Anda di halaman 1dari 20

Asas Equalitas Dalam Hukum Perkawinan Indonesia

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Keluarga

Oleh :
Kelompok 6

Alief Yudha N 110110150011


Vidya Valerie 110110170023
Fuji Fauziah 110110170028
Kerinnisa Hidayat 110110170034
Azizah Kamilah Putri 110110170036
Yuda Eka Pradana 110110170080
Chandradhika Putra A 110110170317
Azka Bahra 110110170378
Shella Maureen Wijaya 110110180158
Agnes Nur Alifah 110110180161

Dosen :
Linda Rachmainy, S.H., M.H.
Dr. Hj.Sonny Dewi Judiasih, S.H., M.H.
Dr. Hj.Yani Pujiwati, S.H., M.H.
Betty Rubiati, S.H., M.H.

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PADJADJARAN
JATINANGOR
2020
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ............................................................................................................................. i

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................................ 1

A. Latar Belakang...................................................................................................................... 1

B. Identifikasi Masalah ............................................................................................................. 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................................... 4

A. Harta Bersama ..................................................................................................................... 4

a. Harta Bersama dalam Hukum Islam ................................................................................. 4

b. Harta Bersama dalam Hukum Adat.................................................................................. 4

c. Harta Bersama dalam KUHPerdata (BW) ......................................................................... 5

d. Harta Bersama dalam Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan ... 7

e. Harta Bersama Dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi

Hukum Islam(KHI) .................................................................................................................... 8

B. Pembagian Harta Bersama Berdasarkan Asas Equalitas ..................................................... 9

C. Dasar Hukum...................................................................................................................... 12

D. Pendapat Ahli ..................................................................................................................... 13

BAB III PEMBAHASAN .......................................................................................................... 14

BAB IV PENUTUP ................................................................................................................. 17

A. Kesimpulan......................................................................................................................... 17

B. Saran .................................................................................................................................. 18

DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................ 19

i
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan bahwa

tujuan perkawinan ialah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Kesejahteraan dalam

keluarga merupakan suatu hak yang paling mendasar atau merupakan hak asasi sebagaimana

ditentukan dalam Pasal 36 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi

Manusia, yang mengatakan bahwa: “Setiap orang berhak mempunyai hak milik, baik sendiri-

sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain demi pengembangan dirinya, keluarga,

bangsa dan masyarakat dengan cara yang tidak melanggar hukum”. Berdasarkan pernyataan

tersebut, terlihat bahwa kekayaan atau harta benda sangat dibutuhkan dalam suatu

perkawinan.

Salah satu akibat hukum dari suatu perkawinan yang sah adalah terciptanya harta

benda perkawinan. Harta atau kekayaan duniawi perkawinan diperlukan guna memenuhi

segala keperluan yang dibutuhkan dalam kehidupan berkeluarga.1 Kekayaan duniawi ini

dalam tulisan Soerojo disebut dengan harta perkawinan.2 Dalam ketentuan Kompilasi Hukum

Islam (KHI), Harta kekayaan dalam Pasal 1 Huruf f, menyatakan bahwa harta kekayaan dalam

perkawinan (syirkah) merupakan harta yang diperoleh baik sendiri maupun bersama

pasangan suami istri selama dalam ikatan perkawinan tanpa dipermasalahkannya terdaftar

atas nama siapapun.

Dalam perspektif lain seperti hukum adat, harta benda yang dimiliki oleh suami dan

istri dapat dibedakan kepada dua kategori yang umum, (1) harta benda yang diperoleh

sebelum adanya perkawinan; dan (2) harta benda yang didapat setelah atau selama dalam

perikatan perkawinan.3 Yang disebut pertama biasanya diistilahkan dengan harta bawaan

dan yang kedua diistilahkan dengan harta bersama. Untuk itu dapat dipahami bahwa adanya

perkawinan merupakan titik awal pertimbangan adanya harta bersama.

1
Sonny Dewi Judiasih, Harta Benda Perkawinan: Kajian Terhadap Kesetaraan Hak dan Kedudukan Suami dan Istri
atas Kepemilikan Harta Dalam Perkawinan, Bandung; PT. Refika Aditama, 2015, hlm. 23.
2
Soerojo Wignjodipoero, Pengantar dan Azaz-Azaz Hukum Adat, Jakarta: Gunung Agung, 1968, hlm. 149.
3
Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, Bandung: Alumni, 1980, hlm. 70-71.

1
Berdasarkan Pasal 35 ayat (1) dan (2) Undang-Undang tentang Perkawinan

menyebutkan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta Bersama.

Istilah harta bersama dipakai untuk harta benda yang diperoleh selama perkawinan saja.

Artinya harta yang diperoleh selama tenggang waktu, antara saat peresmian perkawinan,

sampai perkawinan terputus, baik terputus karena kematian salah seorang diantara mereka

(cerai mati), maupun karena perceraian (cerai hidup). Dengan demikian harta yang telah

dipunyai pada saat dibawa masuk ke dalam perkawinan terletak di luar harta bersama.

Sedangkan dalam pasal 36 ayat (1) diatur bahwa terhadap harta bersama, suami istri dapat

bertindak atas persetujuan kedua belah pihak. hal ini mencerminkan suatu kedudukan yang

setara terhadap kekuasaan atas harta bersama dalam perkawinan. Undang - Undang

Perkawinan tidak menguraikan lebih lanjut mengenai wujud dan ruang.

Masalah harta perkawinan merupakan masalah yang sangat besar pengaruhnya

dalam kehidupan suami-istri, utamanya apabila mereka bercerai, sehingga Hukum Harta

Perkawinan itu sudah memainkan peranan yang penting dalam kehidupan keluarga.

Menentukan status kepemilikan harta selama perkawinan penting untuk memperoleh

kejelasan bagaimana kedudukan harta itu jika terjadi kematian salah satu suami atau istri,

mana yang merupakan harta peninggalan yang akan diwaris ahli waris masing-masing, mana

yang merupakan harta pribadi masingmasing. Demikian pula apabila terjadi perceraian, harus

ada kejelasan mana yang menjadi hak istri dan mana yang menjadi hak suami. Jangan sampai

suami mengambil hak istri atau sebaliknya jangan sampai istri mengambil hak suami.

Dalam praktik terjadi permasalahan dimana mantan suami menggugat mantan

istrinya sejumlah harta yang merupakan objek sengketa untuk dibagi dua sama besar sebagai

bagian dari harta gono gini. Dalam hal ini objek sengketa berupa rumah, mobil dan beberapa

tanah yang dibeli dari penghasilan istri. Secara formal objek sengketa yang disengketakan

adalah harta bersama yang diperoleh setelah perkawinan melalui bukti-bukti pembelian

objek sengketa. Selama perkawinan yang berlangsung 5 tahun, suami melalaikan

kewajibannya sebagai seorang suami dan seorang ayah yang baik. Suami berstatus sebagai

karyawan (pekerja) namun tidak pernah memberikan penghasilannya kepada istri maupun

anaknya yang merupakan hak yang mutlak istri terima.

2
Dari kasus yang diuraikan diatas dapat dilihat bahwasannya telah terjadi

penyimpangan dimana tidak terpenuhinya hak dan kewajiban bagi seorang suami dan istri

dan menyebabkan terjadinya kesenjangan keadilan. Dalam hal ini asas equalitas akan

berperan dalam menyelesaikan permasalahan yang disajikan dengan berorientasi pada

pembagian proporsional dengan memperhatikan peran dan perilaku suami dan istri selama

perkawinan. Maka dari itu, perlu diperlukan adanya penyelesaian sengketa yang berdasarkan

asas keadilan dan asas equalitas dalam hukum keluarga.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang dan kasus posisi yang telah diuraikan di atas, maka dapat

dirumuskan beberapa masalah sebagai berikut :

1. Bagaimana penerapan asas equalitas dalam menentukan kedudukan harta perkawinan?

2. Bagaimana penyelesaian sengketa pada pembagian harta bersama antara suami dan istri

berdasarkan asas equlitas?

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Harta Bersama

a. Harta Bersama dalam Hukum Islam

Secara tegas ketentuan mengenai harta bersama dan permasalahannya

tidak dijumpai aturannya didalam Al-Qur‟an maupun Hadist Nabi. Demikian pula

dalam kitab fikih klasik tidak dijumpai pembahasan masalah ini. Hal ini dipahami,

karena sistem kekeluargaan yang dibina pada masyarakat Arab tidak mengenal harta

bersama, sebab yang berusaha dalam keluarga adalah suami, sementara sang

istri hanya bertugas mengatur urusan rumah tangga.

Para ahli hukum di Indonesia berbeda pendapat tentang harta bersama,

pendapat pertama mengatakan bahwa harta bersama ada dan diatur dalam syariat

Islam. Adanya harta bersama didasarkan kepada ayat-ayat Al-Qur‟an, Surah Al-

Baqarah ayat 228 :

“Dan Para istri yang diceraikan (wajib) menahan diri mereka (menunggu) tiga

kali suci. Tidak boleh bagi mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah

dalam rahim mereka, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhir. Dan para

suami mereka lebih berhak kembali kepada mereka dalam (masa) itu, jika mereka

menghendaki perbaikan. Dan mereka (para perempuan) mempunyai hak seimbang

dengan kewajibannya menurut cara yang patut, tetapi para suami mempunyai

kelebihan diatas mereka. Allah Maha Perkasa Maha Bijaksana.”

b. Harta Bersama dalam Hukum Adat

Dalam hukum adat harta perkawinan terdiri dari harta bawaan (Lampung

disebut Sesan; Jawa disebut Gawan; Batak disebut Ragiragi), harta pencaharian

(Minangkabau disebut Harta Suarang; awa disebut Ganagini; Lampung disebut Massow

besesak), dan harta Peninggalan (Harta pusaka, harta Warisan) dan harta

pemberian (hadiah, hibah dan lain-lain).4

4
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, Bandung: Mandar Maju, 2007, hlm. 115.

4
Harta perkawinan dalam hukum adat, menurut Ter Haar, dapat dipisah

menjadi empat macam sebagai berikut:5

a) Harta yang diperoleh suami atau isteri sebagai warisan atau hibah dari kerabat

masing-masing dan dibawa ke dalam perkawinan.

b) Harta yang diperoleh suami atau isteri untuk diri sendiri serta atas jasa diri

sendiri sebelum perkawinan atau dalam masa perkawinan.

c) Harta yang dalam masa perkawinan diperoleh suami dan isteri sebagai milik

bersama.

d) Harta yang dihadiahkan kepada suami dan istri bersama pada waktu pernikahan.

Menurut Wirjono Prodjodikoro, SH dalam bukunya ”Hukum Perkawinan di

Indonesia”, menjelaskan bahwa harta perkawinan menurut hukum adat terbagi

menjadi harta milik masing-masing suami atau istri dan harta bersama. Adapun

harta perkawinan yang menjadi harta milik masing-masing suami atau istri mencakup:

a) Harta yang diperoleh masing-masing suami-isteri sebagai warisan dari orang tua

atau nenek-moyang.

b) Harta yang diperoleh masing-masing suami-isteri sebagai hibah atau hasil usaha

sendiri.

c. Harta Bersama dalam KUHPerdata (BW)

Harta Bersama diatur dalam KUH Perdata (BW), Bab VI Pasal 119-138, yang

terdiri dari tiga bagian. Bagian Pertama tentang Harta Bersama yaitu Pasal 119

sampai dengan Pasal 123, Bagian Kedua tentang Pengurusan Harta Bersama diatur

dalam Pasal 124 sampai dengan Pasal 125, dan Bagian Ketiga tentang Pembubaran

Gabungan Harta Bersama Dan Hak Untuk Melepaskan Diri Dari Padanya diatur

dalam Pasal 126 sampai dengan Pasal 138. Harta Bersama diatur dalam KUH Perdata

(BW), Bab VI Pasal 119-138, yang terdiri dari tiga bagian. Bagian Pertama tentang

Harta Bersama yaitu Pasal 119 sampai dengan Pasal 123, Bagian Kedua tentang

Pengurusan Harta Bersama diatur dalam Pasal 124 sampai dengan Pasal 125, dan

5
Muhammad Isna Wahyudi, Pembaharuan Hukum Perdata Islam, Bandung: Mandar Maju, 2014, hlm. 79.

5
Bagian Ketiga tentang Pembubaran Gabungan Harta Bersama Dan Hak Untuk

Melepaskan Diri Dari Padanya diatur dalam Pasal 126 sampai dengan Pasal 138.

Berdasarkan KUHPerdata (BW), sejak dilangsungkan perkawinan, maka menurut

hukum terjadi harta bersama menyeluruh antara suami istri, sejauh tentang hal itu

tidak diadakan ketentuan-ketentuan dalam perjanjian kawin. Harta bersama

itu selama perkawinan berjalan tidak boleh ditiadakan atau dirubah dengan suatu

persetujuan antara suami istri.6 Harta bawaan yang merupakan harta pribadi otomatis

menjadi harta bersama ketika terjadi perkawinan, sebab adanya harta bersama itu

sendiri adalah akibat dari terjadinya suatu perkawinan.

Berkenaan dengan soal keuntungan, maka harta bersama itu meliputi barang-

barang bergerak dan barang-barang tidak bergerak milik suami dan istri, baik yang

sudah ada maupun yang akan ada, juga barang-barang yang mereka peroleh secara

cuma-cuma, kecuali bila dalam hal terakhir ini yang mewariskan atau yang

menghibahkan menentukan kebalikannya dengan tegas.7

Pasal 124 KUHPerdata mengatur bahwa hanya suami yang boleh mengurus

harta bersama. Suami boleh menjualnya, memindahtangankannya dan

membebaninya tanpa bantuan istrinya, kecuali istri berdasarkan perjanjian

perkawinan tidak mengurangi haknya untuk mengurus hartanya. Harta bersama bubar

demi hukum, karena kematian, perkawinan atas izin hakim setelah suami atau istri

tidak ada, perceraian, pisah meja dan ranjang, dan karena pemisahan harta.8

Prinsip yang dianut dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW) ini

berbeda dengan adat kebiasaan yang berlaku di masyarakat, demikian juga dengan

prinsip hukum Islam yang mengakui adanya kepemilikan secara pribadi pada masing-

masing orang.9

6
Lihat Pasal 119 KUHPerdata.
7
Lihat Pasal 120 KUHPerata.
8
Lihat Pasal 126 KUHPerdata.
9
Lihat QS. An Nisa ayat 32.

6
J. Satrio menjelaskan bahwa hutang yang termasuk dalam harta bersama,

tidak hanya hutang-hutang yang didasarkan atas perjanjian, tetapi meliputi juga

hutang-hutang yang timbul karena antara lain : 10

a) Denda-denda.

b) Penggantian kerugian karena onrechtmatige dead

c) Beban yang melekat pada warisan ataupun hibah yang jatuh dalam harta persatuan.

Terhadap persatuan bulat harta tersebut terdapat penyimpangan yaitu adanya

harta pribadi disamping harta persatuan. Harta pribadi tersebut bisa diperoleh

dengan adanya perjanjian kawin (Pasal 119 KUHPerdata) dan bisa juga karena

adanya kehendak/syarat dari si penghibah atau si pewaris (Pasal 120

KUHPerdata).Bentuk harta bersama seperti yang dikehendaki dalam pasal 120

KUHPerdata adalah terdiri dari harta yang bergerak dan yang tidak bergerak.

d. Harta Bersama dalam Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Masalah harta bersama dalam Undang - Undang Nomor 1 Tahun 1974

tentangPerkawinan diatur dalam Pasal 35sampai dengan Pasal 37. Pasal 35 ayat (1)

mengaturbahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta

bersama, sementara Pasal 35 ayat (2) menjelaskan bahwa harta bawaan dari masing-

masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai

hadiah atau warisan, adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para

pihak tidak menentukan lain. Oleh karena itu Undang-undang Perkawinan mengakui

hak suami dan istri untuk mengelola harta kepemilikannya masing-masing dan untuk

harta bersama dibutuhkan persetujuan keduanya guna melakukan tindakan hukum

terhadap harta tersebut.

Pasal 36 ayat (1) mengatur bahwa mengenai harta bersama, suami atau isteri

dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak, sedangkan Pasal 36 ayat (2)

mengatur bahwa mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan

isterimempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta

bendanya.

10
H.M Fahmi Al Amruzi, Hukum Harta Kekayaan Perkawinan, Jakarta: Aswaja Pressindo, 2013, hlm. 74.

7
Pasal 37 mengatur bahwa bila perkawinan putus karena perceraian, harta

bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Yang dimaksud dengan

“hukumnya” masing-masing ialah hukum agama, hukum adat dan hukum-hukum

lainnya (Penjelasan pasal 37)

Perlu diketahui bahwa Pasal 35 sampai dengan 37 di atas disusun berdasarkan

pada nilai-nilai umum yang muncul dalam aturan adat tentang harta bersama, yaitu:

(1) masing-masing pihak dalam perkawinan memiliki hak untuk mengambil

keputusan terhadap harta yang mereka peroleh sebelum nikah, dan (2) dengan

ikatan perkawinan, isteri maupun suami secara intrinsik memiliki posisi yang setara

terkait dengan kekayaan keluarga terlepas pihak mana yang sebenarnya

mengusahakan aset tersebut.

e. Harta Bersama Dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi

Hukum Islam(KHI)

KHI menjelaskan secara terperinci permasalahan harta dalam pernikahan

dalam pasal yang banyak, yang secara total terdapat dalam 13 pasal secara berturut-

turut membahas masalah ini yaitu dari Pasal 85 sampai Pasal 97, sedangkan

Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 hanya memuat dalam tiga pasal

secara berturut-turut, yaitu Pasal 35 sampai Pasal 37. Ketentuan Kompilasi Hukum

Islam tersebut antara lain menggariskan bahwa :

• Dalam perkawinan terdapat harta bersama, disamping harta pribadi masing-

masing suami istri. Harta pribadi tersebut sepenuhnya berada dalam

penguasaan masing-masing suami/istri, dan bagi masing-masingnya itu berhak

untuk melakukan tindakan hukum terhadap harta dimaksud. Suami, sesuai dengan

fungsinya, bertanggungjawab untuk menjaga harta bersama, harta istri dan hartanya

sendiri. Demikian juga istri, sesuai dengan fungsinya, turut bertanggungjawab untuk

menjaga harta bersama dan harta suami yang ada padanya.

• Harta bersama dapat berupa benda berwujud dan tidak berwujud. Harta bersama

yang berwujud meliputi benda tidak bergerak, benda bergerak dan surat-surat

8
berharga. Sedang harta bersama yang tidak berwujud dapat berupa hak dan

kewajiban.

• Harta bersama dapat dijadikan sebagai jaminan oleh suami atas persetujuan

istrinya. Demikian juga sebaliknya, harta bersama dapat dijadikan jaminan oleh

istri atas persetujuan suaminya

• Tanpa persetujuan istri, suami tidak diperbolehkan menjual, membebani atau

memindahtangankan harta bersama. Demikian juga sebaliknya, istri tidak

diperbolehkan menjual, membebani atau memindahtangankan harta bersama

tanpa persetujuan suaminya. Pertanggungjawaban terhadap hutang pribadi

suami/istri dibebankan pada harta masing-masing, sedangkan

pertanggungjawaban terhadap hutang yang diperlukan untuk

kepentingankeluarga, dibebankan pada harta bersama. Bila harta bersama tidak

mencukupi, pertanggungjawabannya dibebankan kepada harta istri.

• Harta bersama dari perkawinan serial atau poligami, masing-masing terpisah

dan berdiri sendiri, dan untuk itu terhitung mulaisaat berlangsungnya akad

perkawinan yang kedua, ketiga atau keempat.

• Suami/istri dapat meminta Pengadilan Agama untuk meletakkan sita jaminan

atas harta bersama tanpa adanya permohonan gugatan cerai, apabila salah

satu pihak, suami/istri melakukan perbuatan yang merugikan dan membahayakan

harta bersama seperti judi, mabuk, boros dan sebagainya.

• Apabila terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama menjadi hak pasangan

yang hidup lebih lama. Pembagian harta bersama bagi seorang suami/istri yang

istri atau suaminya hilang harus ditangguhkan sampai ada kepastian matinya

yang hakiki atau matinya secara hukum atas dasar keputusan Pengadilan Agama.

• Janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama

sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.

B. Pembagian Harta Bersama Berdasarkan Asas Equalitas

UU Perkawinan menganut asas equalitas bagi suami isteri. Menurut asas ini, suami-

isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga sesuai dengan tugas

9
dan tanggung jawab masing-masing. Salah satu kewajiban suami ialah untuk memberikan

nafkah. Pasal 80 ayat (4) KHI berbunyi ‘sesuai dengan penghasilannya suami menanggung (a)

nafkah, kiswah, dan tempat kediaman bagi isteri; (b) biaya rumah tangga, biaya perawatan,

dan biaya pengobatan bagi isteri dan anak; dan (c) biaya pendidikan bagi anak. Perkawinan

dapat putus dikarenakan kematian dan perceraian. Putusnya perkawinan karena perceraian

akan menimbulkan akibat hukum, yaitu pembagian harta kekayaan perkawinan.

Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan mengadakan perjanjian

perkawinan. Dalam perkawinan, suami isteri memiliki hak untuk dapat membuat perjanjian

kawin. Jika pasangan calon suami isteri berkehendak mengatur sendiri mengenai akibat

perkwinan terhadap harta kekayaan. Perjanjian perkawinan dapat dilakukan secara tertulis

dan disahkan oleh pegawai pencatatan perkawinan pada waktu atau sebelum perkawinan.

Secara formil, perjanjian perkawinan merupakan perjanjian yang dibuat oleh calon suami dan

calon isteri untuk mengatur akibat-akibat perkawinannya terhadap harta kekayaan mereka.

Perjanjian perkawinan dibuat dengan tujuan :

1. Untuk membatasi atau meniadakan sama sekali persatuan/campurnya harta kekayaan

menurut undang-undang;

2. Untuk membatasi kewenangan si suami terhadap barang-barang persatuan harta

kekayaan yang ditemukan dalam Pasal 124 ayat (2) juncto Pasal 140 ayat (3) KUHPerdata,

sehingga si suami tanpa bantuan si istri tidak boleh melakukan perbuatan-perbuatan yang

melepaskan barang-barang bergerak dan tak bergerak dari persatuan itu yang di bawa

oleh si istri dalam perkawinan atau yang diperoleh istri sepanjang perkawinan dan

tercatat atas nama si istri;

3. Untuk pemberian hibah si suami kepada istri, atau sebaliknya, atau pemberian hibah

timbal balik antara suami-sistri (pasal 168 KUHPerdata) megnatur: “dalam mengadakan

perjanjian perkawinan, kedua calon suami-isteri, yang satu kepada yang lain dan/atau

sebalinya, diperbolehkan memberi setiap hibah yang demikian, sepantas pertimbangan

mereka, dengan tidak mengurangi kemungkinan akan dilakukannya pengurangan pada

hibah tadi, sekedar perbuatan itu kiranya akan merugikan mereka, yang menurut undang-

undang berhak atas suatu bagian mutlak”.

10
Pada asasnya, kedudukan harta benda perkawinan adalah terpisah, artinya harta

benda masing-masing pihak pada dasarnya menjadi milik suami atau isteri secara pribadi dan

di bawah pengawasan masing-masing, bahkan suami atau isteri memiliki hak sepenuhnya

untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya dan hal ini diatur dalam Pasal

36 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974, yang mempunyai dua impilikasi yaitu pemisahan

harta bersama atau penyatuan harta bawaan suami-isteri.

Perjanjian perkawinan merupakan perjanjian yang dilangsungkan sesuai dengan

ketentuan undang-undang antara calon suami dan isteri mengenai perkawinan mereka, tidak

dipersoalkan apa isinya. Secara umum, perjanjian perkawinan berisi pengaturan harta

kekayaan calon suami-isteri. Prinsipnya pengertian perjanjian perkawinan sama dengan

perjanjian pada umumnya, yaitu suatu perjanjian antara dua orang calon suami dan isteri

untuk mengatur harta kekayaan pribadi masing-masing yang dibuat menjelang perkawinan,

serta disahkan oleh pegawai pencatat nikah.

Pasal 139 KUHPerdata mengandung suatu asas yakni calon suami istri bebas untuk

menentukan isi perjanjian perkawinan yang dibuatnya. Akan tetapi kebebasan tersebut

dibatasi oleh beberapa larangan yang harus diperhatikan. KUHPerdata mengatur beberapa

larangan mengenai isi perjanjian perkawinan, antara lain :

a) Perjanjian tersebut tidak boleh bertentangan dengan kesusilaan atau ketertiban umum

(Pasal 139);

b) Perjanjian tersebut tidak boleh menyimpang dari kekuasaan yang oleh Kitab Undang-

Undang Hukum Perdata diberikan kepada suami selaku kepala rumah tangga, misalnya

tidak boleh dijanjikan bahwa istri akan mempunyai tempat kediaman sendiri (Pasal 140

ayat (1));

c) Dalam perjanjian tersebut, suami isteri tidak boleh melepapskan hak mereka untuk

mewarisi harta peninggalan anak-anak mereka (Pasal 141);

d) Dalam perjanjian itu tidak boleh ditentukan bahwa salah satu pihak akan menanggung

hutang lebih besar daripada bagiannya dalam keuntungan (Pasal 142).11

11
Nadiyah, ”Kedudukan Hukum (Legal Standing) Perjanjian Perkawinan terhadap Harta Benda Perkawinan”, Jurnal
Syariah Darussalam, Vol. 2, No. 2, Juli-Desember 2018, hlm. 15-16.

11
C. Dasar Hukum

Pengaturan harta dalam perkawinan merupakan sebuah dilema karena sering

menimbulkan perselisihan dalam pemakaiannya. Jika membahas masalah harta dalam

perkawinan, pada dasarnya harta yang didapat selama perkawinan menjadi satu (harta

bersama). Pasal 119 KUHPerdata berbunyi, “kekayaan masing-masing yang dibawanya ke

dalam perkawinan itu dicampur menjadi satu.” Pasal 119 ayat (2) berbunyi “persatuan

(percampuran) harta itu sepanjang perkawinan tidak boleh ditiadakan dengan suatu

persetujuan antara suami isteri. Harta persatuan itu menjadi kekayaan bersama itu harus

dibagi dua, sehingga masing-masing mendapat separuh”. Untuk memberikan solusi dari

permasalahan tersebut, Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 telah melakukan

penyimpangan terhadap pembentukan harta bersama, yaitu dengan cara membuat

perjanjian perkawinan sebelum dilangsugkannya perkawinan. Perjanjian perkawinan

tersebut diatur dalam Bab VII Pasal 139-167 KUHPerdata.

Pasal 35 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa harta benda yang

diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama, sedangkan harta bawaan dan harta

benda yang diperoleh masing-masing pihak sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah

penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Adanya ketentuan

tersebut tidak menutup kemungkinan terjadinya perselisihan mengenai harta kekayaan

dalam perkawinan. Status harta bersama dan harta bawaan kerap kali baru menjadi suatu

permasalahan ketika perkawinan menjadi putus. Oleh karena itu, diperlukan kesadaran

hukum akan hal tersebut.

Secara normatif, keadilan formal dalam pembagian harta kekayaan perkawinan ialah

apabila telah dilakukan pembagian secara seimbang masing-masing suami-isteri

mendapatkan bagian setengah bagian. Dasar pembagian tersebut ialah asas keseimbangan

kedudukan suami-isteri. Pasal 128 KUHPerdata dan yurisprudensi putusan Mahkamah Agung

No. 1448 K/Sip/1974 menyatakan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan

menjadi harta bersama, sehingga pada saat terjadinya perceraian harta bersama tersebut

dibagi sama rata antara bekas suami-isteri. Pembagian yang telah diatur sedemikian rupa

belum sepenuhnya mencerminkan nilai keadilan yang sebenarnya. Oleh karena itu

12
penegakan asas keseimbangan atau asas equalitas dalam pembagian harta kekayaan

perkawinan harus diikuti dengan pembagian secara proporsional demi terwujudnya keadilan

substansial. Pembagian proporsional ini tidak harus dalam proporsi 1/2 :1/2, tetapi dapat

1/3:2/3, atau 1/4 :3/4, dan sebagainya.12

D. Pendapat Ahli

H. Hilman Hadikusuma dalam bukunya “Hukum Perkawinan Indonesia Menurut:

Perundangan Hukum Adat Hukum Agama” menjelaskan akibat hukum yang menyangkut

harta bersama berdasarkan Pasal 37 UU Perkawinan diserahkan kepada para pihak yang

bercerai tentang hukum mana dan hukum apa yang akan berlaku, dan jika tidak ada

kesepakatan antara mantan suami-isteri, hakim dapat mempertimbangkan menurut rasa

keadilan yang sewajarnya. Hilman menjelaskan bagi umat Katolik, pada dasarnya tidak ada

perceraian dalam agama Katolik, karena agama Katolik menolak adanya perceraian. Namun,

dalam praktiknya, pasangan Katolik tetap dapat bercerai secara perdata meskipun perceraian

tersebut dianggap tidak sah secara Katolik. Dalam hal tersebut, perceraian dan pembagian

harta bersama berpedoman pada ketentuan-ketentuan di dalam Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata.

T. M. Hasbi Ash Shiddiqie dalam bukunya ”Pedoman Rumah Tangga” berpendapat

bahwa dengan terjadinya suatu perkawinan, menjadikan sang istri kongsi sekutu seorang

suami dalam melayani bahtera hidup, maka antara suami-isteri dapat terjadi perkongsian

tidak terbatas. Dalam Pengadilan Agama, ketika ada orang Islam yang bercerai dan

mempersoalkan harta yang diperoleh selama perkawinan, maka akan dipertimbangkan harta

dalam perkawinan sebagaimana ketentuan Pasal 35 UU Perkawinan dan Pasal 85-97 KHI.

Sehingga menurut fikih Islam Indonesia, perkawinan menimbulkan adanya harta bersama

dalam perkawinan.

12
Yunanto, ”Titik Singgung Keragaman Sistem Hukum dalam Pembagian Harta Kekayaan Perkawinan Pada
Perkawinan Serial”, Masalah-Masalah Hukum, Jilid 47, Oktober 2018, hlm. 394.

13
BAB III
PEMBAHASAN

Seorang pria maupun wanita pada umumnya memiliki kebutuhan untuk hidup bersama,

kebutuhan tersebut mempunyai akibat yang sangat penting dalam masyarakat, baik terhadap

kedua belah pihak maupun keturunannya serta anggota masyarakat lainnya. Keluarga

merupakan kesatuan sosial terkecil yang dibentuk atas dasar ikatan perkawinan, yang unsur-

unsurnya terdiri dari suami, istri, dan anak-anaknya yang belum dewasa. Sedangkan sifat-sifat

keluarga sebagai suatu kesatuan sosial meliputi rasa cinta dan kasih sayang, ikatan perkawinan,

pemilikan harta benda bersama, maupun tempat tinggal bagi seluruh anggota keluarganya.

Ikatan perkawinan merupakan unsur pokok dalam pembentukan keluarga yang harmonis dan

penuh rasa cinta kasih, maka dalam pelaksanaan perkawinan tersebut, diperlukan norma hukum

yang mengaturnya. Penerapan norma hukum dalam pelaksanaan perkawinan terutama

diperlukan dalam rangka mengatur hak, kewajiban, dan tanggung jawab masing-masing anggota

keluarga, guna membentuk rumah tangga yang bahagia dan sejahtera.

Harta bersama merupakan hasil dari hubungan hukum kekeluargaan dan hubungan

hukum kekayaannya terjalin sedemikian eratnya, sehingga keduanya tidak dapat dipisahkan.

Pembagian harta bersama antara suami istri pasca perceraian menjadi persoalan yang rumit,

sehingga tidak heran banyaknya gugatan harta bersama pasca terjadinya perceraian. Pada

dasarnya, hukum memberikan kebebasan bersama (persetujuan bersama) kepada kedua belah

pihak untuk melakukan tindakan terhadap harta bersama.

Pembagian harta menjadi hal yang sensitif, hubungan antara suami dan istri pun dalam

pembagian harta sering kali menjadi perdebatan. Untuk mengatasi hal ini dalam Undang-Undang

Perkawinan menganut asas equalitas bagi suami istri. Dengan asas ini berarti suami-istri memikul

kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga sesuai dengan tugas dan tanggungjawab

masing-masing. Suami mempunyai kewajiban antara lain memberikan nafkah. Pasal 80 ayat (4)

KHI menyebutkan ‘sesuai dengan penghasilannya suami menanggung (a) nafkah, kiswah, dan

tempat kediaman bagi istri; (b) biaya rumah tangga, biaya perawatan, dan biaya pengobatan bagi

istri dan anak; dan (c) biaya pendidikan bagi anak. Tetapi jika posisi istri dalam mencari nafkah

atau bekerja dengan upah diatas suami maka hal ini bisa berbeda pembagiannya. Pengadilan

14
berwenang menentukan porsi istri yang menjadi tulang punggung keluarga lebih besar daripada

suami dalam pembagian harta bersama.

Selain itu, pengadilan dalam memutuskan suatu perkara akan melihat berdasarkan bukti

dan fakta di persindangan terkhusus dalam pembagian harta bersama antara suami dan istri.

Dapat dilihat dari adanya Putusan MA No. 266K/AG/2010, majelis hakim memberikan ¾ bagian

kepada isteri dan sisanya (1/4 bagian) kepada suami. Pertimbangan majelis adalah berdasarkan

bukti dan fakta di persidangan ternyata suami tidak memberikan nafkah dari hasil kerjanya dan

seluruh harta bersama diperoleh isteri dari hasil kerjanya, maka demi rasa keadilan pantaslah

Penggugat (Isteri) memperoleh harta bersama sebesar yang ditetapkan dalam amar putusan.

Kewenangan hakim bukan hanya menentukan proporsionalitas pembagian harta bersama, tetapi

juga memutuskan kemungkinan suami membayar nafkah isteri dan anak-anak pasca

perceraian.13Kemudian, dapat dilihat pula pada Putusan MA No. 78 K/AG/2001 menentukan jika

terjadi perceraian, maka suami berkewajiban memberikan nafkah iddah dan nafkah mut’ah.

Bahkan dalam Putusan MA No. 24K/AG/2003, MA menghukum suami untuk membayar ‘nafkah

lampau’ kepada isteri. Majelis hakim yang memutus perkara merujuk pada Pasal 34 ayat (1) dan

ayat (3) UU Perkawinan. Majelis menyatakan ‘kelalaian suami memberikan nafkah kepada

isterinya pada masa lampau, karena sudah terbukti di persidangan, maka pihak suami wajib

memberikan uang ‘nafkah lampau’.

Dalam kasus ini dapat dikatakan bahwa dalam penyelesaian sengketa yang ada, suami

dan isteri mempunyai kedudukan setara yang mana isteri dapat menjadi tulang punggung

keluarga lebih besar dari pada suami dalam pembagian harta bersama. Sesuai dengan asas

equalitas yang merupakan salah satu asas yang dianut di dalam Undang-Undang Perkawinan.

Penyelesaian sengketa dalam kasus harta bersama ini dalam menentukan amar putusan yang

menjadi pertimbangan hakim tetap berdasarkan bukti dan fakta persindangan. Dapat dilihat dari

penyelesaian sengketa pada putusan yang telah kami paparkan terbukti bahwa asas equalitas

dalam kedudukan harta bersama itu sangat pentinng dan harus dijalankan dengan sebagaimana

mestinya agar tidak menjadi ketidakseimbangan antara suami dan istri dalam pembagian harta

bersama.

13
Ibid.

15
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan

Menurut R. Subekti, “Perjanjian perkawinan adalah suatu perjanjian mengenai

harta benda suami-istri selama perkawinan mereka yang menyimpang dari asas atau pola

yang ditetapkan oleh undang-undang. Pasal 147 KUHPerdata menyatakan, perjanjian

perkawinan harus dibuat sebelum perkawinan dilangsungkan dan perjanjian tersebut harus

dibuat di hadapan Notaris, jika tidak dilakukan di hadapan Notaris, maka perjanjian tersebut

batal. Hal tersebut dilakukan agar suatu perjanjian dituangkan dalam bentuk akta otentik

yang mempunyai kekuatan pembuktian yang kuat: Memberikan kepastian hukum tentang

hak dan kewajiban suami-isteri atas harta benda mereka, mengingat perjanjian perkawinan

mempunyai akibat yang luas; Untuk membuat perjanjian perkawinan dibutuhkan seseorang

yang benar-benar menguasai hukum harta perkawinan dan dapat merumuskan semua

syarat dengan teliti.

Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, salah satu asas yang terkandung

didalamnya menjelaskan bahwa dalam suatu perjanjian perkawinan terdapat pengakuan

hak dan kedudukan suami-istri yang seimbang. Menurut asas ini masing-masing pihak dapat

melakukan perbuatan hukum secara mandiri begitupula terhadap harta bendanya. Dalam

KUHPerdata ketentuan mengenai Perjanjian Perkawinan juga diatur dalam Pasal 139, yang

menetapkan bahwa dalam perjanjian kawin itu kedua calon suami isteri dapat menyimpangi

ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dalam hartabersama, asal saja penyimpangan-

penyimpangan tersebut tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum.

Bahwa dalam penerapan asas equalitas terhadap kasus sengketa pada pembagian

harta bersama antara suami dan istri dalam penyelesaian sengketa pada putusan yang telah

kami paparkan terbukti bahwa asas equalitas dalam kedudukan harta bersama itu sangat

pentinng dan harus dijalankan dengan sebagaimana mestinya agar tidak menjadi

ketidakseimbangan antara suami dan istri dalam pembagian harta bersama.

17
B. Saran

Ketidakpastian hukum juga terdapat dalam bidang hukum perkawinan, hal ini terjadi

karena adanya ketentuan dalam Pasal 66 UU No. 1 Tahun 1974, yang menentukan bahwa

ketentuan hukum produk kolonial dinyatakan tidak berlaku, tetapi hanyalah terbatas pada

ketentuan yang sudah diatur dalam undang-undang ini. Dapat ditafsirkan bahwa, jika suatu

aturan yang terkait dengan perkawinan tidak ada diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974, maka

dasar hukum yang dipergunakan tentunya dikembalikan pada aturan hukum produk kolonial,

padahal secara yuridis normatif aturan hukum tersebut tidak sesuai dengan Pancasila sebagai

falsafah Bangsa Indonesia. Semestinya hukum harus memberikan jaminan bagi terciptanya

kepastian hukum yang didukung oleh tiga hal yang saling terintegrasi satu sama lainnya, yaitu

substansi hukum (legal subtance), struktur hukum (legal structur) dan budaya hukum (legal

culture).

18
DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Abdul Manaf, 2006, Aplikasi Asas Equalitas Hak dan Kewajiban Suami Istri Dalam

Penjaminan Harta Bersama Pada Putusan Mahkamah Agung,CV. Bandung: Mandar

Maju.

Al Amruzi, H.M Fahmi., Hukum Harta Kekayaan Perkawinan, Jakarta: Aswaja Pressindo,

2013.

Hadikusuma, Hilman., Hukum Perkawinan Indonesia, Bandung: Mandar Maju, 2007.

Hadikusuma, Hilman., Hukum Waris Adat, Bandung: Alumni, 1980.

Happy Susanto, 2008, Pembagian Harta Gono-Gini Saat Terjadi Perceraian, Jakarta:

Visimedia.

Judiasih, Sonny Dewi., Harta Benda Perkawinan: Kajian Terhadap Kesetaraan Hak dan

Kedudukan Suami dan Istri atas Kepemilikan Harta Dalam Perkawinan, Bandung; PT.

Refika Aditama, 2015.

R. Subekti dan R. Tjitrosudibio,1978, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta:

Pradnya Paramita.

Wahyudi, Muhammad Isna., Pembaharuan Hukum Perdata Islam, Bandung: Mandar Maju,

2014.

Wignjodipoero, Soerojo., Pengantar dan Azaz-Azaz Hukum Adat, Jakarta: Gunung Agung,

1968.

B. Dokumen Lain

Nadiyah, ”Kedudukan Hukum (Legal Standing) Perjanjian Perkawinan terhadap Harta Benda

Perkawinan”, Jurnal Syariah Darussalam, Vol. 2, No. 2, Juli-Desember 2018.

Yunanto, ”Titik Singgung Keragaman Sistem Hukum dalam Pembagian Harta Kekayaan

Perkawinan Pada Perkawinan Serial”, Masalah-Masalah Hukum, Jilid 47, Oktober 2018.

C. Dokumen Hukum

KUHPerdata (BW)

Kompilasi Hukum Islam (KHI)

Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

19

Anda mungkin juga menyukai