Oleh :
Kelompok 6
Dosen :
Linda Rachmainy, S.H., M.H.
Dr. Hj.Sonny Dewi Judiasih, S.H., M.H.
Dr. Hj.Yani Pujiwati, S.H., M.H.
Betty Rubiati, S.H., M.H.
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PADJADJARAN
JATINANGOR
2020
DAFTAR ISI
A. Latar Belakang...................................................................................................................... 1
d. Harta Bersama dalam Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan ... 7
e. Harta Bersama Dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi
C. Dasar Hukum...................................................................................................................... 12
A. Kesimpulan......................................................................................................................... 17
B. Saran .................................................................................................................................. 18
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................ 19
i
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
tujuan perkawinan ialah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Kesejahteraan dalam
keluarga merupakan suatu hak yang paling mendasar atau merupakan hak asasi sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 36 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia, yang mengatakan bahwa: “Setiap orang berhak mempunyai hak milik, baik sendiri-
sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain demi pengembangan dirinya, keluarga,
bangsa dan masyarakat dengan cara yang tidak melanggar hukum”. Berdasarkan pernyataan
tersebut, terlihat bahwa kekayaan atau harta benda sangat dibutuhkan dalam suatu
perkawinan.
Salah satu akibat hukum dari suatu perkawinan yang sah adalah terciptanya harta
benda perkawinan. Harta atau kekayaan duniawi perkawinan diperlukan guna memenuhi
segala keperluan yang dibutuhkan dalam kehidupan berkeluarga.1 Kekayaan duniawi ini
dalam tulisan Soerojo disebut dengan harta perkawinan.2 Dalam ketentuan Kompilasi Hukum
Islam (KHI), Harta kekayaan dalam Pasal 1 Huruf f, menyatakan bahwa harta kekayaan dalam
perkawinan (syirkah) merupakan harta yang diperoleh baik sendiri maupun bersama
pasangan suami istri selama dalam ikatan perkawinan tanpa dipermasalahkannya terdaftar
Dalam perspektif lain seperti hukum adat, harta benda yang dimiliki oleh suami dan
istri dapat dibedakan kepada dua kategori yang umum, (1) harta benda yang diperoleh
sebelum adanya perkawinan; dan (2) harta benda yang didapat setelah atau selama dalam
perikatan perkawinan.3 Yang disebut pertama biasanya diistilahkan dengan harta bawaan
dan yang kedua diistilahkan dengan harta bersama. Untuk itu dapat dipahami bahwa adanya
1
Sonny Dewi Judiasih, Harta Benda Perkawinan: Kajian Terhadap Kesetaraan Hak dan Kedudukan Suami dan Istri
atas Kepemilikan Harta Dalam Perkawinan, Bandung; PT. Refika Aditama, 2015, hlm. 23.
2
Soerojo Wignjodipoero, Pengantar dan Azaz-Azaz Hukum Adat, Jakarta: Gunung Agung, 1968, hlm. 149.
3
Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, Bandung: Alumni, 1980, hlm. 70-71.
1
Berdasarkan Pasal 35 ayat (1) dan (2) Undang-Undang tentang Perkawinan
menyebutkan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta Bersama.
Istilah harta bersama dipakai untuk harta benda yang diperoleh selama perkawinan saja.
Artinya harta yang diperoleh selama tenggang waktu, antara saat peresmian perkawinan,
sampai perkawinan terputus, baik terputus karena kematian salah seorang diantara mereka
(cerai mati), maupun karena perceraian (cerai hidup). Dengan demikian harta yang telah
dipunyai pada saat dibawa masuk ke dalam perkawinan terletak di luar harta bersama.
Sedangkan dalam pasal 36 ayat (1) diatur bahwa terhadap harta bersama, suami istri dapat
bertindak atas persetujuan kedua belah pihak. hal ini mencerminkan suatu kedudukan yang
setara terhadap kekuasaan atas harta bersama dalam perkawinan. Undang - Undang
dalam kehidupan suami-istri, utamanya apabila mereka bercerai, sehingga Hukum Harta
Perkawinan itu sudah memainkan peranan yang penting dalam kehidupan keluarga.
kejelasan bagaimana kedudukan harta itu jika terjadi kematian salah satu suami atau istri,
mana yang merupakan harta peninggalan yang akan diwaris ahli waris masing-masing, mana
yang merupakan harta pribadi masingmasing. Demikian pula apabila terjadi perceraian, harus
ada kejelasan mana yang menjadi hak istri dan mana yang menjadi hak suami. Jangan sampai
suami mengambil hak istri atau sebaliknya jangan sampai istri mengambil hak suami.
istrinya sejumlah harta yang merupakan objek sengketa untuk dibagi dua sama besar sebagai
bagian dari harta gono gini. Dalam hal ini objek sengketa berupa rumah, mobil dan beberapa
tanah yang dibeli dari penghasilan istri. Secara formal objek sengketa yang disengketakan
adalah harta bersama yang diperoleh setelah perkawinan melalui bukti-bukti pembelian
kewajibannya sebagai seorang suami dan seorang ayah yang baik. Suami berstatus sebagai
karyawan (pekerja) namun tidak pernah memberikan penghasilannya kepada istri maupun
2
Dari kasus yang diuraikan diatas dapat dilihat bahwasannya telah terjadi
penyimpangan dimana tidak terpenuhinya hak dan kewajiban bagi seorang suami dan istri
dan menyebabkan terjadinya kesenjangan keadilan. Dalam hal ini asas equalitas akan
pembagian proporsional dengan memperhatikan peran dan perilaku suami dan istri selama
perkawinan. Maka dari itu, perlu diperlukan adanya penyelesaian sengketa yang berdasarkan
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang dan kasus posisi yang telah diuraikan di atas, maka dapat
2. Bagaimana penyelesaian sengketa pada pembagian harta bersama antara suami dan istri
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Harta Bersama
tidak dijumpai aturannya didalam Al-Qur‟an maupun Hadist Nabi. Demikian pula
dalam kitab fikih klasik tidak dijumpai pembahasan masalah ini. Hal ini dipahami,
karena sistem kekeluargaan yang dibina pada masyarakat Arab tidak mengenal harta
bersama, sebab yang berusaha dalam keluarga adalah suami, sementara sang
pendapat pertama mengatakan bahwa harta bersama ada dan diatur dalam syariat
Islam. Adanya harta bersama didasarkan kepada ayat-ayat Al-Qur‟an, Surah Al-
“Dan Para istri yang diceraikan (wajib) menahan diri mereka (menunggu) tiga
kali suci. Tidak boleh bagi mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah
dalam rahim mereka, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhir. Dan para
suami mereka lebih berhak kembali kepada mereka dalam (masa) itu, jika mereka
dengan kewajibannya menurut cara yang patut, tetapi para suami mempunyai
Dalam hukum adat harta perkawinan terdiri dari harta bawaan (Lampung
disebut Sesan; Jawa disebut Gawan; Batak disebut Ragiragi), harta pencaharian
(Minangkabau disebut Harta Suarang; awa disebut Ganagini; Lampung disebut Massow
besesak), dan harta Peninggalan (Harta pusaka, harta Warisan) dan harta
4
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, Bandung: Mandar Maju, 2007, hlm. 115.
4
Harta perkawinan dalam hukum adat, menurut Ter Haar, dapat dipisah
a) Harta yang diperoleh suami atau isteri sebagai warisan atau hibah dari kerabat
b) Harta yang diperoleh suami atau isteri untuk diri sendiri serta atas jasa diri
c) Harta yang dalam masa perkawinan diperoleh suami dan isteri sebagai milik
bersama.
d) Harta yang dihadiahkan kepada suami dan istri bersama pada waktu pernikahan.
menjadi harta milik masing-masing suami atau istri dan harta bersama. Adapun
harta perkawinan yang menjadi harta milik masing-masing suami atau istri mencakup:
a) Harta yang diperoleh masing-masing suami-isteri sebagai warisan dari orang tua
atau nenek-moyang.
b) Harta yang diperoleh masing-masing suami-isteri sebagai hibah atau hasil usaha
sendiri.
Harta Bersama diatur dalam KUH Perdata (BW), Bab VI Pasal 119-138, yang
terdiri dari tiga bagian. Bagian Pertama tentang Harta Bersama yaitu Pasal 119
sampai dengan Pasal 123, Bagian Kedua tentang Pengurusan Harta Bersama diatur
dalam Pasal 124 sampai dengan Pasal 125, dan Bagian Ketiga tentang Pembubaran
Gabungan Harta Bersama Dan Hak Untuk Melepaskan Diri Dari Padanya diatur
dalam Pasal 126 sampai dengan Pasal 138. Harta Bersama diatur dalam KUH Perdata
(BW), Bab VI Pasal 119-138, yang terdiri dari tiga bagian. Bagian Pertama tentang
Harta Bersama yaitu Pasal 119 sampai dengan Pasal 123, Bagian Kedua tentang
Pengurusan Harta Bersama diatur dalam Pasal 124 sampai dengan Pasal 125, dan
5
Muhammad Isna Wahyudi, Pembaharuan Hukum Perdata Islam, Bandung: Mandar Maju, 2014, hlm. 79.
5
Bagian Ketiga tentang Pembubaran Gabungan Harta Bersama Dan Hak Untuk
Melepaskan Diri Dari Padanya diatur dalam Pasal 126 sampai dengan Pasal 138.
hukum terjadi harta bersama menyeluruh antara suami istri, sejauh tentang hal itu
itu selama perkawinan berjalan tidak boleh ditiadakan atau dirubah dengan suatu
persetujuan antara suami istri.6 Harta bawaan yang merupakan harta pribadi otomatis
menjadi harta bersama ketika terjadi perkawinan, sebab adanya harta bersama itu
Berkenaan dengan soal keuntungan, maka harta bersama itu meliputi barang-
barang bergerak dan barang-barang tidak bergerak milik suami dan istri, baik yang
sudah ada maupun yang akan ada, juga barang-barang yang mereka peroleh secara
cuma-cuma, kecuali bila dalam hal terakhir ini yang mewariskan atau yang
Pasal 124 KUHPerdata mengatur bahwa hanya suami yang boleh mengurus
perkawinan tidak mengurangi haknya untuk mengurus hartanya. Harta bersama bubar
demi hukum, karena kematian, perkawinan atas izin hakim setelah suami atau istri
tidak ada, perceraian, pisah meja dan ranjang, dan karena pemisahan harta.8
Prinsip yang dianut dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW) ini
berbeda dengan adat kebiasaan yang berlaku di masyarakat, demikian juga dengan
prinsip hukum Islam yang mengakui adanya kepemilikan secara pribadi pada masing-
masing orang.9
6
Lihat Pasal 119 KUHPerdata.
7
Lihat Pasal 120 KUHPerata.
8
Lihat Pasal 126 KUHPerdata.
9
Lihat QS. An Nisa ayat 32.
6
J. Satrio menjelaskan bahwa hutang yang termasuk dalam harta bersama,
tidak hanya hutang-hutang yang didasarkan atas perjanjian, tetapi meliputi juga
a) Denda-denda.
c) Beban yang melekat pada warisan ataupun hibah yang jatuh dalam harta persatuan.
harta pribadi disamping harta persatuan. Harta pribadi tersebut bisa diperoleh
dengan adanya perjanjian kawin (Pasal 119 KUHPerdata) dan bisa juga karena
KUHPerdata adalah terdiri dari harta yang bergerak dan yang tidak bergerak.
d. Harta Bersama dalam Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
tentangPerkawinan diatur dalam Pasal 35sampai dengan Pasal 37. Pasal 35 ayat (1)
bersama, sementara Pasal 35 ayat (2) menjelaskan bahwa harta bawaan dari masing-
masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai
pihak tidak menentukan lain. Oleh karena itu Undang-undang Perkawinan mengakui
hak suami dan istri untuk mengelola harta kepemilikannya masing-masing dan untuk
Pasal 36 ayat (1) mengatur bahwa mengenai harta bersama, suami atau isteri
dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak, sedangkan Pasal 36 ayat (2)
bendanya.
10
H.M Fahmi Al Amruzi, Hukum Harta Kekayaan Perkawinan, Jakarta: Aswaja Pressindo, 2013, hlm. 74.
7
Pasal 37 mengatur bahwa bila perkawinan putus karena perceraian, harta
pada nilai-nilai umum yang muncul dalam aturan adat tentang harta bersama, yaitu:
keputusan terhadap harta yang mereka peroleh sebelum nikah, dan (2) dengan
ikatan perkawinan, isteri maupun suami secara intrinsik memiliki posisi yang setara
e. Harta Bersama Dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi
Hukum Islam(KHI)
dalam pasal yang banyak, yang secara total terdapat dalam 13 pasal secara berturut-
turut membahas masalah ini yaitu dari Pasal 85 sampai Pasal 97, sedangkan
Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 hanya memuat dalam tiga pasal
secara berturut-turut, yaitu Pasal 35 sampai Pasal 37. Ketentuan Kompilasi Hukum
untuk melakukan tindakan hukum terhadap harta dimaksud. Suami, sesuai dengan
fungsinya, bertanggungjawab untuk menjaga harta bersama, harta istri dan hartanya
sendiri. Demikian juga istri, sesuai dengan fungsinya, turut bertanggungjawab untuk
• Harta bersama dapat berupa benda berwujud dan tidak berwujud. Harta bersama
yang berwujud meliputi benda tidak bergerak, benda bergerak dan surat-surat
8
berharga. Sedang harta bersama yang tidak berwujud dapat berupa hak dan
kewajiban.
• Harta bersama dapat dijadikan sebagai jaminan oleh suami atas persetujuan
istrinya. Demikian juga sebaliknya, harta bersama dapat dijadikan jaminan oleh
dan berdiri sendiri, dan untuk itu terhitung mulaisaat berlangsungnya akad
atas harta bersama tanpa adanya permohonan gugatan cerai, apabila salah
• Apabila terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama menjadi hak pasangan
yang hidup lebih lama. Pembagian harta bersama bagi seorang suami/istri yang
istri atau suaminya hilang harus ditangguhkan sampai ada kepastian matinya
yang hakiki atau matinya secara hukum atas dasar keputusan Pengadilan Agama.
• Janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama
UU Perkawinan menganut asas equalitas bagi suami isteri. Menurut asas ini, suami-
isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga sesuai dengan tugas
9
dan tanggung jawab masing-masing. Salah satu kewajiban suami ialah untuk memberikan
nafkah. Pasal 80 ayat (4) KHI berbunyi ‘sesuai dengan penghasilannya suami menanggung (a)
nafkah, kiswah, dan tempat kediaman bagi isteri; (b) biaya rumah tangga, biaya perawatan,
dan biaya pengobatan bagi isteri dan anak; dan (c) biaya pendidikan bagi anak. Perkawinan
dapat putus dikarenakan kematian dan perceraian. Putusnya perkawinan karena perceraian
Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan mengadakan perjanjian
perkawinan. Dalam perkawinan, suami isteri memiliki hak untuk dapat membuat perjanjian
kawin. Jika pasangan calon suami isteri berkehendak mengatur sendiri mengenai akibat
perkwinan terhadap harta kekayaan. Perjanjian perkawinan dapat dilakukan secara tertulis
dan disahkan oleh pegawai pencatatan perkawinan pada waktu atau sebelum perkawinan.
Secara formil, perjanjian perkawinan merupakan perjanjian yang dibuat oleh calon suami dan
calon isteri untuk mengatur akibat-akibat perkawinannya terhadap harta kekayaan mereka.
menurut undang-undang;
kekayaan yang ditemukan dalam Pasal 124 ayat (2) juncto Pasal 140 ayat (3) KUHPerdata,
sehingga si suami tanpa bantuan si istri tidak boleh melakukan perbuatan-perbuatan yang
melepaskan barang-barang bergerak dan tak bergerak dari persatuan itu yang di bawa
oleh si istri dalam perkawinan atau yang diperoleh istri sepanjang perkawinan dan
3. Untuk pemberian hibah si suami kepada istri, atau sebaliknya, atau pemberian hibah
timbal balik antara suami-sistri (pasal 168 KUHPerdata) megnatur: “dalam mengadakan
perjanjian perkawinan, kedua calon suami-isteri, yang satu kepada yang lain dan/atau
hibah tadi, sekedar perbuatan itu kiranya akan merugikan mereka, yang menurut undang-
10
Pada asasnya, kedudukan harta benda perkawinan adalah terpisah, artinya harta
benda masing-masing pihak pada dasarnya menjadi milik suami atau isteri secara pribadi dan
di bawah pengawasan masing-masing, bahkan suami atau isteri memiliki hak sepenuhnya
untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya dan hal ini diatur dalam Pasal
36 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974, yang mempunyai dua impilikasi yaitu pemisahan
ketentuan undang-undang antara calon suami dan isteri mengenai perkawinan mereka, tidak
dipersoalkan apa isinya. Secara umum, perjanjian perkawinan berisi pengaturan harta
perjanjian pada umumnya, yaitu suatu perjanjian antara dua orang calon suami dan isteri
untuk mengatur harta kekayaan pribadi masing-masing yang dibuat menjelang perkawinan,
Pasal 139 KUHPerdata mengandung suatu asas yakni calon suami istri bebas untuk
menentukan isi perjanjian perkawinan yang dibuatnya. Akan tetapi kebebasan tersebut
dibatasi oleh beberapa larangan yang harus diperhatikan. KUHPerdata mengatur beberapa
a) Perjanjian tersebut tidak boleh bertentangan dengan kesusilaan atau ketertiban umum
(Pasal 139);
b) Perjanjian tersebut tidak boleh menyimpang dari kekuasaan yang oleh Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata diberikan kepada suami selaku kepala rumah tangga, misalnya
tidak boleh dijanjikan bahwa istri akan mempunyai tempat kediaman sendiri (Pasal 140
ayat (1));
c) Dalam perjanjian tersebut, suami isteri tidak boleh melepapskan hak mereka untuk
d) Dalam perjanjian itu tidak boleh ditentukan bahwa salah satu pihak akan menanggung
11
Nadiyah, ”Kedudukan Hukum (Legal Standing) Perjanjian Perkawinan terhadap Harta Benda Perkawinan”, Jurnal
Syariah Darussalam, Vol. 2, No. 2, Juli-Desember 2018, hlm. 15-16.
11
C. Dasar Hukum
perkawinan, pada dasarnya harta yang didapat selama perkawinan menjadi satu (harta
dalam perkawinan itu dicampur menjadi satu.” Pasal 119 ayat (2) berbunyi “persatuan
(percampuran) harta itu sepanjang perkawinan tidak boleh ditiadakan dengan suatu
persetujuan antara suami isteri. Harta persatuan itu menjadi kekayaan bersama itu harus
dibagi dua, sehingga masing-masing mendapat separuh”. Untuk memberikan solusi dari
Pasal 35 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa harta benda yang
diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama, sedangkan harta bawaan dan harta
benda yang diperoleh masing-masing pihak sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah
penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Adanya ketentuan
dalam perkawinan. Status harta bersama dan harta bawaan kerap kali baru menjadi suatu
permasalahan ketika perkawinan menjadi putus. Oleh karena itu, diperlukan kesadaran
Secara normatif, keadilan formal dalam pembagian harta kekayaan perkawinan ialah
mendapatkan bagian setengah bagian. Dasar pembagian tersebut ialah asas keseimbangan
kedudukan suami-isteri. Pasal 128 KUHPerdata dan yurisprudensi putusan Mahkamah Agung
No. 1448 K/Sip/1974 menyatakan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan
menjadi harta bersama, sehingga pada saat terjadinya perceraian harta bersama tersebut
dibagi sama rata antara bekas suami-isteri. Pembagian yang telah diatur sedemikian rupa
belum sepenuhnya mencerminkan nilai keadilan yang sebenarnya. Oleh karena itu
12
penegakan asas keseimbangan atau asas equalitas dalam pembagian harta kekayaan
perkawinan harus diikuti dengan pembagian secara proporsional demi terwujudnya keadilan
substansial. Pembagian proporsional ini tidak harus dalam proporsi 1/2 :1/2, tetapi dapat
D. Pendapat Ahli
Perundangan Hukum Adat Hukum Agama” menjelaskan akibat hukum yang menyangkut
harta bersama berdasarkan Pasal 37 UU Perkawinan diserahkan kepada para pihak yang
bercerai tentang hukum mana dan hukum apa yang akan berlaku, dan jika tidak ada
keadilan yang sewajarnya. Hilman menjelaskan bagi umat Katolik, pada dasarnya tidak ada
perceraian dalam agama Katolik, karena agama Katolik menolak adanya perceraian. Namun,
dalam praktiknya, pasangan Katolik tetap dapat bercerai secara perdata meskipun perceraian
tersebut dianggap tidak sah secara Katolik. Dalam hal tersebut, perceraian dan pembagian
Hukum Perdata.
bahwa dengan terjadinya suatu perkawinan, menjadikan sang istri kongsi sekutu seorang
suami dalam melayani bahtera hidup, maka antara suami-isteri dapat terjadi perkongsian
tidak terbatas. Dalam Pengadilan Agama, ketika ada orang Islam yang bercerai dan
mempersoalkan harta yang diperoleh selama perkawinan, maka akan dipertimbangkan harta
dalam perkawinan sebagaimana ketentuan Pasal 35 UU Perkawinan dan Pasal 85-97 KHI.
Sehingga menurut fikih Islam Indonesia, perkawinan menimbulkan adanya harta bersama
dalam perkawinan.
12
Yunanto, ”Titik Singgung Keragaman Sistem Hukum dalam Pembagian Harta Kekayaan Perkawinan Pada
Perkawinan Serial”, Masalah-Masalah Hukum, Jilid 47, Oktober 2018, hlm. 394.
13
BAB III
PEMBAHASAN
Seorang pria maupun wanita pada umumnya memiliki kebutuhan untuk hidup bersama,
kebutuhan tersebut mempunyai akibat yang sangat penting dalam masyarakat, baik terhadap
kedua belah pihak maupun keturunannya serta anggota masyarakat lainnya. Keluarga
merupakan kesatuan sosial terkecil yang dibentuk atas dasar ikatan perkawinan, yang unsur-
unsurnya terdiri dari suami, istri, dan anak-anaknya yang belum dewasa. Sedangkan sifat-sifat
keluarga sebagai suatu kesatuan sosial meliputi rasa cinta dan kasih sayang, ikatan perkawinan,
pemilikan harta benda bersama, maupun tempat tinggal bagi seluruh anggota keluarganya.
Ikatan perkawinan merupakan unsur pokok dalam pembentukan keluarga yang harmonis dan
penuh rasa cinta kasih, maka dalam pelaksanaan perkawinan tersebut, diperlukan norma hukum
diperlukan dalam rangka mengatur hak, kewajiban, dan tanggung jawab masing-masing anggota
Harta bersama merupakan hasil dari hubungan hukum kekeluargaan dan hubungan
hukum kekayaannya terjalin sedemikian eratnya, sehingga keduanya tidak dapat dipisahkan.
Pembagian harta bersama antara suami istri pasca perceraian menjadi persoalan yang rumit,
sehingga tidak heran banyaknya gugatan harta bersama pasca terjadinya perceraian. Pada
dasarnya, hukum memberikan kebebasan bersama (persetujuan bersama) kepada kedua belah
Pembagian harta menjadi hal yang sensitif, hubungan antara suami dan istri pun dalam
pembagian harta sering kali menjadi perdebatan. Untuk mengatasi hal ini dalam Undang-Undang
Perkawinan menganut asas equalitas bagi suami istri. Dengan asas ini berarti suami-istri memikul
kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga sesuai dengan tugas dan tanggungjawab
masing-masing. Suami mempunyai kewajiban antara lain memberikan nafkah. Pasal 80 ayat (4)
KHI menyebutkan ‘sesuai dengan penghasilannya suami menanggung (a) nafkah, kiswah, dan
tempat kediaman bagi istri; (b) biaya rumah tangga, biaya perawatan, dan biaya pengobatan bagi
istri dan anak; dan (c) biaya pendidikan bagi anak. Tetapi jika posisi istri dalam mencari nafkah
atau bekerja dengan upah diatas suami maka hal ini bisa berbeda pembagiannya. Pengadilan
14
berwenang menentukan porsi istri yang menjadi tulang punggung keluarga lebih besar daripada
Selain itu, pengadilan dalam memutuskan suatu perkara akan melihat berdasarkan bukti
dan fakta di persindangan terkhusus dalam pembagian harta bersama antara suami dan istri.
Dapat dilihat dari adanya Putusan MA No. 266K/AG/2010, majelis hakim memberikan ¾ bagian
kepada isteri dan sisanya (1/4 bagian) kepada suami. Pertimbangan majelis adalah berdasarkan
bukti dan fakta di persidangan ternyata suami tidak memberikan nafkah dari hasil kerjanya dan
seluruh harta bersama diperoleh isteri dari hasil kerjanya, maka demi rasa keadilan pantaslah
Penggugat (Isteri) memperoleh harta bersama sebesar yang ditetapkan dalam amar putusan.
Kewenangan hakim bukan hanya menentukan proporsionalitas pembagian harta bersama, tetapi
juga memutuskan kemungkinan suami membayar nafkah isteri dan anak-anak pasca
perceraian.13Kemudian, dapat dilihat pula pada Putusan MA No. 78 K/AG/2001 menentukan jika
terjadi perceraian, maka suami berkewajiban memberikan nafkah iddah dan nafkah mut’ah.
Bahkan dalam Putusan MA No. 24K/AG/2003, MA menghukum suami untuk membayar ‘nafkah
lampau’ kepada isteri. Majelis hakim yang memutus perkara merujuk pada Pasal 34 ayat (1) dan
ayat (3) UU Perkawinan. Majelis menyatakan ‘kelalaian suami memberikan nafkah kepada
isterinya pada masa lampau, karena sudah terbukti di persidangan, maka pihak suami wajib
Dalam kasus ini dapat dikatakan bahwa dalam penyelesaian sengketa yang ada, suami
dan isteri mempunyai kedudukan setara yang mana isteri dapat menjadi tulang punggung
keluarga lebih besar dari pada suami dalam pembagian harta bersama. Sesuai dengan asas
equalitas yang merupakan salah satu asas yang dianut di dalam Undang-Undang Perkawinan.
Penyelesaian sengketa dalam kasus harta bersama ini dalam menentukan amar putusan yang
menjadi pertimbangan hakim tetap berdasarkan bukti dan fakta persindangan. Dapat dilihat dari
penyelesaian sengketa pada putusan yang telah kami paparkan terbukti bahwa asas equalitas
dalam kedudukan harta bersama itu sangat pentinng dan harus dijalankan dengan sebagaimana
mestinya agar tidak menjadi ketidakseimbangan antara suami dan istri dalam pembagian harta
bersama.
13
Ibid.
15
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
harta benda suami-istri selama perkawinan mereka yang menyimpang dari asas atau pola
perkawinan harus dibuat sebelum perkawinan dilangsungkan dan perjanjian tersebut harus
dibuat di hadapan Notaris, jika tidak dilakukan di hadapan Notaris, maka perjanjian tersebut
batal. Hal tersebut dilakukan agar suatu perjanjian dituangkan dalam bentuk akta otentik
yang mempunyai kekuatan pembuktian yang kuat: Memberikan kepastian hukum tentang
hak dan kewajiban suami-isteri atas harta benda mereka, mengingat perjanjian perkawinan
mempunyai akibat yang luas; Untuk membuat perjanjian perkawinan dibutuhkan seseorang
yang benar-benar menguasai hukum harta perkawinan dan dapat merumuskan semua
Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, salah satu asas yang terkandung
hak dan kedudukan suami-istri yang seimbang. Menurut asas ini masing-masing pihak dapat
melakukan perbuatan hukum secara mandiri begitupula terhadap harta bendanya. Dalam
KUHPerdata ketentuan mengenai Perjanjian Perkawinan juga diatur dalam Pasal 139, yang
menetapkan bahwa dalam perjanjian kawin itu kedua calon suami isteri dapat menyimpangi
Bahwa dalam penerapan asas equalitas terhadap kasus sengketa pada pembagian
harta bersama antara suami dan istri dalam penyelesaian sengketa pada putusan yang telah
kami paparkan terbukti bahwa asas equalitas dalam kedudukan harta bersama itu sangat
pentinng dan harus dijalankan dengan sebagaimana mestinya agar tidak menjadi
17
B. Saran
Ketidakpastian hukum juga terdapat dalam bidang hukum perkawinan, hal ini terjadi
karena adanya ketentuan dalam Pasal 66 UU No. 1 Tahun 1974, yang menentukan bahwa
ketentuan hukum produk kolonial dinyatakan tidak berlaku, tetapi hanyalah terbatas pada
ketentuan yang sudah diatur dalam undang-undang ini. Dapat ditafsirkan bahwa, jika suatu
aturan yang terkait dengan perkawinan tidak ada diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974, maka
dasar hukum yang dipergunakan tentunya dikembalikan pada aturan hukum produk kolonial,
padahal secara yuridis normatif aturan hukum tersebut tidak sesuai dengan Pancasila sebagai
falsafah Bangsa Indonesia. Semestinya hukum harus memberikan jaminan bagi terciptanya
kepastian hukum yang didukung oleh tiga hal yang saling terintegrasi satu sama lainnya, yaitu
substansi hukum (legal subtance), struktur hukum (legal structur) dan budaya hukum (legal
culture).
18
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Abdul Manaf, 2006, Aplikasi Asas Equalitas Hak dan Kewajiban Suami Istri Dalam
Maju.
Al Amruzi, H.M Fahmi., Hukum Harta Kekayaan Perkawinan, Jakarta: Aswaja Pressindo,
2013.
Happy Susanto, 2008, Pembagian Harta Gono-Gini Saat Terjadi Perceraian, Jakarta:
Visimedia.
Judiasih, Sonny Dewi., Harta Benda Perkawinan: Kajian Terhadap Kesetaraan Hak dan
Kedudukan Suami dan Istri atas Kepemilikan Harta Dalam Perkawinan, Bandung; PT.
Pradnya Paramita.
Wahyudi, Muhammad Isna., Pembaharuan Hukum Perdata Islam, Bandung: Mandar Maju,
2014.
Wignjodipoero, Soerojo., Pengantar dan Azaz-Azaz Hukum Adat, Jakarta: Gunung Agung,
1968.
B. Dokumen Lain
Nadiyah, ”Kedudukan Hukum (Legal Standing) Perjanjian Perkawinan terhadap Harta Benda
Yunanto, ”Titik Singgung Keragaman Sistem Hukum dalam Pembagian Harta Kekayaan
Perkawinan Pada Perkawinan Serial”, Masalah-Masalah Hukum, Jilid 47, Oktober 2018.
C. Dokumen Hukum
KUHPerdata (BW)
19