Anda di halaman 1dari 14

HARTA GONO GINI

DISUSUN
OLEH:
RIDQA MAULIDIN
C. 180281

MK :
DOSEN :

INSTITUT AGAMA ISLAM ALMUSLIM ACEH


PROVINSI ACEH
TAHUN 2021 M/1442 H
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah Yang Maha Kuasa atas segala limpahan

Rahmat, Inayah, Taufik dan Hidayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan

penyusunan makalah ini dalam bentuk maupun isinya yang sangat sederhana.

Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk

maupun pedoman bagi pembaca.

Harapan saya semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan

pengalaman bagi para pembaca, sehingga saya dapat memperbaiki bentuk maupun

isi makalah ini sehingga kedepannya dapat lebih baik.

Makalah ini saya akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang

saya miliki sangat kurang. Oleh kerena itu saya harapkan kepada para pembaca

untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk

kesempurnaan makalah ini.

Bireuen, 09 Juli 2021

ii i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................... i
DAFTAR ISI...................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah............................................................................ 2
1.3 Tujuan Pembahasan ......................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN................................................................................... 3
2.1 Pengertian Wakaf........................................................................... 3
2.2 Dasar Hukum Wakaf...................................................................... 5
2.3 Rukun dan Syaraf Wakaf............................................................... 5
2.4 Macam-Macam Wakaf................................................................... 6

BAB III PENUTUP........................................................................................... 9


3.1 Kesimpulan........................................................................................ 9
3.2 Saran.................................................................................................. 9

DAFTAR PUSTAKA

iiiii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sebuah perkawinan mempunyai tujuan untuk membentuk keluarga (rumah

tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa

sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan. Dalam UU tersebut perkawinan adalah ikatan lahir batin

antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan sebagai suami istri dengan

tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhaan Yang

Maha Esa.

Semua rumah tangga mengiginkan terciptanya rumah tangga yang

bahagia, sejahtera lahir dan batin serta memperoleh keselamatan hidup dunia

maupun akhirat nantinya. Tentu saja dari keluarga yang bahagia ini akan

tercipta suatu masyarakat yang harmonis dan akan tercipta masyarakat rukun,

damai, adil dan makmur. Setiap pasangan suami istri pasti mendambakan

keharmonisan berumah tangga, sehingga diperlukan perjuangan untuk

mempertahankan keutuhan rumah tangga sampai ajal menjemput nantinya, hal

ini dikarenakan dalam keluarga akan selalu muncul permasalahan yang bisa

menggoyahkan persatuan yang dibina tadi, bahkan keutuhan keluarga yang

kuat bisa terancam dan berakibat kepada perceraian.

Rumah tangga juga berasal dari dua individu yang berbeda, maka dari dua

individu itu mungkin terdapat tujuan, prinsip hidup, harapan dan lainnya yang

berbeda, untuk itu perlu penyatuan tujuan perkawinan demi tercapainya keluarga

yang sakinah. Tanpa adanya kesatuan tujuan antara suami dan isteri dalam

1
keluarga dan kesadaran bahwa tujuan itu harus dicapai bersama-sama, maka dapat

dibayangkan bahwa keluarga itu akan mudah mengalami hambatan-hambatan

yang merupakan sumber permasalahan besar dalam keluarga, akhirnya dapat

menuju keretakan keluarga yang berakibat lebih jauh sampai kepada perceraian.

Selanjutnya akibat hukum dari perceraian, maka mereka harus

menanggung nafkah iddah, nafkah anak-anak, biaya pendidikan, masalah

pemeliharaan anak hingga permasalahan pembagian harta gono-gini. Dalam

pembagian harta gono-gini yang sering kali menjadi persengketaan yang berlarut-

larut dan harus diselesaikan oleh pengadilan. Untuk itu pembagian harta bersama

yang digunakan oleh suami istri setelah perceraian adalah pembagian harta

bersama menurut hukum Islam, hukum adat, dan hukum perdata.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan  latar belakang diatas maka dapat ditarik suatu permasalahan
yakni:
1. Jelaskan pengertian wakaf?
2. Jelaskan macam-macam wakaf?

1.3 Tujuan Pembahasan


1. Untuk mengetahui pengertian wakaf.
2. Untuk mengetahui macam-macam wakaf.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Harta Gono Gini

Harta bersama (gono-gini) merupakan salah satu macam dari sekian


banyak harta yang dimiliki seseorang. Harta mempunyai arti penting bagi
seseorang karena dengan memiliki harta dia dapat memenuhi kebutuhan
hidup, selain itu juga akan memperoleh status sosial yang baik dalam
masyarakat. Tidak hanya penting dari segi kegunaannya (aspek ekonomi)
melainkan juga dari segi keteraturannya (aspek hukum). Secara ekonomi
orang sudah biasa bergelut dengan harta yang dimilikinya, tetapi secara
hukum orang belum banyak memahami aturan hukum yang mengatur
tentang harta, apalagi harta yang diperoleh suami istri selama masa
perkawinan.
Istilah harta bersama (gono-gini) dalam sebuah rumah tangga,
bermula atas ‘urf atau adat istiadat dalam sebuah negeri yang tidak
memisahkan antara hak milik suami dan istri. Secara bahasa, harta bersama
berasal dari dua kata yang terdiri dari kata harta dan bersama. Menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia “Harta berarti barang-barang (uang dan sebagainya) yang
menjadi kekayaan dan dapat berarti kekayaan berwujud dan tidak berwujud yang
bernilai. Harta bersama berarti harta yang dipergunakan (dimanfaatkan) bersama-
sama.”
Menurut Sayuti Thalib dalam bukunya Hukum Kekeluargaan
Indonesia mengatakan bahwa, harta bersama (gono-gini) adalah harta yang
didapat atas usaha mereka sendiri-sendiri atau usaha bersama selama masa
ikatan perkawinan. Muhammad Syaifuddin menjelaskan dalam bukunya Hukum
Perceraian, yang dimaksud dengan harta bersama (gono-gini) adalah harta
yang diperoleh selama perkawinan, karena pekerjaan suami atau istri. Ini
berarti bahwa harta bersama adalah harta benda yang diperoleh selama
jangka waktu antara saat perkawinan sampai perkawinan itu putus, baik
karena kematian maupun perceraian.

3
Disebutkan dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 1 huruf f, bahwa:
Harta kekayaan dalam perkawinan atau syirkah adalah harta yang
diperoleh baik sendiri sendiri atau bersama suami-istri selama dalam ikatan
perkawinan berlangsung dan selanjutnya disebut harta bersama, tanpa
mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun.
Pengertian harta bersama juga terdapat di Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 35 Ayat 1 menyatakan “Harta benda
yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama”.
Dari beberapa pengertian bisa disimpulkan bahwa harta bersama
(gono-gini) adalah semua harta kekayaan yang diperolah suami istri secara
bersama-sama atau sendiri-sendri selama masa perkawinan.

2.2 Dasar Hukum Harta Gono-Gini

Pada dasarnya tidak ada percampuran harta kekayaan dalam perkawinan


antara suami dan istri, atau yang disebut harta bersama (gonogini). Konsep harta
bersama (gono-gini) pada awalnya berasal dari adatistiadat atau tradisi yang
berkembang di Indonesia, kemudian konsep ini didukung oleh hukum positif dan
hukum Islam yang berlaku di Indonesia. Dasar hukum tentang harta bersama
(gono-gini) dapat ditelusuri melalui undang-undang dan peraturan berikut:
a) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pada Bab VII
diberi nama dengan judul Bab Harta Benda dalam Perkawinan.
b) Harta bersama diatur dalam Bab VII pada pasal 35 sampai dengan
pasal 37.
c) Kompilasi Hukum Islam, masalah harta bersama yang berkaitan
dengan perjanjian perkawinan diatur dalam Bab VII tentang Perjanjian
Perkawinan dalam pasal 45 sampai dengan pasal 52, sedang tentang
harta bersamanya itu sendiri diatur dalam Bab XII tentang Harta
Kekayaan dalam Perkawinan dalam Pasal 85 sampai dengan Pasal 97.

4
Artinya: Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah
kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain.
(karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka
usahakan, dan bagi Para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang
mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-
Nya. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.

Artinya: Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah
telah melebihkan sebahagian mereka (lakilaki) atas sebahagian yang lain
(wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari
harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada
Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah
telah memelihara (mereka). wanita-wanita yang kamu khawatirkan
nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat
tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu,
Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.
Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.

5
Menurut bahasa syarikah itu berarti percampuran suatu harta dengan harta
lain sehingga tidak dapat dibedakan lagi satu dari yang lain. Menurut hukum
Islam ialah dua hak dua orang atau lebih terhadap sesuatu. Syirkah terbagi
menjadi dua bagian:
a. Syirkah Amlaak, yaitu:

Artinya: Kepemilikan oleh dua orang atau lebih terhadap suatu barang tanpa
melalui akad syirkah Dapat diambil pengertian bahwa yang dimaksud
syirkah amlaak adalah suatu benda yang dimiliki oleh dua orang atau
lebih tanpa adanya akad untuk menggabungkan kepemilikan atau
perjanjian.

b. Syirkah ‘Uquud, yaitu:

Artinya: Suatu ungkapan tentang akad yang terjadi antara dua orang atau lebih
untuk bersekutu di dalam modal dan keuntungannya.

c. Syirkah‘Inan, yaitu: Pengertian dari syirkah abdan, syirkah mufawadhah,


syirkah wujuh dan syirkah‘inan:

6
Artinya: Kesepakatan antara dua orang (atau lebih) untuk menerima
suatu pekerjaan dengan ketentuan upah kerjanya dibagi di antara
mereka sesuai dengan kesepakatan.

d. Syirkah Inaan, yaitu:

2.3 Rukun dan Syarat Wakaf

Dalam fiqih Islam dikenal ada 4 (empat) rukun atau unsur wakaf, antara
lain adalah:
a) Orang yang berwakaf (waqif).
b) Benda yang diwakafkan (mauquf).
c) Penerima wakaf (nadzir).
d) Lafaz atau pernyataan penyerahan wakaf.
Menurut Jumhur, Mazhab Syafi’I, Maliki dan Hambali, rukun wakaf itu
ada 4 (empat) perkara. Menurut Khatib As Sarbun dalam Mugni Al-Muhtaj, 4
(empat) rukun wakaf tersebut adalah orang yang berwakaf (Al-waqif), benda yang
diwakafkan (Al-mauquf), orang atau objek yang diberi wakaf (Al-mauquf alaih),
dan sighat wakaf. 17 PP No. 28 Tahun 1977 tidak mencantumkan secara lengkap
unsur-unsur perwakafan. Kendati pun demikian, untuk memenuhi fungsi wakaf di
dalam ketentuan umum dan dalam peraturan pelaksananya, nadzir merupakan
salah satu unsur perwakafan di Indonesia. Oleh karenanya unsur-unsur
perwakafan tanah milik adalah waqif, ikrar, benda yang diwakafkan, tujuan wakaf
dan nadzir.
Pelaksanaan wakaf dianggap sah apabila terpenuhi syarat-syarat yaitu:
o Wakaf harus orang yang sepenuhnya menguasai sebagai pemilik benda yang
akan diwakafkan. Si Wakif tersebut harus mukallaf (akil baligh) dan atas
kehendak sendiri.
o Benda yang akan diwakafkan harus kekal dzatnya, berarti ketika timbul
manfaatnya dzat barang tidak rusak. Harta wakaf hendaknya disebutkan
dengan terang dan jelas kepada siapa dan untuk apa diwakafkan.

7
o Penerima wakaf haruslah orang yang berhak memiliki sesuatu, maka tidak
sah wakaf kepada hamba sahaya.
o Ikrar wakaf dinyatakan dengan jelas baik dengan lisan maupun tulisan.
o Dilakukan secara tunai dan tidak ada khiyar (pilihan) karena wakaf berarti
memindahkan wakaf pada waktu itu. Jadi, peralihan hak terjadi pada saat ijab
qobul ikrar wakaf oleh Wakif kepada Nadzir sebagai penerima benda wakaf.

2.4 Macam-Macam Wakaf

Wakaf sebagai suatu lembaga dalam hukum Islam tidak hanya mengenal 1
(satu) macam wakaf saja, ada berbagai macam wakaf yang dikenal dalam Islam
yang pembedaannya didasarkan atas beberapa kriteria. Asaf A.A. Fyzee mengutip
pendapat Ameer Ali membagi wakaf dalam tiga golongan yaitu sebagai berikut:

o Untuk kepentingan yang kaya dan yang miskin dengan tidak berbeda.
o Untuk keperluan yang kaya dan sesudah itu baru untuk yang miskin
o Untuk keperluan yang miskin semata-mata.
Pendapat lain dikemukakan oleh Ahmad Azhar Basyir sebagai berikut:
a) Wakaf Ahli (keluarga atau khusus) ialah wakaf yang ditujukan kepada orang
orang tertentu, seorang atau lebih, baik keluarga wakif atau bukan. Misal:
“mewakafkan buku-buku untuk anak-anak yang mampu mempergunakan,
kemudian cucu-cucunya.” Wakaf semacam ini dipandang sah dan yang
berhak menikmati harta wakaf adalah mereka yang ditunjuk dalam
pernyataan wakaf.
b) Wakaf Khairi atau wakaf umum ialah wakaf yang sejak semula ditujukan
untuk kepentingan umum, tidak dikhususkan untuk orang-orang tertentu.
Wakaf khairi ini sejalan dengan jiwa amalan wakaf yang amat digembirakan
dalan ajaran Islam, yang dinyatakan bahwa pahalanya akan terus mengalir,
sampai bila waqif telah meninggal, selagi harta wakaf masih tetap dapat
diambil manfaatnya.
Wakaf ini dapat dinikmati oleh masyarakat secara luas dan dapat
merupakan salah satu sarana untukmenyelenggarakan kesejahteraan masyarakat,
baik dalam bidang sosial ekonomi, pendidikan, kebudayaan maupun keagamaan.

8
Selain kedua macam bentuk wakaf tersebut, yaitu wakaf ahli dan wakaf khairi,
maka apabila ditinjau dari segi pelaksanaannya di dalam hukum islam dikenal
juga adanya wakaf syuyu’ dan wakaf mu’allaq. wakaf syuyu’ adalah wakaf yang
pelaksanaannya dilakukan secara gotongroyong, dalam arti beberapa orang
berkelompok (bergabung) menjadi satu untuk mewakafkan sebidang tanah (harta
benda) secara patungan dan berserikat.
Sedangkan Wakaf Mu’allaq adalah suatu wakaf yang dalam
pelaksanaannya digantungkan, atau oleh si wakif dalam ikrarnya menangguhkan
pelaksanaannya sampai dengan ia meninggal dunia. Dalam arti, bahwa wakaf itu
baru berlaku setelah ia sendiri meninggal dunia. Dalam Praktek, Wakaf Syuyu’
untuk masa sekarang dimana harga tanah sudah relatif amat mahal, banyak terjadi
dan dilakukan oleh masyarakat Indonesia. Sebagai contoh, dalam hal
pembangunan masjid yang memerlukan lahan atau tanah yang cukup luas. Dalam
hal panitia pembangunan masjid tersebut tidak mempunyai dana yang relatif
cukup untuk membeli tanah yang diperlukan, dan tidak ada orang yang mampu
atau orang yang mewakafkan tanah seluas tanah yang diperlukan, maka panitia
pembangunan masjid tersebut biasanya akan menawarkan kepada masyarakat
untuk memberikan wakaf semampunya.
Dalam arti masyarakat tersebut secara bersyarikat (bergotong-royong)
membeli sisa harga tanah yang belum terbeli (terbayar) oleh panitia pembangunan
masjid tersebut. Praktek perwakafan semacam ini, baik menutut Hukum Islam
(fiqih) maupun menurut Hukum Agraria Nasional dapat dibenarkan. Untuk
Wakaf Mu’allaq, dalam prakteknya untuk masa sekarang, yakni setelah masalah
perwakafan diatur secara positif dalam Hukum Nasional kita, suatu perwakafan
harus berlaku seketika itu juga, yakni setelah wakif mengucapkan ikrar wakaf.
Praktek Wakaf Mu’allaq banyak terjadi di masa lampau, yakni sebelum masalah
perwakafan diatur dalam hokum positif.

9
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan diatas, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan


yakni:

1. Pengertian wakaf:
 Wakaf merupakan istilah dari bahasa Arab “waqaf”. istilah wakaf secara
bahasa berarti penahanan atau larangan atau menyebabkan sesuatu
berhenti. Oleh karena itu, apabila membicarakan masalah perwakafan
pada umumnyadan perwakafan tanah pada khususnya, tidak mungkin
untuk melepaskan diridari pembicaraan tentang konsepsi wakaf
menurut Hukum Islam.
2. Macam-macam wakaf:
 Wakaf Ahli (keluarga atau khusus) ialah wakaf yang ditujukan kepada
orang orang tertentu, seorang atau lebih, baik keluarga wakif atau bukan.
 Wakaf Khairi atau wakaf umum ialah wakaf yang sejak semula ditujukan
untuk kepentingan umum, tidak dikhususkan untuk orang-orang tertentu.

10
3.2 Saran
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca,khususnya bagi
pemakalah. Dan dalam penulisan dan penyusanan makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan. Maka dari itu pemakalah mengharapkan kritikan dan saran yang
bersifat membangun agar dalam pembuatan makalah yang berikutnya dapat
menjadi lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Azhar Basyir, 1977, Hukum Islam tentang Wakaf, Ijarah dan Syirkah, Al
Maarif, Bandung.

Harun Nasution dan Syarif Hidayatullah, 1992, Ensiklopedia Islam, Djambatan,


Jakarta.

Mujamma’ Khadim Al-Haramainasy-Syarifain Al-Malik Fahd li-Thiba’at Al-


Mushhafasy-Syarif, AlQur’an danTerjemahnya, Madinah, tt, 91.

Nur Chozin, 1995, Penguasaan dan Pengalihan Manfaat Wakaf Syuyu’


(tergabung), Mimbar Hukum, No. 18 Tahun VI, Al-Hikmah, Jakarta.

Suparman Usman, 1994, Hukum Perwakafan di Indonesia, Darul Ulum Press,


Serang.

11

Anda mungkin juga menyukai