Kata kunci:
Harta bersama, perkawinan, rahasia bank
I. PENDAHULUAN
Di dalam suatu perkawinan, antara suami isteri selalu berharap ikatan lahir
batin yang mereka jalin menjadi semakin kuat agar tercipta hubungan yang harmonis,
kekal, dan bahagia. Harta bersama dalam perkawinan merupakan salah satu bentuk
sumber kekayaan yang diusahakan oleh suami isteri dengan tujuan agar kebutuhan
rumah tangga terpenuhi. Di dalam kehidupan suatu keluarga atau rumah tangga di
samping masalah hak dan kewajiban sebagai suami isteri, maka masalah harta benda
adalah merupakan salah satu penyebab timbulnya berbagai perselisihan atau
1
Djoko Prakoso, Azas-azas Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta: PT Bina Aksara, 1987),
hlm. 166.
2
Syaamil Al-Qur’an, Al Quran Dan Terjemahannya, ed. khat madinah, (Jakarta: PT Syaamil
Cipta Media, 1971), hlm. 83.
Kemudian, KHI juga mengatur mengenai harta bersama yang diatur dalam
Pasal 85 sampai dengan Pasal 97 pada Buku I (satu). pengertian harta bersama
menurut KHI terdapat pada pasal I butir f.
Harta kekayaan dalam perkawinan atau Syirkah adalah harta yang diperoleh
baik sendiri-sendiri atau bersama suami-isteri selama dalam ikatan
perkawinan berlangsung selanjutnya disebut harta bersama, tanpa
mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun.
3
Sutan Remy Sjahdeini. ”Rahasia Bank: Berbagai Masalah di Sekitarnya”. Jurnal Hukum
Bisnis, Volume 8, Tahun 1999, hlm.2.
4
Adiwarman A. Karim, Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan, ed. 3, (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2004), hlm. 15.
5
Kasmir, Pemasaran Bank, cet. 1 (Jakarta: Prenada Media, 2000), hlm. 29.
6
Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia. cet.3, (Bandung: PT Citra Aditya
Bakti, 2000), hlm. 161.
7
A Adiwarman A. Karim, Op. Cit., hlm. 297.
8
Ibid.
9
Ibid., hlm. 299.
10
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, cet. 3, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998),
hlm. 200.
11
Setiawan Budi Utomo, Fiqih Aktual, cet. I, (Jakarta: Gema Islam, 2003), hlm. 124.
isteri di Indonesia sama-sama bekerja mencari nafkah hidup. Hanya saja karena fisik
isteri berbeda dengan fisik suami maka dalam pembagian pekerjaan disesuaikan
dengan keadaan fisik mereka. Selanjutnya dikatakan syirkah mufawadah karena
memang perkongsian suami isteri itu tidak terbatas. Apa saja yang mereka hasilkan
selama dalam masa perkawinan mereka termasuk harta bersama, kecuali yang mereka
terima sebagai warisan atau pemberian khusus untuk salah seorang diantara mereka
berdua.12
Pada perkongsian gono-gini tidak ada penipuan, meskipun barangkali pada
perkongsian tenaga dan syirkah mufawadah terdapat kemungkinan terjadi penipuan.
Sebab perkongsian antara suami isteri, jauh berbeda sifatnya dengan perkongsian
lain. Waktu dilakukan ijab qobul akad nikah, perkawinan itu dimaksudkan untuk
selamanya. Perkongsian suami isteri tidak hanya mengenai kebendaan tetapi juga
meliputi jiwa dan keturunan.13 Sajuti Thalib dan Hazairin berpendapat, bahwa
menurut hukum Islam harta yang diperoleh suami dan isteri karena usahanya, adalah
harta bersama, baik mereka bekerja bersama-sama atau hanya sang suami saja yang
bekerja, sedangkan istri hanya mengurus rumah tangga beserta anak-anak saja di
rumah.14 Sekali mereka terikat dalam perjanjian perkawinan sebagai suami istri maka
semuanya menjadi bersatu, baik harta maupun anak-anak, seperti yang diatur oleh al
Q.S. an-Nisa (4) ayat 2115 Perkawinan dengan Ijab Qabul serta persyaratan lainnya
seperti adanya Wali, Saksi, Mahar, dan Illanun Nikah sudah dapat dianggap adanya
Syirqah antara suami istri itu.
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 35. 36, dan 37, yang menerangkan
bahwa, harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta benda bersama.
Adapun harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri, dan harta benda yang
12
Ismuha, Pencaharian Bersama Suami Isteri di Indonesia, cet. 11, (Jakarta: Bulan Bintang,
1978), hlm. 78-79.
13
Ibid., hlm. 102-103.
14
Mohd. Idris Ramulyo,Tinjauan Beberapa Pasal Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Dari
Segi Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta : Ind-Hil-Co, 2002), hlm. 231-232.
15
Sajuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta: UI Press, 1974), hlm 84.
diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah dibawah penguasaan
masing-masing si penerima para pihak selama tidak menentukan lain. Dalam Pasal 36
mengatur status harta yang diperoleh masing-masing suami isteri. Pada Pasal 37
dijelaskan, apabila perkawinan putus karena perceraian, maka harta bersama diatur
menurut hukumnya masing-masing.
Dalam Kompilasi Hukum Islam, khususnya mengenai hukum perkawinan
banyak terjadi duplikasi dengan apa yang diatur dalam Undang-Undang No. 1 tahun
1974. Dalam Kompilasi Hukum Islam mengenai harta kekayaan dalam perkawinan
dibahas dalam Bab XIII. Mengenai percampuran harta suami dan harta isteri, hukum
Islam merekomendasi agar harta masing-masing suami dan isteri tidak dicampurkan
ke dalam harta kekayaan perkawinan sebagaimana dinyatakan oleh Pasal 86 ayat (1)
dan (2) Kompilasi Hukum Islam sebagai berikut:
1) Pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan harta isteri
karena perkawinan.
2) Harta isteri tetap menjadi hak isteri dan dikuasi penuh olehnya, demikian
juga harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasi penuh olehnya.
16
Ilyas Zaini, “Perlindungan Hak Istri atas Harta Bersama Dalam Kaitannya Dengan
Pembagian Warisan.” (Tesis Magister Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2006), hlm. 43.
keterlambatan, karena harus menunggu sampai putusan perceraiannya memperoleh
kekuatan hukum tetap. Artinya untuk penyelesaian harta bersama membutuhkan
waktu yang cukup lama. Selama belum selesai perkaranya dan selama belum
diserahkan bagiannya, selama itu pula dia tidak dapat menikmati hasil dari barang
atau misalnya barang itu berupa sawah, maka selama itu pula ia tidak menikmati
hasil panennya. Penyelesaian harta bersama dapat dilakukan penuntutan akan hasil
yang mungkin didapat dari barang tersebut yang dihasilkan selama jangka waktu
penyelesaian. Bilamana pihak yang satu tidak menyerahkan bagian yang menjadi
haknya pihak yang lainnya dapat dilakukan penuntutan ganti rugi berdasarkan
perhitungan hasil yang diperoleh dari barang tersebut.
Namun apabila terjadi perselisihan antaa suami isteri tentang harta bersama,
maka penyelesaian perselisihan itu diajukan kepada Pengadilan Agama. Bagi
janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta
bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan. Begitu
pula apabila terjadinya cerai wafat sebelum dibagikan harta waris, terlebih
dahulu diambil sebagai harta bersama.17
17
Pardan Syafrudin, “Pembagian Harta Bersama Suami Isteri : Studi Komparatif Tentang
Pembagian Harta Gono Gini Akibat Wafat dan Cerai Menurut Hukum Islam dan Hukum Positif.”
(Tesis Magister Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2006), hlm. 22-23.
dilarang oleh Rasulullah atau bentuk-bentuk usaha baru sebagai hasil ijtihad para
ulama/cendekiawan Muslim yang tidak menyimpang dari ketentuan Alquran dan
Hadis.18 Sedangkan akad yang dilakukan memiliki konsekuensi duniawi dan ukhrawi
karena dilakukan berdasarkan hukum Islam.19
Tujuan dibentuknya bank Islam yaitu:20
1. Mengarahkan kegiatan ekonomi umat untuk bermuamalah secara Islam,
2. Untuk menciptakan suatu keadilan di bidang ekonomi, dengan jalan
meratakan pendapatan melalui kegiatan investasi, agar tidak terjadi
kesenjangan yang amat besar antara pemilik modal (orang kaya) dengan pihak
yang membutuhkan dana (orang miskin).
3. Untuk meningkatkan kualitas hidup umat;
4. Untuk membantu menanggulangi (mengentaskan) masalah kemiskinan.
5. Untuk menjaga kestabilan ekonomi/moneter pemerintah.
6. Untuk menyelematkan ketergantungan umat Islam terhadap bank non-Islam
(konvensional) yang menyebabkan umat Islam berada di bawah kekuasaan
bank, sehingga umat Islam tidak bisa melaksanakan ajaran agamanya secara
penuh, terutama di bidang kegiatan bisnis dan perekonomiannya.
Visi perbankan Islam umumnya adalah menjadi wadah tepercaya bagi
masyarakat yang ingin melakukan investasi dengan sistem bagi hasil secara adil
sesuai prinsip syariah. memenuhi rasa keadilan bagi semua pihak dan memberikan
maslahat bagi masyarakat luas adalah misi utama perbankan Islam. Dengan visi misi
tersebut diatas, maka setiap kelembagaan keuangan syariah akan menerapkan
ketentuan-ketentuan sebagai berikut.
1. Menjauhkan Diri dari Kemungkinan Adanya Unsur Riba
18
Warkum Sumitro, Asas-Asas Perbankan Islam & Lembaga-Lembaga Terkait (BAMUI,
Takaful, dan Pasar Modal Syariah) , ed. revisi, cet. 4, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004), hlm.
5-6.
19
Gemala Dewi. Aspek-aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di
Indonesia, ed. rev., cet. 3, (Jakarta: Kencana, 2006), hlm. 100.
20
Ibid., hlm. 17.
a. Menghindari penggunaan sistem yang menetapkan di muka suatu hasil
usaha, seperti penetapan bunga simpanan atau bunga pinjaman yang
dilakukan pada bank konvensional.
b. Menghindari penggunaan sistem presentasi biaya terhadap utang atau
imbalan terhadap simpanan yang mengandung unsur melipatgandakan
secara otomatis utang/simpanan tersebut hanya karena berjalannya
waktu.
c. Menghindari penggunaan sistem perdagangan/penyewaan barang
ribawi dengan imbalan barang ribawi lainnya (barang yang sama dan
sejenis, seperti uang rupiah dengan uang rupiah yang masih berlaku)
dengan memperoleh, kelebihan baik kuantitas maupun kualitas.
d. Menghindari penggunaan sistem yang menetapkan di muka tambahan
atas utang yang bukan atas prakarsa yang mempunyai utang secara
sukarela, seperti penetapan bunga pada bank konvensional.
2. Menerapkan Prinsip Sistem Bagi Hasil dan Jual-Beli
Dengan mengacu kepada petunjuk Al-Quran, Q.S. al-Baqarah (2): 275 dan
surat an-Nisaa (4): 29 yang intinya Allah SWT. telah menghalalkan jual-beli dan
mengharamkan riba serta suruhan untuk menempuh jalan perniagaan dengan suka
sama suka, maka setiak transaksi kelembagaan ekonomi islami harus selalu
dilandasi atas dasar sistem bagi hasil dan perdagangan atau yang transaksinya
didasari oleh adanya pertukaran antara uang dengan barang/jasa. Akibatnya pada
kegiatan muamalah berlaku prinsip “ada barang/jasa dulu baru ada uang”, sehingga
akan mendorong produksi barang/jasa, dapat menghindari adanya penyalahgunaan
kredit, spekulasi, dan inflasi.
Dalam operasinya, pada sisi pengerahan dana masyarakat lembaga ekonomi
Islam menyediakan sarana investasi bagi penyimpan dana dengan sistem bagi hasil,
dan pada sisi penyaluran dana masyarakat menyediakan fasilitas pembiayaan
investasi dengan sistem bagi hasil serta pembiayaan perdagangan.21
21
Wirdyaningsih, et. al., Bank dan Asuransi Islam di Indonesia,ed. 1, cet. 1, (Jakarta: Kencana,
2005), hlm. 17-19.
Bank Islam sebagai bank yang beroperasi berdasarkan prinsip-prinsip syariah
menurut ketentuan Alquran dan Al-Hadis, memiliki ciri-ciri yang berbeda dengan
bank-bank yang ada (Bank Konvensional). Ciri-ciri itu adalah:22
1. Beban biaya yang disepakati bersama pada waktu akad perjanjian
diwujudkan dalam bentuk jumlah nominal, yang besarnya tidak kaku,
(tidak rigit) dan dapat dilakukan dengan kebebasan untuk tawar menawar
dalam batas wajar.
2. Penggunaan persentase dalam hal kewajiban untuk melakukan
pembayaran selalu dihindarkan, karena persentase bersifat melekat pada
sisa utang meskipun batas waktu perjanjian telah berakhir.
3. Di dalam kontrak-kontrak pembiayaan proyek, bank Islam tidak
menerapkan perhitungan berdasarkan keuntungan yang pasti (fixed return)
yang ditetapkan di muka, karena pada hakikatnya yang mengetahui
tentang ruginya suatu priyek yang dibiayai bank hanyalah Allah semata,
manusia sama sekali tidak mampu meramalnya.
4. Pengerahan dana masyarakat dalam bentuk deposito/tabungan, oleh
penyimpan dianggap sebagai titipan (al-wadiah) sedangkan bagi bagi
bank dianggap sebagai titipan yang diamanatkan sebagai penyertaan dana
pada proyek-proyek yang dibiayai bank yang beroperasi sesuai dengan
prinsip syariah Islam sehingga kepada penyimpan tidak dijanjikan imbalan
yang pasti (fixed return).
5. Bank Islam tidak menerapkan jual-beli atau sewa-menyewa uang dari
mata uang yang sama,
6. Adanya pos pendapatan berupa “Rekening Pendapatan Non Halal”
sebagai hasil dari transaksi dengan bank konvensional yang tentunya
menerapkan sistem bunga. Pos ini biasanya dipergunakan untuk
menyantuni masyarakat miskin yang terkena musibah dan untuk
kepentingan kaum Muslimin yang bersifat sosial.
22
Ibid., hlm. 19.
7. Ciri lain Bank Islam adalah adanya Dewan Pengurus Syariah yang
bertugas untuk mengawasi operasionalisasi bank dari sudut syariahnya.
8. Produk-produk Bank Islam selalu menggunakan sebutan-sebutan yang
berasal dari istilah arab, misalnya al-murabahah, al-mudharabah, al-bai’u
bithaman ajil, al-ijarah, al ba’iu tahjiri, al-qardhul Hasan dan
sebagainya, di mana istilah-istilah tersebut telah dicantumkan di dalam
Kitab-kitab Fiqih Islam.
9. Adanya produk khusus yang tidak terdapat di dalam bank konvensional,
yaitu kredit tanpa beban yang murni bersifat sosial, di mana nasabah tidak
ada kewajiban untuk mengembalikannya.
10. Fungsi kelembagaan Bank Islam selain menjembatani antara pihak
pemilik modal/memiliki kelebihan dana dengan pihak yang membutuhkan
dana, juga mempunyai fungsi khusus yaitu fungsi Amanah, artinya
berkewajiban menjaga dan bertanggung jawab atas keamanan dana yang
disimpan dan siap sewaktu-waktu apabila dana tersebut ditarik kembali
sesuai dengan perjanjian.
Keistimewaan-keistimewaan Bank Islam tersebut adalah:
1. Adanya kesamaan ikatan emosional yang kuat antara pemegang
saham, pengelola bank dan nasabahnya.
2. Diterapkannya sistem bagi hasil sebagai pengganti bunga akan
menimbulkan akibat-akibat yang positif.
3. Di dalam Bank Islam, tersedia fasilitas kredit kebaikan (al-Qardhul
Hasan) yang diberikan secara cuma-cuma.
4. Keistimewaan yang paling menonjol dari Bank Islam adalah yang
melekat pada konsep (build in concept) dengan berorientasi pada
kebersamaan dalam hal:
5. Keistimewaan lain Bank Islam adalah dengan penerapan sistem bagi
hasil berarti tidak membebani biaya di luar kemempuan nasabah dan
akan terjamin adanya “keterbukaaan”.
6. Adanya kenyataan bahwa dalam kehidupan ekonomi masyarakat
modern cenderung menimbulkan pengeksploitasian kelompok kuat
(kuat ekonomi plus politik) terhadap kelompok lemah.23
Penerapan hukum syariah dalam konteks hukum positif tersebut juga dapat
diwujudkan dalam kegiatan perbankan syariah. Sebagaimana umumnya, setiap
transaksi antara bank syariah dengan nasabah, terutama yang berbentuk pemberian
fasilitas pembiayaan, selalu dituangkan dalam suatu-surat perjanjian. Berkaitan
dengan hal ini, para pihak yang melakukan hubungan hukum, yaitu bank syariah dan
nasabah, dapat memasukkan aspek-aspek syariah dalam konteks hukum positif
Indonesia sesuai dengan keinginan kedua belah pihak.
A. Simpanan Wadiah dan Mudharabah Dalam Perbankan Syariah
1. Giro Syariah
a. Giro Wadiah
Yang dimaksud dengan giro wadiah adalah giro yang dijalankan
berdasarkan akad wadiah, yakni titipan murni yang setiap saat dapat
diambil jika pemiliknya menghendaki.
b. Giro Mudharabah
Yang dimaksud dengan giro mudharabah adalah giro yang dijalankan
berdasarkan akad mudharabah. Mudharabah mempunyai dua bentuk,
yakni mudharabah mutlaqah dan mudharabah muqayyadah, yang
perbedaan utama di antara keduanya terletak pada ada atau tidaknya
persyaratan yang diberikan pemilik dana kepada bank dalam
mengelola hartanya, baik dari sisi tempat, waktu, maupun objek
investasinya. Dalam hal ini, Bank Syariah bertindak sebagai mudharib
(pengelola dana), sedangkan nasabah bertindak sebagai shahibul mal
(pemilik dana). Dalam kapasitasnya sebagai mudharib, Bank Syariah
dapat melakukan berbagai macam usaha yang tidak bertentangan
23
Ibid., hlm.23-25.
dengan prinsip syariah serta mengembangkannya, termasuk
melakukan akad mudharabah dengan pihak lain.
2. Tabungan Syariah
a. Tabungan Wadiah
Tabungan wadiah merupakan tabungan yang dijalankan berdasarkan
akad wadiah, yakni titipan murni yang harus dijaga dan dikembalikan
setiap saat sesuai dengan kehendak pemiliknya. Berkaitan dengan
produk tabungan wadiah, Bank Syariah menggunakan akad wadiah
yad adh-dhamanah. Dalam hal ini, nasabah bertindak sebagai penitip
yang memberikan hak kepada Bank Syariah untuk menggunakan atau
memanfaatkan uang atau barang titipannya, sedangkan Bank Syariah
bertindak sebagai pihak yang dititipi dana atau barang tersebut.
Sebagai konsekuensinya, bank bertanggung jawab terhadap keutuhan
harta titipan tersebut serta mengembalikannya kapan saja pemiliknya
menghendaki. Di sisi lain, bank juga berhak sepenuhnya atas
keuntungan dari hasil penggunaan atau pemanfaatan dana atau barang
tersebut.
b. Tabungan Mudharabah
Yang dimaksud dengan tabungan mudharabah adalah tabungan yang
dijalankan berdasarkan akad mudharabah. Mudharabah mempunyai
dua bentuk, yakni mudharabah mutlaqah dan mudharabah
muqayyadah, yang perbedaan utama di antara keduanya terletak pada
ada atau tidaknya persyaratan yang diberikan pemilik dana kepada
bank dalam mengelola hartanya. Dalam hal ini, Bank Syariah
bertindak sebagai mudharib (pengelola dana), sedangkan nasabah
bertindak sebagai shahibul mal (pemilik dana). Bank Syariah dalam
kapasitasnya sebagai mudharib, mempunyai kuasa untuk melakukan
berbagai macam usaha yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah
serta mengembangkannya, termasuk melakukan akad mudharabah
dengan pihak lain. Namun, disisi lain, Bank Syariah juga memiliki
sifat sebagai seorang wali amanah (trustee), yang berarti bank harus
berhati-hati atau bijaksana serta beritikad baik dan bertanggung jawab
atassegala sesuatu yang timbul akibat kesalahan atau kelalaiannya.
3. Deposito Syariah
Dewan Syariah Nasional MUI telah mengeluarkan fatwa yang menyatakan
bahwa deposito yang dibenarkan adalah deposito yang berdasarkan prinsip
mudharabah.24
Dalam hal ini, Bank Syariah bertindak sebagai mudharib (pengelola dana),
sedangkan nasabah bertindak sebagai shahibul mal (pemilik dana). Dalam
kapasitasnya sebagai mudharib, Bank Syariah dapat melakukan berbagai macam
usaha yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah serta mengembangkannya,
termasuk melakukan akad mudharabah dengan pihak ketiga. Dengan demikian, Bank
Syariah dalam kapasitasnya sebagai mudharib memiliki sifat sebagai seorang wali
amanah (trustee), yakni harus berhati-hati atau bijaksana serta beritikad baik dan
bertanggung jawab atas segala sesuatu yang timbul akibat kesalahan atau
kelalaiannya. Di samping itu, Bank Syariah juga bertindak sebagai kuasa dari usaha
bisnis pemilik dana yang diharapkan dapat memperoleh keuntungan seoptimal
mungkin tanpa melanggar berbagai aturan syariah. Dari hasil pengelolaan dana
mudharabah, Bank Syariah akan membagihasilkan kepada pemilik dana sesuai
dengan nisbah yang telah disepakati dan dituangkan dalam akad pembukaan rekening
dalam mengelola dana tersebut, bank tidak bertanggung jawab terhadap kerugian
yang bukan disebabkan oleh kelalaiannya. Namun, apabila yang terjadi adalah
mismanagement (salah urus), bank bertanggung jawab penuh terhadap kerugian
tersebut.
Berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh pihak pemilik dana, terdapat 2
(dua) bentuk mudharabah, yakni:
1. Mudharabah Mutlaqah (Unrestricted Investment Account, URIA)
24
Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 03/DSN-MUI/IV/2000
Dalam deposito Mudharabah Mutlaqah (URIA), pemilik dana tidak
memberikan batasan atau persyaratan tertentu kepada Bank Syariah
dalam mengelola investasinya, baik yang berkaitan dengan tempat,
cara maupun objek investasinya. Dengan kata lain, Bank Syariah
mempunyai hak dan kebebasan sepenuhnya dengan menginvestasikan
dana URIA ini ke berbagai sector bisnis yang diperkirakan akan
memperoleh keuntungan.
2. Mudharabah Muqayyadah (Restricted Investment Account, RIA)25
Berbeda halnya dengan deposito Mudharabah Mutlaqah (URIA), dalam
deposito Mudharabah Muqayyadah (RIA), pemilik dana memberikan batasan
atau persyaratan tertentu kepada Bank Syariah dalam mengelola investasinya,
baik yang berkaitan dengan tempat, cara, maupun objek investasinya. Dengan
kata lain, Bank Syariah tidak mempunyai hak dan kebebasan sepenuhnya
dalam menginvestasikan dana RIA ini ke berbagai sector bisnis yang
diperkirakan akan memperoleh keuntungan.
B. Rahasia Bank
Menurut Pasal 1 angka 28 Undang-Undang Perbankan, yang dimaksud
dengan rahasia bank adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan
mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya. Jadi, Undang-Undang Perbankan
mempertegas dan mempersempit pengertian rahasia bank dibandingkan dengan
ketentuannya dalam pasal-pasal dari undang-undang sebelumnya, yaitu Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yang tidak khusus menunjukkan
bank kepada nasabah deposan saja.
Dari pengertian yang diberikan oleh Pasal 1 angka 28 dan pasal-pasal lainnya,
dapat ditarik unsur-unsur dari rahasia bank itu sendiri, yaitu sebagai berikut.
1. Rahasia bank tersebut berhubungan dengan keterangan mengenai nasabah
penyimpan dan simpanannya.
25
Karim, Op. Cit., hlm. 303-304.
26
Munir Fuady, Hukum Perbankan di Indonesia. (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999), hlm. 91.
27
Andi Saputra, “Rekening Suami Tak Bisa Diintip Istri Picu Perselingkuhan”
m.detik.com/read/2012/07/11/110527/1962729/10/rekeningsuami-tak-bisa-diintip-istri-picu-
perselingkuhan.html. diunduh 25 Desember 2009.
IV. PENUTUP
A. Kesimpulan
Harmonisasi antara ketentuan harta bersama dengan ketentuan rahasia bank
pada peraturan perbankan konvensional maupun syariah menurut penulis masih
belum terkait. Hal itu terlihat dari perbedaan peraturan yang mengatur dua hal
tersebut. Pada harta bersama, setiap harta yang dihasilkan oleh suami dan isteri baik
keduanya ataupun salah satu selama hubungan perkawinan menjadi harta bersama
bagi pasangan tersebut. Ketentuan harta bersama tidak dapat dijalankan dalam dunia
perbankan dimana pihak bank menganut asas kepercayaan melalui prinsip rahasia
bank sehingga apabila terdapat pihak atau nasabah yang memiliki simpanan di bank,
maka bank tersebut tidak akan membuka data nasabah tersebut meskipun kepada
suami atau isteri dari nasabah tersebut. Bank tidak memandang apakah simpanan
nasabah termasuk harta bersama atau tidak, ketentuan ini tidak selaras dengan
ketentuan harta bersama. Seharusnya apabila simpanan dalam bank tersebut
merupakan harta bersama, bank tidak boleh menutupi data tersebut dan harus bersifat
transparan terhadap suami atau istri dari nasabah. Permasalahan rahasia bank
terhadap harta bersama sampai saat ini belum diatur dalam peraturan perbankan.
Pengaturan tentang rahasia bank telah diatur dimulai dari UU No. 7 Tahun 1992, UU
No. 10 Tahun 1998, Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/19/PBI/2000, sampai kepada
UU 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, namun tidak mengatur mengenai
pengecualian terhadap harta bersama.
Masalah harta bersama antara suami atau isteri dalam bentuk simpanan pada
bank biasanya baru timbul pada saat nasabah meninggal dunia dan perceraian.
Apabila nasabah pada bank syariah meninggal dunia maka penyelesaian terhadap
pembagian harta bersama dilakukan dengan cara mengajukan penetapan ahli waris ke
pengadilan, setelah itu penetapan pengadilan ini yang digunakan untuk mencairkan
simpanan yang dimiliki nasabah. Sedangkan dalam hal cerai hidup, berdasarkan
putusan pengadilan pihak suami atau isteri yang memiliki simpanan pada bank, wajib
menyerahkan setengah bagian dari jumlah simpanan itu kepada mantan suami atau
isterinya. Dalam hal salah satu pasangan suami atau isteri yang memiliki simpanan
pada bank tanpa sepengetahuan pasangannya yang digunakan untuk itikad yang tidak
baik maka ketika terjadi perceraian dan pembagian harta bersama maka harta tersebut
tidak akan menjadi harta bersama dan diakui sebagai pemilik salah satu pihak saja.
Inilah kelemahan dari peraturan perbankan yang tidak mengatur mengenai
pengecualian rahasia bank terhadap harta bersama sehingga terdapat kemungkinan
terjadinya ketidakjujuran dalam hubungan perkawinan.
B. Saran
Perlindungan rahasia bank mampu memberi jaminan keamanan mengenai
data-data nasabah sehingga nasabah merasa aman dan percaya kepada bank. Teori
relatif dalam melaksanakan prinsip rahasia bank dimana masih ada kemungkinan
dalam keadaan tertentu rahasia bank tersebut dibuka merupakan ketentuan yang
sangat cocok untuk diterapkan sehingga dapat melindungi hak dan kewajiban semua
pihak, hanya saja kemungkinan diperbolehkan dibukanya rahasia bank tersebut
didalam undang-undang tidak menyinggung masalah harta bersama. Oleh karena itu
menurut penulis, pembuat undang-undang perlu mengkaji ulang peraturan perbankan
ini agar ketentuan rahasia bank dengan ketentuan harta bersama bisa selaras.
Kemudian apabila hal tersebut masih sulit dilakukan, bisa juga dengan solusi berupa
perbuatan surat keterangan persetujuan dari nasabah kepada bank agar pasangan
suami atau isteri-nya dapat mengetahui data dan keterangan pada bank sesuai dengan
kesepakatan semua pihak.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Prakoso, Djoko. Azas-azas Hukum Perkawinan di Indonesia. Jakarta: PT Bina
Aksara, 1987.
Rofiq, Ahmad. Hukum Islam di Indonesia, Cet. 3. Jakarta : PT. Raja Grafindo
Persada, 1998.
Utomo, Setiawan Budi. Fiqih Aktual, Cet. I. Jakarta: Gema Islam, 2003.
Ismuha, Pencaharian Bersama Suami Isteri di Indonesia. Cet. 11. Jakarta :Bulan
Bintang, 1978.
Ramulyo, Mohd. Idris. Tinjauan Beberapa Pasal Undang-Undang No. 1 tahun 1974
dari Segi Hukum Perkawinan Islam. Jakarta : Ind-Hil-Co, 2002.
Zaini, Ilyas. “Perlindungan Hak Istri atas Harta Bersama Dalam Kaitannya Dengan
Pembagian Warisan.” Tesis Magister Hukum Universitas Indonesia, Jakarta,
2006.1 Syafrudin, Op. Cit., hlm. 22-23.
Sumitro, Warkum. Asas-Asas Perbankan Islam & Lembaga-Lembaga Terkait
(BAMUI, Takaful, dan Pasar Modal Syariah) , Ed. Revisi, Cet. 4. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2004.1 Gemala Dewi. Aspek-aspek Hukum dalam Perbankan dan
Perasuransian Syariah di Indonesia, ed. rev., cet. 3, (Jakarta: Kencana, 2006), hlm. 100.
Wirdyaningsih. Et al., Bank dan Asuransi Islam di Indonesia. Ed. 1. Cet. 1. Jakarta :
Kencana, 2005.
Fuady, Munir. Hukum Perbankan di Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999.
ARTIKEL
Andi Saputra, “Rekening Suami Tak Bisa Diintip Istri Picu Perselingkuhan”
m.detik.com/read/2012/07/11/110527/1962729/10/rekeningsuami-tak-bisa-
diintip-istri-picu-perselingkuhan.html. diunduh 25 Desember 2009.
PERATURAN
FATWA MUI, Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 03/DSN-MUI/IV/2000.