Anda di halaman 1dari 25

Hal-hal yang Dapat Diperjanjikan dalam Perjanjian Perkawinan

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Keluarga dan


Perkawinan Kelas A

Oleh Kelompok 6

Michael Arthur Marpaung 2206133443

Muhammad Abimukti Primanto 2206133506

Muhammad Luthfi Akmal 2206133525

Nicolas Mario Gunawan 2206133576

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS INDONESIA

2023
Pembagian Tugas

1. Pendahuluan
a. Latar Belakang………………………………….…… Nicolas Mario Gunawan
b. Pokok Permasalahan………………………………. Muhammad Luthfi Akmal
c. Tujuan dan Metode Penelitian…………………….… Nicolas Mario Gunawan
2. Teori
a. Perjanjian……………….…………………… Muhammad Abimukti Primanto
b. Perkawinan……………………..…………… Muhammad Abimukti Primanto
c. Perjanjian Perkawinan……………….……… Muhammad Abimukti Primanto
3. Pembahasan
a. Hal - Hal yang Dapat Diperjanjikan dalam Perjanjian
Perkawinan……………………………………………………. Michael Arthur
b. Contoh Akta Notaris………………………………… Nicolas Mario Gunawan
c. Hal yang diperjanjikan dalam contoh akta …………Muhammad Luthfi Akmal
4. Penutup
a. Simpulan………………………………………………….…… Michael Arthur
b. Saran…………………………………………………….…….. Michael Arthur

5. Formatting dan Daftar Pustaka ……………….…………….. Nicolas Mario Gunawan

6. PPT…………………………………………………………..…………Michael Arthur
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Perjanjian Perkawinan atau yang dikenal juga sebagai prenuptial agreement adalah
salah satu jenis perjanjian yang dimungkinkan untuk dilaksanakan terkait dengan adanya
hubungan perkawinan sebagai pokok permasalahan. Dalam arti formal, perjanjian
perkawinan adalah tiap perjanjian yang dilangsungkan sesuai dengan ketentuan Undang-
undang antara (calon) suami istri mengenai perkawinan mereka, tidak dipersoalkan apa
isinya.1 Sebagaimana diartikan dalam definisinya, perjanjian tersebut memungkinkan para
pihak untuk menjanjikan sesuatu secara bebas, dalam kepentingan para pihak sebagai calon
maupun yang sudah berupa pasangan suami istri.

Dalam menjalankan dan membuatnya, perjanjian tersebut tentunya dilaksanakan


dengan mengikuti dasar-dasar atas perjanjian yang dilaksanakan di Indonesia, seperti pada
halnya mengikuti syarat-syarat sahnya perjanjian. Apabila syarat sahnya suatu perjanjian
tersebut tidak terpenuhi, maka dapat mengakibatkan adanya batal ataupun pembatalan atas
perjanjian perkawinan tersebut. Perjanjian perkawinan dapat dibatalkan atau batal demi
hukum apabila memenuhi kualifikasi sebagai berikut. Pertama tidak terpenuhinya syarat
subjektif, yaitu kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya atau karena ketidakcakapan
untuk membuat suatu perikatan, berakibat perjanjian tersebut dapat dibatalkan
(vernietigbaar). Kedua tidak dipenuhinya syarat objektif, suatu hal tertentu atau suatu sebab
yang halal, berakibat perjanjian tersebut batal demi hukum (nietig).2

Perjanjian tersebut berlaku selayaknya perjanjian umum kepada calon maupun


pasangan suami istri tersebut. Hanya saja, agar perjanjian tersebut dapat berlaku, maka
diperlukan untuk dilaksanakan perkawinan di antara para pihak, yang menyebabkan
perjanjian perkawinan yang dilangsungkan oleh calon suami istri tidaklah berlaku selama
perkawinan belum dilangsungkan.

1 Damanhuri HR, Segi-segi Hukum Perjanjian Perkawinan Harta Bersama, cet. Ke 1, (Bandung: CV.
Manda Maju, 2007), Hlm. 1.
2 Syarifah Syawallentin Permatasari, “Pembatalan Perjanjian Perkawinan Karena Adanya Cacat
Kehendak oleh Salah Satu Pihak”, Jurnal Ilmu Kenotariatan, Vol. 1 Issue 1 (2020), Hlm. 17
Perkawinan yang dilangsungkan adalah perkawinan yang diakui di Indonesia, dalam
hal ini adalah sebagaimana dijelaskan dalam Undang-undang no. 1 Tahun 1974 mengenai
Perkawinan. Menurut pasal 1 dari Undang-undang tersebut, perkawinan adalah ikatan lahir
batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri untuk membentuk keluarga.
Perkawinan ini juga merupakan suatu perjanjian kawin antara calon suami dan istri. 3

Atas dasar pandangan tersebut, Undang-undang Perkawinan dalam pasal 2


mengaturkan bahwa perkawinan yang sah adalah yang dilaksanakan menurut hukum masing-
masing agamanya dan kepercayaannya. Hanya saja, dalam rangka dilaksanakannya
perkawinan di luar Indonesia, maka perkawinan tersebut perlu dicatatkan ke kantor catatan
sipil untuk mendapatkan Surat Keterangan Pelaporan Perkawinan Luar Negeri

Di Indonesia sendiri, dimungkinkan untuk dilaksanakan perkawinan antara pihak


yang berbeda kewarganegaraan. Perkawinan tersebut dikenal sebagai perkawinan campuran.
Adapun perkawinan campuran diantur dalam Regeling op de Gemengde Huwelijk stbl. 1898
nomor 158, yang biasanya disingkat dengan GHR. Dalam Pasal 1 GHR ini disebutkan bahwa
perkawinan campuran adalah perkawinan antara orang-orang yang di Indonesia tunduk pada
hukum yang berlainan.4

Keberadaan perkawinan campuran tersebut merupakan salah satu alasan utama untuk
dilaksanakannya perjanjian perkawinan di Indonesia. Hal tersebut dikarenakan di Indonesia
terdapat beberapa bentuk kebendaan yang tidak dimungkinkan oleh Undang-undang untuk
diberikan kepada pihak yang berkewarganegaraan asing. Maka dari itu, dalam halnya harta
yang terbentuk setelah perkawinan, terdapat batasan atas benda yang dapat diterima oleh
pasangan tersebut. Hal ini sangat terlihat dalam halnya tanah, seperti dalam halnya Sertifikat
Hak Milik, yang hanya dimungkinkan untuk dimiliki oleh orang yang berkewarganegaraan
Indonesia. Apabila tidak dilaksanakan suatu perjanjian perkawinan mengenai pemisahan
harta di antara pasangan suami istri yang berbeda kewarganegaraan, maka ditakutkan apabila
pihak yang berkewarganegaraan Indonesia meninggal, hak atas tanah tersebut akan berpindah
pada pihak yang berkewarganegaraan asing.

3 S.A. Hakim, Hukum Perkawinan, (s.n.: s.l., 1974), Hlm. 7.


4 Padli Yannor, “Menelaah Perkawinan Beda Agama Menurut Hukum Positif”, Bagian Hukum Setda
Kabupaten Tanah Laut, Diakses dari
https://www.jdih.tanahlautkab.go.id/artikel_hukum/detail/menelaah-perkawinan-beda-agama-menurut-
hukum-positif pada 13 April 2023.
Selain bentuk perjanjian perkawinan yang mencantumkan pemisahan harta, terdapat
beberapa bentuk lainnya yang ada dalam praktik di Indonesia, seperti contohnya mengenai
persatuan penghasilan, persatuan untung dan rugi, dan lain-lain. Akan tetapi, ketidakadaan
pengaturan yang secara spesifik mengaturkan mengenai perjanjian perkawinan menyebabkan
adanya pertanyaan mengenai apa saja yang seharusnya dapat diaturkan dalam perjanjian
perkawinan.

1.2. Pokok Permasalahan

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, dapat dirumuskan permasalahan sebagai


berikut:

1. Apa saja hal hal yang dapat diperjanjikan dalam perjanjian perkawinan?
2. Bagaimana bentuk penerapan perjanjian perkawinan dalam akta notaris?
3. Bagaimana analisis akta notaris dalam pembuatan perjanjian perkawinan?

1.3. Tujuan Penelitian

Sebuah Penelitian pasti memiliki tujuan dan manfaat. Berdasarkan pokok


permasalahan yang telah diuraikan, penelitian ini tentunya juga memiliki tujuan. Penulisan
ini memiliki 2 (dua) tujuan, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus yang dapat dijelaskan
sebagai berikut:

1. Tujuan Umum

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk menganalisis bagaimana hal hal
yang dapat diperjanjikan dalam perkawinan melalui perjanjian perkawinan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.

2. Tujuan Khusus

Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk:

a. Menjelaskan mengenai berbagai macam hal yang dapat diperjanjikan


dalam perjanjian perkawinan, baik yang sudah hidup dilaksanakan di
masyarakat dan yang secara teori dapat dilaksanakan di
Indonesia.analisis apa saja hal hal yang dapat diperjanjikan dalam
perkawinan di Indonesia.
b. Menganalisis bagaimana isi dan pengertian akta notaris dalam
perjanjian perkawinan di Indonesia.
c. Menjelaskan cara notaris di Indonesia membentuk akta perjanjian
perkawinan.

1.4. Metode Penelitian

Penelitian adalah suatu kegiatan ilmiah sebagai usaha untuk menganalisis serta
mengadakan konstruksi secara metodologis, sistematis, dan konsisten, dengan tujuan untuk
memecahkan suatu masalah.5 Oleh karena penelitian ini adalah penelitian yang meneliti
masalah hukum, maka penelitian yang dilaksanakan adalah penelitian hukum. Penelitian
hukum merupakan suatu bentuk kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada suatu metode,
sistematika, dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari suatu atau
beberapa gejala hukum tertentu, dengan menganalisisnya. Selain itu, penelitian hukum
adalah bentuk melakukan pemeriksaan yang mendalam terhadap suatu faktor hukum
tersebut, untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan-
permasalahan yang timbul dalam gejala yang bersangkutan 6.
Dalam melaksanakan penelitian, terdapat berbagai metode yang dapat dipergunakan
untuk melaksanakan penelitian tersebut. Melihat dari bentuknya, metode penelitian yang
digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian Yuridis-Normatif. Penelitian Yuridis-
Normatif merupakan penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka
atau data sekunder. Data sekunder adalah data dari bahan pustaka, antara lain mencakup
dokumen resmi, buku- buku, hasil penelitian yang berwujud laporan, buku harian, dan
sebagainya. 7
Pengumpulan data sekunder akan dilakukan melalui kegiatan studi pustaka. Bahan
hukum yang akan digunakan adalah sumber hukum primer dan bahan sumber hukum
sekunder. Bahan hukum sumber primer yang akan digunakan adalah peraturan perundang-

5 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia,


2006), hlm. 3.
6 Ibid, Hlm. 43.
7 Ibid, Hlm. 12.
undangan, khususnya adalah Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Bahan hukum sumber
sekunder yang akan digunakan adalah buku, jurnal ilmiah, artikel serta sumber lainnya yang
terkait dengan topik pembahasan.
Setelah mengumpulkan data, penelitian ini akan dilaksanakan menggunakan dua
pendekatan. Pendekatan yang pertama adalah pendekatan perundang-undangan (statute
approach), yang merupakan pendekatan yang dilakukan dengan menelaah semua Undang-
8
undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani.
Dengan pendekatan ini, akan di analisa dasar hukum yang berada dan berlaku di Indonesia
terkait dengan isu hukum yang di bawakan dalam penelitian ini.
Lalu, pendekatan terakhir yang akan dibawakan adalah pendekatan konseptual.
Pendekatan konseptual dilakukan oleh peneliti ketika peneliti tidak beranjak dari ketentuan
hukum yang ada. 9 Pendekatan ini dilakukan untuk merujuk pada pandangan dari para ahli,
untuk dapat merujuk pada prinsip-prinsip hukum yang ada.

8 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, cetakan ke-11 (Jakarta:Kencana,2011).hlm. 93.


9 Ibid, Hlm. 177.
BAB II

TEORI

A. Perjanjian

Perjanjian adalah Persetujuan (tertulis atau tidak tertulis) yang dibuat oleh minimal
dua pihak ataupun lebih, masing-masing pihak berjanji akan menaat apa yang tertera dalam
perjanjian tersebut.10, Perjanjian atau dalam arti luas disebut dengan perikatan merupakan
suatu hal yang diatur dalam buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata),
yaitu dalam pasal 1234 KUHPERdata yaitu: “ Tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan
sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.”, sedangkan menurut Prof.
Subekti, menjelaskan bahwa Perikatan adalah “suatu hubungan hukum (mengenai kekayaan
harta benda) antara dua orang, yang memberi hak pada yang satu untuk menuntut barang
sesuatu dari yang lainnya, sedangkan orang yang lainnya ini diwajibkan memenuhi tuntutan
itu.”11, mengenai sumber perikatan sendiri menurut Pasal 1233 KUHPerdata ialah :”tiap
perikatan dilahirkan baik karena persetujuan (Perjanjian), baik karena undang-undang.”,
maka perjanjian dibagi menjadi dua yaitu karena perjanjian atau karena dari undang-undang,
dalam perjanjian dikarenakan undang-undang dibagi menjadi dua lagi yaitu perikatan yang
lahir karena dari undang-undang saja dan lahir dari undang-undang karena suatu perbuatan
orang (yaitu lahir dari perbuatan yang diperbolehkan dan yang lahir karena perbuatan
melawan hukum)12. Syarat perikatan sendiri diatur dalam pasal 1320 KUHPerdata yaitu :

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

2. Kecakapan untuk membuat sesuatu perikatan

3. Suatu hal tertentu

4. Suatu sebab yang halal

10 Kamisa, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia (Surabaya: PT. Kartika, 1997),


hlm. 254.
11 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata (Bandung: PT Intermasa, 1985), hlm.122
12 Ibid hlm. 123
B. Perkawinan

Perkawinan merupakan suatu ikatan yang sah untuk membina rumah tangga dan
keluarga sejahtera bahagia di mana kedua suami istri memikul amanah dan tanggung jawab.
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan merumuskan, bahwa
Perkawinan, ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami
istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa. Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan di atas,
tampak bahwa suatu rumusan arti dan tujuan dari perkawinan. Arti “Perkawinan” dimaksud
adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri,
sedangkan “tujuan” perkawinan dimaksud adalah membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Makna dan arti dari perkawinan
menjadi lebih dalam, karena selain melibatkan kedua keluarga juga lebih berarti untuk
melanjutkan keturunan, keturunan merupakan hal penting dari gagasan melaksanakan
perkawinan. Menurut ketentuan Pasal 80 KUHPerdata, sebelum berlakunya Undang-Undang
Perkawinan, disebutkan bahwa perkawinan harus dilakukan dihadapan Pejabat Kantor
Catatan Sipil. Dalam Pasal 81 KUHPerdata.

Disebutkan, bahwa perkawinan secara agama harus dilakukan setelah perkawinan di


hadapan Kantor Catatan Sipil. Dengan demikian, apabila perkawinan hanya dilakukan secara
agama dan tidak dilakukan dihadapan Pejabat Catatan Sipil, maka konsekuensi hukumnya
dari berlakunya Pasal 80 jo 81 KUHPerdata di atas, yaitu antara suami dan istri dan/atau
antara suami/ayah dengan anak-anaknya (kalau ada anak yang dilahirkan dalam perkawinan
tersebut), tidak akan ada hubungan-hubungan perdata. Hubungan Perdata yang dimaksud
adalah antara lain hubungan pewarisan antara suami dan istrinya dan/atau suami/ayah dengan
anak-anaknya serta keluarganya, apabila di kemudian hari terdapat salah seorang yang
meninggal dunia. Perkawinan yang telah dilangsungkan menurut hukum agama dan
kepercayaan harus dicatat oleh petugas pencatat dengan maksud agar terjadi tertib
administrasi pemerintahan dan kependudukan. Terciptanya tertib administrasi kependudukan
berarti menghindarkan kekacauan administrasi yang berhubungan dengan kepastian
kedudukan hukum seseorang.13

13 Victor M. Situmorang, Aspek Hukum Akta Catatan Sipil di Indonesia, Sinar


Grafika, Jakarta, 2002, hlm. 110-112
C. Perjanjian Perkawinan

Secara umum, perjanjian perkawinan berisi tentang pengaturan harta kekayaan calon
suami isteri. Tujuan dari pembuatan perjanjian perkawinan adalah untuk mengatur akibat-
akibat perkawinan yang menyangkut harta kekayaan.

Perjanjian kawin ialah perjanjian (persetujuan) yang dibuat oleh calon suami isteri,
sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan untuk mengatur akibat-akibat perkawinan
terhadap harta kekayaan mereka. Perjanjian perkawinan tidak hanya sebatas memperjanjikan
masalah keuangan/harta, ada hal lain yang juga penting diperjanjikan, misalnya tentang
kekerasan dalam rumah tangga, memperjanjikan salah satu pihak untuk tetap melanjutkan
kuliah meski sudah menikah dan sebagainya.

Sedangkan Perjanjian Pernikahan atau Prenuptial Agreement adalah sebuah perjanjian


yang dibuat oleh pasangan calon pengantin antara pihak laki-laki dan pihak perempuan,
dilakukan sebelum perkawinan mereka dilangsungkan ataupun sesudah pernikahan
dilaksanakan dengan isi perjanjian tersebut mengikat hubungan perkawinan mereka atas harta
maupun hal-hal lainnya yang ingin diatur saat terjadinya perkawinan.14

Perjanjian perkawinan sendiri dalam faktor sejarah sudah ada sejak zaman mesir
kuno, bahkan terdapat fakta sejarah menyatakan bahwa sudah ada perjanjian perkawinan
berumur 2.000 tahun, Tetapi perjanjian pernikahan zaman kuno tidak seperti zaman sekarang
yang dibuat oleh notaris maupun pengacara, zaman dulu perjanjian pernikahan dibuat atas
nama keluarga ataupun kerabat-kerabat dari calon pengantin pria maupun pihak kerabat calon
pengantin Wanita, dibuat dalam bentuk tulisan maupun hanya dalam ucapan saja, perjanjian
perkawinan pada zaman dulu lebih memperlihatkan harga mahar dari calon pengantinnya,
harga yang harus ditanggung bagi calon pengantin yang ingin meminang pihak lain dari calon
pengantin tersebut, sedangkan pada zaman modern ini perjanjian perkawinan memiliki
perubahan arti dalam pengaplikasiaannya dalam kehidupan masyarakat modern, dimana
perjanjian pernikahan zaman modern lebih mengutamakan perjanjian tentang kepemilikan

14 Happy Susanto, Pembagian harta Gono Gini Saat Terjadi Perceraian, (Jakarta:
Visimedia, 2008), hlm. 78.
kebendaan yang akan dimiliki maupun yang sudah dimiliki atas harta yang didapat saat
pernikahan nantinya.15

Perjanjian Pernikahan sendiri diatur pertama kali di Indonesia dalam Burgerlijk


Wetboek atau yang dikenal dalam hukum negara Indonesia disebut Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (KUHPerdata), dimana dalam KUHPerdata pasal 139 mendefinisikan
Perjanjian Pernikahan adalah:

“Dengan mengadakan perjanjian perkawinan, kedua calon suami istri adalah berhak
menyiapkan beberapa penyimpangan dari peraturan undang-undang sekitar persatuan
harta kekayaan, asal perjanjian itu tidak menyalah tata Susila yang baik atau tata tertib
umum dan asal diindahkan segala ketentuan dalam KUHPerdata.”16

Selanjutnya perjanjian pernikahan di negara Indonesia itu sendiri diatur lebih lanjut dengan
dibuatkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, dimana perjanjian
pernikahan hanya dibahas dalam satu pasal yaitu Pasal 29 ayat (1), (2), (3) dan (4) kemudian
diperjelas pengertiannya dan pelaksanaanya dalam beberapa keputusan Mahkamah Konsitusi.
Perjanjian pranikah dalam Hukum negara Indonesia memiliki tiga dasar, yaitu dari Undang-
Undang Pernikahan dan beberapa Putusan Mahkamah Konstusi, sub bab ini akan
menerangkan macam-macam aturan yang mengatur perjanjian pra-nikah tersebut antara lain
Perjanjian pranikah KUHPerdata sebagai tumpuan peraturan Perjanjian pranikah, dan
Undang-Undang Pernikahan serta Putusan Mahkamah Konstusi sebagai Hukum yang berlaku
untuk perjanjian pranikah saat ini, yang dimaksud :

I. Perjanjian Pra-nikah dalam KUHPerdata.

Dalam KUHPerdata Perjanjian pranikah yang sudah dijelaskan diatas menurut pasal
139 KUHPerdata yaitu perjanjian antara calon suami dan istri yang berhak untuk
memisahkan harta kebendaannya bagi tiap para pihak agar harta bendanya tidak tercampur
menjadi harta Bersama, menurut Prof Subekti, Perjanjian pranikah memiliki sifat asas bebas
berkontrak, atau kemerdekaan seluas-luasnya, kecuali satu dua larangan yang termuat dalam

15 Keith B. Schulefand, et al, “The Long and Strange History of Prenuptial


Agreement”, Keith B. Schulefand ESQ, 28 Maret 2018, tersedia pada
https://www.schulefandlawoffice.com/blog/2018/03/the-long-and-strange-history-of-
prenuptial-agreements/ , diakses pada tanggal 27 Maret 2023
16 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, KUHPerdata Tahun 1847, Pasal 139
undang-undang dan soal saja mereka itu tidak melanggar ketertiban umum atau kesusilaan 17,
dalam KUHPerdata perjanjian pra nikah dijelaskan bahwa hanya dapat dibuat sebelum
upacara pernikahan berlangsung dan menurut pasal 147 KUHPerdata yaitu :

“Perjanjian kawin harus dibuat dengan akta notaris sebelum pernikahan berlangsung,
dan akan menjadi batal bila tidak dibuat secara demikian. Perjanjian itu akan mulai
berlaku pada saat pernikahan dilangsungkan, tidak boleh ditentukan saat lain untuk
itu.”18

Yang menjelaskan bahwa perjanjian pranikah hanya dapat dibuatkan dengan akta otentik
dengan syarat-syarat akta otentik yang mengikutinya serta tidak boleh terjadinya perubahan
terhadap pasal yang terkandung dalam Perjanjian Pra nikah Menurut KUHPerdata,
selanjutnya dalam perjanjian pra nikah menurut KUHPerdata dijelaskan bahwa perjanjian pra
nikah bisa didaftarkan ke panitraaan pengadilan bila didalam perjanjian pra nikah tersebut
mengandung unsur pihak ketiga didalamnya, yaitu pada pasal 152 KUHPerdata yaitu :

“Ketentuan yang tercantum dalam perjanjian kawin, yang menyimpang dan harta
bersama menurut undang-undang, seluruhnya atau sebagian, tidak akan berlaku bagi
pihak ketiga sebelum hari pendaftaran ketentuan ketentuan itu dalam daftar umum,
yang harus diselenggarakan di kepaniteraan pada Pengadilan Negeri, yang di daerah
hukumnya perkawinan itu dilangsungkan. atau kepaniteraan di mana akta perkawinan
itu didaftarkan, jika perkawinan berlangsung di luar negeri.”19

Bisa diartikan bahwa menurut KUHPerdata pihak ketiga dalam perjanjian pranikah baru
berlaku dan terikat apabila perjanjian pra nikah tersebut sudah didaftarkan ke pengadilan.

Perjanjian KUHPerdata juga memiliki larangan yang berunsurkan pada pasal 140 -
143 KUHPerdata yang pada intinya pasal-pasal tersebut menjelaskan bahwa perjanjian
pranikah tidak boleh menyampingan atau pun mengunrangi kewajiban serta hak suami dan
kewajiban serta hak istri saat perkawinan tersebut terjadi, serta menggantungkan perjanjian
pada suatu kejadina yang terletak di luar kekuasaan manusia, sehingga terdapat suatu keadaan
yang meragu-ragukan bagi pihak ketiga, misalnya suatu perjanjian antara suami dan isteri

17 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata (Bandung: PT Intermasa, 1985), hlm.37


18 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, KUHPerdata Tahun 1847, Pasal 147
19 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, KUHPerdata Tahun 1847, Pasal 152
akan berlaku percampuiran laba rugi kecuali jikalau dari perkawinan merkea dilahirkan
seorang anak laki-laki, perjanjian semacam ini tidak di perbolehkan.20

2. Perjanjian Pra-nikah dalam Undang-Undang Nomor. 1 Tahun 1974 tentang


Perkawinan

Sejak Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dibuat maka


pelaksanaan pembuatan pra-nikah mengalami perubahan yang signifikan dari perjanjian pra-
nikah menurut KUHPerdata, hal ini bisa dilihat dari Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan, yaitu :

“Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua belah pihak atas
persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai
Pencatat Perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang
pihak ketiga tersangkut.”21

Hal ini yang membedakan Perjanjian pranikah menurut UU perkawinan dengan perjanjian
pra nikah menurut KUHPerdata, dimana dalam UU perkawinan perjanjian pra nikah hanya
dapat disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan bila terdapat pihak ketiga yang terkandung
di dalam perjanjian pra nikah, sedangkan dalam KUHPerdata perjanjian pranikah yang
menyertakan pihak ketiga harus didaftarkan di pengadilan setempat, lalu berdasarkan pasal
29 ayat 4 UU perkawinan memperjelas perbedaan dengan perjanjian pranikah KUHPerdata,
yaitu pada pasal 29 ayat 4 UU Perkawinan berisikan, bahwa perjanjian pranikah terdapat
pengecualian untuk dapat dirubah isi perjanjiannya selama tidak merugikan pihak ketiga, hal
ini sungguh berbeda dengan isi pasal 147 KUHPerdata dimana perjanjian Pra nikah memiliki
sifat absolut untuk tidak bisa diubah bilamana perjanjian pra nikah sudah dibuatkan. Padal
pasal 29 ayat 2 pun menjelaskan bahwa perjanjian pra nikah tidak boleh melanggar batas-
batas hukum (seperti syarat-syarat perikatan, subyek cakap hukum dan lain-lain), agama dan
kesusilaan), Dengan pemaparan isi Undang-undang dalam UU perkawinan diatas mana dapat
disimpulkan bahwa perjanjian pra-nikah mensyaratkan antara lain : 1.Dibuat sebelum atau
pada saat perkawinan dilangsungkan. 2. Dibuat atas persetujuan Bersama, 3. Dibuat secara
tertulis , 4. Harus disahkan pada pegawai pencatat yg berwenang, 5. Tidak boleh

20 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata (Bandung: PT Intermasa, 1985), hlm.38

21 Undang-Undang Tentang Perkawinan, UU No. 1 Tahun 1974, LN. 1974/ No.1,


TLN NO.3019, Selanjunya disebut UU Perkawinan, Pasal 29 ayat 1
bertentangan dgn hukum, agama, kesusilaan, ketertiban umum, 6. Dibuat oleh mereka yg
telah dewasa, 7.Berlaku setelah perkawinan berlangsung, 8.Berlaku pada pihak ke-III sejak
perkawinan tercatan, 9. dapat diubah selama perkawinan berlangsung dengan persetujuan
kedua belah pihak dan tidak merugikan pihak ke-III.

3. Perjanjian Pra nikah Menurut UU Nomor 1. Tahun 1974 tentang


Perkawinan yang telah dilakukan amandemen dengan putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 Tentang Perkawinan Bagi Warga
Negara Indonesia dengan Warga Negara Indonesia dan Warga Negara
Indonesia dengan Warga Negara Asing.

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata maupun Undang-Undang Nomor 1 Tahun


1974 tentang Perkawinan, tidak diatur mengenai peraturan tentang pembuatan Perjanjian
Kawin setelah perkawinan dilangsungkan. Ketentuan dalam Undang-Undang tersebut hanya
mengatur Perjanjian Kawin yang dibuat sebelum atau pada saat perkawinan itu
dilangsungkan. Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
menyatakan bahwa:

“Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua belah pihak atas
persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai
pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga
tersangkut.”22

Dalam perjalanan dan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 ternyata


memunculkan persoalan hukum bagi warga negara Indonesia yang menikah dengan warga
negara asing. Seperti yang terjadi pada kasus Ny. Ike Farida yang merasa dengan
pemberlakuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 telah merasa didholimi karena merasa
sebagai warga negara Indonesia namun hak-haknya untuk memiliki rumah susun di Jakarta
tidak dapat terwujud karena bersuamikan warga negara asing (warga negara Jepang).

Seperti pada kasus tersebut bahwa sebagai warga negara pemohon bermaksud membeli
sebuah rumah susun namun ditolak oleh developer karena diketahui bersuamikan warga

22 UU Perkawinan, UU No. 1 Tahun 1974, LN. 1974/ No.1, TLN NO.3019, , Pasal
29 ayat 1
negara asing. Dengan adanya kasus tersebut, maka pemohon mengajukan uji materi
atas undang-undang tersebut di atas. Hasil uji materi menyatakan bahwa merngabulkan
permohonan pemohon dalam uji materi tersebut dan hakim berkeputusan bahwa pasal-
pasal yang diuji materikan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Selanjutnya atas permohonan demikian itu MK berpendapat dalam pertimbangan
hukumnya menyebutkan bahwa: Tegasnya, ketentuan yang ada saat ini hanya mengatur
perjanjian perkawinan yang dibuat sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan,
padahal dalam kenyataannya ada fenomena suami istri yang karena alasan tertentu baru
merasakan adanya kebutuhan untuk membuat perjanjian kawin selama dalam ikatan
perkawinan. Selama ini sesuai dengan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
perjanjian demikian itu harus diadakan sebelum perkawinan dilangsungkan dan harus
diletakkan dalam suatu akta Notaris. Hingga dengan terjadinya putusan MK Nomor
69/PUU-XIII/2015 ini membuat Perjanjian Perkawinan dapat dibuat antara suami dan
istri sejak perkawinan dilangsungkan, akan tetapi apabila terdapat pemisahan harta
terjadi dalam perjanjian pra nikah maka dihitungkan saat pembuatan perjanjian pra
nikah itu dibuat bukan saat perkawinan tersebut dilaksanakan, Isi yang diatur di dalam
Perjanjian perkawinan tergantung pada kesepakatan pihak-pihak calon suami dan istri,
asal tidak bertentangan dengan Undang-Undang, agama, dan kepatutan atau kesusilaan,
adapun terhadap bentuk dan isi perjanjian perkawinan, kepada kedua belah pihak
diberikan kebebasan atau kemerdekaan seluas-luasnya (sesuai dengan hukum
“kebebasan berkontrak”).
BAB III

Pembahasan

A. Hal - Hal yang Dapat Diperjanjikan dalam Perjanjian Perkawinan

Tujuan dibuatnya perjanjian perkawinan adalah untuk memberi kejelasan tentang


segala sesuatu yang disepakati bersama oleh kedua belah pihak. Perjanjian perkawinan pada
umumnya hanya mengatur tentang harta yang dimiliki pribadi oleh kedua pasangan atau yang
sering disebut perjanjian kawin pisah harta.

Sebelum melangsungkan perkawinan, calon suami istri dapat menentukan sendiri


bagaimana kelak harta benda mereka dalam perkawinan diatur. Pengaturan ini dilakukan oleh
kedua belah pihak melalui suatu perjanjian perkawinan sebagai bentuk pengalihan dari
peraturan perundang-undangan mengenai persatuan harta perkawinan. Apabila tidak dibuat
perjanjian perkawinan berarti diantara kedua belah pihak, terjadi kepemilikan harta bersama
dalam perkawinan oleh karena hukum di Indonesia menganut sistem percampuran harta
dalam perkawinan.

Macam-macam bentuk perjanjian perkawinan yang menyangkut mengenai harta


adalah:

1. Perjanjian Perkawinan Pemisahan Harta Kekayaan

Perjanjian Perkawinan Pemisahan Harta Kekayaan adalah harta yang diperoleh selama
perkawinan dimiliki oleh masing-masing yaitu dalam perkawinan terdapat dua harta yaitu
harta suami dan harta istri. Hak dan kewajiban yang diperoleh sebelum atau setelah
perkawinan menjadi tanggung jawab masing-masing. Perjanjian perkawinan yang berisi
pemisahan harta perkawinan maka masing-masing pihak (suami istri) tetap menjadi
pemilik dari barang-barang yang mereka bawa masuk ke dalam perkawinan.23

2. Perjanjian Perkawinan Persatuan Untung Rugi

23 J. Andy Hartanto, Hukum Harta Kekayaan Perkawinan (Menurut “Burgerlijk Wetboek” dan UU
Perkawinan), (Yogyakarta: Laksbang, 2012), hlm. 40.
Perjanjian percampuran untung rugi adalah seluruh pendapatan yang diterima suami istri
yang didapat secara cuma-cuma (hibah atau warisan) dan penghasilan yang mereka
terima akan menjadi milik bersama begitu pula semua kerugian atau pengeluaran menjadi
tanggungan bersama. Bentuk perjanjian perkawinan seperti ini berarti antara suami istri
memperjanjikan persatuan untung dan rugi yang timbul dalam perkawinan. Ini berarti
keuntungan dan kerugian menjadi hak dan tanggungan suami istri secara bersama-sama.24

3. Perjanjian Perkawinan Persatuan Hasil dan Pendapatan

Perjanjian persatuan penghasilan yang terdapat dalam perjanjian hanya persatuan


penghasilan saja. Penghasilan yang diterima oleh masing-masing pihak menjadi harta
bersama tetapi untuk pengeluaran atau kerugian yang diperoleh ditanggung masing-
masing pihak. 25

Peraturan hukum di Indonesia yang membahas mengenai perjanjian perkawinan yakni


Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 29 tidak menjelaskan bagaimana contoh
kerangka baku yang siap pakai untuk perjanjian perkawinan, melainkan diserahkan kepada
para pihak untuk menentukan isi perjanjian perkawinan yang mereka buat. Para pihak bebas
membuat perjanjian karena menganut asas kebebasan berkontrak. Bebasnya para pihak dalam
menentukan isi perjanjian perkawinan, antara perjanjian perkawinan yang satu dan lainnya
dapat berbeda sesuai kesepakatan para pihak.

Jika merujuk pada Pasal 29 ayat (2) yang berbunyi, tidak terdapat batasan mengenai
hal-hal yang dapat diatur dalam perjanjian perkawinan. Dari peraturan ini dapat diartikan
bahwa Undang-Undang Perkawinan tidak membatasi objek-objek yang dapat diperjanjikan
dalam perjanjian perkawinan, hal ini bisa menyangkut apa saja yang dapat diatur tergantung
kesepakatan para pihak dalam perkawinan (calon suami istri) asal tidak bertentangan dengan
hukum, undang-undang, agama dan kesusilaan.

Para pihak dalam perkawinan bebas menentukan isi perjanjian perkawinan, bisa
membahas mengenai masalah harta kekayaan yang didapat selama perkawinan, atau hal-hal
yang dianggap penting dibahas dalam perjanjian perkawinan yang dikhawatirkan dapat
menimbulkan konflik selama perkawinan atau setelah putusnya perkawinan.

24 Ibid.
25 Ibid.
Terhadap Pasal 29 Undang-Undang Perkawinan tersebut K. Wantjik Saleh
mengatakan bahwa ruang lingkup perjanjian perkawinan tidak ditentukan perjanjian tersebut
mengenai apa, umpamanya mengenai harta benda. Karena tidak ada pembatasan itu, maka
dapat disimpulkan bahwa perjanjian tersebut luas sekali, dapat mengenai berbagai hal.
Dalam penjelasan pasal tersebut hanya dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan
“perjanjian” itu tidak termasuk “taklik talak”.26

Mengenai isi yang dapat diperjanjikan dalam perjanjian perkawinan, dapat dikemukakan
beberapa pendapat ahli hukum antara lain:

1. Sebagian ahli hukum berpendapat bahwa perjanjian perkawinan dapat memuat apa
saja, yang berhubungan dengan baik dan kewajiban suami istri maupun mengenai hal-
hal yang berkaitan dengan harta benda perkawinan. Mengenai batasan-batasan yang
dapat diperjanjikan dalam perjanjian perkawinan. Hal ini merupakan tugas hakim
untuk mengaturnya.27
2. R. Sardjono berpendapat bahwa sepanjang tidak diatur di dalam peraturan
perundang-undangan, dan tidak dapat ditafsirkan lain, maka lebih baik ditafsirkan
bahwa perjanjian perkawinan sebaiknya hanya meliputi hak-hak yang berkaitan
dengan hak dan kewajiban di bidang hukum kekayaan.28
3. Nurnazly Soetarno berpendapat bahwa perjanjian perkawinan hanya dapat
memperjanjikan hal-hal yang berkaitan dengan hak dan kewajiban di bidang hukum
kekayaan, dan hal itu hanya menyangkut mengenai harta yang benar-benar
merupakan harta pribadi suami istri yang bersangkutan yang dibawa ke dalam
perkawinan. Mengenai harta bersama undang-undang tidak menentukan secara tegas
bahwa hal itu dapat diperjanjikan di dalam Undang-Undang Perkawinan, maka
menurutnya hal itu juga tidak dapat diperjanjikan dalam perjanjian perkawinan.
Demikian juga harta yang bukan merupakan harta pribadi suami istri yang dibawa
kedalam perkawinan, tidak dapat diperjanjikan.29
Bebasnya para pihak dalam perkawinan menentukan isi perjanjian
perkawinan maka perjanjian perkawinan tidak hanya membahas mengenai masalah
harta kekayaan perkawinan, dapat pula memuat hal-hal yang dikhawatirkan akan

26 K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, Jakarta, 1980), hlm. 32.
27 Wahyono Darmabrata dan Surini Ahlan Sjarif, Hukum Perkawinan dan Keluarga di Indonesia, FHUI,
Jakarta, 2015, hlm. 80.
28 Ibid.
29 Ibid.
menimbulkan masalah selama perkawinan, maupun apabila suatu saat terjadi
putusnya perkawinan. misalnya tentang monogami, tentang hak pribadi untuk
memilih nama keluarga, tentang hak dan kewajiban suami istri dalam perkawinan,
tentang pekerjaan masing-masing suami istri, tentang para pihak tidak boleh
melakukan hal-hal kekerasan dalam rumah tangga, maupun tanggung jawab masing-
masing terhadap anak-anak yang dilahirkan dalam perkawinan. Dengan kata lain,
suami dan istri mempunyai kesepakatan yang bebas namun terbatas untuk
menentukan isi perjanjian perkawinan.30
Menurut pendapat Abdul Kadir Muhammad “Dalam perjanjian perkawinan
tidak termasuk, isi perjanjian perkawinan dapat mengenai segala hal, asal saja tidak
melanggar batas hukum, agama dan kesusilaan. Isi perjanjian tidak melanggar batas-
batas hukum misalnya dalam perjanjian ditentukan istri tidak diberi wewenang
melakukan perbuatan hukum, karena hukum menentukan bahwa wanita bersuami itu
berwenang melakukan perbuatan hukum apapun. Isi perjanjian perkawinan tidak
melanggar batas-batas agama, misalnya dalam perjanjian perkawinan ditentukan istri
atau suami tetap bebas bergaul dengan laki-laki atau perempuan lain, di luar rumah
mereka. Ini jelas melanggar batas agama, sebab agama tidak membenarkan
pergaulan bebas semacam itu. Melanggar batas kesusilaan, misalnya dalam
perjanjian ditentukan suami tidak boleh melakukan pengontrolan terhadap perbuatan
istri di luar rumah dan sebaliknya.31
Perjanjian perkawinan yang lazim disepakati antara lain berisi harta bawaan
dalam perkawinan, utang yang dibawa oleh suami istri, dan lain sebagainya. Dalam
penerapannya berikut adalah hal-hal yang umumnya diatur dalam perjanjian
perkawinan.
a. Harta bawaan dalam perkawinan, baik harta yang diperoleh dari usaha
masing-masing maupun dari hibah, warisan ataupun cuma-cuma yang
diperoleh masing-masing selama perkawinan.
b. Semua hutang dan piutang yang dibawa oleh suami atau istri dalam
perkawinan mereka, sehingga tanggung jawab yang dibuat oleh mereka
selama perkawinan tetap akan menjadi tanggungan masing-masing atau
tanggung jawab keduanya dengan pembatasan tertentu.

30 Sulikah Kualaria, “Perjanjian Perkawinan Sebagai Sarana Perlindungan Hukum Bagi Para Pihak Dalam
Perkawinan”, Jurnal Hukum, terdapat dalam,http://hukum.studentjournal.ub.ac.id.
31 Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1990, hlm. 88.
c. Hak istri dalam mengurus harta pribadinya baik yang bergerak maupun yang
tidak bergerak dan dengan tugas menikmati hasil serta pendapatan baik dari
pekerjaannya sendiri atau sumber lain.
d. Kewenangan istri dalam mengurus hartanya, agar tidak memerlukan bantuan
atau pengalihan kuasa dari suami.
e. Pencabutan wasiat, serta ketentuan-ketentuan lain yang dapat melindungi
kekayaan maupun kelanjutan bisnis masing-masing pihak (dalam hal salah
satu atau kedua pihak merupakan pemegang saham atau pemimpin usaha
pada suatu entitas bisnis).32
Oleh karena itu, Perjanjian perkawinan bukan hanya menyangkut masalah
harta benda akibat perkawinan, melainkan juga meliputi syarat-syarat atau
keinginan-keinginan yang harus dipenuhi oleh kedua belah pihak sepanjang tidak
melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan.33

C. Hal - Hal yang Diperjanjikan dalam Contoh Akta Notaris Terkait

(Akta terlampir)

Dalam contoh akta Perjanjian Pernikahan Sebelum Menikah ini, beberapa hal yang
diperjanjikan adalah:

1. Pemisahan harta baik berupa penghasilan/pendapatan maupun untung rugi.


2. Benda yang dimiliki dan dibawa masing masing pihak sebelum pernikahan tetap
menjadi milik masing masing pihak
3. Istri berhak mengurus dan menguasai harta bendanya baik barang tetap maupun
barang bergerak
4. Segala biaya rumah tangga termasuk biaya penghidupan dan pendidikan anak anak
yang lahir dari pernikahan, ditanggung oleh suami
5. Pakaian dan perhiasan badan yang diperuntukan dan dipakai masing masing pihak
apabila terjadi perceraian atau meninggal salah satu pihak, maka tetap menjadi hak masing
masing

32 Yudistira Adipratama, Perjanjian Perkawinan, Dasar Hukum, Fungsi, Materi yang Diatur, dan Waktu
Pembuatan, terdapat dalam http://www.kcaselawyer.com/seputar-perjanjian-perkawinan- dasar-hukum-fungsi-
materi-yang-diatur-dan-waktu-pembuatan/. Diakses tanggal 13 Oktober 2018.
33 Henry Lee A Weng, Beberapa Segi Hukum dalam Perjanjian Perkawinan, dikutip dari Amiur Nuruddin dan
Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Prenada Media, Jakarta, 2004, hlm. 138.
6. Barang perabotan rumah tangga yang diperoleh sepanjang pernikahan, apabila terjadi
perceraian maka diadakan perhitungan menurut hukum, akan dianggap kepunyaan pihak
suami dan pihak istri
7. Harta benda yang dibawa oleh masing masing pihak dalam pernikahan dan/atau
didapat dengan cara apapun juga oleh masing masing pihak sesudah pernikahan berlangsung,
harus dinyatakan dari surat bukti yang berkenaan dengan harta benda tersebut

Dalam contoh akta Perjanjian Pernikahan Sesudah Menikah ini, beberapa hal yang
diperjanjikan adalah:

1. Harta benda yang diperoleh para pihak sejak perjanjian hingga hari persian
perkawinan dibuat adalah harta bersama para pihak, kecuali harta yang diperoleh
karena bawaan warisan atau hibah
2. Semenjak perjanjian perkawinan dibuat maka antara kedua pihak tidak terjadi
pencampuran harta benda baik bawaan, hadiah, warisan.
3. Atas harta yang dimiliki masing masing pihak sebagai dimaksud di angka 2, maka
tiap pihak berhak untuk mengurus dan menguasai kekayaan sendiri baik yang
bergerak maupun yang tidak bergerak dan memakai penghasilan dan pendapatannya
untuk sendiri
4. Pihak suami wajib melindungi isteri dan menyediakan keperluan hidup berumah
tangga
5. Pakaian dan perhiasan yang ada pada masing masing pihak perkawinan diadakan
perhitungan menurut hukum, dianggap kepunyaan siapa di antara pihak yang
memakai atau dianggap bisa memakai barang barang tersebut
6. Semua barang yang diperoleh setelah perjanjian ini dibuat makaa maasing masinng
pihak harus membuktikan dengan surat surat

BAB IV
PENUTUP

A. Simpulan

Telah dijelaskan dalam bagian-bagian sebelumnya atas jawaban dari rumusan masalah
penelitian ini. Berdasarkan paparan dari bagian sebelumnya, penelitian ini memiliki simpulan
sebagai berikut:

1. Hal - hal yang dapat diperjanjikan dalam perjanjian perkawinan diserahkan kepada
para pihak untuk menentukan isi perjanjian perkawinan yang mereka buat. Para pihak
dalam membuat perjanjian pernikahan bersifat bebas namun terbatas membuat
perjanjian karena menganut asas kebebasan berkontrak. Bebasnya para pihak dalam
menentukan isi perjanjian perkawinan, antara perjanjian perkawinan yang satu dan
lainnya dapat berbeda sesuai kesepakatan para pihak.
2. Batasan-batasan terkait hal-hal apa saja yang bisa diperjanjikan dalam perjanjian
perkawinan yang dibentuk di hadapan notaris adalah bersifat bebas selama tidak
bertentangan dengan Undang-undang dan norma-norma yang ada di masyarakat.

B. Saran
1. Perlu diadakan dan dipublikasikan peraturan dan panduan teknis terkait pembuatan
perjanjian perkawinan yang mencakup hal-hal yang dapat diperjanjikan, prosedur, dan
hal - hal teknis terkait pembuatan perjanjian perkawinan.
2. Perlu diadakan sosialisasi bagi masyarakat terkait perjanjian perkawinan itu sendiri
khususnya hal-hal yang dapat diperjanjikan.
Daftar Pustaka

A. Peraturan Perundang-undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [Burgerlijke Wetboek], diterjemahkan oleh R.


Soebekti dan R. Tjitrosudibio

Undang-Undang Perkawinan, UU Nomor 1 Tahun 1974. LN Tahun 1974 Nomor 1 TLN


3019.

B. Buku

Alwesius. Hukum Orang dan Kekeluargaan Serta Pembuatan Akta Terkait.


Depok:FHUI, 2022.

Darmabranta, Wahyonodan Surini Ahlan Sjarif. Hukum Perkawinan dan Keluarga


di Indonesia. Jakarta: FHUI, 2015.

Hakim, S.A.. Hukum Perkawinan. s.n.: s.l., 1974.

Hartanto, J. Andy. Hukum Harta Kekayaan Perkawinan (Menurut “Burgerlijk


Wetboek” dan UU Perkawinan).Yogyakarta: Laksbang, 2012.

HR, Damanhuri. Segi-segi Hukum Perjanjian Perkawinan Harta Bersama. cet. Ke


1. Bandung: CV. Manda Maju, 2007.

Kamisa. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Surabaya: PT. Kartika, 1997.

Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum. cetakan ke-11. Jakarta:Kencana,2011.

Muhammad, Abdulkadir.Hukum Perdata Indonesia. Bandung:Citra Aditya Bakti,


1990.

Rasjidi, Lili. Hukum Perkawinan dan Perceraian di Malaysia dan Indonesia.


Bandung:PT Remaja Rosdakarya, 1991.

Saleh, K. Wantjik. Hukum Perkawinan Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia,


Jakarta, 1980.
Situmorang, Victor M. Aspek Hukum Akta Catatan Sipil di Indonesia. Sinar Grafika,
Jakarta, 2002.

Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Penerbit Universitas


Indonesia, 2006.

Subekti. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Bandung: PT Intermasa, 1985.

Susanto, Happy. Pembagian harta Gono Gini Saat Terjadi Perceraian. Jakarta:
Visimedia, 2008.

Weng, Henry Lee A. Beberapa Segi Hukum dalam Perjanjian Perkawinan. dikutip
dari Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di
Indonesia, Prenada Media, Jakarta, 2004.

C. Jurnal

Arief, Hanafi. “Perjanjian dalam Perkawinan (Sebuah Telaah Terhadap Hukum


Positif di Indonesia)” . Al’Adi. Vol. IX No. 2. (2017)

Asyatama, Faradilla. “Analisis Perjanjian Perkawinan menurut Undang-undang


Perkawinan di Indonesia”. Ajudikasi. Vol. 5 No. 2 (2021).

Permatasari,Syarifah Syawallentin. “Pembatalan Perjanjian Perkawinan Karena


Adanya Cacat Kehendak oleh Salah Satu Pihak”. Jurnal Ilmu Kenotariatan. Vol. 1
Issue 1 (2020).

Kualaria, Sulikah. “Perjanjian Perkawinan Sebagai Sarana Perlindungan Hukum


Bagi Para Pihak Dalam Perkawinan”, Jurnal Hukum, terdapat
dalam,http://hukum.studentjournal.ub.ac.id.

Marsidah. “Perjanjian Perkawinan antara Suami Istri Berdasarkan Undang-Undang


Perkawinan”. Solusi. Vol. 18 No. 2. (2020).

Mulia, Nabilah Qisthi. “Implikasi Hukum Pembatalan Perjanjian Pranikah dalam


Perkawinan Campuran”.Gorontalo Law Review. Vol. 4 No. 1. (2021)

Ramadhan, Muhamman Akbar Aulia. “Perjanjian Perkawinan Terhadap Harta yang


Diperoleh Selama Perkawinan Pasca Perceraian”. Repertorium. Vol. 6 No, 2 (2017)
D. Artikel

Adipratama, Yudistira. Perjanjian Perkawinan, Dasar Hukum, Fungsi, Materi yang Diatur,
dan Waktu Pembuatan, terdapat dalam http://www.kcaselawyer.com/seputar-
perjanjian-perkawinan- dasar-hukum-fungsi-materi-yang-diatur-dan-waktu-
pembuatan/. Diakses tanggal 13 Oktober 2018.

Schulefand, Keith B. et al. “The Long and Strange History of Prenuptial Agreement”, Keith
B. Schulefand ESQ, 28 Maret 2018, tersedia pada
https://www.schulefandlawoffice.com/blog/2018/03/the-long-and-strange-history-
of-prenuptial-agreements/ , diakses pada tanggal 27 Maret 2023.

Yannor, Padli. “Menelaah Perkawinan Beda Agama Menurut Hukum Positif”,


Bagian Hukum Setda Kabupaten Tanah Laut, Diakses dari
https://www.jdih.tanahlautkab.go.id/artikel_hukum/detail/menelaah-perkawinan-
beda-agama-menurut-hukum-positif pada 13 April 2023.

Anda mungkin juga menyukai