Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

Kedudukan Harta dalam Pernikahan


Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah: Hukum Perkawinan
Dosen Pengampu: Dr. Abnan Pancasilawati, S.Ag., M.Ag

Disusun Oleh:

Muhammad Ihsan Hamdani Addin (2121508012)

Qasthalany Shiffa Almada (2121508013)

Akhmad Maulana (2121508014)

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA


FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN AJI MUHAMMAD
IDRIS SAMARINDA
2023
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb
Puji dan syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya. serta berbagai upaya, tugas makalah mata kuliah Hukum
Perkawinan yang membahas tentang kedudukan harta dalam pernikahan
Kami menyadari sepenuhnya bahwa tugas ini masih jauh dari kesempurnaan
dan masih banyak lagi kekurangan hal ini dikarenakan keterbatasan pengetahuan dan
kemampuan yang saya miliki baik dari segi kualitas maupun kuantitas, oleh karena itu
saya mengharapkan adanya saran dan kritik yang sifatnya membangun untuk
perbaikan di masa yang akan datang.
Semoga dengan makalah ini dapat memberikan manfaat kepada kami sendiri
maupun pembaca.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb

Samarinda, 26 September 2023

Kelompok 3
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Perkawinan merupakan suatu peristiwa hukum yang sangat penting


dalam kehidupan manusia dengan berbagai akibat hukumnya untuk
mewujudkan suatu tempat tinggal yang bahagia dan kekal berdasarkan
keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang harus diamalkan menurut
agama yang berbeda. Perkawinan mempengaruhi individu pasangan,
mempengaruhi hubungan keluarga dan hak serta kewajiban pasangan dalam
keluarga, mempengaruhi harta benda pasangan. Pada prinsipnya
perkawinan adalah suatu hubungan hukum yang mengakibatkan akibat
hukum perkawinan terhadap suami-istri, harta perkawinan, dan anak-anak.
Menciptakan kebahagiaan di rumah memerlukan kedamaian dan
kesejahteraan dalam keluarga, serta rasa hormat dan bermartabat. Namun
kenyataannya, banyak permasalahan antara suami dan istri yang tidak dapat
terus hidup berumah tangga sehingga menyebabkan mereka bercerai.
Harta bersama sering menimbulkan perselisihan diantara pasangan yang
baru bercerai. Begitu juga keluarga dari kedua pihak juga sering ikut
campur dalam sengketa pembagian harta bersama. Harta bersama terjadi
karena tidak ada perjanjian pemisahan harta sehingga sejak terjadi
perkawinan terdapat pencampuran harta. Pasal 37 Undang-Undang
Perkawinan menyebutkan bilamana perkawinan putus karena perceraian
maka harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing yakni
hukum agama atau adat yang dianut oleh pasangan. Jika pasangan tersebut
beragama islam diatur dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 96 ayat 1 yang
menyebutkan apabila terjadi cerai mati maka separuh harta bersama menjadi
hak pasangan yang hidup lebih lama dan Pasal 97 KHI menyatakan janda
atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama
sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan. Dapat
disimpulkan dari kedua Pasal tersebut bahwa harta bersama akan dibagi
sama banyak atau seperdua untuk suami dan seperdua untuk istri yang dapat
dilakukan langsung atau melalui pengadilan.
Problematika mengenai kedudukan harta benda dalam perkawinan yang
disertai dengan fakta-fakta hukum terlihat sederhana namun pada
kenyataannya merupakan halyang rumit sehingga membutuhkan
penyelesaian agar tidak terjadi konflik antara pasangan suami istri. Jika
tidak dibuat perjanjian kawin tentang pemisahan harta maka dalam praktik
akan mengalami kesulitan dalam pembuktiannya.

B. RUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang tersebut, kami menemukan beberapa permasalahan
yang akan kami coba ulas dalam makalah ini. Permasalahan tersebut antara lain :
1. Apa saja jenis harta dalam perkawinan?
2. Apa itu harta bersama dan apa yang tidak termasuk harta bersama?
3. Bagaimana yang terjadi dengan harta perkawinan jika terjadi perceraian,
perlukah dibuat perjanjian kawin?
4. Bagaimanakah pemanfaatan harta benda dalam perkawinan?

C. PEMBATASAN MASALAH
Agar mengena pada sasaran, kami membatasi permasalahan yang akan kami bahas
dalam makalah ini meliputi :
1. Harta benda dalam perkawinan
2. Harta bersama dan Harta bawaan
3. Akibat Perceraian Terhadap Harta Perkawinan
4. Perjanjian Perkawinan
5. Pemanfaatan Harta dalam Perkawinan
BAB II
PEMBAHASAN

1. HARTA BENDA DALAM PERKAWINAN


Menurut pasal 35 UU No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP), harta
benda dalam perkawinan terbagi dalam tiga bentuk yakni harta bersama, harta
bawaan dan harta perolehan.
a. Harta Bersama (psl 36 ayat (1) UUP No 1/1974).
Harta bersama yaitu harta benda yang diperoleh sesudah suami-istri berada
dalam hubungan perkawinan, atas usaha mereka berdua atau usaha salah seorang
dari mereka. Harta bersama dikuasai oleh suami dan istri, sehingga baik suami
maupun istri punya hak dan kewajiban yang sama untuk memperlakukan harta
mereka dengan persetujuan kedua belah pihak. Bila terjadi perceraian, maka
menurut pasal 37 UUP, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-
masing. Yang dimaksud dengan ‘hukumnya’ masing-masing adalah hukum
yang berlaku sebelumnya bagi suami istri, yaitu hukum agama, hukum adat dan
hukum-hukum lain (KUH Perdata misalnya).
b. Harta Bawaan (psl 36 ayat ( 2) UUP)
Yaitu harta benda yang telah dimiliki masing-masing suami-istri sebelum
mereka melangsungkan perkawinan, baik yang berasal dari warisan, hibah, atau
usaha mereka sendiri-sendiri. Harta bawaan dikuasai oleh masing-masing
pemiliknya yaitu suami atau istri. Artinya, seorang istri atau suami berhak
sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya
masing-masing. Tetapi bila suami istri menentukan lain yang dituangkan dalam
perjanjian perkawinan misalnya, maka penguasaan harta bawaan dilakukan
sesuai dengan isi perjanjian itu. Demikian pula bila terjadi perceraian, harta
bawaan dikuasai dan dibawa oleh masing-masing pemiliknya, kecuali jika
ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan. Untuk itu penyimpanan surat-surat
berharga sangat penting disini.
c. Harta Perolehan
Yaitu harta masing-masing suami-istri yang dimilikinya sesudah mereka berada
dalam hubungan perkawinan. Harta ini diperoleh bukan dari usaha mereka baik
seorang atau bersama-sama, tetapi merupakan hibah, wasiat atau warisan
masing-masing. Pada dasarnya penguasaan harta perolehan ini sama seperti
harta bawaan, yakni suami atau istri berhak sepenuhnya untuk melakukan
perbuatan hukum mengenai harta perolehannya masing-masing dan jika ada
kesepakatan lain yang dibuat dalam perjanjian perkawinan maka penguasaan
harta perolehan dilakukan sesuai dengan isi perjanjian. Demikian juga jika
terjadi perceraian.

2. HARTA BERSAMA DAN HARTA BAWAAN


Seperti telah dijelaskan di atas, harta bersama atau lebih sering disebut
dengan harta gono-gini adalah harta benda atau hasil kekayaan yang diperoleh
selama perkawinan. Meskipun harta tersebut diperoleh dari hasil kerja suami saja,
isteri tetap memiliki hak atas harta bersama. Jadi, harta bersama meliputi harta yang
diperoleh dari usaha suami dan isteri berdua atau usaha salah seorang dari mereka.
Ini berarti baik suami maupun istri mempunyai hak dan kewajiban yang sama atas
harta bersama dan segala tindakan hukum atas harta bersama harus mendapat
persetujuan kedua belah pihak. Harta bersama dapat berupa benda berwujud, benda
tidak berwujud (hak dan kewajiban), benda bergerak, benda tidak bergerak dan surat-
surat berharga. Sepanjang tidak diatur lain dalam perjanjian perkawinan, apabila
terjadi perceraian maka masing-masing pihak isteri maupun suami berhak atas
separoh (seperdua) dari harta bersama.
Sebelum memasuki perkawinan adakalanya suami atau isteri sudah memiliki
harta benda. Dapat saja merupakan harta milik pribadi hasil usaha sendiri, harta
keluarganya atau merupakan hasil warisan yang diterima dari orang tuanya. Harta
benda yang telah ada sebelum perkawinan ini bila dibawa kedalam perkawinan tidak
akan berubah statusnya. Pasal 35 ayat 2 UU nomor 1 tahun 1974 menetapkan bahwa
harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri adalah dibawah penguasaan
masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Masing-masing berhak
menggunakan untuk keperluan apa saja.
Sehinggam menurut hukum perkawinan yang berlaku (Undang-Undang No 1
thn 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam), harta kekayaan yang
dimiliki sebelum perkawinan (harta bawaan) tidak termasuk dalam harta bersama
kecuali ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.

3. AKIBAT PERCERAIAN TERHADAP HARTA BERSAMA


Berdasarkan Pasal 37 Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan,
bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya
masing-masing. Dalam penjelasan Pasal 37 tersebut, ditegaskan bahwa yang
dimaksud dengan hukumnya masing-masing adalah hukum Agama, hukum adat, dan
hukum-hukum lainnya. Oleh karena itu, bagi pemeluk agama Islam berlakulah
peraturan yang ditetapkan itu dalam kompilasi hukum Islam.
Bagi umat Katolik pada dasarnya tidak ada perceraian dalam agama. Namun
dalam praktiknya, pasangan Katolik tetap dapat bercerai secara perdata, walaupun
secara Katolik perceraian tersebut dianggap tidak sah. Dalam hal yang demikian,
perceraian dan pembagian harta bersama berpedoman pada ketentuan-ketentuan Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPer”).
Berdasarkan Pasal 126 KUHPer, harta bersama bubar demi hukum salah
satunya karena perceraian. Lalu, setelah bubarnya harta bersama, kekayaan bersama
mereka dibagi dua antara suami dan isteri, atau antara para ahli waris mereka, tanpa
mempersoalkan dan pihak mana asal barang-barang itu (Pasal 128 KUHPer).
H. Hilman Hadikusuma menjelaskan dalam buku “Hukum Perkawinan
Indonesia Menurut: Perundangan Hukum Adat Hukum Agama” (hlm. 189), akibat
hukum yang menyangkut harta bersama berdasarkan Pasal 37 UU Perkawinan ini
diserahkan kepada para pihak yang bercerai tentang hukum mana dan hukum apa yang
akan berlaku, dan jika tidak ada kesepakatan antara mantan suami-istri, hakim dapat
mempertimbangkan menurut rasa keadilan yang sewajarnya.
Selain itu, akibat perceraian terhadap harta bersama juga dapat ditentukan oleh
hukum adat yang digunakan para pihak, apabila para pihak menggunakan hukum adat
untuk mengatur akibat perceraian. Sehingga, segala sesuatu mengenai harta bersama
diatur berdasarkan hukum adat yang berlaku masing-masing, dan tidak ada kesamaan
antara masyarakat adat yang satu dan yang lainnya.

4. PERJANJIAN PERKAWINAN
Seringkali pihak isteri dirugikan dan mengalami ketidakadilan dalam
pembagian harta bersama. Ketidakadilan ini terkait dengan masalah pembakuan peran
suami isteri dalam Undang-Undang No. 1 thn 1974 tentang Perkawinan (UUP) yang
menyatakan bahwa suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga. UUP
juga telah menempatkan isteri sebatas pengelola rumah tangga (domestik) dengan
aturan yang mewajibkan isteri mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya.
Dampaknya, banyak isteri yang tidak memiliki kesempatan bekerja dan mencari
nafkah sendiri sehingga tidak bisa mengolah ketrampilan yang dimilikinya untuk
memperoleh penghasilan. Dalam hal ini, para isteri mengalami ketergantungan
ekonomi terhadap suaminya. Bagaimana jika kemudian terjadi perceraian? Isteri yang
telah "dirumahkan" tentu akan mengalami kesulitan untuk mandiri secara ekonomi.
Beban isteri pun semakin berat jika dalam perkawinan sudah lahir anak-anak yang
menjadi tanggungannya.Jadi perlu sekali dibuat suatu kesepakatan perjanjian sebelum
perkawinan yang bebas dari tekanan dan ancaman agar jika terjadi sesuatu yang tidak
adil maka setidaknya istri mendapat setengah bagian harta gono gini sesuai dengan
hukum yang berlaku.
Jika Anda tidak menghendaki harta kekayaan yang Anda peroleh selama masa
perkawinan menjadi harta bersama, Anda harus membuat perjanjian perkawinan pada
waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan. Hal-hal yang dapat diatur dalam
perjanjian perkawinan ,diantaranya, adalah :
a) Ketentuan pembagian harta bersama termasuk prosentase pembagian harta
bersama jika terjadi perceraian;
b) Pengaturan atau penanganan urusan keuangan keluarga selama perkawinan
berlangsung;
c) Pemisahan harta selama perkawinan berlangsung, artinya harta yang anda peroleh
dan harta suami terpisah sama sekali.
Membuat perjanjian perkawinan adalah hal yang penting untuk mencegah
terjadinya ketidakadilan dalam pembagian harta bersama sebaiknya di sahkan didepan
notaris dan dicatatkan di KUA untuk agama islam dan non islam di Kantor Catatan
Sipil.

5. PEMANFAATAN HARTA DALAM PERKAWINAN


Dalam hal penggunaan harta benda milik bersama ini menurut pasal 36 ayat 1
UU nomor 1 tahun 1974 menetapakan bahwa suami atau isteri dapat bertindak bila
atas dasar peretujuan kedua belah pihak. Menurut pasa 92 Inpres nomor 1 tahun 1991
suami atau isteri tanpa adanya persetujuan pihak lainnya tidak boleh menjual atau
memindahtangankan harta milik bersama.
Harta benda milik bersama hanya dapat digunakan untuk keperluan sehari-hari
semua pihak terkait menurut atau untuk memenuhi kebutuhan bersama atau kebutuhan
apa yang menjadi tanggung jawabnya.menurut yang wajar dan layak. Bila ada ada
kelebihan wajib disimpan sebagai cadangan atau sebagai modal dan investasi. Tidak
boleh dibelanjakan secara boros, karena orang pemboros adalah sahabat setan di dunia
dan sahabat setan juga di dalam neraka kelak. Harta milik bersama dapat dipergunakan
oleh pihak ketiga sebagai pinjaman atau hibah dengan syarat harus disetujui oleh suami
/ isteri dan anak-anak. Harta bersama dalam perkawinan adalah milik suami /isteri dan
semua anak-anak
BAB III
PENUTUP

Demikianlah makalah yang kami buat ini, semoga bermanfaat dan menambah
pengetahuan para pembaca. Kami mohon maaf apabila ada kesalahan ejaan dalam
penulisan kata dan kalimat yang kurang jelas, dimengerti, dan lugas. Karena kami
hanyalah manusia biasa yang tak luput dari kesalahan Dan kami juga sangat
mengharapkan saran dan kritik dari para pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
Sekian penutup dari kami semoga dapat diterima di hati dan kami ucapkan terima kasih
yang sebesar-besarnya.
DAFTAR PUSTAKA

1. http://www.lbh-apik.or.id/ pemisahan-harta-perk.htm
2. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek, Staatsblad 1847 No.
23);
3. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan;
4. Kompilasi Hukum Islam (Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 Tentang
Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam).
5. H. Hilman Hadikusuma “Hukum Perkawinan Indonesia Menurut: Perundangan
Hukum Adat Hukum Agama” Mandar Maju, Bandung, 1990
6. Adi Condro Bawono, S.H., M.H. http://www.hukumonline.com/klinik/detail/
/dampak-perceraian-terhadap-harta-bersama-
7. http://www.ajihoesodo.com/index.php?option= seputar-masalah-harta-bersama-
dalam-tinjauan-hukum.

Anda mungkin juga menyukai