Anda di halaman 1dari 14

HUKUM ADAT PERKAWINAN

Dosen Pengampu:

Fauzan., S.Ag., M.H

Disusun Oleh:

Kelompok 2

1. Rahman Dwi Ferdiansyah 2111120042


2. Della Oktavia 2111120041
3. Ceria Febiola 2111120060
4. Delvianto 2111120050
5. Edwin Ansori 2111120055

HUKUM EKONOMI SYARIAH

FAKULTAS SYARIAH

UIN FATMAWATI SUKARNO BENGKULU

TAHUN AJAR 2022/203

i
KATA PENGANTAR

Puji Syukur Alhamdulillah senantiasa kami panjatkan kehadirat Allah


SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia nya, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini, dan berterimakasih juga kepada dosen pengampu
mata kuliah Hukum Adat ini Bapak Fauzan., S.Ag., M.H Yang sudah memberikan
kepercayaan kepada kami guna untuk membahas makalah yang berjudul tentang
“Hukum Adat Perkawinan”.

Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari kata
sempurna dikarenakan terbatasnya pengalaman dan pengetahuan yang kami miliki
serta kurangnya wawasan yang kami dapatkan. Oleh karena itu, kami
mengharapkan segala bentuk saran serta masukan yang bisa membantu untuk
membangun semangat dari berbagai pihak. Kami berharap semoga makalah ini
dapat memberikan manfaat bagi pembacanya.

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................ii

DAFTAR ISI.....................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang......................................................................................4
B. Rumusan Masalah.................................................................................4
C. Tujuan Penulisan..................................................................................4

BAB II PEMBAHASAN

A. Fungsi Harta Perkawinan......................................................................5


B. Pemisahan Harta Perkawinan................................................................6
C. Harta Gono-Gini....................................................................................10

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan...........................................................................................13
B. Saran.....................................................................................................13

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Harta perkawinan merupakan modal kekayaan yang dapat
dipergunakan oleh suami istri untuk membiayai kebutuhan hidup sehari--
hari suami istri dan anak-anak nya didalam satu rumah tangga keluarga
kecil dan satu rumah tangga keluarga besar, yang setidak-tidaknya dari
satu rumah tangga kakek dan nenek. Begitu pula ada suami dan istri yang
hanya betanggung jawab atas kehidupan dengan anak-anaknya saja.
Pemisahan harta dalam perkawinan dewasa ini baru sebagian
masyarakat yang mengenalnya ataupun mengetahuinya, anggapan bahwa
setelah menikah segala sesuatu bercampur menjadi satu akan membuat
pasangan merasa nyaman dan enggan membuatnya. bahwa harta yang
boleh dibagi secara bersama bagi pasangan suami istri yang bercerai
adalah hanya terbatas pada harta gono-gini atau harta bersama sepanjang
tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan. Harta gono-gini artinya
harta bersama yang dimiliki suami dan istri yang ditanda tangani dengan
kesepakatan dalam pernikahan.
B. Rumusan Masalah
1. Apa fungsi harta perkawinan?
2. Bagaimana pemisahan harta perkawinan?
3. Apa itu harta gono-gini?
C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui fungsi harta perkawinan
2. Untuk mengetahui pemisah harta perkawinan
3. Untuk memahami mengenai harta gono-gini

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. Fungsi Harta Perkawinan


Harta adalah segala sesuatu yang dapat disimpan untuk digunakan
ketika dibutuhkan, dalam penggunaannya bisa dicampuri oleh lain.
Hakikat harta yang sebenarnya yaitu yang habis dimakan, yang rusak
dipakai, dan yang bisa dibawa mati. Harta merupakan segala sesuatu
yang berwujud maupun tidak berwujud.
Menurut hukum adat yang dimaksud dengan harta perkawinan
adalah semua harta yang dikuasai suami istri selama mereka terikat
dalam ikatan perkawinan, baik kerabat yang dikuasai, maupun harta
perseorangan yang berasal dari harta warisan, harta hibah, harta
penghasilah sendirir, harta pencaharian bersama suami istri, dan
barang-barang hadiah.
Harta perkawinan merupakan modal kekayaan yang dapat
dipergunakan oleh suami istri untuk membiayai kebutuhan hidup
sehari--hari suami istri dan anak-anak nya didalam satu rumah tangga
keluarga kecil dan satu rumah tangga keluarga besar, yang setidak-
tidaknya dari satu rumah tangga kakek dan nenek. Begitu pula ada
suami dan istri yang hanya betanggung jawab atas kehidupan dengan
anak-anaknya saja.
Dalam kedudukan harta perkawinan sebagi modal kekayaan untuk
membiyayai kehidupan rumah tangga suami istri, maka harta
perkawinan itu dapat kita golongkan dalam beberapa macam, yaitu:
1. Harta yang diperoleh atau dikuasai sumai/istri sebelum
perkawinan, yaitu “Harta Bawaan”.
2. Harta yang diperoleh atau dikuasai sumai/istri secara perseorangan
sebelum atau sesudah perkawinan, yaitu “Harta Penghasilan”.
3. Harta diperoleh atau dikuasai suami/istri bersama-sama selama
perkwinan, yaitu “Harta Pencaharian”

5
4. Harta yang diperoleh suami/istri bersama ketika upacara
perkawinan sebagai hadiah, yang disebut “Hadiah Perkawinan”.
Secara yuridis, harta benda sebuah lembaga perkawinan
mempunyai fungsi yang mendasar, terutama sebagai objek pewarisan
yang merupakan hak dan kebawajiban subjek waris, sebagai sarana
atau instrumen membayar jujur, belis dari keluarga/kerabat calon
suami kepada kerabat pihak calon istri yang dapat berupa uang, emas.1
1. Harta Bawaan, adalah harta yang dikuasai masing-masing
pemiliknya yaitu suami atau istri. Masing-masing istri berhak
sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta
bendanya (Pasal 36 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan) sama-sama berlaku bagi siapa saja.
Harta yang selama ini dimiliki, secara otomatis akan menjadi harta
bersama sejak terjadinya suatu perkawinan sejauh tidak ada
perjanjian mengenai pemisahan harta (yang dikenal dengan
perjanjian perkawinan). Disebutkan bahwa harta benda yang
diperoleh selama perkawinan akan menjadi harta bersama.
2. Harta Bersama, adalah harta yang diperoleh sepanjang perkawinan
berlangsung sejak perkawinan dilangsungkan hingga perkawinan
berakhir atau putusnya perkawinan akibat perceraian. Harta
bersamaha hanyalah meliputi harta yang diperoleh suami-istri
sepanjang perkawinan, tidak termasuk harta bersama adalah hasil
dan pendapatan suami, hasil dan pendapatan istri.
B. Pemisahan Harta Pekawinan
Bagi calon suami isteri yang ingin menghindari adanya
percampuran harta benda tersebut secara bulat dalam perkawinan yang
akan dilaksanakan, Undang-undang mengatur ketentuan mengenai

1
Idris, Moh. Ramulyo, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara
Peradilan Agama dan Zakat. hal. 78

6
penyimpangan tersebut dengan membuat perjanjian kawin. Pada
umumnya suatu perjanjian kawin dibuat dengan alasan:
1. Bilamana terdapat sejumlah harta kekayaan yang lebih besar pada
salah satu pihak daripada pihak yang lain.
2. Kedua belah pihak masing-masing membawa masukan
(aanbrengst) yang cukup besar.
3. Masing-masing mempunyai usaha sendiri-sendiri, sehingga andai
kata salah satu jatuh (failliet), yang lain tidak tersangkut.
4. Atas hutang-hutang yang mereka buat sebelum kawin masing-
masing akan bertanggunggugat sendiri-sendiri.2
Pemisahan harta dalam perkawinan dewasa ini baru sebagian
masyarakat yang mengenalnya ataupun mengetahuinya, anggapan
bahwa setelah menikah segala sesuatu bercampur menjadi satu akan
membuat pasangan merasa nyaman dan enggan membuatnya. Bagi
calon suami istri yang menghindari adanya percampuran harta tersebut
undang-undang mengatur ketentuan mengenai penyimpangan tersebut
dengan membuat perjanjian kawin, perjanjian kawin dapat dijadikan
sebagai salah satu upaya untuk mencegah perseteruan mengenai harta
benda perkawinan dikemudian hari.
Selanjutnya, untuk menjamin bahwa perjanjian kawin yang dibuat
adalah benar dan dapat mengikat para pihak maka mengenai bentuk
perjanjian kawin menurut KUHPerdata harus dibuat:
1. Dengan akta notaris
Perjanjian kawin dengan tegas harus dibuat dengan akta notaris
sebelum perkawinan berlangsung, dan akan menjadi batal bila
tidak dibuat secara demikian. Sebagaimana hal ini dijelaskan
dalam Pasal 147 KUHPerdata yang menyatakan bahwa,
“Perjanjian kawin harus dibuat dengan akta notaris sebelum
pernikahan berlangsung, dan akan menjadi batal bila tidak dibuat
secara demikian.” Perjanjian perkawinan harus dibuat dalam akta

2
Opcit.hal.83

7
otentik yang mempunyai kekuatan pembuktian yang kuat. UU
Nomor 1 tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam hanya
mensyaratkan bahwa perjanjian perkawinan harus dibuat dalam
bentuk tertulis. Agar perjanjian kawin tersebut mempunyai
kekuatan pembuktian sempurna apabila terjadi persengketaan,
Dengan dibuatnya perjanjian kawin dalam akta notaris maka akan
memberikan kepastian hukum tentang hak dan kewajiban suami-
isteri.3
a. Untuk mencegah perbuatan yang tergesa-gesa, oleh karena
akibat daripada perjanjian ini akan dipikul untuk seumur
hidup.
b. Untuk adanya kepastian hokum.
c. Sebagai satu-satunya alat bukti yang sah.
d. Untuk mencegah kemungkinan adanya penyelundupan atas
ketentuan Pasal 149 KUHPerdata (Setelah perkawinan
berlangsung, perjanjian kawin tidak boleh diubah dengan cara
apapun).
2. Sebelum Perkawinan Berlangsung
Dalam hal ini ditegaskan pula dalam Pasal 147 KUHPerdata,
karena pembuatan perjanjian kawin sendiri adalah untuk
menyimpangi ketentuan yang ada dalam Undang-undang. Dengan
mengadakan perjanjian perkawinan kedua calon suami isteri
berhak menyiapkan dan menyampaikan beberapa penyimpangan
dari peraturan undang-undang mengenai persatuan harta kekayaan.
Perjanjian perkawinan itu mulai berlaku sejak perkawinan
berlangsung dan tidak boleh dirubah kecuali atas persetujuan
kedua belah pihak dengan syarat tidak merugikan pihak ketiga
yang tersangkut. Perjanjian kawin yang dibuat setelah perkawinan
berlangsung maka menjadi tidak sah atau batal demi hukum.

3
Malisi, Ali. Jurnal Studi Islam Ulul Albab. Vol. 14, hal.65

8
Apabila salah satu dari kedua syarat itu tidak dipenuhi, maka
perjanjian kawin itu batal.4
Dalam Pasal 186 KUHPerdata menyebutkan bahwa di
dalam suatu perkawinan diperbolehkan adanya perpisahan harta
benda, yang menyatakan bahwa sepanjang perkawinan, setiap
isteri berhak mengajukan tuntutan akan pemisahan harta benda
kepada hakim dalam hal-hal:
a. Bila suami, dengan kelakuan buruk, memboroskan barang-
barang dari gabungan harta bersama, dan membiarkan rumah
tangga terancam bahaya kehancuran.
b. Bila karena kekacaubalauan dan keburukan pengurusan harta
kekayaan si suami, jaminan untuk harta perkawinan isteri serta
untuk apa yang menurut hukum menjadi hak isteri akan hilang,
atau jika karena kelalaian besar dalam pengurusan harta
perkawinan si isteri, harta itu berada dalam keadaan bahaya.
Mengenai isi dan macam perjanjian kawin yang dapat diperjanjikan
dalam perjanjian perkawinan menurut KUHPerdata dibagi sebagai
berikut:
1. Pemisahan Harta Perkawinan Secara Bulat (Sepenuhnya).
Apabila sebelum perkawinan berlangsung calon suami dan istri
tidak membuat perjanjian kawin, maka secara hukum terjadi
persatuan harta secara bulat. Suami istri mempunyai kebebasan
untuk membatasi kebersamaan harta menurut kehendak mereka,
dengan tidak melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Dengan terjadinya pemisahan harta dalam
perkawinan maka hanya terdapat dua macam harta perkawinan,
yaitu harta pribadi suami dan harta pribadi istri. Dan tidak adanya
kemungkinan adanya harta kekayaan milik bersama

4
Ash Shiddieqy, Hasbi. 1993. Fiqh Waris: Hukum Pembagian Waris menurut
Syari’at Islam.hal.17

9
2. Persatuan Untung-Rugi
Perjanjian kawin dengan persatuan keuntungan dan kerugian
(gemeenschap van winst en varlies) dalam hal ini tidak mengenal
adanya persatuan harta yang bulat melainkan membatasinya dalam
hal persatuan yang terbatas, yaitu hanya terbatas pada persatuan
untung dan kerugian saja.5
Dalam hal ini dengan adanya persatuan untung dan
kerugian menjadi hak dan tanggungan suami dan isteri. Kalau ada
keuntungan yang diperoleh selama perkawinan berlangsung, maka
keuntungan tersebut akan dibagi dua antara suami isteri. Dan juga
sebaliknya, dalam hal terjadi kerugian ataupun tuntutan dari pihak
ketiga (orang lain di luar suami isteri tersebut), maka kerugian
tersebut menjadi tanggung jawab suami dan isteri. Pada
kebersamaan untung dan rugi yang menjadi milik dan beban
bersama adalah keuntungan yang diperoleh sepanjang perkawinan
dan kerugian yang diderita sepanjang perkawinan pula.
C. Harta Gono-Gini
Harta gono-gini adala harta kekayaan yang didaptkan selama
ikatan pernikahan terjalin dan duluar harta waris dan hadiah. Harta
yang didapat selama terjalinnya ikatan pernikahan baik yang didapat
secara bersama-sama ataupun sendiri-sendiri disebut harta bersama.
Ketentuan tentang gono-gini atau harta bersama, sudah jelas dalam
hukum positif yang berlaku di Indonesia, bahwa harta yang boleh
dibagi secara bersama bagi pasangan suami istri yang bercerai adalah
hanya terbatas pada harta gono-gini atau harta bersama sepanjang tidak
ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan. Harta gono-gini artinya
harta bersama yang dimiliki suami dan istri yang ditanda tangani
dengan kesepakatan dalam pernikahan.

5
Azhar, Ahmad Basyir, Hukum Perkawinan Islam, hal.45

10
Harta gono-gini memiliki beberapa macam fungsi diantaranya
fungsi ekonomi, fungsi magis religius, fungsi yuridis yang masing-
masing di dalamnya mempunyai manfaat guna untuk menunjang
kehidupannya lebih sejahtera dan bahagia menurut tujuan perkawinan.
Aturan mengenai pembagian harta gono gini ada dalam Pasal 35
Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 yang mana
menyatakan bahwa harta benda yang didapatkan bersama selama
pernikahan merupakan harta bersama atau harta gono gini. Kemudian
untuk pasangan yang beragama Islam, maka pembagian harta bersama
akan didasarkan atas Pasal 97 KHI. Perlu diketahui juga, bahwa
penggunaan aturan pembagian harta gono gono tersebut hanya ketika
tidak ada perjanjian perkawinan yang mengatur mengenal hal tersebut.
6
Berdasarkan Pasal 35 dan 36 UU Perkawinan, pembagian harta gono
gini ada 3 macam, yaitu:
1. Harta Bawaan
Harta bawaan merupakan harta yang didapatkan oleh masing-
masing pihak selama belum menikah. Harta bawaan juga termasuk
dalam harta seperti warisan atau hadiah. Oleh karenanya,
kepemilikannya pada masing-masing pihak yang menerimanya.
2. Harta Masing-Masing
Harta yang dimiliki istri atau suami setelah pernikahan. Harta
tersebut didapatkan dari hibah, wasiat, atau warisan untuk mereka
masing-masing.
3. Harta Pencaharian
Harta yang didapatkan oleh Istri atau suami pada saat dihasilkan
karena usaha masing-masing. Seperti harta yang didapatkan karena
bekerja. Bisa dikatakan jenis harta ini juga sama dengan harta
bersama atau harta yang didapatkan keduanya selama pernikahan.
Pembagian harta gono gini dilakukan sesuai dengan aturan berikut:

6
Mertokusumo, Sudikno, Hukum Acara Perdata Indonesia, hal.67

11
Jika tidak ada perjanjian pra nikah atau perjanjian kawin, semua harta
yang diperoleh selama pernikahan dianggap sebagai harta bersama
atau gono gini.7
Menurut hukum, harta bersama harus dibagi menjadi dua bagian
yang sama besar: satu untuk mantan suami dan satu untuk mantan istri.
Jika pasangan sepakat untuk membagi harta secara berbeda, mereka
dapat membuat perjanjian pembagian yang sesuai.
Jika tidak ada kesepakatan, pembagian harta bersama atau gono gini
dapat diajukan ke Pengadilan Agama (untuk pasangan Islam) atau
Pengadilan Negeri (untuk pasangan non-Muslim).

BAB III

7
Opcit.hal.72

12
PENUTUP

A. Kesimpulan
Harta adalah segala sesuatu yang dapat disimpan untuk digunakan
ketika dibutuhkan, dalam penggunaannya bisa dicampuri oleh lain.
Harta perkawinan merupakan modal kekayaan yang dapat
dipergunakan oleh suami istri untuk membiayai kebutuhan hidup
sehari--hari. menghindari adanya percampuran harta benda tersebut
secara bulat dalam perkawinan yang akan dilaksanakan, Undang-
undang mengatur ketentuan mengenai penyimpangan tersebut
dengan membuat perjanjian kawin.
Mengenai isi dan macam perjanjian kawin yang dapat
diperjanjikan dalam perjanjian perkawinan menurut KUHPerdata
dibagi yaitu; Pemisahan Harta Perkawinan Secara Bulat
(Sepenuhnya) dan Persatuan Untung-Rugi. pembagian harta gono
gini ada 3 macam, yaitu; Harta Bawaan, Harta Masing-Masing, dan
Harta Pencaharian.
B. Saran
Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi
pembacanya dan orang yang mendengarkannya. Tentunya makalah
ini masih jauh dari kesempurnaan dan masih banyak kekurangan,
maka dari itu kami akan menerima kritikan-kritikan atau saran-
saran para pembaca maupun pendengar demi kesempurnaan
makalah kami ini.

DAFTAR PUSTAKA

13
Malisi, Ali. Jurnal Studi Islam Ulul Albab. Vol. 14, No. 1. Cet. 1.
Malang: UIN-Maliki Press, 2013.
Ash Shiddieqy, Hasbi. 1993. Fiqh Waris: Hukum Pembagian Waris
menurut Syari’at Islam. Semarang: Pustaka Rizki Putra.
Yunani, Elti. Pelaksanaan Pembagian Harta Bersama dalam Praktik di
Pengadilan Agama Bandar Lampung- Lampung. Cet. 1. Semarang:
Undip-Press, 2009.
Mertokusumo, Sudikno, Hukum Acara Perdata Indonesia,
(Yogyakarta, Liberty, 2006)
Idris, Moh. Ramulyo, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum
Acara Peradilan Agama dan Zakat, (Jakarta: Sinar Grafika,cet
I,1995).
Azhar, Ahmad Basyir, Hukum Perkawinan Islam, (Yogyakarta: UII
Press, 2000).

14

Anda mungkin juga menyukai