Anda di halaman 1dari 12

Perjanjian Pra Nikah Dalam Islam Perspektif Wahbah Zuhaili

Nilna Sabila Izza¹, Salsabila Syafiyyah², Wilda Nadia A.M.F³

¹nilnasabila2801@gmail.com, ²salsabilasyafiyyah88@gmail.com,
³nadiaelfarid05@gmail.com

Ilmu Al-Qur’an Dan Tafsir

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

Abstrak

Semakin bertambahnya angka perceraian di Indonesia, keinginan orang untuk


membuat Perjanjian Perkawinan juga berkembang sejalan makin banyaknya orang
menyadari bahwa pernikahan juga adalah komitmen finansial seperti pentingnya
hubungan cinta itu sendiri. Artikel ini akan membahas tentang perjanjian pra
nikah dalam islam perspektif Wahbah Zuhaili. Penelitian ini menarik untuk
dilakukan mengingat pada era sekarang ini marak terjadinya fenomena perceraian
dalam pernikahan. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif untuk
mendeskripsikan permasalahan dan fokus penelitian. Jenis penelitian ini adalah
penelitian pustaka (library research) yang dimaksudkan untuk mengidentifikasi
dan menemukan sumber data yang faktual. tentang objek yang akan diteliti
dengan memilih sumber-sumber yang relevan dengan objek spesifiknya. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa Wahbah Zuhaili menjelaskan bahwa “Syarat
dalam pernikahan adalah sesuatu yang disyaratkan oleh salah satu pihak yang
melakukan akad atas pihak yang lain dengan tujuan tertentu.” Jadi adanya
perjanjian kontrak pranikah ini diperbolehkan dalam islam selagi benar dan tidak
melanggar syariat Islam, dan tidak diwajibkan sebab seseorang boleh menikah
tanpa membuat sebuah perjanjian.

Kata Kunci: perjanjian pra nikah, islam, Wahbah Zuhaili

Pendahuluan

Perjanjian pranikah dalam Islam sudah diatur dalam Undang-Undang


Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 29 tentang perkawinan. Perjanjian perkawinan ialah
persetujuan yang dibuat oleh calon mempelai pada saat perkawinan
dilangsungkan yang di sahkan oleh pegawai pencatat nikah mengenai kedudukan

1
harta dalam perkawinan yang mengikat bagi mereka dan pihak ketiga. Artinya
pembuatan perjanjian perkawinan di Indonesia secara sah hanya boleh dibuat
sebelum perkawinan di langsungkan. Jika ada perjanjian perkawinan dilakukan
setelah adanya perkawinan dimungkinkan terjadi tetapi itu semua harus didasari
atas putusan hakim di pengadilan.1

Perjanjian pranikah dibuat sebelum atau pada saat perkawinan


dilangsungkan untuk mengatur akibat-akibat perkawinan terhadap harta kekayaan
pasangan. Beberapa hal yang menjadi pembahasan dalam kontrak pra nikah
adalah:

a. Pertanda perceraian : Perjanjian pra nikah bukanlah sarana untuk


mempermainkan tujuan suci dari perkawinan itu sendiri, melainkan
bertujuan untuk membentuk keluarga yang sakinah dan mencegah
perceraian2
b. Kekhawatiran dan kecemasan, calon pasangan suami istri yang
mempunyai rasa kekhawatiran dan kecemasan tersendiri terhadap apa
yang mereka lihat dilingkungan sekitar.3
c. Perbedaan stastus sosial, jika diantara pasangan calon suami istri terdapat
perbedaan sosial yang signifikan maka harus ada pembagian antara harta
Bersama dan harta yang dibawa sedari awal sebelum akad.
d. Meningkatkan pemahaman dan kesadaran, sehingga dengan adanya
perjanjian pra nikah diharapkan membantu suami dan istri dalam
meningkatkan pemahaman dan kesadaran terhadap kewajiban dan hak
mereka sebagai suami dan istri.

Walaupun perkawinan itu di tunjukan untuk selama-lamanya, tetapi ada


kalanya terjadi hal-hal tertentu yang menyebabkan perkawinan tidak dapat di

1
Umar Haris Sanjaya and Aunur Rahin Faqih, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, Asy-
Syir’ah. Vol. 46, 2017, 88.
2
Abdurrahman Kasdi, “Maqasid Syariah Perspektif Pemikiran Imam Syathibi Dalam Kitab
Muwafaqat”, YUDISIA Vol. 5 No. 1 (Juni 2014), hlm. 56
3
Ismail Tanimi dan Titin Samsudin, Perspektif Hakim Agama Gorontalo Tentang Perjanjian Pra
Nikah,‖ Jurnal Hukum Islam Vol. 1 (2021): 34.

2
teruskan. Bahkan dimasa sekarang ini dengan semakin lunturnya nilai-nilai
agama, norma dan etika yang ada di masyarakat, tidak jarang suatu perkawinan itu
di latarbelakangi oleh suatu kepentingan tertentu, yakni demi status, kepentingan
bisnis, mendapat perlindungan dan lain sebainya. Sejak dahulu lembaga
perkawinan masyarakat kita sudah mengenal adanya percampuran harta
pernikahan. Dengan mengandalkan asas saling percaya satu sama lain antara
kedua mempelai, dengan berkembangnya zaman yang semakin pesat dan modern
telah mempengaruhi cara berfikir manusia menjadi kritis. Budaya asing yang
dikenal bersifat individualistis dan individualistis masuk ke indonesia.

Dengan semakin bertambahnya angka perceraian di Indonesia, keinginan


orang untuk membuat Perjanjian Perkawinan juga berkembang sejalan makin
banyaknya orang menyadari bahwa pernikahan juga adalah komitmen finansial
seperti pentingnya hubungan cinta itu sendiri. Dimana putusnya hubungan
pernikahan karena perceraian bukan berarti putusnya semua persoalan pernikahan.
Yang menjadi masalah saat terjadi perceraian adalah tentang bagaimana membagi
harta bersama tersebut. Atau terlebih dahulu, bagaimana memisahkan harta
bawaan para pihak (Suami-Isteri) dari harta bersama yang di dapat selama
perkawinan.

Sehingga adanya Perjanjian tadi dibuat untuk menjaga profesionalisme,


hubungan dan citra mereka. Juga menghindari tuduhan bahwa salah satu pihak
atau keluarganya ingin mendapatkan kekayaan pihak lain terutama dari hasi
pembagian hasil harta Gono-gini (Harta yang didapaat setelah pernikahan).

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif untuk mendeskripsikan


permasalahan dan fokus penelitian. Jenis penelitian ini adalah penelitian pustaka
(library research) yang dimaksudkan untuk mengidentifikasi dan menemukan
sumber data yang faktual. tentang objek yang akan diteliti dengan memilih

3
sumber-sumber yang relevan dengan objek spesifiknya.4 Dengan demikian,
sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teks bukan peristiwa
yang terjadi di lapangan. Sedangkan sifat penelitian ini adalah kualitatif dimana
peneliti tidak menggunakan mekanisme statistik saat mengolah data. Adapun
pendekatan yang digunakan dalam artikel ini menggunakan pendekatan metode
tafsir maudhu’i.

Pengertian dan Ketentuan Pra Nikah

Kontrak pra nikah adalah perjanjian yang dibuat oleh kedua calon
pasangan suami-istri sebelum pernikahan dilangsungkan, dan masing-masing
calon mempelai berjanji akan menaati apa yang tercantum di dalam perjanjian
tersebut dan disahkan oleh pegawai pencatat pernikahan.5 Pakar hukum juga
sudah menguraikan istilah perjanjian. Berikut beberapa definisi yang
dikemukakan oleh para ahli hukum, yaitu:

1. Akad adalah suatu perikatan antara ijab dan Kabul dengan cara yang
dibenarkan syariat yang menetapkan akan adanya akibat-akibat hukum
pada objeknya.6
2. Akad atau perikatan adalah suatu ikatan antara kedua belah pihak atau
lebih tentang suatu urusan tertentu yang dimulai dengan kehendak salah
satu pihak, kemudian disetujui oleh pihak lain sehingga merupakan
kesepakatan semua pihak yang bersangkutan dan mereka terikat
karenanya.7
3. Akad adalah suatu perbuatan kesepakatan antara seseorang atau beberapa
orang lainnya untuk melakukan suatu perbuatan tertentu. Kalau perbuatan

4
Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1998), 134
5
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munahakat. (Jakarta: Prenada Media Group, 2012). 119.
6
Ahmad Ahar Basyir, Asas-Asas Hukum Muamalat (Hukum Perdata Islam). (Yogyakarta: UII
Press, 2010), 78
7
Dadan Muttqien, Cakap Hukum Bidang Perkawinan dan perjanjian, (Yogyakarta: Insania Cita
Press, 2006). 44.

4
tersebut mempunyai akibat hukum, maka perbuatan tersebut diistilahkan
dengan perbuatan hukum.8

Kontrak pra nikah dibuat dengan memenuhi tiga syarat, yaitu:9

1. Tidak menyalahi hukum syariat yang disepakati


2. Setiap pihak rida dan ada pilihan
3. Harus jelas

Kontrak pra nikah berlaku sejak ijab kobul dilangsungkan dan isi dari perjanjian
tersebut biasanya mengatur tentang bagaimana harta kekayaan suami istri akan
dibagi jika terjadinya perceraian, dan kematian dari salah satu pasangan.
Perjanjian juga memuat bagaimana semua urusan keuangan keluarga yang akan
diatur atau ditangani selama pernikahan berlangsung. Secara umum kontrak pra
nikah berisi tentang mengatur harta kekayaan calon suami istri, atau dengan kata
lain perjanjian tersebut dibuat dengan tujuan untuk mengatur akibat-akibat
pernikahan yang menyangkut tentang harta kekayaan.10 Dengan demikian, sebuah
perjanjian harus dilandasi dengan ketaatan terhadap hukum yang berlaku,
kerelaan, dan kejelasan poin-poin yang sudah disepakati.

Hubungan Kontrak Pra Nikah dengan Islam

Jika ditinjau dalam hukum Islam, perjanjian bisa disebut dengan akad atau
dalam bahasa Inggris yaitu prenuptial agreement. Akad berasal dari al-aqd yang
berarti mengikat, menyambung, atau menghubungkan.11 Perjanjian (‫ َيت َ َعاقَد‬- َ ‫)ت َ َعاقَ َد‬
juga bisa disebut dengan kontrak yang berarti mengikat suatu perjanjian yang
tercatat.12 Kontrak pra nikah perlu diberlakukan apabila dikhawatirkan suatu saat
nanti pernikahan akan mengalami perceraian, maka hukum Islam

8
Ibid, 45.
9
Ibid, 46.
10
Ahmad Rofiq, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta, Raja Grifindo Persada, 2006).
160.
11
Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah Studi tentang Teori Akad dalam Fikih Muamalah.
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007), 68.
12
Ahmad Warson Munawir, Al-Munawir Kamus Arab-indonesia. (Surabaya: Pustaka Progressif,
1997). 68.

5
mengantisipasinya dengan memperbolehkan membuat kontrak pra nikah sebelum
pernikahan dilangsungkan.

Seperti yang sudah diungkapkan oleh Abdul Manan “perjanjian tersebut


dapat berupa penggabungan harta milik pribadi masing-masing menjadi harta
bersama dan dapat pula ditetapkan mengenai penggabungan hasil dan begitupun
sebaliknya”.13 Dalam beberapa literatur juga ditemukan pendapat bahwa
pembuatan kontrak pra nikah hukumnya diperbolehkan asalkan tidak bertentangan
dengan hukum Islam, dimana tidak menghalalkan yang haram dan tidak
mengharamkan yang halal.

Sebenarnya kontrak pra nikah itu sama dengan ta’lik talak. Yang membuat
keduanya berbeda adalah kontrak pra nikah bisa dirubah sesuai dengan keinginan
kedua belah pihak, sedangkan ta’lik talak tidak bisa dicabut kembali. Adanya
komitmen tersebut yang tertera di dalam perjanjian membuat semuanya terang
dan tenang, sehingga pasangan suami Istri bisa melakukan aktivitas sehari-hari
tanpa adanya kekhawatiran penyelewengan.

Urgensi Kontrak Pra Nikah

Setiap orang pasti mengharapkan kehidupan yang nyaman, aman dan


tentram serta bahagia, baik kehidupan dalam berkeluarga atau di lingkungan
masyarakat. Dalam membangun bahtera keluarga tidak selamanya berada pada
jalan yang bagus, pasti ada beberapa rintangan yang harus dilalui demi menjaga
keutuhan janji suci yang pernah diucapkan. Dengan begitu perlunya saling
percaya terhadap pasangan dan jika diharuskan bisa membuat sebuah kesepakatan
di awal pernikahan yang dikenal dengan perjanjian perkawinan agar keluarga
yang dibangun menjadi harmonis. Ada beberapa alasan yang menjadikan
perjanjian Pra Nikah dikatakan penting diantaranya:14

13
Abdul Manan, Masalah Ta’lik Talak Dalam Hukum Perkawinan di Indonesia. (Jakarta: Al-
Hikmah, 1995), 103.
14
Ahmad Fauzan, Urgensi Perjanjian Perkawinan Dalam Membentuk Keluarga Harmonis (Studi
Pada Kua Sumbersari Kabupaten Jember), Skripsi Universitas Islam Negeri Kyai Haji Achmad
Siddiq Jember Fakultas Syariah, 2023, 57-60.

6
1. Sebagai dorongan agar saling terbuka dalam pemikiran antar pasangan.
2. Mengantisipasi terjadinya peristiwa buruk akibat perceraian.
3. Tidak hanya ijab qabul saja, melainkan sebagai komitmen secara jelas
dengan kesepakatan diatas kertas.
4. Dengan adanya perjanjian diatas kertas akan menjadi pengingat bagi kedua
pasangan agar lebih memiliki rasa tanggung jawab dan sama-sama
berjuang dalam membangun keluarga yang harmonis.
5. Sebagai bentuk pembelajaran setelah banyaknya kejadian perceraian diluar
sana.
6. Sebagai penyemangat bahwa keluarga adalah segalanya.

Penafsiran tentang Kontrak Pra Nikah

Di dalam al-Quran Surah Ar-rum ayat 21 Allah berfirman :

ٰ َ َ‫َو َرحْ َمةًَۗا َِّنَفِ ْي َٰذلِك‬


َ‫ََل ٰيتٍَ ِلِّقَ ْو ٍم‬ ِّ ِ ‫َو ِم ْن َٰا ٰيتِ ٖٓهَا َ ْنَ َخلَقَ َلَ ُك ْم‬
َ ‫َم ْنَا َ ْنفُ ِس ُك ْمَاَ ْز َوا ًجاَ ِلِّت َ ْس ُكنُ ْٖٓواَاِلَ ْي َه‬
َّ ً ‫اَو َجعَلََََب ْينَ ُك ْمَ َّم َودَّة‬
ََ‫يَّت َ َف َّك ُر ْون‬

Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-


pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa
tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang.
Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran
Allah) bagi kaum yang berpikir.

Ayat tersebut biasa dikutip dan dijadikan sebagai dasar untuk menjelaskan
tujuan pernikahan, dari ayat di atas jelas bahwa Alquran menginginkan kehidupan
yang sakinah dalam pernikahan, timbulnya kedamaian antara suami-istri yang
saling mengasihi dan menyayangi, poin yang dapat diambil dari ayat tersebut
adalah bahwa rumah tangga yang ideal adalah rumah tangga yang sakinah,
mawaddah, wa rahmah.

Meski Alquran tidak menjelaskan secara rinci mengenai perjanjian


pernikahan, akan tetapi kedudukan perjanjian pernikahan sama kuatnya dengan

7
perjanjian kesepakatan menjalin persekutuan, perserikatan, dan hal-hal lainnya
yang menyangkut akad syariat tentang segala hal yang halal dan haram. Serta
akad yang dilakukan manusia dengan yang lain dalam transaksi jual beli, akad
pernikahan, dan lain sebagainya. Bahkan hal ini dikuatkan dalam hadis Rasulullah
yang diriwayatkan ‘Uqbah bahwa syarat yang lebih berhak dipenuhi adalah syarat
yang berkaitan untuk menghalalkan kehormatan wanita.

ْ ‫ش ُر ْو ِطَأ َ ْنت ُ َوفُّ ْوَبِ ِهَ َماا ْستَحْ لَلت ُ ُمَبِ ِه‬
َ‫َالفُ ُر ْو َج‬ ِ ‫أ َ َح ُقَ َماا َ ْوفَ ْيت ُ ْم‬
ُّ ‫َمنَ َال‬

“Syarat yang lebih berhak untuk kamu penuhi adalah syarat yang dapat kamu
jadikan untuk menghalalkan kemaluan/ kehormatan (syarat nikah).” (HR. Bukhari
Muslim).

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa Wahbah Zuhaili


mendefinisikan perjanjian atau syarat dalam pernikahan sebagai berikut15

‫َهيَماَيشترطهَاحدَالزوجينَعلىَألخرمماَلهَفيهَغرض‬:َ‫الشروطَفيَالزوج‬

“Syarat dalam pernikahan adalah sesuatu yang disyaratkan oleh salah satu pihak
yang melakukan akad atas pihak yang lain dengan tujuan tertentu.”

Syarat dalam pernikahan adalah sesuatu yang disyaratkan oleh salah satu
pihak yang melakukan akad atas pihak lain dengan tujuan tertentu, syarat yang
dimaksudkan adalah syarat yang berkaitan dengan ijab qabul maksudnya ijab akan
terjadi bersamaan dengan sebuah syarat. Sebelum dilangsungkannya pernikahan
terkadang terdapat beberapa pihak yang mengajukan persyaratan atau perjanjian
pernikahan, hal ini diadakan dengan tujuan untuk kebaikan keduanya dalam
menjalani kehidupan rumah tangga, perjanjian perkawinan hukumnya boleh, tidak
diwajibkan ataupun diharamkan seseorang boleh memilih apakah ia mau
mengadakan perjanjian atau tidak.

Timbulnya persyaratan seperti ini karena kurang fahamnya seseorang


terhadap hak dan kewajiban masing-masing sedangkan Alquran telah mengatur

15
Wahbah az-Zuhaili, al-fiqh al-Islami wa Adillatuhu juz 7, (Damaskus: Dar al-Fikri, 1985), 53.

8
itu semua maka jika perjanjian pranikah diperlukan melihat dengan kondisi dan
keadaan pasangan maka boleh saja selama tidak melanggar syariat. Seperti contoh
yang telah disebutkan sebelumnya bahwa perjanjian perkawinan bukan
menyangkut masalah harta saja akan tetapi terdapat beberapa hal lain seperti
pernikahan monogami, hak dan kewajiban anggota keluarga, dan bukan hanya
tentang masalah kekerasan dalam rumah tangga.

Dengan begitu perjanjian dapat menciptakan maslahat bagi kedua belah


pihak, menurut Sa’id Ramadhan al-Buthi dalam kitabnya Dhawabith alMaslahah
fi al-Syariah al-Islamiah ia mengatakan bahwa maksud dari maslahah adalah
manfaat yang diperuntukkan Allah kepada hambanya yaitu segala sesuatu untuk
meriah kenikmatan, dan segala sesuatu untuk mecegah kesakitan termasuk apapun
yang menuju kepadanya.16

Dalam membuat perjanjian pranikah harus sesuai dengan syariat yang ada,
jika perjanjian tersebut menyalahi aturan syari’at dengan menghalalkan suatu
yang haram atau mengharamkan sesuatu yang halal maka perjanjian tersebut tidak
boleh dipenuhi misalnya seperti syarat seorang istri agar suami tidak
menggaulinya, atau menceraikan istri-istrinya yang lain, ataupun syarat untuk
membatalkan pernikahan dalam batas waktu tertentu dan lain sebagainya. Jika
pasangan memberikan syarat seperti yang telah disebutkan sebelumnya maka
pasangan yang lain tidak boleh memenuhi dan mematuhi syarat tersebut karena
hal ini menyangkut hal yang diharamkan oleh syari’at.

Dalam permasalahan ini Wahbah Zuhaili sependapat dengan ulama


Hanabilah karena menurutnya pendapat merekalah yang paling rajih (kuat)
dengan dalil-dalil yang telah mereka sebutkan. Wahbah Zuhaili membagi syarat
dalam pernikahan menjadi tiga macam yakni pertama, syarat yang benar yaitu
syarat yang sesuai dengan akad dan mengandung manfaat bagi kedua belah pihak,
kemudian kedua, syarat yang batal akan tetapi akadnya tetap sah yaitu syarat

16
Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi, Dhawabith al-Maslahah fi al-Syari’ah alIslamiah, (Beirut:
Dar al-Fikr, 2018), 37.

9
untuk tidak memberi mahar atau tidak menafkahi, kemudian yang terakhir adalah
syarat yang membatalkan pernikahan seperti syarat menikah dengan batas waktu
tertentu.17

Akan tetapi terdapat pemikiran Wahbah Zuhaili yang diperselisihkan


yakni permasalahan tentang syarat seorang istri untukَtidak dipoligami atau tidak
memindahkannya dari rumahnya ke rumahَ suaminya, beberapa ulama
berpendapat bahwa persyaratan ini makruh karenaَmenyelisihi hal yang berkaitan
dengan akad nikah dan dapat mempersulit laki-laki, mereka juga berpendapat
bahwa persyaratan ini termasuk hal yangَmengharamkan suatu yang halal.

Dalam permasalahan ini saya sependapat dengan Wahbah Zuhaili bahwa


syarat untuk tidak dipoligami bukanlah hal yang menghalalkan suatu yang haram
ataupun mengharamkan suatu yang halal, karena poligami merupakan perkara
yang dibolehkan setiap orang boleh memilih apakah ia hendak berpoligami atau
tidak. Dan jika di awal perjanjian seorang suami telah menyepakati syarat untuk
tidak berpoligami maka wajib baginya untuk memenuhi janji tersebut begitupun
dengan perjanjian yang lain, karena penghormatan terhadap perjanjian wajib
hukumnya, jika perjanjian tersebut berpengaruh positif dan besar peranannya
dalam menciptakan kerukunan. Tentunya perjanjian pernikahan ini harus sesuai
dengan norma Agama dan kesusilaan.

Wahbah Zuhaili menyandarkan ijtihadnya mengenai perjanjian pranikah


pada surat al-Maidah ayat 1 ia mengatakan bahwa makna akad dalam ayat ini
adalah janji atau kesepakatan antara manusia dengan Allah dan manusia dengan
sesamanya, yaitu kesepakatan diantara mereka seperti kesepakatan menjalin
persekutuan, perserikatan, dan hal-hal lainnya yang menyangkut akad syariat
tentang segala hal yang halal, haram, dan diwajibkan syariat. Serta akad yang
dilakukan manusia dengan yang lain dalam transaksi jual beli, akad pernikahan,
dan lain sebagainya.

17
Wahbah Zuhaili, Fiqih al-Islam wa Adillatuhu jilid 9, (Jakarta: Gemam Insani, 2011), 65.

10
Kemudian pada rujukan yang lain Wahbah Zuhaili mengatakan bahwa
syarat yang disebutkan dalam akad nikah lebih besar pengaruhnya dari pada syarat
dalam akad jual beli, sewa menyewa atau akad yang lain, karenanya kewajiban
menepati persyaratan tersebut lebih ditekankan dan ditegaskan, yakni syarat-
syarat yang paling berhak untuk dipenuhi adalah syarat dalam pernikahan karena
urusannya lebih hati-hati dan persoalannya lebih rumit, jadi persyaratan atau
perjanjian pranikah memiliki kekuatan yang sama dengan perjanjian yang lain
seperti syarat pada akad jual beli, sewa-menyewa, dan akad yang lain.

Oleh sebab itu adanya perjanjian kontrak pranikah ini diperbolehkan


dalam islam, tidak diwajibkan sebab seseorang boleh menikah tanpa membuat
sebuah perjanjian. Akan tetapi perjanjian kontrak pra nikah ini juga memiliki
dampak positif yakni untuk saling menjaga dan menjamin kemaslahatan bersama
antara suami dan istri. Sehingga untuk mencapai Sakinah mawaddah dan rohmah
dalam rumah tangga harus menjalin komunikasi yang baik serta ikhlas dalam
menjalani kehidupan bersama pasangannya.

Daftar Pustaka

Anwar, Syamsul, Hukum Perjanjian Syariah Studi tentang Teori Akad dalam Fikih
Muamalah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007
Basyir, Ahmad Ahar, Asas-Asas Hukum Muamalat (Hukum Perdata Islam). Yogyakarta:
UII Press, 2010.
Al-Buthi, Muhammad Sa’id Ramadhan, Dhawabith al-Maslahah fi al-Syari’ah alIslamiah,
Beirut: Dar al-Fikr, 2018.
Fauzan, Ahmad, Urgensi Perjanjian Perkawinan Dalam Membentuk Keluarga Harmonis
(Studi Pada Kua Sumbersari Kabupaten Jember), Skripsi Universitas Islam
Negeri Kyai Haji Achmad Siddiq Jember Fakultas Syariah, 2023.
Ghozali, Abdul Rahman, Fiqh Munahakat. Jakarta: Prenada Media Group, 2012.
Kasdi, Abdurrahman, “Maqasid Syariah Perspektif Pemikiran Imam Syathibi Dalam
Kitab Muwafaqat”, YUDISIA Vol. 5 No. 1, Juni 2014).
Manan, Abdul, Masalah Ta’lik Talak Dalam Hukum Perkawinan di Indonesia. Jakarta:
Al-Hikmah, 1995.
Munawir, Ahmad Warson, Al-Munawir Kamus Arab-indonesia. Surabaya: Pustaka
Progressif, 1997.
Muttqien, Dadan, Cakap Hukum Bidang Perkawinan dan perjanjian, Yogyakarta: Insania
Cita Press, 2006.

11
Rofiq, Ahmad, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jakarta, Raja Grifindo Persada,
2006.
Tanimi, Ismail dan Titin Samsudin, Perspektif Hakim Agama Gorontalo Tentang
Perjanjian Pra Nikah, Jurnal Hukum Islam Vol. 1 (2021).
Sanjaya, Umar Haris and Aunur Rahin Faqih, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia,
Asy-Syir’ah. Vol. 46, 2017.
Az-Zuhaili, Wahbah, al-fiqh al-Islami wa Adillatuhu juz 7, Damaskus: Dar al-Fikri, 1985.

12

Anda mungkin juga menyukai