Anda di halaman 1dari 12

Makalah

PERJANJIAN NIKAH
Disusun guna memenuhi tugas Mata Kuliah Fikih Munakahat

Dosen Pengampu : Dr. H. Ali Trigiyanto, S.Ag, M.Ag

Disusun oleh :

1. M. Nasik Nadiul Kaffi ( 1120044)


2. Arsyeda Rosyada ( 1120067)
3. M. Wajihan Alhukma Sobiyya ( 1120068)

Kelas B

JURUSAN HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS SYARIAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PEKALONGAN

2021
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT, yang
telah melimpahkan rahmat dan karunia Nya kepada kami, sehingga kami dapat
menyelesaikan penyusunan makalah ini dengan judul “Perjanjian Nikah”

Makalah ini disusun dengan dapat menambah pengetahuan dan wawasan


kita semua tentang apa itu Perjanjian Nikah. Tentunya dalam menyusun makalah
ini tak lepas dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan
terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan
makalah ini. Terutama kepada Bapak Dr. H. Ali Trigiyanto, S.Ag, M.Ag, selaku
dosen pengampu dalam mata kuliah Fikih Munakahat.

Penulis sudah berusaha untuk menyusun makalah ini selengkap mungkin.


Penulis berharap makalah ini bermafaat bagi pembaca dan dapat mendorong
semangat pembaca agar selalu memperlajari Fikih Munakahat.

Pekalongan, 21 April 2021

Penulis
DAFTAR ISI
Bab 1 [PENDAHULUAN] 1
LATAR BELAKANG 1
RUMUSAN MASALAH 1
TUJUAN MASALAH.................................................................................1

BAB 2 [PEMBAHASAN] 3
PENGERTIAN PERJANJIAN 3
HUKUM PERJANJIAN 3
AKIBAT HUKUM ..................................................................................5

BAB 3 [PENUTUPAN ].........................................................................................7

KESIMPULAN............................................................................................7

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................8

BIOGRAFI PENULIS.................................................................................9
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Salah satu bentuk keuniversalan islam adalah mengatur mengenai


masalah perkawinan. Sebab, perkawinan bukanlah hidup bergaul semata,
tetapi juga untuk menyatukan diri dalam segala bidang, hingga terpadu
dua badan menjadi satu jiwa dan akan terprlihara kehormatannya di
masyarakat.
Perkawinan bisa diartikan mengandung arti kasih sayang,
pemenuhan hubungan seksual, rela berkorban dan slaing mencintai anatara
suami istri. Kerenanya dalam melaksanakannya haru sesuai dengan aturan
hukum islam dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.1
Dalam literatur fiqh klasik tdak ditemukan bahasan khusus dengan
nama perjanjian dalam pernikahan. Yang ada dalam bahasan fiqh dan
diteruskan dalam sebagian kitab fiqh dengan maksud yang sama adalah
persyaratan perkawinan atau bahasan tentang syarat dalam perkawinan
tidak sama dengan syarat perkawinan yang dibicarakan dalam semua kitab
fiqh karena yang di bahas dalam syarat perkawinan itu adalah syarat-syarat
untuk sahnya suatu perkawinanyang materinya telah lebih dahulu dibahas.2
Dengan membuat perjanjian perkawinan, suami istri mempunyai
kesempatan untuk saling terbuka. Mereka dapat berbagi rasa atas
keinginan-keinginan yang hendak disepakati tanpa harus merugikan salah
satu pihak.3
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian perjanjian nikah?
2. Apa hukum dari perjanjian nikah?
3. Apa akibat hukum terhadap perjanjian perkawinan yang tidak
terdaftar?
C. Tujuan Masalah

1
Muliadi, H. (2015). Analisis Hukum Terhadap Perjanjian Perkawinan (Doctoral dissertation,
Pascasarjana).

2
Prof.dr. Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana 2006) hal.
145
3
Faradz, H. (2008). Tujuan dan Manfaat Perjanjian Perkawinan. Jurnal Dinamika Hukum, 8(3),
249-252.
1. Untuk mengetahui perngertian perjanjian nikah
2. Untuk mengetahui hukum dari perjanjian nikah
3. Untuk mengetahui akibat hukum terhadap perjanjian perkawinan yang
tidak didaftarkan
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Perjanjian nikah


Perjanjian kawin adalah perjanjian atau persetujuan yang dibuat
calon pasangan suami istri sebelum atau pada saat perkawinan
dilangsungkan untuk mengatur akibat-akibat perkawinan terhadap harta
kekayaan mereka.4 Namun perjanjian itu tidak sama dengan sumpah
karena sumpah dimulai dengan ucapan yaitu: wallahi,billahi dan tallahi
dan membawa akibat dosa bagi yang tidak memenuhinya.
Rumusan akad nikah harus dalam bentuk ucapan yang bersifat
mutlak dalam arti tidak diisyaratkan untuk kelangsungannya dengan
suatau syarat apapun. Bahkan menurut jumhur ulama akad yang bersyarat
tidak sah, seperti mensyaratkan untuk menceraikan istri setelah
perkawinan berlangsung selama tiga bulan. Hal ini telah dikemukakan
dalam perkawinan mut’ah. Dengan demikian, syarat atau perjanjian yang
dimaksud disini dilakukan di luar prosesi akad perkawinan meskipun
dalam suasana atau majelis yang sama.
Oleh karena perjanjian dalam perkawinan terpisah dari akad nikah,
maka tidak ada kaitan hukum antara akad nikah yang dilaksanakan secara
sah dengan pelaksanaan syarat yang ditentukan dalam perjanjian itu. Hal
ini bahwa tidak terpenuhinya perjanjian tidak menyebabkan batalnya nikah
yang sudah sah.meskipun pihak-pihak yang dirugikan tidak memenuhi
perjanjian itu berhak minta pembatalan perkawinan.5

B. Hukum Perjanjian
Perjanjian dalam perkawinan hukumnya mubah artinya boleh
seseorang untuk membuat perjanjian dan boleh pula tidak membuat.
Namun kalau sudah di buat bagaimana hukum memenuhi syarat yang
terdapat dalam perjanjian perkawinan itu, menjadi perbincangan di
kalangan ulama. Jumhur berpendapat bahwah memenuhi syarat yang
dinyatakan dalam bentuk perjanjian itu hukumya wajib sebagaimana
hukum memenuhi perjanjian lainnya, bahkan syarat-syarat yang berkaitan
dengan perkawinan lebih berhak untuk dilaksanakan. Hal ni di tegaskan
dalam hadis Nabi dari ‘Uqbah bin ‘Amir menurut jemaah ahli hadis: :”
syarat – syarat yang paling layak untuk dipenuhi adalah syarat yang
berkenaan dengan perkawinan”.

4
R. Soetojo Prawirohamidjojo, Pluralisme Dalam Perundang-undangan Perkawinan Indonesia,
( Surabaya: Airlangga University Press, 2012) hal. 57
5
Ibid., hal. 145-146
Kewajiban memenuhi persyaratan yang terdapat dalam perjanjian
dan terikatnya dengan kelangsungan perkawinan tergantung kepada bentuk
persyaratan yang ada dalam perjanjian. Dalam hal ini ulama membagi
syarat itu menjadi 3:
1. Syarat-syarat yang berlangsung berkaitan dengan pelaksanaan
kewajiban suami istri dalam perkawinandan merupakan tutunan
dari perkawinan itu sendiri. Seperti, suami mesti memberi
nafkah untuk anak dan istrinya, istri mesti melayani kebutuhan
seksual suaminya dan suami istri mesti memelihara anak yang
lahir dari perkawinan itu.
2. Syarat-syarat yang bertentangan dengan hakikat perkawinan
atau yang secara khusus dilarang untuk dilakukan atau
memberi mudarat kepada pihak-pihak tetentu. Seperti, suami
atau istri mempersyaratkan tidsk kan beranak, istri
mempersyaratakan suami menceraikan istri-istrinya yang lebih
dahulu.
3. Syarat-syarat yang tidak menyalahi tuntunan perkawinan dan
tidak ada larangan secara khusus namun tidak ada tuntunan dari
syara’ untuk dilakukan. Seperti, istri mempersyaratkan bahwa
suaminya tidak akan memadunya.

Ulama sepakat mengatakan bahwa syarat-syarat dalam bentuk


pertama wajib dilaksanakan. Mereka mengatakan hadis Nabi yang
disebutkan diatas mengarah kepada syarat-syarat dalam bentuk pertama
ini. Dalam hal syarat bentuk kedua sepakat ulama mengatakan bahwa
perjanjian itu tidak wajib dipenuhi dalam arti tidak berdosa orang yang
melanggar perjanjian meskipun menepati perjanjian itu menurut asalnya
adalah di perintahkaan, sebagaimana yang dinyatakan Allah dalam
firmannya pada surat al-maidah ayat 1 :”hai orang-orang yang beriman
penuhilah janji yang kamu janjikan”.Mekipun syarat dan perjanjian itu
harus dipenuhi, namun bila syarat tersebut bertentangan dengan hukum
syara’ tidak wajib dipenuhi.

Berdasarkan pendapat Ahmad atau Hanabilah tersebut terbukalah


kesempatan untuk membuat persyaratan atau perjanjian dalam perkawinan
selama tidak di temukan secara khusus larangan Nabi untuk itu, taklik
talak dan adanya harta bersama itu tidak ditemukan dalam kitab fiqh
klasik. Perjanjian dalam perkawinan sebagaimana yang diuraikan diatas
mendapat tempat yang luas dalam UU Perkawinan, yang bunyinya:

Bab v perjanjian perkawinan


1. Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua
pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan
perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat
perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap
pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.
2. Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana
melanggar batas-batas hukum, agama, dan kesusilaan.
3. Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan
dilangsungkan.
4. Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak
dapat diubah, kecuali bila kedua belah pihak ada
persetujuan untuk merubah dan perubahan tidk merugikan
pihak ketiga.
KHI mengatur panjang lebar perjanjian perkawinan tersebut dalam
pasal 45, 46, 47. 48, 49, 50, 51 dan 52. Pasal 45 dan 46 mengatur taklik
talak dengan segala tata caranya. Pasal 47, 48, 49, 50 dan 51 mengatur
perjanjian dalam hal harta bersama lengkap dengan cara pelaksaannya.6

C. Akibat hukum terhadap perjanjian perkawinan yang tidak didaftarkan


Perjanjian pada umumnya menimbulkan akibat hukum bagi pihak
yang membuatnya, maupun terhadap pihak ketiga yang berkepentingan.
Hal yang sama jugaberlaku terhadap perjanjian perkawinan.Sebagaimana
telah diterangkan dalam Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan yang
menyatakan:“pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua
belah pihak atas perjanjian bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis
yang disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan, setelah mana isinya
berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.”
Dari pasal tersebut terlihat bahwa untuk sahnya sebuah perjanjian
perkawinan maka perjanjian tersebut harus didaftarkan untuk minta
disahkan kepada Pegawai Pencatat Perkawinan. Dan jika tidak didaftarkan
maka dengan sendirinya akan mempunyai konsekuensi atau akibat
hukumnyatersendiri.Akibat hukum apabila perjanjian perkawinan tidak
didaftarkan dapat dibagi menjadi dua yaitu :
1. Akibat hukum bagi yang membuatnya
Dari pasal 29 ayat (1) terlihat bahwa perjanjian perkawinan
yang diatur dalam UU Perkawinan harus berbentuk tertulis.
Dengan adanya ketentuan yang mnegharuskan perjanjian
perkawinan dalam bentuk tertulis maka perjanjian perkawinan
yang dibuat mempunyai alat bukti yang kuat, karena dibuat
6
Ibid,. Hal 146-150
secara tertulis. Sedangkan untuk asas berlakunya, sesuai
dengan Pasal 1338 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang
menyatakan:“semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan
undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali
selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena
alasan-alsan yang ditentukan oleh undang-undang. Persetujuan
harus dilaksanakan dengan itikad baik.”
Berdasarkan keterangan kedua pasal di atas maka untuk
perjanjian perkawinan apabila tidak didaftarkan maka tetap
berlaku bagi kedua belah pihak yang membuat pejanjian
perkawinan tersebut yaitu suami atau istri, karena dalam UU
Perkawinan tidak ada satu pasalpun yang menyatakan bahwa
perjanjian perkawinan baru berlaku jika telah didaftarkan atau
disahkan.
2. Akibat hukum terhadap pihak ketiga
Berbeda dengan akibat hukum bagi suami istri yang
membuat PerjanjianPerkawinan jika tidak didaftarkan, pada
pihak ketiga apabila Perjanjian Perkawinan tidak di sahkan atau
didaftarkan kepada pegawai pencatat perkawinan maka dengan
sendirinya perjanjian perkawinan tersebut tidak mempunyai
kekuatan mengikat terhadap pihak ketiga.
Hal ini sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal
29 ayat (1) UU Perkawinan yang menyatakan:“pada waktu atau
sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua belah pihak atas
perjanjian bersama dapatmengadakan perjanjian tertulis yang
disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan, setelah mana
isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak
ketiga tersangkut.”
Jadi apabila perjanjian perkawinan tidak di daftarkan maka
untuk suami-istri tetap mengikat bagi kedua belah pihak. Lain
halnya jika menyangkut terhadap pihak ketiga, apabila
perjanjian perkawinan tidak didaftarkan maka akibat hukumnya
perjanjian perkawinan tersebut tidak mempunyai kekuatan
mengikat terhadap pihak ketiga.7

7
Titik Triwulan Tutik, 2006, Pengantar Hukum Perdata di Indonesia, Cetakan Pertama, Prestasi
Pustaka Publisher, Jakarta, hal.249.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Perjanjian kawin adalah perjanjian atau persetujuan yang dibuat
calon pasangan suami istri sebelum atau pada saat perkawinan
dilangsungkan untuk mengatur akibat-akibat perkawinan terhadap harta
kekayaan mereka. Namun perjanjian itu tidak sama dengan sumpah karena
sumpah dimulai dengan ucapan yaitu: wallahi,billahi dan tallahi dan
membawa akibat dosa bagi yang tidak memenuhinya.
Perjanjian dalam perkawinan hukumnya mubah artinya boleh
seseorang untuk membuat perjanjian dan boleh pula tidak membuat.
Namun kalau sudah di buat bagaimana hukum memenuhi syarat yang
terdapat dalam perjanjian perkawinan itu, menjadi perbincangan di
kalangan ulama. Jumhur berpendapat bahwah memenuhi syarat yang
dinyatakan dalam bentuk perjanjian itu hukumya wajib sebagaimana
hukum memenuhi perjanjian lainnya, bahkan syarat-syarat yang berkaitan
dengan perkawinan lebih berhak untuk dilaksanakan.di baginya menjadi 3
syarat;
Akibat hukum apabila perjanjian perkawinan tidak didaftarkan
dapat dibagi menjadi dua yaitu :[1]Akibat hukum bagi yang membuatnya
Dari pasal 29 ayat (1) terlihat bahwa perjanjian perkawinan yang diatur
dalam UU Perkawinan harus berbentuk tertulis.[2] Akibat hukum terhadap
pihak ketiga. Berbeda dengan akibat hukum bagi suami istri yang
membuat PerjanjianPerkawinan jika tidak didaftarkan, pada pihak ketiga
apabila Perjanjian Perkawinan tidak di sahkan atau didaftarkan kepada
pegawai pencatat perkawinan maka dengan sendirinya perjanjian
perkawinan tersebut tidak mempunyai kekuatan mengikat terhadap pihak
ketiga.
DAFTAR PUSTAKA

Muliadi, H. (2015). Analisis Hukum Terhadap Perjanjian Perkawinan (Doctoral


dissertation, Pascasarjana). http://idr.uin-antasari.ac.id/668/

Faradz, H. (2008). Tujuan dan Manfaat Perjanjian Perkawinan. Jurnal Dinamika


Hukum, 8(3), 249-
252.http://www.dinamikahukum.fh.unsoed.ac.id/index.php/JDH/article/view/82/2
32

Syarifuddin, Prof.dr. Amir. 2006. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia.


Jakaerta. Kencana.

R. Soetojo Prawirohamidjojo. 2012. Pluralisme Dalam Perundang-


UndanganPerkawinan Indonesia. Surabaya. Airlangga University Press.

Titik Triwulan Tutik. 2006. Pengantar Hukum Perdata di Indonesia. Jakarta.


Prestasi Pustaka Publisher
BIOGRAFI PENULIS

A. Nama : M. Nasik Nadiul Kaffi


Nim : 1120044
Prodi : Hukum Keluarga Islam
B. Nama : Arsyeda Rosyada
Nim : 1120067
Prodi : Hukum Keluarga Islam
C. Nama : M. Jihan Alhukma Sobiyyan
Nim : 1120068
Prodi : Hukum Keluarga Islam

Anda mungkin juga menyukai