Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

“PERJANJIAN PERKAWINAN”
Diajukan Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Perdata Islam di Indonesia

Dosen Pengampu:
Dr. Ramadhan Syahmedi Siregar, M.A

Disusun Oleh:
Indah Adelia (0204202056)
Wiwik Trihafsari (0204202057)

Zenny Larasati Sabrina (0204202018)

PRODI HUKUM EKONOMI SYARIAH (MUAMALAH)

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA

2022
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Alhamdulillah, puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah


SWT, yang telah memberikan petunjuk dan hidayah-Nya kepada kami
sehingga kami dapat menyelesaikan penulisan makalah ini. Tidak lupa
pula Shalawat bertangkaikan salam kami sanjungkan ke pangkuan Nabi
besar kita, Muhammad Rasulullah SAW, yang senantiasa mengorbankan
nyawa demi menegakkan agama islam di muka bumi ini.

Selanjutnya ucapan terima kasih kami sampaikan kepada semua


pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini, yang bejudul
Perjanjian Perkawinan, khususnya kepada Dosen pengampu kami yaitu
Bapak Dr. Ramadhan Syahmedi Siregar, M.A yang telah memberikan
tugas ini. Kami memperoleh banyak manfaat setelah menyusun makalah
ini.

Kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan, dan


kami merasa masih banyak kekurangan baik pada teknis penulisan maupun
materi, mengingat kemampuan yang kami miliki. Untuk itu kritik dan
saran dari berbagai pihak sangat kami harapkan demi penyempurnaan
penyusunan makalah ini.

Demikian makalah ini kami susun, semoga bisa memberikan


manfaat kepada pembaca.

Medan, 03 Juni 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ......................................................................................... i

DAFTAR ISI ...................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 1

A. Latar Belakang .......................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah ..................................................................................... 2

C. Tujuan ....................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN .................................................................................... 3

A. Pengertian Perjanjian Perkawinan.............................................................. 3

B. Syarat Perjanjian Perkawinan .................................................................... 7

C. Tujuan Dan Manfaat Perjanjian Perkawinan .............................................. 9

BAB III PENUTUP .......................................................................................... 12

A. Kesimpulan ............................................................................................. 12

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ iii

ii
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup tanpa adanya manusia
lain secara alamiah masing-masing laki-laki dan perempuan mempunyai daya
tarik antara satu dengan lainnya untuk dapat hidup bersama dan membentuk suatu
ikatan yang disebut perkawinan. Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara
seorang laki-laki dengan seorang perempuan sebagai suami isteri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa,1 sedangkan perkawinan menurut hukum Islam adalah
pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalizhaan untuk menaati
perintah Allah melaksankannya merupakan ibadah. Subtansi yang terkandung
dalam syariat perkawinan adalah menaati perintah Allah serta Rasul-Nya yaitu
menciptakan kehidupan rumah tangga yang mendatangkan kemaslahatan baik
bagi pelaku perkawinan itu sendiri, anak turunan, kerabat maupun masyarakat.
Menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah dan wa rahmah adalah doa yang
seringkali dipanjatkan oleh setiap Muslim yang di mana hal tersebut juga
merupakan tujuan dari perkawinan, tujuan lain dari perkawinan adalah
menentramkan jiwa, mewujudkan keturunan, memenuhi kebutuhan biologis dan
latihan memikul tanggung jawab. Paling tidak keempat hal tersebut merupakan
tujuan perkawinan yang harus benar-benar dipahami oleh calon suami atau isteri
supaya terhindar dari keretakan dalam rumah tangga yang biasanya berakhir pada
perceraian yang sangat dibenci oleh Allah.
Walaupun perkawinan ditujukan untuk selama-lamanya tetapi terkadang ada
sesuatu hal yang bisa menyebabkan perkawinan tersebut tidak dapat
dipertahankan. Bahkan saat ini lunturnya nilai-nilai agama, norma dan etika
menyebabkan banyak perkawinan yang dilatarbelakangi oleh kepentingan tertentu
seperti masalah harta, kehendak ini datang baik dari pihak laki-laki maupun pihak
perempuan. Pandangan ini bukanlah pandangan yang sehat, lebihlebih bila hal ini
terjadi dari pihak laki-laki, sebab hal ini akan menjatuhkan dirinya di bawah
pengaruh perempuan dengan hartanya.

1
Apabila tujuan perkawinan tidak tercapai dan berakhir pada perceraian, ketika
terjadi perceraian sering kali terjadi sengketa mengenai harta. Suami dan isteri
saling memperebutkan harta yang diperoleh selama masa perkawinan bukan
hanya mengenai harta, hak asuh anakpun menjadi masalah yang tak dapat
dihindari setelah terjadi perceraian. Untuk meminimalisir terjadinya sengketa
mengenai hal tersebut diperlukan kesiapan berupa kesepakatan atau perjanjian.
Perjanjian perkawinan (huwdjiks atau huwelijkse wourwaarden) adalah perjanjian
yang dibuat oleh dua orang antara calon suami dan calon istri sebelum
dilangsungkannya perkawinan,perjanjian tersebut menjadi jaminan kepastian agar
kelak bila terjadi perceraian tidak ada yang dirugikan dan berisikan poin- poin
yang disetujui kedua belah pihak.
Membuat perjanjian dalam perkawinan hukumnya mubah, artinya boleh
seseorang untuk membuat perjanjian dan boleh pula tidak membuat. Namun kalau
sudah dibuat bagaimana hukum memenuhi syarat yang terdapat dalam perjanjian
perkawinan itu, menjadi perbincangan di kalangan ulama. Jumhur ulama
berpendapat bahwa memenuhi syarat yang dinyatakan dalam bentuk perjanjian itu
hukumnya adalah wajib sebagaimana hukum memenuhi perjanjian lainnya,
bahkan syarat-syarat yang berkaitan dengan perkawinan lebih berhak untuk
dilaksanakan.
Di Indonesia terdapat tiga peraturan yang mengatur mengenai perjanjian
perkawinan yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Undang-undang Nomor
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian perjanjian perkawinan?
2. Apa syarat perjanjiaan perkawinan?
3. Apa tujuan dan manfaat perjanjian perkawinan?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian perjanjian perkawinan
2. Untuk mengetahui syarat perjanjian perkawinan
3. Untuk mengetahui tujuan dan manfaat perjanjian perkawinan

2
BAB II

PEMBAHASAN
A. Pengertian Perjanjian Perkawinan
Dalam pergaulan hidup sosial, setiap hari manusia selalu melakukan
perbuatan-perbuatan hukum untuk memenuhi kepentingannya. Segala perbuatan
manusia yang secara sengaja dilakukan untuk menimbulkan hak dan kewajiban
(misalnya membuat surat wasiat atau membuat persetujuan) dinamakan perbuatan
hukum. Perbuatan hukum itu sendiri terdiri atas dua jenis yaitu: 1
1. Perbuatan hukum bersegi satu, perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu
pihak saja misalnya pemberian izin kawin, pemberian wasiat, menolak
warisan, pengakuan anak luar kawin, dan sebagainya.
2. Perbuatan hukum bersegi dua, perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua
pihak atau lebih, misalnya perjanjian jual beli, sewa menyewa, dan
sebagainya. Dari dua golongan perbuatan hukum tersebut perjanjian
perkawinan dapat dikategorikan sebagai perbuatan hukum bersegi dua
(dua pihak) karena perjanjian perkawinan bisa terjadi karena adanya
persetujuan dari kedua pihak.

Beberapa ahli memberikan definisi perjanjian perkawinan sebagai berikut :

1. Menurut R.Subekti, “perjanjian perkawinan adalah suatu perjanjian


mengenai harta benda suami dan istri selama perkawinan mereka yang
menyimpang dari asas-asas atau pola yang ditetapkan oleh Undang-
Undang”2
2. Menurut Soetojo Praawirohaamidjojo dan Asis Safioedin, “perjanjian
perkawinan adalah perjanjian (persetujuan) yang dibuat oleh calon suami

1
Amiruddin Pabbu, Rahman Syamsuddin, Pengantar Ilmu Hukum (Jakarta: Mitra
Wacana Media, 2014), h.51
2
H.M. Anshary, Kedudukan Anak dalam Hukum Islam dan Nasional, (Bandung: CV
Mandar Maju,2014), h.190.

3
istri sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan untuk mengatur
akibat perkawinan terhadap harta kekayaan mereka”3

Secara umum, perjanjian perkawinan dapat dikatakan sebagai perjanjian


tertulis antara calon suami dan calon istri yang akan melangsungkan pernikahan
mengenai harta benda selama perkawinan mereka dan konsekuensi atas
berakhirnya perkawinan mereka yang menyimpang dari asas atau pola yang
ditetapkan undang-undang.4

Perjanjian perkawinan dalam undang-undang perkawinan diatur dalam Bab V


Pasal 29 yang terdiri dari empat ayat yakni sebagai berikut :

Ayat (1)

Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas


persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh
pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak
ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.

Ayat (2)

Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas- batas


hukum, agama dan kesusilaan.

Ayat (3)

Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan

Ayat (4)

Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat dirubah,


kecuali bila dari kedua pihak ada persetujuan untuk merubah dan perubahan tidak
merugikan pihak ketiga.

3
R.Sotojo Prawirohamidjojo dan Asis Safioedin, Hukum Orang dan Keluarga, (Bandung:
Alumni,1980), h.57.
4
Aditya P.Manjorang dan Intan Aditya, The Law of Love,(Jakarta, Visimedia, 2015),
h.32

4
Pada tanggal 21 Maret 2016 Mahkamah Konstitusi telah mengeluarkan
putusan nomor 69/PUU-XIII/2015. Mahkamah Konstitusi mengubah ketentuan
pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tersebut diatas menjadi

Ayat (1)

Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan atau selama perkawinan


dilangsungkan kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan
perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau notaris,
setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga tersangkut.

Ayat (2)

Perkawinan tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas- batas


hukum, agama dan kesusilaan.

Ayat (3)

Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan kecuali


ditentukan lain dalam perjanjian perkawina.

Ayat (4)

Selama perkawinan dilangsungkan, perjanjian dapat mengenai harta


perkawinan atau perjanjian lainnya, tidak dapat diubah atau dicabut, kecuali bila
dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk mengubah atau mencabut dan
perubahan atau pencabutan tersebut tidak merugikan pihak ketiga.

Dengan adanya perubahan ketentuan pasal 29 Undang-undang Nomor 1


Tahun 1974 tersebut maka terdapat beberapa perubahan yang terjadi terkait
perjanjian perkawinan, yaitu:

a. Perjanjian perkawinan yang semula hanya dapat dibuat sebelum atau pada
saat perkawinan, sekarang dapat juga dibuat sepanjang perkawinan.
b. Perjanjian perkawinan yang semula berlaku terhitung sejak perkawinan
dilangsungkan, sekarang dapat berlaku mulai saat yang diperjanjikan oleh
suami istri.

5
c. Perjanjian perkawinan yang semula hanya dapat diubah oleh kedua pihak,
sekarang disamping dapat diubah, juga dapat dicabut oleh kedua belah
pihak. 5

Tidak adanya definisi yang jelas yang memberikan batasan perjanjian


perkawinan membuat perjanjian tersebut memiliki lingkup yang sangat luas yang
bisa mengatur berbagi hal.

Isi dari pasal 29 memiliki kaitan dengan pasal 139 Kitab Undang-undang
Hukum Perdata (BW) yakni dimana dalam pasal tersebut membahas persetujuan
pemisahan harta kekayaan dalam perkawinan. Dalam pasal 29 memungkinkan
pasangan memperjanjikan apapun termasuk harta benda selama perkawinan
namun, dalam pasal 35 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 membahas
mengenai hal berikut :

1. Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama


2. Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri serta harta benda yang
diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah dibawah
penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.

Dalam pasal 37 Undang-Undang Perkawinan No 1 tahun 1974 disebutkan


bahwa: “Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut
hukum masing-masing”.

Dalam pasal 35 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974


menyebutkan pemisahan harta terhadap harta bawaan masing-masing pihak saja
maka pasal 29 bisa dijadikan alternatif untuk meminimalisir tindakan yang dapat
merugikan suatu hari nanti karena calon suami dan isteri bisa membuat perjanjian
lain selama tidak bertentangan dengan hukum, agama dan kesusilaan termasuk
mengenai pengaturan utang, semua utang lama yang dibuat oleh suami atau istri
sebelum pernikahan akan menjadi tanggugan pihak yang berutang. Jadi, ketika

5
http://alwesius.blogspot.co.id/2016/11/pembuatan-perjanjian-perkawinan-pasca.html,
(diakses pada tanggal 5 Juni 2022, pukul 10.00 WIB)

6
terjadi risiko tertentu, seperti sita asset karena gagal bayar, seluruh asset atau harta
pasangan tidak akan terganggu.6

B. Syarat Perjanjian Perkawinan


Sebuah perjanjian perkawinan baru dianggap sah apabila memenuhi syarat
dan ketentuan yang telah diatur dalam undang-undang. Untuk itu perhatian
terhdap aspek ini sangat penting agar kekuatan hukum dari perjanjian perkawinan
itu bisa dipertanggung jawabkan.
Perjanjian perkawinan tidak dapat dilepaskan dari perjanjian secara umum
disamping secara khusus sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang
Perkawinan. Secara umum syarat sahnya perjanjian ada dua macam yaitu:
1. Mengenai subjeknya, meliputi :
a. Orang yang membuat perjanjian harus cakap atau mampu melakukan
perbuatan hukum
b. Kesepakatan (consensus) yang menjadi dasar perjanjian yang harus
dicapai atas dasar kebebasan menentukan kehendaknya
2. Mengenai objek, yaitu apa yang dijanjikan oleh masing-masing pihak. Untuk
membuat suatu perjanjian perkawinan harus memenuhi beberapa syarat/
ketentuan sehingga tidak cacat hukum, antara lain:
a. Atas Persetujuan Bersama Mengadakan Perjanjian.
Calon suami isteri yang akan membuat perjanjian perkawinan harus
didasarkan persetujuan bersama, dalam arti apa yang menjadi kehendak
oleh suami sama dengan apa yang dikehendaki istri. Suatu kesepakatan
yang dinyatakan karena paksaan atau karena ditipu adalah tidak sah.
Karena, persetujuan itu diberikan dengan cacat kehendak persetujuan yang
mengandung cacat kehendak dapat dimintakan pembatalan oleh
pengadilan, kehendak para pihak yang diwujudkan dalam kesepakatan
adalah merupakan dasar mengikatnya suatu perjanjian. 7
b. Suami Istri Cakap Membuat Perjanjian
Perjanjian perkawinan harus dibuat oleh orang yang cakap bertindak
hukum, karena secara hukum ia akan memikul beban perkerjaan.

6
Aditya P.Manjorang dan Intan Aditya, The Law of Love, h.37.
7
Suharnoko, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Kencana, 2004), h.3

7
Kecakapan ini diukur dari calon tersebut telah dewasa dan tidak berada
dalam pengampuan. Mengenai kapan seseorang dewasa dapat dilihat
dalam pasal 6 ayat (3) Undang-undang Perkawinan yang menyatakan
untuk melangsungkan perkawinan seseorang yang belum mencapai umur
21 tahun harus mendapat izin dari kedua orang tua. Selanjutnya, dalam
pasal 50 Undang-undang Perkawinan, anak yang belum mencapai umur 18
tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan yang tidak berada
dalam kekuasaan orang tua berada dalam kekuasaan wali. Untuk
melangsungkan perkawinan pasangan yang belum mencapai umur 21
tahun perlu izin orang tua, hal ini berarti anak yang berada dibawah batas
tersebut dianggap belum mampu bertindak hukum maka untuk membuat
perjanjian perkawinan harus mendapat izin dari orang tua atau wali. 8
c. Objek Perjanjian Jelas
Maksudnya adalah mengenai isi perjanjian perkawinan. Misalnya apabila
dikehendaki percampuran harta pribadi, pemisahan harta dan sebagainya.
Objek perjanjian perkawinan bisa berupa yang sudah ada ataupun barang
yang akan ada dikemudian hari.
d. Tidak Bertentangan dengan Hukum, Agama dan Kesusilaan
Setiap perjanjian yang hendak dibuat oleh pasangan suami isteri isinya
tidak boleh bertentangan dengan hukum, agama dan kesusilaan. K.
Wantijik Saleh, SH menjelaskan bahwa pasal 29 Undang- undang
perkawinan yang mengatur tentang perjanjian perkawinan, menurut
ketentuan tersebut bahwa kedua pihak atas persetujuan bersama dapat
mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat
perkawinan. Beliau mengatakan perjanjian tersebut dapat diadakan pada
waktu sebelum perkawinan dengan syarat bahwa perjanjian tersebut tidak
melanggar batas hukum, agama dan kesusilaan. 9

8
Moch. Isnaeni, Hukum Perkawinan Indonesia, (Bandung: PT Refika Aditama, 2016),
h.86
9
K.Wantijik saleh, Hukum Perkawinan Indonesia (Cet VI: Jakarta: Ghalia Indonesia,
1980), h.32

8
e. Dinyatakan Secara Tertulis dan Disahkan PPN
Syarat yang ini lebih tergolong dalam syarat administrasi meskipun
perjanjian telah dibuat namun jika tidak dicatat dan disahkan PPN
perjanjian tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum. Sama halnya
dengan perkawinan yang dilaksanakan menurut hukum agama, maka
pernikahannya tidak memiliki kekuatan hukum. 10

C. Tujuan Dan Manfaat Perjanjian Perkawinan


Adapun yang menjadi tujuan pasangan suami istri membuat perjanjian
perkawinan adalah:
1. Dibuat untuk melindungi secara hukum terhadap harta benda yang
dimiliki oleh suami isteri, baik harta bawaan masing-masing pihak
maupun harta bersama.
2. Sebagai pegangan yang mengatur hak dan kewajiban masing-masing
pihak tentang masa depan rumah tangga mereka, baik mengenai
pendidikan anak, usaha, tempat tinngal, dan lain-lain sepanjang tidak
bertentangan dengan hukum yang berlaku, adat istiadat dan kesusilaan.
3. Melindungi anggota keluarga dari ancaman tindak kekerasan dalam
rumah tangga.

Selain dari tujuan tersebut hal penting yang menjadi tujuan dari pembuatan
perjanjian perkawinan adalah pemisahan harta ini dilakukan supaya pihak
perempuan tidak kehilangan haknya untuk membeli properti dan atau tidak
kehilangan hak propertinya, Logika sederhananya adalah menurut Undang-
undang Perkawinan No 1 tahun 1974 harta benda yang diperoleh selama
perkawinan menjadi harta bersama. Jika membeli properti setelah kawin dengan
status hak milik maka properti tersebut dianggap sebagai milik kedua belah pihak.
Padahal orang asing tidak boleh memiliki properti dengan status hak milik,
mereka hanya bisa boleh menggunakan status hak pakai , hak sewa makanya
diperlukan adanya perjanjian perkawinan yang memisahkan harta kedua belah
pihak.

10
Moch. Isnaeni, Hukum Perkawinan Indonesia, h.38

9
Apabila setelah perkawinan membeli properti dan tidak punya perjanjian
perkawinan yang terjadi ialah, mengutip pada pasal 21 Undang- undang Nomor 5
tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok agraria, orang asing memiliki harta dari
perkawinan campuran wajib melepaskan dalam waktu satu tahun properti harus
dijual dalam waktu satu tahunapabila tidak akan diambil oleh negara. 11

Adapun yang menjadi manfaat perjanjian perkawinan menurut Anna


Zubari salah seorang notaris manfaat dari perjanjian perkawinan adalah: 12

1. Melindungi kekayaan. Dengan adanya perjanjian pranikah dapat memastikan


saat pasangan anda menikah dengan anda bukan dikarenakan uang.
2. Melindungi kepentingan, misalnya apabila pasangan anda melakukan
poligami akan ada pengaturan untuk menjamin kehidupan semua istrinya dan
harta bersama masing-masing perkawinan terpisah. Dengan perjanjian ini
dapat memastikan harta bersama anda akan terlindungi tidak tercampur,
perjanjian ini dapat memastikan pemisahan harta peninggalan anda baik untuk
perkawinan yang pertama, kedua dan ketiga bahkan perkawinan keempat.
Masing-masing isteri akan tenang dan hidup terjamin. Jauh dari pertikaiann
dan perselisihan antar ahli waris.
3. Membebaskan anda dari kewajiban ikut membayar utang pasangan anda.
Harta bersama tidak hanya mencakup pengertian harta bergerak dan tidak
bergerak, baik yang sudah ada maupun yang akan ada. Berdasarkan ketentuan
Pasal 35 UU Perkawinan jo. Pasal 121 KUHPerdata, harta bersama juga
meliputi semua utang yang dibuat oleh masing-masing suami isteri, baik
sebelum perkawinan, setelah perkawinan, bila pasangan anda memiliki beban
utang yang tinggi, anda ikut berkewajiban melunasinya. Kemudian apabila
anda menikahi pasangan dengan beban utang yang signifikan, dan tidak mau
bertanggung jawab atas hutangnya, maka perjanjian ini dapat membantu
memastikan bahwa hal ini tidak terjadi.

11
http://americanindonesian.com/2014/03/21/pentingnya-perjanjian-pra-nikah-
preenuptial- agreement/, (diakses pada tanggal 5 Juni 2022, pukul 10.00 WIB)
12
https://gaya.tempo.co/read/news/2014/09/25/205609523/ada-6-manfaat-perjanjian-
pranikah, (diakses pada tanggal 5 Juni 2022, pukul 10.00 WIB)

10
4. Menjamin kepentingan usaha. Apabila memiliki usaha bisnis yang dijalankan
(baik badan usaha maupun badan hukum), pasangan berhak menikmati
keuntungan bahkan dari usaha bisnis yang dapat dianggap sebagai harta
bersama perkawinan yang bila terjadi perceraian kekayaan atas usaha
bisnisnya harus dibagi. Termasuk soal keuntungan harta atau bertambahnya
harta kekayaan berdua yang timbul dan hasil harta kekayaan masing-masing.
Dengan perjanjian ini akan fleksibel mengatur bila terjadi perceraian atau
perkawinan berakhir, pasangan bisa melanjutkan berbisnis aatau bermitra dan
sebaliknya sesuai yang dibuat.
5. Menjamin berlangsungnya harta peninggalan keluarga. Dalam pasal 35 ayat
(2) UU Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 menyatakan, harta bawaan dari
masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan
masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Pada perjanjian
pranikah dapat memastikan tidak akan hadiah atau hibah berpindah dan
menjamin harta perolehan dari warisan atau hadiah keluarga tetap dalam
kekuasaan anda.
6. Menjamin kondisi finansial anda setelah perkawinan putus atau berakhir.
Sangat bermanfaat bagi perempuan yang tidak bekerja, dan saat vonis
pengadilan menolak tuntutan nafkah dan biaya pendidikan anak yang diajukan
seorang ibu yang memegang hak pengasuhan anak dan lebih memilih
menetapkan jumlah biaya hidup dan biaya pendidikan berdasarkan
pertimbangan keputusan hakim, dalam perjanjian pranikah bisa membicarakan
soal ini dengan baik. Misalnya tanggal pengajuan perjanjian pranikah dan
meminta ke hakim untuk memerintahkan suami demi menjalankan kewajiban
yang telah ditetapkan dalam perjanjian ini.

11
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan
Perjanjian perkawinan dapat dikatakan sebagai perjanjian tertulis antara calon
suami dan calon istri yang akan melangsungkan pernikahan mengenai harta benda
selama perkawinan mereka dan konsekuensi atas berakhirnya perkawinan mereka
yang menyimpang dari asas atau pola yang ditetapkan undang-undang.
Syarat perjanjian perkawinan diantaranya:
1. Mengenai subjeknya, meliputi :
a. Orang yang membuat perjanjian harus cakap atau mampu melakukan
perbuatan hukum
b. Kesepakatan (consensus) yang menjadi dasar perjanjian yang harus
dicapai atas dasar kebebasan menentukan kehendaknya
2. Mengenai objek, yaitu apa yang dijanjikan oleh masing-masing pihak
a. Atas Persetujuan Bersama Mengadakan Perjanjian.
b. Suami Istri Cakap Membuat Perjanjian
c. Objek Perjanjian Jelas
d. Tidak Bertentangan dengan Hukum, Agama dan Kesusilaan
e. Dinyatakan Secara Tertulis dan Disahkan PPN

Adapun tujuan dan manfaat perjanjian perkawinan, diantaranya:

1. Dibuat untuk melindungi secara hukum terhadap harta benda yang dimiliki
oleh suami isteri, baik harta bawaan masing-masing pihak maupun harta
bersama.
2. Sebagai pegangan yang mengatur hak dan kewajiban masing-masing pihak
tentang masa depan rumah tangga mereka, baik mengenai pendidikan anak,
usaha, tempat tinngal, dan lain-lain sepanjang tidak bertentangan dengan
hukum yang berlaku, adat istiadat dan kesusilaan.
3. Melindungi anggota keluarga dari ancaman tindak kekerasan dalam rumah
tangga.

12
DAFTAR PUSTAKA

Aditya P.Manjorang dan Intan Aditya, The Law of Love.


Amiruddin Pabbu, Rahman Syamsuddin, Pengantar Ilmu Hukum (Jakarta:
Mitra Wacana Media, 2014).
H.M. Anshary, Kedudukan Anak dalam Hukum Islam dan Nasional,
(Bandung: CV Mandar Maju,2014), h.190.
K.Wantijik saleh, Hukum Perkawinan Indonesia (Cet VI: Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1980), h.32
Moch. Isnaeni, Hukum Perkawinan Indonesia, (Bandung: PT Refika
Aditama, 2016).
R.Sotojo Prawirohamidjojo dan Asis Safioedin, Hukum Orang dan
Keluarga, (Bandung: Alumni,1980), h.57.
Suharnoko, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Kencana, 2004), h.3
http://alwesius.blogspot.co.id/2016/11/pembuatan-perjanjian-perkawinan-
pasca.html, (diakses pada tanggal 5 Juni 2022, pukul 10.00 WIB)
http://americanindonesian.com/2014/03/21/pentingnya-perjanjian-pra-
nikah-preenuptial- agreement/, (diakses pada tanggal 5 Juni 2022, pukul 10.00
WIB)
https://gaya.tempo.co/read/news/2014/09/25/205609523/ada-6-manfaat-
perjanjian-pranikah, (diakses pada tanggal 5 Juni 2022, pukul 10.00 WIB)

iii

Anda mungkin juga menyukai