Anda di halaman 1dari 31

Kajian Yuridis Atas Perjanjian Perkawinan di Tinjau

Dari Undang-Undang Perkawinan Dan Hukum Islam

PROPOSAL SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi


Syarat-syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum

Oleh:

CINDY TRI AFANI


NPM:206000012
BAGIAN HUKUM PERDATA

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SIMALUNGUN
PEMATANGSIANTAR
2024
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan wanita

sebagai suami istri dengan tujuan pembentuk keluarga atau rumah tangga yang

bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang Maha Esa. Ketentuan ini secara

eksplisit tercantum didalam Pasal 1 Ayat 2 Undang-undang nomor 1 Tahun 1974

sebagaimana dirubah dengan Undang-undang nomor 16 Tahun 2019 tentang

perkawinan. Dengan kata lain, perkawinan merupakan persekutuan hiduip antara

pria dan wanita yang dilakukan secara formal melaluli undang-undang.

Definisi perkawinan juga diatur didalam Kompilasi Hukum Islam (HKI) yang

menyebutkan sebuah akan tau perjanjian penyerahan yang kuat atau mitsaqon

ghalidzan dari ayah seorang perempuan kepada seorang laki-laki dengan tujuan

mentaati perintah Allah dan mengamalkan adalah amal sholih, serta perkawinan

untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang Sakinah, mawadah warahmah,

hal ini terdapat dalam pasal 2 dan 3 Kompilasi Hukum Islam.1

Prinsip-prinsip perkawinan berdasarkan undang-undang perkawinan dalam

undamg-undang nomor 1 tahun 1974 yaitu:

1. Agama menentukan syahnya perkawinan

2. Perkawinan bertujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal

3. Monogami terbuka
1
M.H.I Khoirul Anam, S.Sy., ‘STUDI MAKNA PERKAWINAN DALAM PERSEPEKTIF HUKUM DI
INDONESIA ( Komparasi Kitab Undang Undang Hukum Perdata (KUH Per) Dengan Kompilasi
Hukum Islam’, 59–68.
4. Calon suami istri harus matang jiwa raga

5. Mempersukar perceraian

6. Hak dan kewajiban suami istri seimbang

Sedangkan prinsip-prinsip perkawinan berdasar Hukum Islam yaitu:

1. Perkawinan berdasar dan untuk menegakkan Hukum Allah.

2. Ikatan perkawinan adalah untuk selamanya

3. Suami sebagai kepala rumah tangga, istri sebagai ibu rumah tangga, masing-

masing bertanggung jawab

4. Monogami sebagai prinsip, poligami sebagai pengecualian2

Tujuan perkawinan dalam undang-undang perkawinan sebagaimana terdapat

dalam pasal 1 ayat 1 undang-undang nomor 1 tahun 1974 adalah membentuk

keluarga yang bahagian dan kekal.

Sedangkan tujuan perkawian menurut hukum islam sebagai berikut:

1. Menyalurkan seksual yang baik

2. Mendapatkan keturunan

3. Membentuk keluarga yang Sakinah3

Namun didalam perkawinan memungkinkan untuk di lakukan perjanjinan

perkawinan perjanjina perkawinan tidak di jelaskan secara lengkap definisinya di

dalam undng-undang perkawinan. Pengaturan perjanjian perkawinan

mencantumkan keaksahannya, saat berlakuknya, dan tentang dapat di rubahnya

perjanjian itu perjanjian perkawinan secara umum mengatur tentang harta

2
Maslahah, Vol.2, No. 1, Maret 2011, Halaman 65-66.
3
Maslahah, Vol.2, No. 1, Maret 2011, Halaman 64.
kekayaan calon suami istri. Tujuan pembuatan perjanjian perkawinan adalah

untuk mengataur akibat-akibat perkawinan yang menyangkut.4

Dapat di simpulkan perjanjian perkawinan ialah perjanjian(persetujuan) yang

di biat oelh calon suami istri, sebelum atau pada saat perkawinan di langsungkan

untuk mengatur akibat-akibat perkawinan terhadap harta kekayaan mereka5.

Sedangkan didalam kompilasi Hukum Isalam Buku I perkawinan Bab I, Pasal

45 mengatur tentang pekawinan, menyebutkan bahwa kedua calon mempelai

dapat mengadakan perjanjian perkawinan dalam bentuk :

1. Aklik talak

2. Perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan Hukum islam

Berdasarkan latar belakang tersebut diatas maka penulis tertarik unruk

melakukan penelitian dalam bentuk skripsi dalam judul kajian yuridis perjanjian

perkawinan di tinjau dalam undang-undang perkawinan dan hukum islam

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka rumusan masalah

adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana ketentuan hukum perjanjian perkawinan menurut undang-undang

perkawinan?

2. Bagaimana pengaturan perjanjian perkawinan dalam hukum islam?

4
Soetojo Prawirohamijojo, ‘Hukum Orang Dan Keluarga, Surabaya, Airlangga University Fress,
Halaman 87’.
5
Soetojo Prawirohamijojo, ‘Pluralisme Dalam Perundang-Undang Perkawinan Di Indonesia,
Surabaya, Airlangga University Fress, Halaman 57’.
3. Bagaimana penyelesaian sengketa terkait perjanjian perkawinan menurut hukum

islam dan hukum positif?

C. Hipotesa

Hipotesa adalah suatu yang dianggap bentar untuk alasan atau menguatkan

pendapat, meskipun kebenarannya belum dibuktikan. Dapat di tegaskan bahwa

yang dimaksud dengan hipotesa adalah jawaban sementara terhadap suatu

masalah yang masih harus dibuktikan kebenarannya.

Adapun yang menjadi hipotesa dalam penulisan ini adalah sebagai berikut:

1. Ketentuan hukum perjanjian perkawinan menurut undang-undang perkawinan

adalah untuk melindungi harta benda masing-masing pasangan dalam hal

percaraian, perpisahan perjanjian perkawinan dapat menetapkan bagaimana asset

dan hutang akan di bagikan antara kedua belah pihak, mengurangi potensi konflik

dan pertikaian hukum.

2. Perjanjian perkawinan dalam hukum Islam dapat digunakan untuk memperjelas

hak dan kewajiban antara suami dan istri. Misalnya, perjanjian tersebut dapat

mengatur kewajiban suami untuk memberikan nafkah kepada istri dan anak-anak,

serta hak istri terkait warisan dan pemisahan harta.

3. Penyelesaian sengketa terkait perjanjian perkawinan menurut hukum islam adalah

bahwa penyelesaian sengketa perjanjian perkawinan dalam hukum Islam

cenderung menggunakan prinsip-prinsip syariah yang telah diatur dalam Al-

Qur'an dan hadis. Di bawah hukum Islam, penyelesaian sengketa perjanjian

perkawinan dapat mencakup mediasi oleh pemimpin agama atau ahli hukum
Islam, dengan fokus pada prinsip keadilan, kesepakatan yang adil antara kedua

belah pihak, dan pertimbangan terhadap kepentingan keluarga dan anak-anak.

Sedangkan penyelesaian sengketa terkait perjanjian perkawinan menurut

hukum positif adalah bahwa penyelesaian sengketa perjanjian perkawinan dalam

hukum positif cenderung mengikuti prosedur hukum yang telah diatur dalam

perundang-undangan negara yang bersangkutan. Di bawah hukum positif,

penyelesaian sengketa perjanjian perkawinan dapat melibatkan proses pengadilan

dengan persidangan yang diatur oleh undang-undang perkawinan dan hukum

keluarga yang berlaku di negara tersebut. Penyelesaian sengketa dapat mencakup

mediasi, negosiasi yang diatur oleh hukum positif.

D. Batasan Penulisan

Mengingat luasnya pembahasan tentang kajian yuridis atas perjanjian

perkawinan di tinjau dari undang-undang perkawinan dan hukum islam maka

penulisan ini akan di batasi hanya dalam pembahasan kajian yang komprehensif

dan terfokus pada aspek-aspek kunci yang relevan dengan perjanjian perkawinan

dari perspektif yuridis, dengan mempertimbangkan kedua undang-undang

perkawinan dan prinsip-prinsip hukum Islam.

Undang undang nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, dengan

pembatasan demikian di harapkan pembatasan lebih terarah dan pembaca lebih

mudah memahami pembahasannya

E. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui ketenjuan hukum perjanjian perkawinan menurut

undang-undang perkawinan

2. Untuk pengaturan perjanjian perkawinan dalam hukum islam

3. Untuk penyelesaian sengketa terkait perjanjian perkawinan menurut

hukum islam dan hukum positif

F. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Menurut Peter Mahmud Marjuki, penelitian hukum merupakan suatu proses

ilmiah untuk mencari pemecahan atas isi hukum yang mulcul dengan tujuan untuk

memberikan preskipsi mengenai apa yang seyosiannya atas isu hukum yang

muncul6. Penelitian hukum dilakukan untuk menghasilkan argumentasi, teori, atau

konsep dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi.

Penelitian ini termasuk penelitian kepustakaan (library research) penelitian

keputusan adalah penelitian yang dilaksanakan dengan menggunakan literature

(kepustakaan) yaitu penelitian yang bertujuan mendapatkan data sekunder dengan

cara melakukan penelitian terhadap bebrapa buku yang terkait dengan penetapan

perubahan nama.

2. Sifat Penelitian

6
Peter Mahmud Marjuki, ‘Penelitian Hukum, Yuridika, Jakarta, 2001, Halaman 103’.
Dilihat dari sifat penelitiannya ini bersifat yuridis normative karena

penelitiaan ini dilakukan berdasrkan bahan hukum utama dengan cara menelaah

teori-teori, konsep-konsep, atas asas hukum serta peraturan perundang undang-

undangan yang berhubungan dengan penelitian ini.

3. Sumber Data

Untuk membahas dengan masalah yang ada, maka dibutuhkan sumber-sumber

untuk penelitian. Dan sumber data yang dibutuhkan adalah sumber data primer,

sekunder dan Tersier

a. Sumber hukum perimer merupakan, sumber yang mengikat yaitu

Undang-undang perkawinan No.16 Tahun 2019 dan Hukum Islam

b. Sumber hukum sekunder merupakan, yang memperkuat sumber data

primer (buku-buku, jurnal hukum, makalah dan lainnya).

c. Sumber hukum tersier yaitu bahan-bahan yang memberikan

informasi tentang sumber hukum primer dan sumber hukum

sekunder

4. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data ialah cara-cara yang dilakukan untuk memperoleh

data suatu penelitian. Metode pengumpulan data yang akan dipergunakan dalam

penelitian ini adalah metode kepustakaan yaitu penelitian yang didasarkan pada

tinjau literatur dan pengumpulan data di lapangan di Pengadilan Agama

Simalungun. Penelitian keputusan dilakukan dengan mempelajari buku-buku


referensi perpustakaan, yaitu berupa peraturan perundang-undangan dan

dokumen-dokumen yang akan diteliti.

5. Metode Analisis Data

Metode yang digunakan dalam analisis data pada penelitian ini adalah analisis

deskriptif yaitu mengambil kebenaran yang diperoleh dari kepustakaan dengan

menggabungkan antara peraturan-peraturan, buku-buku ilmiah yang ada

hubungannya dengan permasalahn dalam penelitian ini agar mendapatkan suatu

pemecahan dan dapat di tarik kesimpulan. Adapun metode pendekatan masalah

alam penelitian ini adalam metode yuridis normative yaitu bertujuan

mendeskripsikan peraturan perundang-undang yang berkaitan kajian tentang

perjanjian perkawinan berdasarkan undang-undang perkawinan dan hukum islam.

Data yang dikumpulkan termasuk data lapangan Pengadilan Agama selanjutnya di

analisis secara kualitatif, sehingga mendapatkan jawaban terhadap permasalahan

skripsi ini.
BAB II

PERJANJIAN PERKAWINAN MENURUT UNDANG-


UNDANG PERKAWINAN

A. Pengertian Perkawinan

Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang peria dengan wanita

sebagai suami istri dengan tujuan pembentuk keluarga atau rumah tangga yang

bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang Maha Esa 7. Perkawinan adalah

perilaku mahluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa agar kehidupan di alam dunia

berkembang baik. Perkawinan bukan saja terjadi di kalangan manusia, tetapi juga

terjadi pada tanaman tumbuhan dan hewan. Oleh karena itu manusia adalah

hewan yang berakal, maka perkawinan merupakan salah satu budaya yang

beraturan yang mengikuti perkembangan budaya manusia dalam kehidupan

masyarakat. Dalam masyarakat sederhana budaya perkawinannya sederhana,

sempit dan tertutup, dalam masyarakat yang maju (modern) budaya

perkawinannya maju, luas dan terbuka8

Pada pasal 1 Undang-undang Nomor 1Tahun 1974 tidak hanya merumuskan

arti perkawinan, melainkan terdapat pula tujuan perkawinan. Tujuan perkawinan

menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 telah dirumuskan sangat ideal

karena tidak hanya melihat dari segi lahir saja melainkan sekaligus terdapat suatu

7
Bing Waluyo, ‘SAHNYA PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974
TENTANG PERKAWINAN Bing’, 2.April (2020), 193–99.
8
Santoso, ‘Hakekat Perkawinan Menurut Undang-Undang Perkawinan, Hukum Islam Dan Hukum
Adat’.
pertautan batin antara suami dan istri yang ditujukan untuk membina suatu

keluarga atau rumah tangga yang kekal dan bahagia bagi keduanya dan yang

sesuai dengan kehendak Tuhan Yang Maha Esa.9

Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa

perkawinan hanya diizinkan apabila pihak pria mencapai umur 19 (sembilan

belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 (enam belas) tahun,

ketentuan tersebut memungkinkan terjadinya perkawinan dalam usia anak pada

anak wanita karena dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang tentang Perubahan

Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Pelindungan Anak

didefinisikan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas)

tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 berdasarkan Pasal 2 sahnya

perkawinan 1. Apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan

kepercayaanya itu. 2. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan pertundang-

undangan yang berlaku.

B. Perjanjian Perkawinan Menurut Undang-undang Perkawinan

Perjanjian perkawinan dalam Bahasa Inggris disebut juga dengan Prenuptial

Agreement. Pengertian perjanjian perkawinan sendiri tidak terdapat penjelasan

dalam Undang-Undang Perkawinan, melainkan hanya disebutkan mengenai

istilahnya saja dan diatur mengenai keabsahannya, saat berlakunya, serta dapat

diubahnya perjanjian tersebut. Soetojo Prawirohamidjojo mengemukakan bahwa


9
Trusto Subekti, ‘SAHNYA PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN’, 1975,
329–38.
perjanjian perkawinan merupakan perjanjian atau persetujuan yang dibuat oleh

calon suami isteri, sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan untuk

mengatur akibat-akibat perkawinan terhadap harta kekayaan10.

Tidak semua perkawinan sesuai dengan yang diharapkan dalam mewujudkan

kehidupan keluarga (berumah tangga) yang damai, bahagia, harmonis, dan kekal

selama-lamanya. Terkadang faktor ketidakcocokan satu sama lain seringkali

mempengaruhi kehidupan berumah tangga dalam suatu perkawinan, ada rasa

kekhawatiran pasangan suami istri atas hal-hal yang mungkin terjadi dalam rumah

tangga yang berujung timbulnya perceraian. Sehingga saat ini tidak sedikit

pasangan suami istri yang mengikat perkawinannya dengan sebuah perjanjian

sebagai langkah antisipasi pada hal-hal yang tidak diinginkan dalam sebuah

perkawinan.

Secara umum, perjanjian perkawinan berisi tentang pengaturan harta kekayaan

calon suami istri. Tujuan perjanjian perkawinan adalah untuk mengatur akibat-

akibat perkawina yang menyangkut harta kekayaan. Beberapa manfaat dari

dibuatnya perjanjian perkawinan antara lain:

1. Memisahkan harta kekayaan suami dan istri sehingga tidak terjadi

percampuran harta kekayaan, sehingga apabila suatu saat terjadi perceraian

diantara keduanya, masing-masing harta tetap dalam penguasaan masing-

masing dan meminimalisir adanya konflik harta gono-gini;

2. Masalah hutang yang dibuat dalam perkawinan akan menjadi tanggung

jawab masing-masing

10
Fully Handayani Ridwan Faradilla Asyatama, ‘ANALISIS PERJANJIAN PERKAWINAN MENURUT
UNDANG-UNDANG PERKAWINAN DI INDONESIA 1Faradilla’, 5.69 (2021), 109–22.
3. Apabila salah satu dari suami atau istri hendak mengalihkan dan/atau

menjual harta kekayaan serta hendak melakukan suatu tindakan hukum

tentang harta kekayaannya tidak diperlukan adanya izin dari pasangan

(istri/suami dan

4. Tidak perlu adanya izin terlebih dahulu dari pasangan mengenai fasilitas

kredit yang suami/istri ajukan dalam hal menjaminkan aset yang terdaftar

atas namanya.11

Dalam kehidupan perkawinan, selain masalah hak dan kewajiban sebagai

suami dan istri, masalah harta benda dan kekayaan seringkali menjadi faktor

penyebab berbagai perselisihan atau ketegangan dalam suatu perkawinan, bahkan

menghilangkan kerukunan antara suami dan istri dalam kehidupan berkeluarga.

Maka dari itu, pembuatan perjanjian perkawinan dapat menghindari hal tersebut.

Syarat syarat perjanjian perkawinan ini juga ada diatur dalam UU Perkawinan

No 1 Tahun 1974 pasal 29 yang antara lain:

1. Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas

persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan

oleh pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga

terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.

11
Fully Handayani Ridwan Faradilla Asyatama, ‘ANALISIS PERJANJIAN PERKAWINAN MENURUT
UNDANG-UNDANG PERKAWINAN DI INDONESIA 1Faradilla’, 5.69 (2021), 109–22.
2. Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas

hukum, agama, dan kesusilaan.

3. Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan

4. Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat diubah,

kecuali bila kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan

perubahan tidak merugikan pihak ketiga.12

Suatu perjanjian perkawinan agar mengikat dengan pihak ketiga maka harus

memenuhi prinsip publisitas. Prinsip Publisitas sangat diperlukan dalam

perjanjian perkawinan, wujud prinsip pubisitas pada perjanjian perkawinan adalah

pencatatan perjanjian perkawinan. Dalam suatu Pencatatan Perjanjian perkawinan

sebagaimana telah diatur dalam Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia

Nomor 20 Tahun 2019 Tentang Pencatatan Pernikahan (Selanjutnya disebut

Permenag RI No. 20/2019), bagi yang beragama Islam pencatatan perjanjian

perkawinan harus dibuat dalam bentuk akta notaris dan dicatatkan pada Kepala

KUA Kecamatan/PPN LN. Hal ini pula dicantumkan dalam Surat Edaran

472.2/5876/Dukcapil Tentang Pencatatan Pelaporan Perjanjian Perkawinan bagi

yang beragama Non-Islam, dapat membuat perjanjian perkawinan yang bentuknya

harus berupa akta notaris, lalu dapat dicatatkan pada Dinas Kependudukan dan

Catatan Sipil.13

12
Puji Kurniawan, ‘Perjanjian Perkawinan; Asas Keseimbangan Dalam Perkawinan’, 2020, 125–37.
13
Raden Ajeng Cendikia Aurelie Maharani, ‘Akta Penegasan Perjanjian Perkawinan Kaitannya
Dengan Pemenuhan Prinsip Publisitas Raden’, 4.2 (2021), 285–312
<https://doi.org/10.20473/ntr.v4i2.27168>.
C. Ketentuan Hukum Perjanjian Perkawinan

Peraturan perundang-undangan terkait dengan perjanjian perkawinan di

Indonesia diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata)

yang termaktub dalam Bab VII Pasal 139 sampai dengan Pasal 179 dan Bab VIII

Pasal 180, 182, 185; Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

yang termaktub dalam Pasal 29; Kompilasi Hukum Islam yang diatur dalam Pasal

45 sampai dengan 52. Perjanjian perkawinan hanya dapat dibuat pada waktu atau

sebelum perkawinan dilangsungkan akan tetapi pasca keluarnya putusan MK,

Pasal 29 UU Perkawinan ayat (1) penambahan frasa “…perjanjian tertulis yang

disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau notaris”. Sebelum adanya

putusan ini, pengesahan perjanjian perkawinan hanya dapat dilakukan oleh

pegawai pencatat perkawinan. Akan tetapi pasca putusan MK, notaris juga

diberikan kewenangan untuk mengesahkan perjanjian perkawinan.14

Terbitnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 tentang

ketentuan baru pembuatan perjanjian perkawinan, bahwa perjanjian perkawinan

dapat dibuat tidak hanya sebelum terjadinya perkawinan namun dimungkinkan

untuk dibuat pada saat dan setelah terjadinya perkawinan. Terbitnya putusan

Mahkamah Konstitusi tersebut memberikan perubahan norma terhadap perjanjian

perkawinan15.

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dalam perkara Pengujian Undang-

Undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan sebagaimana tertuang dalam

14
Yenni Ananda Putri Pulungan, ‘Kajian Hukum Perjanjian Perkawinan Yang Dibuat Setelah
Perkawinan Tanpa Didaftarkan Pada Pencatatan Perkawinan’, 1.2 (2022), 287–95.
15
Yenni Ananda Putri Pulungan, ‘Kajian Hukum Perjanjian Perkawinan Yang Dibuat Setelah
Perkawinan Tanpa Didaftarkan Pada Pencatatan Perkawinan’, 1.2 (2022), 287–95.
register putusan nomor 69/PUU-XIII/2015 tanggal 27 oktober 2016, yang mana

kaidah normative yang dimohon judicial review, antara lain:

a. Pasal 29 Ayat 1, Ayat 3 dan Ayat 4 UU. No. 1 Tahun 1974

1) Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas

persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang

disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya

berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.

2) Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-

batas hukum, agama dan kesusilaan.

3) Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.

4) Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat diubah,

kecuali bila kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan

perubahan tidak merugikan pihak ketiga.

b. Pasal 35 ayat 1 UU. No. 1 Tahun 1974

Harta berda yang diperoleh selama perkawinan merupakan harta

Bersama16.

Secara umum hal-hal yang diatur dalam Bab ketujuh dan Bab kedelapan mulai

Pasal 139 sampai dengan Pasal 185 adalah sebagai berikut:

1. Perjanjian kawin dapat menyimpangi peraturan perundang-undangan

mengenai persatuan harta kekayaan, asalkan tidak melanggar kesusilaan,

ketertiban umum, dan ketentuan perjanjian kawin yang diatur dalam BW.

16
A. Qadir Gassing Ahmad Assidik, ‘TINJAUAN HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF TERHADAP
PRENUPTIAL AGREEMENT ATAU PERJANJIAN PRA NIKAH’, 1–16.
2. Perjanjian kawin tidak boleh memperjanjikan bahwa perkawinan akan

diatur oleh undang-undang luar negeri, atau adat kebiasaan dan peraturan-

peraturan perundang-undangan yang dahulu pernah berlaku di Indonesia.

3. Perjanjian kawin harus dibuat dengan akta notaris sebelum perkawinan

berlangsung.

4. Perjanjian kawin berlaku sejak saat perkawinan dilangsungkan.

5. Atas kesepakatan kedua calon mempelai, perjanjian kawin dapat diubah

sebelum perkawinan dilangsungkan.

6. Perjanjian kawin tidak dapat diubah setelah perkawinan dilangsungkan.

7. Perjanjian kawin berlaku mengikat pihak ketiga setelah didaftarkan di

kepaniteraan Pengadilan Negeri.

8. Perjanjian kawin tidak berlaku apabila tidak diikuti dengan perkawinan.17

Sebagaimana dirumuskan pada Pasal 139 BW, kedua calon mempelai

diberikan peluang untuk membuat perjanjian kawin dengan menyimpangi

peraturan undang-undang sekitar persatuan harta kekayaan. BW menyebut

penyimpangan ini sebagai hak, ketentuan Perjanjian Kawin dalam BW merupakan

regelend recht, yaitu ketentuan undang-undang yang bersifat mengatur, sehingga

dapat disimpangi.

Namun demikian, meskipun kedua calon mempelai diberikan hak untuk

menyimpangi peraturan undang-undang, BW melarang kedua calon mempalai

memperjanjikan bahwa ikatan perkawinan mereka akan diatur oleh undang-

undang luar negeri, atau adat kebiasaan dan peraturan-peraturan perundang-


17
Mohammad Zamroni ; Andika Persada Putra, ‘KEDUDUKAN HUKUM PERJANJIAN KAWIN YANG
DIBUAT SETELAH PERKAWINAN DILANGSUNGKAN’, XI (2019), 114–36.
undangan yang dahulu pernah berlaku di Indonesia. Hal ini ditegaskan pada Pasal

143 BW.18

Perjanjian perkawinan merupakan salah satu jenis perjanjian dalam lapangan

hukum keluarga yang bersumber dan tunduk pula pada ketentuan dalam KUH

Perdata. Pasal 139 KUH Perdata menyebutkan para calon suami-istri, dengan

perjanjian kawin dapat menyimpang dari peraturan undang-undang mengenai

harta-bersama, asalkan hal itu tidak bertentangan dengan tata-susila yang baik

atau dengan tata-tertib umum, dan diindahkan pula ketentuan-ketentuan berikut.

Dalam Pasal 1320 KUH Perdata, disebutkan bahwa untuk sahnya suatu perjanjian

di perlukan empat syarat, yaitu:

a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan

c. Suatu hal tertentu

d. Suatu sebab yang halal19

Perjanjian perkawinan menurut Pasal 29 Bab V Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974 tentang perkawinan bahwa: “pada waktu sebelum perjanjian

berlangsung, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian

tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya

berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut”.

Berdasarkan pasal di atas, tidak jelas maksud dari perjanjian perkawinan tersebut.

Perjanjian dalam pasal 29 ini jauh lebih sempit oleh karena hanya meliputi

18
Mohammad Zamroni ; Andika Persada Putra, ‘KEDUDUKAN HUKUM PERJANJIAN KAWIN YANG
DIBUAT SETELAH PERKAWINAN DILANGSUNGKAN’, XI (2019), 114–36.
19
Cokorde Istri Dian Laksmi Dewi, ‘SISTEM HUKUM DALAM PERJANJIAN PERKAWINAN PADA
PERKAWINAN CAMPURAN’, 16.2 (2022), 153–60.
Verbintenissen yang bersumber pada persetujuan saja Overenkomsten dan pada

perbuatan yang tidak melawan hukum.20

Adapun dalam Pasal 147 KUHPerdata, perjanjian perkawinan harus dibuat

dengan akta Notaris. Akta Notaris harus dibuat sebelum dilangsungkannya

perkawinan.Perjanjian kawin mulai pada saat perkawinan dilangsungkan.Dengan

demikian, maka akta Notaris itu adalab syarat mutlak tentang adanya perjanjian

kawin.

Pasal 149 KUHPerdata, setelah dilangsungkannya perkawinan, perjanjian

kawin tidak dapat diubah lagi dengan cara bagaimanapun juga. Jika apabila ada

perceraian dan kemudian kawin lagi, hal itu tidak boleh dipakai alas an untuk

mengubah perjanjian kawin yang dahulu.

BAB III
Perjanjian Perkawinan Menurut Hukum Islam

A. Perkawinan Dan Sumber Hukum Perkawinan Hukum Islam

Berdasarkan Al-Qur’an dan Hadist, pernikahan berasal dari kata an-nikh dan

azziwaj yang memiliki arti melalui, menginjak, berjalan di atas, menaiki, dan

bersenggema atau bersetubuh. Di sisi lain nikah juga berasal dari istilah Adh-

dhammu, yang memiliki arti merangkum, menyatukan dan mengumpulkan serta


20
A. Qadir Gassing Ahmad Assidik, ‘TINJAUAN HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF TERHADAP
PRENUPTIAL AGREEMENT ATAU PERJANJIAN PRA NIKAH’, 1–16.
sikap yang ramah. Sedangkan menurut istilah lain juga dapat berarti akad nikah

(Ijab Qobul) yang menghalalkan pergaulan antara laki-laki dan perempuan yang

bukan muhrim sehingga menimbulkan hak dan kewajiban diantara keduanya yang

diucapkan oleh kata-kata, sesusai peraturan yang diwajibkan oleh Islam. Kata

zawaj digunakan dalam al-Quran artinya adalah pasangan yang dalam

penggunaannya pula juga dapat diartikan sebagai pernikahan.21

Dari pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa inti pokok dari pernikahan

adalah akad, yaitu serah terima antara wali calon mempelai perempuan dengan

calon mempelai laki-laki. Penyerahan dan penerimaan tanggungjawab dalam arti

yang luas untuk mencapai satu tujuan. Nikah merupakan awal kehidupan baru

bagi dua insan yang semula hidup sendiri-sendiri kemudian hidup bersama.

Dengan menikah akan lahirlah generasi baru untuk melanjutkan generasi

sebelumnya22

Dalam pandangan Islam, nikah di samping sebagai perbuatan ibadah, juga

merupakan sunnah Allah dan sunnah Rasul-Nya. Sebagai sunnah Allah,

Pernikahan merupakan qudrat dan irodat Allah dalam penciptaan alam semesta.

Hal ini dapat kita lihat dari firman Allah dalam surat Yasin yang artinya “Maha

Suci Allah yang telah menciptakan makhluknya berpasangan-pasangan semuanya,

baik dari apa yang dikeluarkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa

yang tidak mereka ketahui” (Q.S. Yasin: 36)23

Pada dasarnya hukum Islam sudah mengatur tentang pernikahan sesuai

dengan syari’at. Nikah adalah salah unsur pokok dalam kehidupan masyarakat
21
Ali Sibra Malisi, ‘PERNIKAHAN DALAM ISLAM’, 2022, 5–11.
22
Ali Sibra Malisi, ‘PERNIKAHAN DALAM ISLAM’, 2022, 5–11.
23
Al-Qur’an Surat Yasin Ayat 36.
yang sempurna. Karakteristik khusus dari Islam adalah bahwa setiap ada perintah

yang harus dikerjakan umatnya pasti telah ditentukan oleh agama, dan adanya

hikmah yang dikandung dari perintah tersebut. Maka tidak ada satu perintah

dalam berbagai kehidupan ini, baik yang menyangkut ibadah secara khusus seperti

perintah shalat, puasa, haji, dan lain-lain.

Menikah merupakan perintah dari Allah Swt. Seperti dalil berikut ini: “Dan

Allah menjadikan bagimu pasangan (suami atau isteri) dari jenis kamu sendiri dan

menjadikan anak dan cucu bagimu dari pasanganmu, serta memberimu rizki dari

yang baik. Mengapa mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat

Allah?” Q.S. An-Nahl: 7224

Sebagaimana ibadah lainnya, pernikahan memiliki dasar hukum yang

menjadikannya disarankan untuk dilakukan oleh umat Islam. Adapun dasar

hukum pernikahan berdasarkan Al Qur’an dan Hadits adalah sebagai berikut:

“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah

menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan

isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan

perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan

(mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan

(peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan

mengawasi kamu” (Q.S. An-Nisaa’ :1).25

”Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan orang-

orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan

24
Al-Qur’an Surat An-Nahl Ayat 72.
25
Al-Qur’an Surat An-Nisaa Ayat 1.
hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan

memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-

Nya) lagi Maha mengetahui”(Q.S. An-Nuur: 32)26

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu

isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram

kepadanya, dan dijadikan- Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya

pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang

berfikir”. (Q.S. Ar-Ruum: 21).27

B. Perjanjian Perkawian di Dalam Hukum Islam

Perjanjian perkawinan juga dapat mengatur terkait hal-hal lain selain tentang

harta dalam perkawinan, seperti terkait harta para pihak yang didapat sebelum dan

saat perkawinan atau pasca perceraian, terkait taklik talak, terkait hak asuh anak,

terkait tanggung jawab penyelesaian tugas rumah tangga, dan permasalahan

lainnya yang dapat dibuat pada perjanjian perkawinan asalkan yang diatur tersebut

tidak melanggar hukum yang berlaku. Zaman ini banyak perkawinan yang terjalin

tanpa mengutamakan moral agama, etika, norma, atau kesusilaan di dalam

kehidupan bermasyarakat. Cinta dan kasih sayang bukan lagi menjadi dasar dalam

terjalinnya pernikahan, seringkali perkawinan hanya dijadikan sebuah alat tertentu

dalam mencapai kekayaan, status, hingga jabatan

26
Al-Qur’an Surat An-Nuur Ayat 32.
27
Al-Qur’an Surat Ar-Ruum Ayat 21.
Perjanjian dan perikatan adalah kedua hal yang saling berkaitan. Hubungan

antara perikatan dan perjanjian adalah bahwa sebuah perjanjian itu menerbitkan

perikatan. Perjanjian adalah salah satu sumber dari sebuah perikatan. Dapat

dikatakan bahwa perjanjian adalah sumber yang terpenting melahirkan sebuah

perikatan28

Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih

mengikatkan dirinya pada satu orang atau lebih lainnya. Perjanjian merupakan

tindakan hukum dua belah pihak karena perjanjian adalah proses penyesuaian

kehendak (konsensualisme) kedua belah pihak yang menghasilkan sebuah

hubungan perikatan. Dalam perjanjian, kesepakatan yang dicapai oleh para pihak

maka telah melahirkan kewajiban kepada pihak pihak yang telah berjanji untuk

memberikan sesuatu, melakukan atau berbuat sesuatu, atau untuk tidak melakukan

atau berbuat sesuatu29

Pandangan Hukum Islam terhadap perjanjian pra nikah Hukum Islam

walaupun tidsk tegas dinyatakan sebelum atau ketika perkawinan langsung

diadakan perjanjian sebangai syarat perkawinan berdasarkan hadis Nabi. Namun

dalam penerapan perjanjian itu terdapat perbedaan pendapat antara ulama mazhab

Syafi’I, Hanafi, Maliki dan Hambali perjanjian itu sebagai berikut:

1. Perjanjian tentang perjanjian suami terhadap isteri ialah seperti membeli

pakaian, memberi nafkah dan menyediakan rumah kediaman. Sepakat para

ulama perjanjian ini wajib dipenuhi oleh suami terhadap isteri.

28
SYAHBANA MUDA MULIA, ‘ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP SUBSTANSI TAKLIK TALAK
SEBAGAI BENTUK PERJANJIAN PERKAWINAN DALAM PASAL 45 KHI’, 2020.
29
SYAHBANA MUDA MULIA, ‘ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP SUBSTANSI TAKLIK TALAK
SEBAGAI BENTUK PERJANJIAN PERKAWINAN DALAM PASAL 45 KHI’, 2020
2. Perjanjian bahwa isteri tidak boleh dikeluarkan dari rumah tangannya,

tidak boleh dibawa merantau, isteri tidak boleh dimadu. Menurut imam

Hambali perjanjian ini wajib dipenuhi suami, tetapi menurut Syafi’I,

Hanafi dan Maliki suami tidak wajib memenuhi perjanjian itu.

3. Perjanjian tentang suami harus menceraikan lebih dulu isteri yang ada

untuk melangsungkan perkawinan yang baru. Sepakat para ulama tidak

wajib dipenuhi, karena ada larangan dari nabi merubuhkan rumah tangga

yang sudah ada.

4. Perjanjian yang menyatakan bahwa mas kawin tidak akan dibayar suami,

nafkah tidak diberikan suami, isteri tidak mendapat giliran yang sama, suami

hanya semalam saja datang pada isteri dalam satu minggu, isteri yang akan

menafkahi suami dan sebagainya. Sepakat para ulama perjanjian tersebut

batal dengan sendirinya tidak wajib dipenuhi karena tidak sah.

5. Perjanjian yang bersifat kawin sementara (seminggu atau dua minggu

saja), nikah mut’ah atau yang dinyatakan setelah bersetubuh boleh bercerai

nikah muhallil atau perjanjian dimana suami terlebih dulu agar

mengawinkan anak wanitanya dengan wali si wanita tanpa mas kawin atau

nikah syighar. Perjanjian batal dengan sendirinya karena tidak sah.30

Perjanjian perkawinan dalam pengertian Kompilasi Hukum Islam merupakan

suatu kesepakatan bersama bagi calon suami dan calon istri yang harus dipenuhi

apabila mereka sudah menikah, tetapi jika salah satu tidak memenuhi ataupun

melanggar perjanjian perkawinan tersebut maka salah satunya bisa menuntut

30
A. Qadir Gassing Ahmad Assidik, ‘TINJAUAN HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF TERHADAP
PRENUPTIAL AGREEMENT ATAU PERJANJIAN PRA NIKAH’, 1–16.
meminta untuk membatalkan perkawinannya begitu juga sebaliknya, sebagai

sanksi atas tidak dipenuhinya perjanjian perkawinan tersebut (Pasal 51 KHI).31

Terdapat tiga bentuk perjanjin pernikahan yang dikenal dalam literatur fikih,

Pertama, syarat yang dapat mengukuhkan tujuan, prinsip dan syarat yang telah

ditetapkan secara jelas dalam syariat Islam yang bisa membawa kebaikan pada

perkawinan. Misalnya, perjanjian yang berisi tentang komitmen mu’asyarah bil

ma’ruf (pergaulan yang baik) dalam rumah tangga, memberi nafkah dan tempat

tinggal yang layak. Para ulama sepakat bahwa perjanjian semacam ini wajib untuk

dipenuhi.

Kedua, perjanjian nikah yang bertentangan dengan asas dan prinsip pernikhan.

Mislanya, syarat untuk tidak memberi mahar, tidak memberi nafkah, atau syarat

dan bentuk perjanjian lain yang dapat menafikan tujuan dan prinsip perkawinan.

Syarat ini tidak boleh dipenuhi secara mutlak berdasarkan kesepakatan para

ulama. Syarat untuk tidak memberi mahar tentu dapat membatalkan transaksi

sebuah pernikahan karena jelas bententangan dengan kewajiban dan konsekuensi

hukum sebuah pernikahan. Argumentasi yang dikemukakan para ulama terkait

syarat menceraikan istri lainnya, yaitu hadis Nabi riwayat Abu Huarirah “Dari

Abu Hurairah ra., dari Nabi SAW bersabda: Tidak dihalalkan bagi seorang wanita

meminta (kepada suaminya) agar menceraikan saudara perempuannya (istrinya

yang lain), untuk mengosongkan piringnya (memiliki suaminya sepenuhnya),

akan tetapi dia memiliki apa yang sudah ditakdirkan kepadanya.”

31
SYAHBANA MUDA MULIA, ‘ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP SUBSTANSI TAKLIK TALAK
SEBAGAI BENTUK PERJANJIAN PERKAWINAN DALAM PASAL 45 KHI’, 2020
Ketiga, perjanjian nikah yang tidak membatalkan akad pernikahan namun

dapat melahirkan maslahat bagi salah satu pasangan suami istri. Mislanya, istri

mensyaratkan agar tidak ada perempuan lain dalam pernikahannya (tidak

“dimadu”), atau istri mensyaratkan tidak akan berpindah rumah mengikuti

suaminya. Model syarat seperti ini masih diperdebatkan (mukhtalaf) di kalangan

ulama.32

C. Ketentuan Normatif Perjanjian Perkawinan Menueut Hukum Islam

Hukum Islam tidak mengatur secara khusus mengenai perjanjian perkawinan.

Secara umum masalah perjanjian dapat dilihat dalam Al-Qur'an Surah Al Maidah

ayat (1) yang artinya:

"Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu. Dihalalkan

bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu (yang

demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang

mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum

menurut yang dikehendakinya"(QS Al Maidah:1)33

Menurut Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, lafadz “penuhilah akad-

akad itu” mengandung pengertian, bahwa segala janji yang telah diperbuat dan

yang telah diikat antara 4 manusia demi kepentingan pergaulan sesama manusia

mestilah dipenuhi34.
32
Istianah, ‘Monogami Dalam Perjanjian Perkawinan (Kajian Hukum Islam Dan Perundang-
Undangan Di Indonesia)’, 17 (2019), 173–90.
33
Indira Hastuti, ‘PERLINDUNGAN HUKUM BAGI SUAMI ISTERI DALAM PELAKSANAAN
PERJANJIAN PERKAWINAN MENURUT HUKUM ISLAM’, 18.1 (2020), 62–69.
34
Indira Hastuti, ‘PERLINDUNGAN HUKUM BAGI SUAMI ISTERI DALAM PELAKSANAAN
PERJANJIAN PERKAWINAN MENURUT HUKUM ISLAM’, 18.1 (2020), 62–69.
Berdasarkan Ayat di atas,perjanjina yang diperbuat antara dua orang atau

lebih, antara suami dan istri adalah sah siapapun yang membuat perikatan

berdasarkan perjanjian berarti mempunya perjanjian berdasrkan Syariat Islam.

Berdasarkan Al’Quran surat Al Maidah Ayat 1 maka perjanjian yang dibuat dalam

suatu perkawinan adalah sah sepanjang memenuhi syarat sahnya perjanjian

Hukum Islam.

Pasal 51 Kompilasi Hukum Islam (KHI) menetapkan, bahwa jika perjanjian

perkawinan atau Taklik Talak dilanggar, maka berhak meminta pembatalan nikah

atau mengajukannya sebagai alasan gugatan perceraian ke Pengadilan Agama.

Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan KHI, batalnya atau

terhapusnya suatu perjanjian perkawinan yaitu karena:

1. Suami atau istri melanggar apa yang sudah diperjanjikan

2. Suami atau istri tidak memenuhi salah satu syarat dalam perjanjian

perkawinan.

Adanya perjanjian kawin melahirkan akibat hukum karena perjanjian tersebut

dikehendaki oleh para pihak. Sebagai sebuah perjanjian maka bila salah satu

pihak melakukan pelanggaran (ingkar janji) dapat dilakukan gugatan cerai atau

ganti rugi. Karena masih saja memikirkan harta sedangkan sudah saling terikat.

Hal ini berarti ada indikasi untuk melakukan perceraian atau memang

sejak awal motivasi perkawinan tersebut adalah motivasi ekonomi atau politis.

Selanjutnya, dalam ketentuan hukum perjanjian perkawinan disamakan

dengan perjanjian lain pada umumnya, jadi akibat hukumnya pun sama
selayaknya perjanjian lain, yakni wajib dipenuhi selama tidak ada ketentuan

syara’yang melarangnya. Dalam Kompilasi Hukum Islam disebutkan;

Pasal 46

1. Isi ta’lik tidak boleh bertentangan dengan Hukum Islam

2. Apabila keadaan yang diisyaratkan dalam ta’lik talak betul-betul

terjadi kemudian, tidak dengan sendirinya talak jatuh. Supaya talak

sungguh-sungguh jatuh, istri harus mengajukan persoalannya ke

Pengadilan Agama.

3. Perjanjian ta’lik talak bukan salah satu yang wajib diadakan pada

setiap perkawinan, akan tetapi sekali ta’lik talak sudah diperjanjikan

tidak dapat dicabut kembali.35

35
Iin Ratna Sumirat, ‘Pelanggaran Perjanjian Perkawinan Serta Akibat Hukumnya Analisis Hukum
Positif Dan Hukum Islam’, 1, 279–301.
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Assidik, A. Qadir Gassing, ‘TINJAUAN HUKUM ISLAM DAN

HUKUM POSITIF TERHADAP PRENUPTIAL AGREEMENT ATAU

PERJANJIAN PRA NIKAH’, 1–16

Al-Qur’an Surat An-Nahl Ayat 72

Al-Qur’an Surat An-Nisaa Ayat 1

Al-Qur’an Surat An-Nuur Ayat 32

Al-Qur’an Surat Ar-Ruum Ayat 21

Al-Qur’an Surat Yasin Ayat 36

Dewi, Cokorde Istri Dian Laksmi, ‘SISTEM HUKUM DALAM PERJANJIAN

PERKAWINAN PADA PERKAWINAN CAMPURAN’, 16.2 (2022), 153–

60

Faradilla Asyatama, Fully Handayani Ridwan, ‘ANALISIS PERJANJIAN

PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG PERKAWINAN DI

INDONESIA 1Faradilla’, 5.69 (2021), 109–22

Hastuti, Indira, ‘PERLINDUNGAN HUKUM BAGI SUAMI ISTERI DALAM

PELAKSANAAN PERJANJIAN PERKAWINAN MENURUT HUKUM

ISLAM’, 18.1 (2020), 62–69


Istianah, ‘Monogami Dalam Perjanjian Perkawinan (Kajian Hukum Islam Dan

Perundang-Undangan Di Indonesia)’, 17 (2019), 173–90

Khoirul Anam, S.Sy., M.H.I, ‘STUDI MAKNA PERKAWINAN DALAM

PERSEPEKTIF HUKUM DI INDONESIA ( Komparasi Kitab Undang

Undang Hukum Perdata (KUH Per) Dengan Kompilasi Hukum Islam’, 59–

68

Kurniawan, Puji, ‘Perjanjian Perkawinan; Asas Keseimbangan Dalam

Perkawinan’, 2020, 125–37

Maharani, Raden Ajeng Cendikia Aurelie, ‘Akta Penegasan Perjanjian

Perkawinan Kaitannya Dengan Pemenuhan Prinsip Publisitas Raden’, 4.2

(2021), 285–312 <https://doi.org/10.20473/ntr.v4i2.27168>

Malisi, Ali Sibra, ‘PERNIKAHAN DALAM ISLAM’, 2022, 5–11

Maslahah, Vol.2, No. 1, Maret 2011, Halaman 64

———, Vol.2, No. 1, Maret 2011, Halaman 65-66

MULIA, SYAHBANA MUDA, ‘ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP

SUBSTANSI TAKLIK TALAK SEBAGAI BENTUK PERJANJIAN

PERKAWINAN DALAM PASAL 45 KHI’, 2020

Peter Mahmud Marjuki, ‘Penelitian Hukum, Yuridika, Jakarta, 2001, Halaman

103’

Prawirohamijojo, Soetojo, ‘Hukum Orang Dan Keluarga, Surabaya, Airlangga

University Fress, Halaman 87’

———, ‘Pluralisme Dalam Perundang-Undang Perkawinan Di Indonesia,

Surabaya, Airlangga University Fress, Halaman 57’


Pulungan, Yenni Ananda Putri, ‘Kajian Hukum Perjanjian Perkawinan Yang

Dibuat Setelah Perkawinan Tanpa Didaftarkan Pada Pencatatan Perkawinan’,

1.2 (2022), 287–95

Putra, Mohammad Zamroni ; Andika Persada, ‘KEDUDUKAN HUKUM

PERJANJIAN KAWIN YANG DIBUAT SETELAH PERKAWINAN

DILANGSUNGKAN’, XI (2019), 114–36

Santoso, ‘Hakekat Perkawinan Menurut Undang-Undang Perkawinan, Hukum

Islam Dan Hukum Adat’

Subekti, Trusto, ‘SAHNYA PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG

NOMOR 1 TAHUN’, 1975, 329–38

Sumirat, Iin Ratna, ‘Pelanggaran Perjanjian Perkawinan Serta Akibat Hukumnya

Analisis Hukum Positif Dan Hukum Islam’, 1, 279–301

Waluyo, Bing, ‘SAHNYA PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG

NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN Bing’, 2.April

(2020), 193–99

Anda mungkin juga menyukai