungnya
24
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1990,
hlm. 88.
25
Kelik Wardiono, et al., Hukum Perdata …… hal 79.
26
Ibid, hal 80-81.
16

perkawinan/pernikahan. Hal tersebut dapat berarti bahwa harta bersama


suami-istri tersebut dapat dikuasai secara bersama-sama oleh suami istri
dalam perkawinan. Di sini suami-istri dapat mempergunakan harta
bersama dengan persetujuan kedua pihak suami dan istri.
Dalam memakai harta bersama suami istri yang didasarkan atas
kesepakatan kedua pihak dalam perkawinan, tetapi penggunaan harta
bersama untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari tidak harus disetujui
dengan pasti/tegas antara suami istri, dalam beberapa hal tertentu
kesepakatan suami istri harus dianggap terjadi sebagai kesepakatan secara
diam-diam atau didasarkan atas hukum yang berlaku sebelumnya bagi
suami istri yaitu hukum adat, hukum agama, hukum perdata BW, dan
lain-lain.
2) Harta Bawaan dari Suami atau Istri
Harta bawaan adalah harta benda yang dibawa masing-masing
suami atau istri ketika terjadi perkawinan, oleh karena itu harta bawaan
tersebut masih tetap dikuasai oleh masing-masing suami atau istri sebagai
pemiliknya. Masing-masing suami atau istri mempunyai hak sepenuhnya
untuk melakukan tindakan hukum tentang harta benda mereka masing-
masing. Kecuali jka suami istri itu menentukan lain artinya suami istri
tersebut membuat suatu perjanjian kawin untuk mengatur harta benda
mereka dalam perkawinannya, maka penguasaan harta bawaan mereka
dilakukan menurut isi perjanjian kawin yang telah dibuatnya. Demikian
pula, jika terjadi perceraian, maka harta bawaan masih tetap dikuasai dan
dibawa oleh masing-masing pihak suami/istri yang memiliki harta
bawaan tersebut, kecuali jika ditentukan lain di sini artinya jika dibuat
perjanjian kawin oleh suami istri yang bersangkutan.
3) Harta Perolehan
Harta perolehan didapat oleh masing-masing pihak suami atau istri
sebagai hadiah atau warisan, pada dasarnya penguasaan harta perolehan
tersebut juga masih tetap dikuasai dan tetap menjadi milik masing-masing
suami atau istri, oleh karena itu masing-masing pihak suami atau istri
mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan tindakan hukum tentang
17

harta perolehannya kecuali jika pihak suami dan pihak istri menentukan
lain artinya jika pihak suami istri tersebut membuat perjanjian
perkawinan untuk mengatur harta benda mereka, maka penguasaan harta
perolehan tersebut dilakukan menurut isi perjanjian kawin yang telah
mereka buat. Demikian pula apabila terjadi perceraian maka harta
perolehan tetap dikuasai dan masih tetap menjadi milik masing-masing
suami atau istri kecuali apabila suami istri tersebut menentukan lain,
menentukan lain di sini artinya membuat perjanjian perkawinan, maka
harta perolehan tersebut dipakai sesuai dengan isi perjanjian perkawinan
yang telah mereka buat.

2.5 Putusnya Perkawinan dan Akibat Hukumnya


Putusnya perkawinan dan akibat hukumnya: Pasal 38 UU No. 1 Tahun
1974 menyatakan bahwa perkawinan dapat putus disebabkan karena
kematian, perceraian dan keputusan pengadilan.
1. Putusnya Perkawinan karena Kematian
Putusnya perkawinan karena kematian di sini adalah matinya suami
atau istri, yang mengakibatkan terputusnya hubungan hukum antara
keduanya, atau disebut juga “cerai-mati”.
2. Perceraian/Talak/Gugat Cerai
Pernikahan itu putus karena adanya pernyataan menceraikan yang
dinyatakan secara sadar oleh pihak suami (thalaq) dan adanya gugatan
perceraian yang dilakukan oleh istri kepada suaminya.
3. Alasan Perceraian
Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara
suami istri tidak akan hidup rukun sebagai suami istri. Alasan-alasan
tersebut dapat dijadikan dasar untuk melakukan perceraian sebagaimana
yang tercantum dalam pasal 19 PP No. 9 Tahun 1975:
a) Perselingkuhan
b) Menelantarkan minimal selama dua tahun
c) Dihukum selama lima tahun atau lebih berat
d) Kekerasan dalam rumah tangga
18

e) Cacat permanen
f) Pertengkaran yang berulang kali dan terus-menerus.

4. Perceraian dengan Talak atau Cerai Talak


Talak adalah hak mutlak suami untuk menceraikan istrinya tanpa
ada pembatasan dari pengadilan atau penguasa yang berwenang. Oleh
karena itu suami dalam menjatuhkan talak kepada istrinya:
a) Tidak harus di depan pengadilan, pejabat nikah, talak dan rujuk dan
saksi-saksi.
b) Tidak dibatasi dengan alasan-alasan tertentu.
c) Baik dengan lisan, tertulis, baik dengan kata-kata yang jelas atau
sindiran.
d) Tidak harus dihadiri oleh istri.
Suami yang akan menjatuhkan talak kepada istrinya harus
mengajukan permohonan talak ke pengadilan agama, dan perceraian
dengan talak harus dilakukan di depan sidang pengadilan, agama hal
tersebut dilakukan sesuai ketentuan yang tercantum dalam pasal 39 UU
No. 1 Tahun 1974 yang menyatakan bahwa:
a) Perceraian hanya dapat dilakukan didepan sidang pengadilan setelah
pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil
mendamaikan kedua belah pihak.
b) Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara
suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami-istri.27 [hal.
83-85]
5. Perceraian dengan Gugatan atau Cerai Gugat
Perceraian dengan gugatan adalah suatu proses pengajuan gugatan
ke pengadilan yang dilakukan oleh pihak istri untuk memutuskan tali
perkawinannya dengan suaminya sesuai dengan agamanya masing-
masing. Apabila yang bersangkutan adalah orang muslim maka layak
surat gugatan itu dilayangkan ke pengadilan agama. Tetapi sebaliknya
penggugat yang melakukan gugatan perceraian beragama selain Islam,

27
Kelik Wardiono, et al., Hukum Perdata …… hal 83-85.
19

surat gugatannya disampaikan ke pengadilan negeri, di mana pada


akhirnya nanti gugatan tersebut diperiksa dan diputuskan berdasarkan
putusan hakim itu kedua pasangan suami istri tidak lagi memiliki hak dan
kewajiban hukum satu sama lainnya terkecuali dalam permasalahan
memelihara anak yang dihasilkan selama perkawinan.28

28
Ibid, hal 87-88
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Perjanjian Perkawinan merupakan perjanjian atau persetujuan yang
dibuat oleh calon suami isteri, sebelum atau pada saat perkawinan
dilangsungkan untuk mengatur akibat-akibat perkawinan terhadap harta
kekayaan mereka. Perjanjian ini tidak hanya sebatas memperjanjikan
masalah keuangan atau harta, namun hal lainnya dapat pula diperjanjikan.
Perjanjian Perkawinan di Indonesia diatur dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) atau Burgerlijk Wetboek (BW),
Undang-Undang Nomor 1 tahun l974 tentang Perkawinan disertai dengan
Peraturan Pelaksanaan Nomor 9 Tahun 1975, dan Inpres Nomor 1 Tahun
1974 tentang Kompilasi Hukum Islam. Dengan demikian, maka di Indonesia
telah terjadi unifikasi dalam bidang Hukum Perkawinan.
Perjanjian Perkawinan dalam KUHPerdata atau Burgerlijk Wetboek
(BW) masih tetap berlaku, sepanjang masalah yang berkaitn dengan tersebut
tidak diatur dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun l974, dan
Inpres Kompilasi Hukum Islam Nomor 1 Tahun 1974.
DAFTAR PUSTAKA

Arief, H. (2017, Agustus 2). Perjanjian Dalam Perkawinan. Al-'Adl, 151-172.

Wardiono, Kelik. 2018. et al., Hukum Perdata. (Surakarta: Muhammadiyah


University Press)

Prawirohamidjojo, R. Soetojo. 1998. Pluralisme dalam Perundang-undangan


Perkawinan di Indonesia. Surabaya: Airlangga University Press.
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan (LN 1974 Nomor
1,TLN 3019).
Saleh, K. Wantjik. 1982. Hukum Perkawinan Indonesia. Jakarta: Ghalia
Indonesia.
Damanhuri, A. 2007. Segi-Segi Hukum Perjanjian Perkawinan Harta Bersama,
Bandung: Mandar Maju.
Prodjodikoro, Wirjono. 1981. Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan
Tertentu, Bandung: Sumur.
Departement agama RI. 2001. Himpunan Peratura perundang-Undangan Dalam
Lingkup Peradilan Agama, Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan. Jakarta.
Hartanto, J. Andy. 2017. Hukum Harta Kekayaan Perkawinan: Menurut
Burgerlijk Wetboek Dan Undang Undang Perkawinan. Surabaya:
Laksbang Pressindo.
Wahyono Darmabrata dan Surini Ahlan Sjarif. 2015. Hukum Perkawinan dan
Keluarga di Indonesia. Jakarta: FHUI.
Muhammad, Abdul Kadir. 1990. Hukum Perdata Indonesia. Bandung: Citra
Aditya Bakti.

Anda mungkin juga menyukai