Anda di halaman 1dari 39

MAKALAH

PERSELISIHAN HARTA KEKAYAAN BERSAMA TERJADI PADA


MANTAN PASANGAN YANG GAGAL BERTANGGUNG JAWAB
MEMBIAYAI ANAK DAN PASANGAN SEKAMA MENIKAH

Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Hukum Perdata

Dosen Pengampu : Dr. Noviriska, S.H., M.Hum

Disusun Oleh :

Kelompok 4

Aditya Nugraha Putra (202310115176)

Lidya Novega (202310115240)

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS BHAYANGKARA JAKARTA RAYA

2023
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum warahmatullahi wabarokatuh

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan penulis kemudahan sehingga
penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya
tentunya penulis tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik.
Shalawat serta salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi
Muhammad SAW yang kita nanti-nantikan syafa’atnya di akhirat nanti.

Penulis mengucapkan Syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya,
baik itu berupa sehat fisik maupun akal fikiran, sehingga penulis dapat menyelesaikan
pembuatan makalah mengenai materi Perselisihan Harta Kekayaan Bersama Terjadi Pada
Mantan Pasangan yang Gagal Bertanggung Jawab Membiayai Anak dan Pasangan
Selama Pernikahan. Pada mata kuliah Hukum Perdata.

Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan
masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan didalamnya. Untuk itu, penulis
mengharapkan kritik serta saran dari dosen pengampu untuk makalah ini, supaya makalah
ini nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi. Demikian, dan apabila terdapat
banyak kesalahan pada makalah ini penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.

Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat. Terima kasih.

Bekasi, 28 Maret 2024

Penulis
DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pernikahan seharusnya membawa kebahagiaan dan kesejahteraan bagi pria dan


wanita jika pasangan tersebut memenuhi hak dan tanggung jawabnya. Namun pada
kenyataannya selalu saja ada permasalahan dan ketidakstabilan dalam suatu perkawinan,
sehingga dapat berujung pada pilihan yang paling buruk yaitu perceraian, putusnya
perkawinan ini seringkali menimbulkan permasalahan baru bagi para pihak, salah
satunya adalah pembagian harta bersama yang diperoleh. selama pernikahan.

Konsep harta bersama dikenal dalam kehidupan dan budaya masyarakat


Indonesia, konsep ini merupakan salah satu dari sekian banyak nilai adat yang berlaku di
masyarakat mengacu pada pendapat Asis Safioedin, R. Soetojo Prawirohamidjojo dan
Gunawan. Widjaja dan J. Satrio mengemukakan konsep bahwa “komunitas dalam
perkawinan adalah harta bersama yang berkaitan (linked co-ownership right) yang mana
baik suami maupun isteri tidak dapat secara mandiri melakukan kebijaksanaan atas harta
bersama tersebut, namun harus berdasarkan persetujua pihak memihak.
pasangan.keduanya.merayakan." Dalam bukunya Hukum Keluarga Indonesia, Sayuti
Thalib mengatakan bahwa “harta persekutuan adalah harta yang diperoleh selama
perkawinan di luar hibah atau warisan. Harta bersama merupakan salah satu harta yang
dimiliki oleh suami istri, harta mempunyai peranan penting dalam kehidupan sebagai
penunjang kebutuhan keluarga untuk bertahan hidup dan juga sebagai simbol status
sosial dalam masyarakat. Tidak hanya kegunaan (sisi finansial) yang penting, tetapi juga
konsistensi. Namun pada kenyataannya masih banyak yang belum memahami ketentuan-
ketentuan yang mengatur tentang harta benda, khususnya harta benda yang diperoleh
suami-istri selama perkawinannya. Hal ini dapat dijelaskan sebagai harta bersama: harta
benda yang dihasilkan secara sah selama perkawinan, dimana suami dan istri
mempunyai hak dan tanggung jawab yang sama terhadap harta bersama tersebut. Hal ini
diatur dalam Pasal 51 Undang-Undang Hak Asasi Manusia Nomor 39 Tahun 1999:.
1. “Seseorang isteri selama dalam ikatan perkawinan mempunyai hak dan
tanggung jawab yang sama dengan suaminya atas semua hal yang berkenaan
dengan kehidupan perkawinannya, hubungan dengan anak-anaknya, dan hak
pemilikan serta pengelolaan harta bersama.
2. Setelah putusnya perkawinan, seseorang wanita mempunyai hak dan tanggung
jawab yang sama baik mengenai harta Bersama ataupun mengenai anak-
anaknya, dengan memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak.”
Selain beberapa penjelasan harta Bersama yang dikemukakan sebelumnya,
Undang- Undang No 1 tahun 1974 tentang perkawinan juga mengatur mengenai harta
benda suami-isteri yang termuat pada BAB VII tepatnya pasal 35, pasal 36, serta pasal
37. Sebagaimana dalam pasal 35 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan disebutkan bahwa “Harta benda yang diperoleh selama perkawinan
menjadi harta bersama, Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta
benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah
penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.” Sedangkan
pada pasal 119 KUHPerdata mengatur bahwa sejak perkawinan, secara sah dalam hal
harta benda suami dan istri, langsung ada persatuan atau kesatuan dalam harta benda
mereka sepanjang perkawinan berlangsung. Menurut KUHPerdata, peleburan harta
adalah selama perkawinan itu dilangsungkan dan tidak dibatalkan atau diubah dengan
kesepakatan antara suami dan istri. Apabila terjadi pelanggaran terhadap ketentuan ini,
maka suami-istri harus mengadakan akad nikah yang diatur dalam pasal 139 sampai
dengan 154 KUHPerdata. Selanjutnya dalam pasal 36 Undang-Undang Perkawinan
Nomor 1 Tahun 1974 mengatur bahwa untuk harta bersama, kedua pasangan dapat
bertindak atau bersepakat atas nama mereka dan untuk harta bawaan mereka, kedua
pasangan memiliki hak penuh untuk melaksanakan perbuatan hukum atas benda-
bendanya.
Pada pasal 37 apabila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama itu
menurut peraturan perundang-undangan masing-masing. Penafsiran pasal 37
ditegaskan yakni setiap hukum ialah hukum agama, hukum adat, dan hukum lain yang
berkaitan dengan harta bersama. Hal ini juga didukung oleh pendapat Hilman
Hadikusuma dalam buku Hukum Perkawinan dijelaskan perihal harta bersama dapat
terlihat di awal perkawinan sedangkan harta bawaan sudah ada sebelum adanya
perkawinan, melihat fenomena perkawinan yang ada di Indonesia sebagian besar tidak
mempunyai catatan mengenai harta bersama yang mereka miliki selama perkawinan.
Terhadap perkawinan yang masih baru dapatlah dibedakan mana harta bersama dan
hartaa bawaan, hal ini menjadi masalah apabila keberlangsungan pernikahan sudah
lama sehingga sulit membedakan harta benda yang dimiliki. Apakah harta tersebut
harta bawaan atau harta bersama selama perkawinan.
Terhadap pembagian harta benda perkawinan, apabila perkawinan dilakukan
dengan persatuan harta benda, pasal 128 KUHPerdata mengatur: “Setelah bubarnya
persatuan, maka harta benda kesatuan dibagi dua antara suami dan istri, atau antara
para ahli waris mereka masing- masing, dengan tak mempedulikan soal dari pihak yang
manakah barang-barang itu diperolehnya.”10 Selain itu, pasal 126 KUHPerdata
mengatur bahwa perceraian merupakan salah satu pemutusan harta bersama menurut
hukum. Kemudian, setelah kepentingan bersama dibubarkan, kepentingan bersama
pasangan dibagi menjadi dua di antara para ahli waris, terlepas
dari sumber hartanya. Oleh karena itu, menurut pasal 37 UUP dan pasal 126 dan 128
KUHPerdata, perceraian menyebabkan putusnya harta bersama sehingga harta tersebut
harus dibagi antara suami dan istri. Pembahasan masalah harta perkawinan antara
suami dan isteri dipandang sebagai hal tabu untuk diperbincangkan dalam kehidupan
masyarakat. Masyarakat masih menganggap permasalahan tersebut tidak perlu untuk
dibicarakan di tempat umum dan membuat persoalan harta bersama menjadi pelik
ketika terjadi perceraian serta beranggapan pembagian tersebut tidak adil bagi para
pihak. Pasangan suami-istri biasanya menentang pembagian harta bersama hanya
setelah keputusan perceraian diputuskan oleh pengadilan. Isu tentang pembagian harta
bersama sering muncul dalam proses pengadilan, sehingga situasi ini membuat
permasalahan proses perceraian menjadi rumit di antara para pihak yang sama-sama
menuntut harta bersama (gono-gini) ialah bagian dari hak mereka.
Dari beberapa uraian di atas mengenai harta bersama, dapat dipahami bahwa jika
suatu ikatan perkawinan putus atau terjadinya perceraian maka harta bersama yang
diperoleh saat perkawinan tersebut masih berlangsung memiliki aturan pembagiannya
untuk masing-masing pihak yaitu suami maupun istri. Namun, hal pembagian harta
bersama sering kali mengakibatkan proses perceraian yang akan dilakukan pasangan
suami-istri menjadi lebih sulit. Oleh karenanya untuk mendukung penelitian tesis ini
maka digunakan Putusan Mahkamah Agung NOMOR 1636 K/Pdt/2018, yang mana
dalam putusan tersebut, diketahui terdapat sengketa dalam pembagian harta bersama
berupa aktiva dan pasiva baik benda tetap dan bergerak, serta penguasaan harta pribadi.
Sampai dengan telah keluarnya putusan perceraian Nomor 257 / Pdt.G / 2015 / PN Smg
tertanggal 15 Desember 2015, pihak istri tidak mau membagikan harta Bersama mereka
dan menganggap bahwa suami tidak berkontribusi selama berlangsungnya perkawinan
berupa tidak adanya nafkah selama perkawinan, pada tahap awal pihak suami
mengajukan gugatan pembagian harta Bersama dan tidak terima atas putusan
Pengadilan Negeri Semarang Pihak Istri mengajukan banding yang dilakukan pihak
istri ini ke Pengadilan Tinggi Semarang serta Kasasi Mahkamah Agung NOMOR 1636
K/Pdt/2018. Adapun yang menjadi amar putusan dalam putusan ini, adalah bahwa
hakim memutuskan mengabulkan gugatan pembagian sama rata 50% - 50 % di antara
para pihak. Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan sebelumnya, peneliti merasa
tertarik untuk meneliti mengenai pertimbangan hakim dalam kasus putusan harta
bersama ini Judul penelitian ini adalah “SENGKETA HARTA BERSAMA PADA
KASUS MANTAN SUAMI YANG TIDAK MEMBERIKAN NAFKAH SELAMA
PERKAWINAN (STUDI PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 1636
K/PDT/2018)”
B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka penulis mengambil
beberapa rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah pengaturan pembagian harta bersama untuk suami yang tidak


memberikan nafkah keluarga dalam perkawinan sebagaimana yang ditentukan
dalam Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan
KUHPerdata?

2. Bagaimanakah pertimbangan Mahkamah Agung NOMOR 1636 K/Pdt/2018


mengenai pembagian harta Bersama setelah bercerai ditinjau dari ketentuan
Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan KUHPerdata?

C. Tujuan Penulisan

1. untuk mengetahui bagaimana pengaturan pembagian harta bersama untuk suami


yang tidak memberikan nafkah keluarga dalam perkawinan sebagaimana yang
ditentukan dalam Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan
KUHPerdata
2. Untuk mengetahui bagaimana pertimbangan Mahkamah Agung NOMOR 1636
K/Pdt/2018 mengenai pembagian harta Bersama setelah bercerai ditinjau dari
ketentuan Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan
KUHPerdata

Dengan memfokuskan pada rumusan masalah ini, dapat dilakukan analisis

mendalam terhadap berbagai aspek hukum perdata di Indonesia serta tantangan dan
perubahan yang dihadapinya dalam konteks sejarah, politik, dan perkembangan sosial
masyarakat.
BAB II

LANDASAN TEORI

A. Keadaan Hukum Perdata di Indonesia

1. Perbedaan Hukum Privat, Hukum Perdata, dan Hukum Sipil

Hukum Perdata mengatur hak milik, kontrak, dan perkawinan antara individu. Namun
Hukum Perdata berkaitan dengan hukum yang diberlakukan dalam masyarakat atau bangsa
yang bersangkutan. Sedangkan hukum perdata merujuk pada kategori hukum yang
menjunjung tinggi kedua bidang tersebut di atas. Hukum privat merupakan definisi hukum
yang luas yang mencakup beberapa aspek yang berkaitan dengan hubungan antara individu,
organisasi, dan entitas lainnya. Termasuk di dalamnya hukum kontrak dan hukum kontrak
sipil, di samping kategori hukum lainnya seperti hukum kontrak, hukum kontrak, hukum
kontrak properti, dan kontrak waris.

Dalam konteks hukum privat, hukum privat berkaitan dengan hukum yang
menciptakan hubungan individu, seperti hak kepemilikan, hak persetujuan, dan hak
kerahasiaan. Hal ini menekankan tanggung jawab dan hak setiap orang dalam hubungannya
dengan orang lain dan harga dirinya sendiri. Sebaliknya, dalam konteks hukum privat, hukum
publik menjunjung hukum yang menjalin hubungan antara individu atau organisasi dengan
otoritas atau badan publik lainnya. Ini termasuk hukum administrasi, hukum perdata
internasional, hukum tata negara, dan hukum adat istiadat.

Secara umum, hukum privat mencakup berbagai disiplin ilmu hukum yang
berdampak negatif terhadap kehidupan sehari-hari individu dan organisasi dalam masyarakat,
baik dalam konteks data pribadi maupun transaksi komersial. Hal ini mencakup banyak
undang-undang, peraturan, dan prinsip-prinsip hukum yang menjadi landasan untuk
mengatasi diskriminasi dan menyeimbangkan kepentingan individu dan masyarakat.
Berikutnya, penting untuk dicatat bahwa hukum privat juga meliputi aspek-aspek lain
yang relevan dengan kehidupan sosial dan ekonomi. Beberapa bidang lain yang termasuk
dalam cakupan hukum privat adalah:

1. Hukum Kontrak: Mengatur pembentukan, pelaksanaan, dan penyelesaian kontrak antara


individu, perusahaan, atau organisasi lain. Ini mencakup perjanjian bisnis, kontrak sewa,
dan kontrak layanan.
2. Hukum Properti: Menetapkan hak dan kewajiban terkait kepemilikan, penggunaan, dan
transaksi properti seperti tanah, bangunan, dan harta benda lainnya.
3. Hukum Waris: Mengatur distribusi harta benda seseorang setelah kematiannya. Ini
mencakup aturan tentang pewarisan tanpa wasiat (intestasi) dan dengan wasiat
(testament).
4. Hukum Kebangkrutan: Mengatur proses dan tata cara jika individu atau perusahaan tidak
mampu membayar hutang mereka. Ini melibatkan penyelesaian utang dan pengelolaan
aset debitor yang tidak mampu membayar hutangnya.
5. Hukum Bisnis: Merupakan serangkaian peraturan yang mengatur berbagai aspek bisnis,
termasuk pembentukan perusahaan, hubungan antara pemegang saham, pengaturan
antitrust, dan tanggung jawab perusahaan.
6. Hukum Keluarga: Meliputi aturan-aturan yang mengatur pernikahan, perceraian, hak asuh
anak, dan kewajiban-kewajiban lainnya yang berkaitan dengan hubungan keluarga.
7. Hukum Ketenagakerjaan: Mengatur hubungan antara majikan dan karyawan, termasuk
peraturan tentang kontrak kerja, upah, dan hak-hak pekerja.

Semua faktor ini, bersama dengan undang-undang privat dan undang-undang privat
sipil, berkontribusi terhadap tenaga hukum yang komprehensif dalam undang-undang privat.
Tujuannya adalah untuk memfasilitasi hubungan yang kuat dan langgeng antara individu,
organisasi, dan masyarakat umum secara komprehensif.

2. Beraneka Warna Hukum Perdata di Indonesia

Keberagaman aspek yang mencerminkan keanekaragaman budaya dan tradisi hukum


yang berbeda di seluruh negara Indonesia menjadi landasan hukum Perdata. Hal ini relevan
dengan beberapa aspek, seperti adat perkawinan, prasangka warisan, dan berbagai norma
hukum yang ada di berbagai daerah. Pentingnya dalam pembentukan hukum perdata di
Indonesia sebagaimana budaya dan tradisi hukum . Hal ini tercermin dalam beberapa aspek
yang menjadi bagian integral dari hukum perdata di Indonesia:
1. Perkawinan Adat: Di Indonesia, selain perkawinan secara resmi yang diatur oleh
undang-undang, masih banyak terdapat perkawinan yang dilakukan berdasarkan adat istiadat
daerah masing-masing. Setiap daerah memiliki tradisi perkawinan yang berbeda, termasuk
prosesi, upacara, serta aturan yang mengatur hak dan kewajiban pasangan suami istri.
Meskipun perkawinan adat ini seringkali tidak memiliki pengakuan hukum secara resmi,
namun tetap menjadi bagian penting dari budaya dan identitas masyarakat setempat.

2. Kebiasaan Warisan: Warisan atau pewarisan harta juga seringkali diatur oleh adat istiadat
daerah, yang kadang-kadang berbeda dengan ketentuan hukum perdata yang berlaku secara
nasional. Misalnya, dalam beberapa masyarakat, pewarisan harta dilakukan berdasarkan
sistem patrilineal atau matrilineal, di mana pewaris harta adalah anak tertua dari garis
keturunan tertentu. Norma-norma adat ini dapat berkonflik dengan ketentuan hukum perdata
yang mengatur pembagian warisan secara lebih umum.

3. Beragam Norma Hukum Lokal: Selain perkawinan adat dan kebiasaan warisan, terdapat
pula berbagai norma hukum lokal lainnya yang berlaku di masyarakat setempat. Ini bisa
mencakup aturan-aturan tentang hak kepemilikan tanah adat, prosedur penyelesaian sengketa
berdasarkan adat, dan lain sebagainya. Norma-norma ini sering kali diakui oleh masyarakat
secara luas dan menjadi bagian dari praktik hukum sehari-hari di daerah tersebut.

Penting untuk dicatat bahwa dalam konteks hukum perdata di Indonesia, upaya
sedang dilakukan untuk mengintegrasikan prinsip-prinsip hukum adat lokal dan hukum adat
ke dalam sistem hukum nasional. Namun, tantangan yang ada saat ini adalah bagaimana
menyelaraskan prinsip-prinsip umum hukum nasional dengan perlindungan kebebasan
beragama dan tradisi hukum yang ada di seluruh dunia. Aset yang berharga dan
menghadirkan tantangan dalam harmonisasi hukum perdata, berbagai keberagaman budaya
dan tradisi hukum di Indonesia. Misalnya, ketika undang-undang perlindungan data nasional
bertentangan dengan undang-undang setempat, konflik atau ketegangan antara undang-
undang nasional dan kepentingan lokal dapat timbul.

Untuk mengatasi permasalahan ini, perlu dilakukan penyelarasan prinsip-prinsip


hukum adat dengan nilai-nilai sistem hukum nasional dan kebebasan individu. Hal ini
dilakukan agar hukum perdata dapat mencerminkan realitas sosial dan budaya Indonesia
secara lebih akurat dan tegas dalam menegakkan sanksi.

Salah satu metode yang digunakan adalah dengan menjelaskan konsep “pluralisme
hukum” yang mengakui pentingnya hukum lokal dan negara dalam sistem hukum nasional.
Namun, tantangannya adalah menyeimbangkan perlindungan kebebasan beragama dengan
kebutuhan untuk menegakkan persyaratan hukum dan kepastian hukum.Selain itu,
pendidikan hukum juga berperan sebagai komponen kunci dalam mengatasi tantangan ini.
Diharapkan dengan meningkatnya pemahaman terhadap hukum nasional dan daerah serta
peraturan perundang-undangan yang mengatur masyarakat secara umum, maka dapat
diberikan pertimbangan yang lebih serius terhadap pentingnya pemahaman dan penegakan
hukum di Indonesia.
Secara umum, harmonisasi antara undang-undang data nasional dan hukum adat serta
hukum adat setempat merupakan proses kompleks yang memerlukan upaya kolaborasi dari
beberapa pihak, antara lain pemerintah, organisasi hukum, masyarakat umum, dan investor
lainnya.

3. Politik Hukum (Perdata) Pemerintah Hindia Belanda

Di era kolonial, pemerintah Hindia Belanda memang menerapkan kebijakan hukum


yang secara jelas mencerminkan kepentingan kolonialisme Belanda. Salah satu aspeknya
adalah dalam konteks hukum perdata, di mana pemerintah Hindia Belanda berusaha untuk
mengintegrasikan hukum Eropa ke dalam struktur hukum pribumi. Upaya ini sebagian besar
didorong oleh tujuan politik dan ekonomi kolonial. Pemerintah Hindia Belanda ingin
menciptakan struktur hukum yang mendukung eksploitasi sumber daya alam dan ekonomi
kolonialisme, serta memperkuat kendali politik atas penduduk pribumi.

Dalam konteks hukum perdata, penerapan hukum Eropa di Hindia Belanda terutama
tercermin dalam penerapan KUHPerdata (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) yang
didasarkan pada hukum perdata Belanda. Meskipun secara formal KUHPerdata diterapkan
untuk semua warga termasuk pribumi, namun dalam praktiknya, penerapannya sering kali
tidak adil dan tidak seimbang.

Kebijakan ini menciptakan ketimpangan dalam perlakuan hukum antara warga


Belanda dan pribumi. Warga Belanda sering kali mendapatkan perlakuan yang lebih
menguntungkan dalam hal hukum perdata, sementara pribumi sering kali diabaikan atau
diperlakukan secara diskriminatif. Selain itu, penerapan hukum Eropa di Hindia Belanda juga
berdampak pada terkikisnya nilai-nilai budaya dan hukum tradisional pribumi. Hal ini
memicu konflik budaya dan ketegangan antara struktur hukum kolonial dan tradisi lokal.

Secara keseluruhan, politik hukum kolonial Hindia Belanda dalam konteks hukum
perdata mencerminkan dominasi dan penindasan terhadap penduduk pribumi serta pencitraan
kepentingan kolonialisme Belanda. Dampaknya terasa dalam sejarah perkembangan hukum
di Indonesia, yang kemudian menjadi bagian dari perjuangan untuk meraih kemerdekaan dan
membangun sistem hukum yang lebih adil dan berkeadilan bagi semua warga negara.

Dalam era kolonial, pemerintah Hindia Belanda menerapkan kebijakan hukum yang
secara jelas mencerminkan kepentingan kolonialisme Belanda. Salah satu aspek penting dari
kebijakan tersebut adalah upaya untuk mengintegrasikan hukum Eropa ke dalam struktur
hukum pribumi.

Integrasi hukum Eropa ke dalam struktur hukum pribumi dimaksudkan untuk


menciptakan suatu sistem hukum yang lebih terpusat dan terkendali oleh pemerintah kolonial
Belanda. Hal ini memberikan kontrol yang lebih besar kepada pihak kolonial atas kehidupan
sosial, ekonomi, dan politik di wilayah jajahannya. Salah satu contoh konkret dari integrasi
hukum Eropa adalah pengenalan hukum perdata Belanda di Hindia Belanda. Hukum perdata
Belanda, yang berdasarkan pada tradisi hukum Romawi-Germanik, diperkenalkan untuk
mengatur hubungan-hubungan perdata di antara penduduk pribumi maupun antara mereka
dengan pihak Belanda. Hal ini secara signifikan memengaruhi sistem hukum tradisional yang
sudah ada sebelumnya di Indonesia.

Namun, perubahan ini tidak hanya terbatas pada aspek teknis hukum, tetapi juga
memiliki dampak yang mendalam terhadap masyarakat pribumi. Integrasi hukum Eropa
seringkali menghasilkan ketidakadilan, karena hukum perdata Belanda tidak selalu
mempertimbangkan nilai-nilai, kebiasaan, atau kebutuhan khas masyarakat pribumi.

Selain itu, pemberlakuan hukum perdata Belanda juga bertujuan untuk memperkuat
kedudukan ekonomi dan politik Belanda di Hindia Belanda. Dengan menciptakan kerangka
hukum yang menguntungkan pihak kolonial, Belanda dapat mengamankan kepentingan
ekonomi mereka, seperti pengelolaan sumber daya alam dan perdagangan. Secara
keseluruhan, kebijakan hukum kolonial Hindia Belanda, termasuk dalam konteks hukum
perdata, merupakan bagian integral dari sistem penjajahan yang dimaksudkan untuk
memperkuat dominasi Belanda atas wilayah jajahannya dan mengamankan keuntungan
ekonomi mereka. Dampaknya terasa dalam jangka panjang, memengaruhi struktur sosial dan
hukum Indonesia bahkan setelah kemerdekaan.

4. Pernyataan Berlaku Hukum Perdata Eropa untuk Bangsa Indonesia Asli

Kebijakan pemerintah kolonial untuk menerapkan hukum perdata Eropa bagi bangsa
Indonesia asli memunculkan berbagai perdebatan tentang relevansi, keadilan, dan kepatutan
implementasi hukum asing di tengah masyarakat yang memiliki tradisi hukum sendiri.
Kebijakan pemerintah kolonial untuk menerapkan hukum perdata Eropa bagi bangsa
Indonesia asli memunculkan berbagai perdebatan yang kompleks tentang relevansi, keadilan,
dan kepatutan implementasi hukum asing di tengah masyarakat yang memiliki tradisi hukum
sendiri.

Salah satu aspek yang menjadi pusat perdebatan adalah relevansi hukum perdata
Eropa dalam konteks masyarakat Indonesia yang memiliki tradisi hukum lokal yang kuat.
Meskipun hukum perdata Eropa memiliki kerangka hukum yang terstruktur dan rinci,
pengenalan sistem hukum asing ini tidak selalu sesuai dengan kebutuhan dan nilai-nilai
masyarakat Indonesia. Banyak yang berpendapat bahwa penerapan hukum asing tersebut
menjadi sebuah upaya pemaksaan atas nilai-nilai hukum yang tidak sesuai dengan budaya
dan kebiasaan lokal.

Selain itu, ada juga pertanyaan tentang keadilan dalam penerapan hukum perdata
Eropa terhadap masyarakat pribumi. Hukum perdata Eropa sering kali tidak
memperhitungkan kekayaan dan keberagaman budaya masyarakat Indonesia.
Ketidaksesuaian ini bisa mengakibatkan ketidakadilan dalam perlakuan hukum terhadap
berbagai kelompok masyarakat. Pendekatan yang lebih tepat mungkin adalah
mempertimbangkan integrasi antara hukum perdata Eropa dengan tradisi hukum lokal yang
ada. Namun, dalam praktiknya, integrasi semacam itu sering kali sulit dilaksanakan karena
perbedaan yang cukup besar antara kedua sistem hukum tersebut.

Secara keseluruhan, implementasi hukum perdata Eropa di tengah masyarakat


Indonesia memunculkan berbagai pertanyaan penting tentang relevansi, keadilan, dan
kepatutan. Diskusi tentang bagaimana menciptakan kerangka hukum yang sesuai dengan
kebutuhan dan nilai-nilai masyarakat Indonesia yang beragam tetap menjadi topik yang
relevan bahkan setelah masa penjajahan berakhir.

5. Menundukan Diri kepada Hukum Perdata Eropa

Dampak common law Eropa terhadap sektor swasta di Indonesia menciptakan


paradoks di mana norma-norma common law asing sering kali bertentangan dengan adat
istiadat dan nilai-nilai setempat. Hal ini memberikan harapan bagi setiap warga negara untuk
mencapai keadilan hukum. Dampak undang-undang data Eropa terhadap sektor swasta di
Indonesia tidak diragukan lagi sangat kompleks. Norma hukum asing seringkali berbenturan
dengan adat istiadat dan hukum setempat, sehingga menimbulkan hambatan dalam mencapai
kesetaraan hukum bagi seluruh warga negara.

Salah satu tantangan utama yang muncul adalah ketidaksesuaian hukum privat Eropa
dengan hukum adat, agama, dan adat istiadat Indonesia. Norma-norma hukum privat Eropa
dapat mengatasi permasalahan budaya dan sosial yang penting bagi masyarakat umum.Hal ini
dapat menyebabkan ketidakadilan dalam penerapan hukum dan membuat beberapa kelompok
masyarakat dan perseorangan merasa diabaikan atau tidak diakui dalam sistem hukum.
Selain itu, pengenalan hukum perdata Eropa juga sering kali menciptakan ketidaksetaraan di
antara berbagai kelompok masyarakat. Kelompok yang lebih terpengaruh oleh norma-norma
hukum asing, misalnya karena tingkat pendidikan atau akses terhadap sumber daya, dapat
memiliki keuntungan dalam sistem hukum dibandingkan dengan kelompok-kelompok lain
yang kurang terampil dalam memahami atau mengakses hukum perdata Eropa.

Preseden ini menjadi semakin problematis karena, meskipun hukum perdata Eropa
diterapkan di tingkat nasional, norma-norma hukum perdata lokal juga lebih ketat dan dapat
diterapkan di banyak komunitas di Indonesia. Hal ini mengarah pada sistem hukum dualistik
yang kompleks dimana hukum nasional dan hukum adat sering kali bertentangan atau tidak
sejalan satu sama lain. Mencapai kepatuhan hukum bagi setiap warga negara di Indonesia
merupakan persoalan yang kompleks dalam konteks ini. Pendekatan yang lebih holistik dan
inklusif diperlukan dalam penyusunan dan penegakan peraturan hukum, yang mengakui dan
menghormati tradisi hukum yang ada di Indonesia serta kehidupan sehari-hari. Hal ini berarti
reformasi hukum yang mengintegrasikan peraturan daerah ke dalam kerangka hukum
nasional dan upaya untuk meningkatkan akses masyarakat terhadap informasi hukum di
semua tingkat masyarakat.

6. Perbedaan Golongan Tionghoa dan Bukan Tionghoa


Perlakuan sistem hukum Indonesia terhadap warga negara Tionghoa dan non-
Tionghoa sangat melemahkan lanskap politik, ekonomi, dan sosial negara yang sangat
kompleks ini. Penerapan undang-undang terhadap kedua golongan ini seringkali
menimbulkan kontroversi dan menjadi bahan perdebatan sengit.

Golongan Tionghoa telah menjalin hubungan erat dengan Indonesia baik dalam
bidang sosial maupun ekonomi. Meskipun banyak dari mereka merupakan anggota penting
dari masyarakat Indonesia dan memberikan kontribusi yang signifikan terhadap
pembangunan negara, mereka juga sering menjadi sumber diskriminasi dan ketidaksetujuan,
terutama ketika menyangkut peraturan hukum mengenai kepemilikan usaha, sponsor negara,
dan kerukunan antar umat beragama. Dinamika politik dan ekonomi di Indonesia
mengharuskan penegakan supremasi hukum terhadap warga Tionghoa.

Beberapa waktu lalu, undang-undang yang diskriminatif terhadap warga Tionghoa


telah diterapkan, seperti undang-undang yang melemahkan kekuatan bisnis mereka atau
mengharuskan mereka menggunakan bahasa Indonesia dalam operasionalnya. Namun seiring
berjalannya waktu dan perubahan konteks politik dan sosial, terdapat dorongan untuk
memperbaiki penerapan hukum pada masyarakat Tionghoa, khususnya pasca era reformasi.
Meskipun demikian, masih terdapat tantangan dan perbedaan pendapat dalam upaya
mencapai kesetaraan hukum bagi seluruh warga negara, termasuk masyarakat Tionghoa.

Proses hukum terhadap apa yang biasa disebut “pribumi” atau “bukan Tionghoa” juga
tidak lepas dari kontroversi. Meskipun mereka diakui oleh undang-undang sebagai “orang
Indonesia asli”, masih terdapat banyak ambiguitas dalam penafsiran hukum, khususnya yang
berkaitan dengan kepemilikan tanah dan sumber daya alam lainnya serta isu-isu politik dan
sosial. Secara keseluruhan, peraturan hukum mengenai kedua golongan ini membatasi
kompleksitas dan kesulitan mencapai keadaan hukum yang final bagi seluruh warga negara
Indonesia. Dibutuhkan inisiatif jangka panjang untuk mengatasi diskriminasi dan
ketidakpatuhan terhadap hukum, serta menciptakan masyarakat yang inklusif dan
bertanggung jawab terhadap semua orang.

7. Ke Arah Kodifikasi Hukum Nasional

Pengembangan sistem hukum Indonesia telah menciptakan perhatian serius untuk


merumuskan kodifikasi hukum nasional. Tujuan utamanya adalah untuk menciptakan
kesadaran, pemahaman, dan kemajuan dalam penerapan hukum di seluruh bangsa. Proses
kodifikasi hukum nasional didasarkan pada upaya menghimpun, memperjelas, dan
mengintegrasikan berbagai peraturan hukum ke dalam satu dokumen tunggal, runtut, dan
terstruktur. Tujuannya adalah untuk menciptakan undang-undang yang lebih mudah
dipahami, diakses, dan diterapkan oleh masyarakat umum dan pihak-pihak terkait.

Keberadaan undang-undang hukum nasional diperkirakan akan menimbulkan


perbedaan pendapat dalam penafsiran dan penerapan undang-undang tersebut di berbagai
provinsi di Indonesia. Pentingnya memahami hukum agar setiap orang dapat memahami
kewajiban dan haknya secara jelas tanpa adanya kesenjangan antara satu daerah dengan
daerah lainnya.

Selain itu, undang-undang hukum nasional juga berfungsi untuk memperkuat prinsip-
prinsip dasar integritas sistem hukum. Diharapkan dengan adanya sistem hukum yang lebih
terstandarisasi dan terstruktur akan memudahkan verifikasi bahwa setiap orang bertindak
sesuai hukum, tanpa melanggar hukum atau didiskriminasi.

Meskipun kodifikasi hukum nasional mempunyai banyak manfaat, namun prosesnya


tidak selalu sederhana. Perlu adanya koordinasi yang baik antara berbagai lembaga legislatif,
yudikatif, eksekutif, dan partisipasi yang mewakili berbagai kelompok kepentingan. Selain
itu, perbedaan agama, adat istiadat, dan tradisi hukum di berbagai daerah di Indonesia juga
menjadi tantangan dalam menentukan kerangka hukum yang dapat dianut oleh semua pihak.
Ringkasnya, kebutuhan untuk menetapkan peraturan hukum nasional sangat penting untuk
mengembangkan sistem hukum yang efisien, kontemporer, dan sehat di Indonesia. Ini adalah
bentuk komitmen untuk menciptakan sebuah negara hukum yang berlandaskan keadilan bagi
semua warga negaranya.

B. Sistematika Hukum Perdata

1. Pembagian Hukum Perdata Berdasarkan KUHPer

KUHPer (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) memang memberikan kerangka kerja yang
jelas dalam pembagian hukum perdata di Indonesia. Ini termasuk beberapa bidang utama
seperti hukum perorangan, hukum kekeluargaan, hukum harta kekayaan, dan hukum waris.

 Hukum Perorangan: Bidang ini mencakup aturan-aturan yang mengatur tentang


status, identitas, dan hak-hak individu sebagai pribadi. Termasuk di dalamnya adalah
ketentuan-ketentuan tentang kepribadian hukum, kewarganegaraan, nama, dan
identitas lainnya.
 Hukum Kekeluargaan: Hukum kekeluargaan membahas tentang hubungan-
hubungan keluarga dan pernikahan. Ini termasuk aturan-aturan tentang perkawinan,
perceraian, hak dan kewajiban suami istri, hak asuh anak, serta aspek-aspek lain yang
terkait dengan kehidupan keluarga.
 Hukum Harta Kekayaan: Bidang ini mencakup aturan-aturan yang mengatur
tentang kepemilikan, pemindahan, dan penggunaan harta kekayaan. Ini termasuk
peraturan-peraturan tentang kontrak, obligasi, jaminan, serta harta benda bergerak dan
tidak bergerak.
 Hukum Waris: Hukum waris membahas tentang pengaturan pewarisan harta benda
seseorang setelah kematiannya. Ini mencakup aturan-aturan tentang pewarisan dengan
atau tanpa wasiat, hak-hak ahli waris, pembagian harta warisan, serta prosedur
penyelesaian sengketa waris.
Struktur kerangka kerja dalam KUHPer memungkinkan penafsiran peraturan di bidang
hukum data menjadi lebih tepat dan terorganisir. Hal ini akan membantu masyarakat umum
memahami dan menerapkan hukum, serta memudahkan proses hukum dan penyelesaian
pemeriksaan hukum terkait permasalahan yang ada.
2. Pembagian Hukum Perdata Menurut Ilmu Pengetahuan Hukum

Secara ilmiah, Hukum perdata terbagi dalam beberapa bidang kajian, seperti hukum
perdata, hukum kemasyarakatan, dan hukum perdata. Setiap perjanjian mempunyai ciri dan
prinsip kehalalan yang jelas.Setiap bidang studi hukum data telah menetapkan metodologi
dan praktik terbaik untuk menganalisis masalah hukum terkait. Tujuannya adalah untuk
mengembangkan etika kerja yang jelas dan sistematis di bidang segketa pengelesaian serta
dalam penerapan peraturan hukum terkait.

Hukum perdata adalah jenis hukum yang menciptakan ikatan antara individu dan
sistem hukum secara keseluruhan. Perjanjian, kepemilikan, tanggung jawab, hak-hak
individu, dan perjanjian mencakup aspek dibidang kajian hukum perdata. Di sisi lain, hukum
rakyat lebih menitik beratkan pada pengaturan dan pengamanan kepentingan rakyat secara
keseluruhan. Ini menguraikan undang-undang tentang bisnis, kemitraan, dan undang-undang
yang mengatur interaksi antara individu dan anggota masyarakat lainnya.

Selanjutnya, hukum data mungkin yang paling banyak digunakan, meskipun lebih
mungkin diakui sebagai hukum kontrak, yang mengatur kontrak dan hukum terkait di negara
tertentu. Setiap proses hukum terhadap data harus berpegang pada ketentuan peruntukan dan
pendelegasian yang jelas dan ringkas. Prinsip-prinsip seperti kesepakatan, kepatuhan
terhadap hukum, dan keadilan sangat penting dalam mengembangkan rencana bisnis yang
sehat.

Setiap bidang studi hukum telah menetapkan praktik dan metodologi terbaik untuk
menganalisis masalah hukum. Hal ini mencakup penggunaan preseden, penelitian hukum,
penafsiran preseden hukum, dan etiket. Tujuannya adalah untuk memberikan perwakilan
hukum yang efektif dan efisien serta memastikan kepatuhan terhadap peraturan hukum
terkait.Etika kerja yang jelas dan sistematis juga diperlukan dalam pelaksanaan peraturan
hukum yang berlaku. Hal ini melemahkan integritas proses hukum, konsistensi penegakan
hukum, dan kebijaksanaan dalam menghadapi semua pihak yang terlibat dalam proses
hukum. Oleh karena itu, undang-undang privasi data, undang-undang properti komunitas, dan
undang-undang cedera pribadi merupakan komponen penting dari sistem hukum yang
menjunjung hak individu untuk mencapai keadilan dan kesetaraan dalam komunitas.

3. Hukum Perorangan

Hukum perorangan mengatur hak dan kewajiban individu dalam masyarakat,


termasuk hak sipil, hak kebendaan, dan hak kepribadian. Mari kita bahas lebih lanjut tentang
masing-masing:
1. Hak Sipil: Hak sipil adalah hak-hak yang diberikan kepada individu untuk berpartisipasi
dalam kehidupan sipil dan politik masyarakat. Ini mencakup hak-hak seperti hak untuk hidup,
hak untuk kebebasan pribadi dan keamanan, hak untuk mendapatkan perlindungan hukum
yang sama, hak untuk mendapatkan kebebasan berpendapat dan berekspresi, serta hak untuk
berkumpul dan berorganisasi.

2. Hak Kebendaan: Hak kebendaan mengatur tentang hak-hak individu terhadap benda-
benda atau harta kekayaan. Ini mencakup hak-hak seperti hak milik, hak guna pakai, hak
sewa, dan hak jaminan. Hukum kebendaan juga mencakup aturan tentang bagaimana
kepemilikan atas suatu benda dapat dialihkan atau dipindahkan, baik secara sukarela melalui
perjanjian atau secara paksa melalui proses hukum.

3. Hak Kepribadian: Hak kepribadian mengacu pada hak-hak individu terkait dengan
identitas, kehormatan, dan martabat pribadi. Ini mencakup hak-hak seperti hak privasi, hak
untuk tidak disalahkan tanpa alasan yang sah, hak untuk tidak disiksa atau diperlakukan
secara sewenang-wenang, serta hak untuk melindungi nama baik dan reputasi. Hukum
kepribadian juga dapat mencakup hak-hak yang berkaitan dengan identitas pribadi, seperti
hak untuk menentukan nama dan status kewarganegaraan.

Dengan mengatur hak dan kewajiban individu dalam masyarakat, hukum perorangan
bertujuan untuk menjaga keseimbangan antara kepentingan individu dan kepentingan
masyarakat secara keseluruhan. Ini penting untuk menciptakan suasana hukum yang adil,
teratur, dan berkeadilan bagi semua anggota masyarakat.

4. Hukum Kekeluargaan

Hukum kekeluargaan berkaitan dengan hubungan antara anggota keluarga, seperti


perkawinan, perceraian, hak asuh anak, dan pewarisan. Hukum kekeluargaan merupakan
cabang dari hukum perdata yang berkaitan dengan hubungan antara anggota keluarga. Bidang
ini mencakup berbagai aspek penting dalam kehidupan keluarga, antara lain:

1. Perkawinan: Hukum kekeluargaan mengatur tentang proses pernikahan, termasuk syarat-


syarat yang harus dipenuhi untuk sahnya sebuah pernikahan, prosedur pernikahan, serta hak
dan kewajiban suami istri setelah menikah.

2. Perceraian: Ini mencakup aturan-aturan yang mengatur proses perceraian, seperti alasan
yang sah untuk bercerai, prosedur perceraian, pembagian harta bersama, serta hak dan
kewajiban mantan suami istri setelah perceraian.

3. Hak Asuh Anak: Hukum kekeluargaan mengatur tentang hak asuh anak setelah
perceraian atau pemisahan suami istri. Ini termasuk penentuan siapa yang memiliki hak asuh
atas anak, hak kunjungan, serta kewajiban finansial terhadap anak.

4. Pewarisan: Pewarisan adalah bagian penting dari hukum kekeluargaan yang mengatur
tentang pembagian harta warisan setelah kematian seseorang. Ini mencakup aturan-aturan
tentang pewarisan dengan atau tanpa wasiat, hak-hak ahli waris, serta proses penyelesaian
sengketa waris.

Hukum kekeluargaan memiliki peran penting dalam mengevaluasi kohesi dan


stabilitas sosial serta populasi secara keseluruhan. Peraturan yang ada diharapkan dapat
menghasilkan hubungan kelompok yang harmonis dan perlindungan yang cukup bagi seluruh
anggota kelompok. Selain itu, hukum kemasyarakatan juga berperan penting dalam mengakui
hak dan kewajiban setiap orang dalam konteks hubungan kelompok, sehingga dapat berujung
pada kohesi dan kemajuan sosial.

5. Hukum Harta Kekayaan

Hukum harta kekayaan mendidik orang lain tentang pentingnya kepemilikan,


penggunaan, dan perawatan hati manusia, baik secara individu maupun bekerja sama dengan
organisasi lain. Hukum harta kekayaan merupakan salah satu cabang perdata hukum yang
mengatur tentang kepemilikan, penggunaan, dan pengurusan benda hati, baik secara sendiri-
sendiri maupun bersama-sama dengan pihak lain. Bidang ini menyoroti beberapa poin
penting, antara lain:

1. Kepemilikan: Hukum harta kekayaan mengatur tentang hak-hak kepemilikan atas harta
benda, baik itu berupa properti, uang, investasi, atau aset lainnya. Ini mencakup aturan-aturan
tentang bagaimana hak kepemilikan atas suatu benda dapat diperoleh, dipertahankan, atau
dialihkan kepada pihak lain.

2. Penggunaan: Ini mencakup aturan-aturan yang mengatur tentang bagaimana hak pemilik
atas harta benda tersebut dapat digunakan atau dimanfaatkan. Misalnya, dalam hal properti,
hukum harta kekayaan mengatur tentang hak-hak penggunaan, penyewaan, atau pemanfaatan
lainnya atas properti tersebut.

3. Pemindahan: Hukum harta kekayaan juga mengatur tentang bagaimana hak kepemilikan
atas harta benda dapat dialihkan atau dipindahkan kepada pihak lain. Ini mencakup aturan-
aturan tentang penjualan, pemberian hadiah, warisan, serta pembagian harta bersama dalam
kasus kemitraan atau perseroan.

Melalui peraturan di bidang hukum ketenagakerjaan yang ada diharapkan dapat


menghasilkan undang-undang ketenagakerjaan yang jelas dan terstruktur bagi benda kerja.
Hal ini penting untuk menjaga kepatuhan hukum, mencegah pencucian uang, dan
memungkinkan transaksi ekonomi yang efisien. Selain itu, hukum harta kekayaan juga
berperan dalam melindungi hak-hak pemilik benda dan memastikan hak waris dikelola secara
jujur dan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.

6. Hukum Waris

Hukum waris menggambarkan benda hati dan hak-hak warisan orang yang meninggal
dunia kepada warisnya. Hukum waris merupakan salah satu cabang perdata hukum yang
mengatur tentang hak benda hati dan harta warisan orang yang dikhianati oleh warisnya.
Bidang ini mempunyai peranan krusial dalam menentukan bagaimana kelengkungan hati
seseorang akan terdistribusi setelah kematian.

Hukum waris mencakup beberapa aspek utama, antara lain:

 Pewarisan dengan atau tanpa wasiat: Hukum waris mengatur tentang bagaimana harta
benda seseorang akan didistribusikan setelah kematiannya. Ini bisa dilakukan secara
alami, sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku jika seseorang meninggal tanpa
meninggalkan wasiat, atau dengan adanya wasiat yang ditinggalkan oleh orang yang
meninggal.
 Hak-hak ahli waris: Hukum waris juga menetapkan hak-hak yang dimiliki oleh ahli
waris terhadap harta benda warisan. Ini mencakup hak-hak seperti hak waris wajib,
hak waris perwakilan, dan hak-hak ahli waris lainnya sesuai dengan ketentuan hukum
yang berlaku.
 Pembagian harta warisan: Hukum waris menetapkan aturan tentang bagaimana harta
warisan akan dibagi antara ahli waris sesuai dengan peraturan hukum yang berlaku.
Ini mencakup aturan-aturan tentang pembagian proporsi warisan, prosedur
pembagian, serta penyelesaian sengketa yang mungkin timbul dalam proses
pembagian harta warisan.
Melalui aturan-aturan kerangka hukum yang terstruktur dalam pembagian harta benda
warisan, adalah sebagai regulasi-regullasi dalam hukum waris. Hal ini penting untuk
memahami keharmonisan dan kedamaian antar waris serta mencegah timbulnya kondisi dan
pemandangan yang dapat merugikan pihak-pihak yang dirugikan.

7. Pembagian Hukum Perdata pada Beberapa Negara Asing

Hukum perdata memiliki berbagai varian di beberapa negara asing, termasuk sistem
hukum Romawi, Anglo-Saxon, dan Hukum Islam. Berikut adalah beberapa contoh sistem
hukum perdata yang berbeda:

1. Sistem Hukum Romawi: Sistem hukum Romawi, juga dikenal sebagai sistem hukum
kontinental, banyak dipengaruhi oleh hukum Romawi kuno dan berkembang di negara-
negara Eropa Kontinental seperti Prancis, Jerman, Italia, dan Spanyol. Karakteristik
utamanya adalah penggunaan kode hukum yang terpusat, di mana hukum dikodifikasi dalam
satu dokumen hukum utama. Prinsip-prinsip hukum sipil dalam sistem ini cenderung
menekankan pada asas tertulis, kepastian hukum, dan kodifikasi yang rinci.

2. Sistem Hukum Anglo-Saxon: Sistem hukum Anglo-Saxon, juga dikenal sebagai common
law, berkembang di negara-negara yang dulunya merupakan bagian dari Kekaisaran Britania
Raya, seperti Inggris, Amerika Serikat, dan Kanada. Sistem ini didasarkan pada preseden
hukum (case law) yang diberikan oleh pengadilan dalam putusan mereka. Prinsip-prinsip
hukum dalam sistem ini cenderung menekankan pada fleksibilitas, evolusi hukum melalui
kasus-kasus konkret, dan otoritas yudisial yang kuat
3. Hukum Islam: Sistem hukum Islam didasarkan pada prinsip-prinsip hukum yang
terkandung dalam Al-Quran dan Sunnah (tradisi) Nabi Muhammad. Sistem ini diterapkan di
negara-negara dengan mayoritas penduduk Muslim, seperti Arab Saudi, Mesir, dan
Indonesia. Hukum Islam mencakup berbagai aspek kehidupan, termasuk hukum perdata,
yang mengatur hubungan antara individu dalam masyarakat. Prinsip-prinsip hukum Islam
mencakup konsep-konsep seperti keadilan, kesetaraan, dan keadilan sosial.

Setiap sistem hukum perdata memiliki keunikan dan karakteristiknya sendiri, yang tercermin
dalam prinsip-prinsip dan aturan yang mengatur hubungan perdata di negara-negara tersebut.
Meskipun ada perbedaan, penting untuk diingat bahwa semua sistem hukum ini bertujuan
untuk menciptakan kerangka hukum yang memfasilitasi keadilan, kepastian hukum, dan
keharmonisan dalam masyarakat.
BAB III

PEMBAHASAN

B. Kronologi Kasus

Adapun awal mula dari Kasus ini berawal dari pernikahan Penggugat Tuan SW
menikah dengan Tergugat Nyonya L pada tanggal 16 September 2004 sebagaimana
tercantum dalam Kutipan Akta Perkawinan No. 401/ 2004 tertanggal 1 Oktober 2004, yang
dikeluarkan oleh Kepala Dinas Pendaftaran Penduduk dan Catatan Sipil Kota Semarang dan
selama perkawinan mereka dianugerahkan satu orang anak yang bernama BAW akan tetapi
Pernikahan mereka berakhir dikarenakan ketidakcocokan antara berdua pihak berdasarkan
putusan perceraian Nomor 257 / Pdt.G / 2015 / PN Smg tertanggal 15 Desember 2015, pada
perceraian tersebut tidak disinggung adanya pembagian harta bersama antara para pihak
(Penggugat dan tergugat), dan hingga saat ini harta bersama antara Penggugat (mantan suami
Tergugat) dengan Tergugat belum pernah dibagikan serta harta pribadi Penggugat masih
berada di bawah penguasaan Tergugat (mantan Istri Penggugat). Oleh karena belum
dibagikannya harta bersama dan dikuasainya harta pribadi Penggugat (mantan suami
Tergugat), maka penggugat mengirimkan somasi guna meminta pembagian harta gono gini
kepada Tergugat yaitu sebagaimana termuat dalam Somasi/Teguran Hukum No. 19/ Sekre/
ANA/ I/ 2016 tertanggal 26 Januari 2016 akan tetapi tidak ditanggapi oleh pihak Tergugat.

Di dalam kasus ini tergugat merasa bahwa Penggugat tidak berhak terhadap harta
bersama tersebut dengan alasan selama Sebelas (11) tahun selama pernikahan tidak pernah
memberikan nafkah kepada Tergugat (mantan istri) dan Dalam dictum kelima putusan No.
257 / Pdt.G / 2015 / PN. Smg tanggal 24 Nopember 2015, PENGGUGAT dihukum untuk
memberikan nafkah hidup kepada anak semata wayang PENGGUGAT dan TERGUGAT
yang bernama BAW sebesar Rp.10.000.000, (sepuluh juta rupiah) setiap bulannya sejak
tanggal 24 November 2015 sampai dengan usia dewasa akan tetapi hal tersebut tidak pernah
dilaksanakan oleh PENGGUGAT.

Karena pihak Tergugat tidak juga memberikan bagian harta bersama perkawinan
mereka dan harta pribadi milik Penggugat yang dikuasai tergugat, maka Penggugat Tuan SW
telah mengajukan gugatan ke pengadilan negeri Semarang untuk memperoleh bagian dari
harta bersama dan harta pribadi yang dikuasainya dan meminta kepada Pengadilan Negeri
Semarang mendahulukan Sita Marital kepada harta bersama mereka. Dalam gugatan tersebut
pengadilan negeri No: 219/Pdt.G/2016/PN SMG mengabulkan dan menyatakan bahwa harta
bersama tersebut adalah milik Penggugat Tuan SW dan Tergugat Nyonya L harus dibagi
sebesar 50% - 50% antara kedua belah pihak serta pihak tergugat harus mengembalikan harta
pribadi milik Penggugat, akan tetapi dalam tahap banding di Pengadilan Tinggi No.
203/Pdt/2017/PT SMG membatalkan Putusan Pengadilan Negeri No
219/Pdt.G/2016/PN.Smg tersebut sedangkan dalam tahap kasasi di Mahkamah Agung
memberikan putusan membatalkan Putusan Pengadilan Tinggi No. 203/Pdt/2017/PT SMG
dan menguatkan kembali Putusan Pengadilan Negeri No 219/Pdt.G/2016/PN.Smg.

C. Pengaturan pembagian harta bersama untuk suami yang tidak memberikan


nafkah keluarga selama perkawinan (Analisis Putusan Mahkamah Agung
Nomor 1636 K/PDT/2018)

Harta bersama merupakan pondasi penting bagi pasangan suami-istri yang berguna
untuk hidup dan menjalankan bahtera rumah tangga, akan tetapi bagaimana jika di dalam
ikatan perkawinan hanya istri saja yang menjadi penopang harta bersama tersebut, apakah
keadaan tersebut adil dalam perkawinan dan apabila terjadi ketidakcocokan dalam rumah
tangga yang berujung ke arah perceraian, bagaimanakah pengaturan pembagian harta
bersama tersebut. Berdasarkan penjelasan tersebut terdapat kesamaan pada kasus dengan
putusan yang digunakan Mahkamah Agung NOMOR 1636 K/Pdt/2018 Jo pengadilan Tinggi
Semarang No 203/PDT/2017/PT Jo Putusan Pengadilan Negeri No 219/Pdt.G/2016/PN.Sm,
telah terjadi perkawinan antara pasangan berketurunan Tionghoa beragama Buddha pada
tanggal 16 September 2004 sebagaimana tercantum dalam Kutipan Akta Perkawinan No.
401/ 2004 tertanggal 1 Oktober 2004, yang dikeluarkan oleh Kepala Dinas Pendaftaran
Penduduk dan Catatan Sipil kota Semarang. Jika kita melihat penjelasan KUHPerdata bahwa
perkawinan hanya sebatas relevansi keperdataan saja, hal ini sesuai dengan pasal 26
KUHPerdata yang mengatakan:14 “Undang- undang memandang soal perkawinan hanya
dalam hubungan-hubungan perdata.” Dari isi tersebut KUHPerdata tidak mempertentangkan
tata cara pelaksanaan serta syarat di dalam perkawinan sepanjang dilaksanakan sesuai aturan
yang yang berlaku bagi aspek kehidupan masyarakat setempat yakni: bagi umat beragama
harus sesuai dengan peraturan agama dan bagi suku-suku yang adatnya masih kental
menggunakan hukum adat. Sedangkan dalam pasal 1 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1
Tahun 1974 tentang perkawinan menyatakan:15 “ikatan lahir batin antara seorang pria dan
seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.” Ditegaskan dalam pasal 2 ayat
(1) bahwa setiap pelaksanaan perkawinan harus dilaksanakan dengan kepercayaan yang
dianut kedua belah pihak yang akan menikah. Berdasarkan ketentuan kedua undang-undang
dikemukakan sebelumnya dijelaskan bahwa perkawinan harus dilaksanakan dengan
ketentuan hukum masing-masing, dalam kasus ini pasangan suami-istri tersebut merupakan
keturunan Tionghoa dan menjalankan perkawinan dengan tata cara agama Buddha, apabila
yang melaksanakan perkawinan adalah pasangan beragama Kristen/katolik harus
melaksanakan dengan ketentuan aturan gereja atau tata cara agama Kristen/katolik.
Selanjutnya dikarenakan ketidakcocokan antara para pihak serta penggugat merasa
suami tidak menjalankan peranannya sebagai kepala keluarga dengan tidak memberikan
nafkah selama perkawinan maka mereka berpisah dengan cara perceraian. Pengaturan
perceraian ini diatur dalam KUHPerdata, di mana aturan tersebut memberikan pengertian
perceraian sebagaimana pasal 199 KUHPerdata yang menegaskan mengenai berakhirnya
sebuah perkawinan berakhir karena :

“Perkawinan bubar:

1. Oleh kematian;

2. Oleh tidak hadirnya si suami atau si isteri selama sepuluh tahun, yang disusul oleh
perkawinan baru isteri atau suaminya. sesuai dengan ketentuan-ketentuan Bagian 5 Bab 18;

3.Oleh keputusan Hakim setelah pisah meja dan ranjang dan pendaftaran Catatan Sipil, sesuai
dengan ketentuan-ketentuan Bagian 2 bab ini;

4. Oleh perceraian, sesuai dengan ketentuan-ketentuan Bagian 3 bab ini.”

Selain ketentuan dalam KUHPerdata, Undang-Undang Perkawinan juga mengatur


soal perceraian yakni pada pasal 39 ayat (2) UU No. 1/1974 menjelaskan bahwa apabila
suami atau istri tidak dapat hidup rukun lagi maka diperbolehkan melakukan perceraian
dengan alasan yang cukup, hal ini sejalan dengan pasal 19 PP No. 9/1975 bisa dijelaskan
alasan bercerai sebagai berikut:17

“Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan:

1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain
sebagainya yang sukar disembuhkan;

2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin
pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya;

3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat
setelah perkawinan berlangsung;

4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan
pihak yang lain;

5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat
menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri;

6. Antara suami-istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada
harapan akan hidup rukun dalam rumah tangga.”

Penjelasan terhadap alasan-alasan yang telah dikemukakan sebelumnya merupakan


batasan- batasan yang dapat diperbolehkan pada pasal 39 ayat 2 UU No. 1/1974 yang
ditentukan kembali pada pasal 19 PP No. 9/1975, oleh karena itu mengenai alasan-alasan lain
yang tidak ada pada batasan-batasan tersebut tidak diperbolehkan dilakukannya perceraian.
Selanjutnya setelah terjadinya perceraian, mantan istri tidak juga membagikan harta bersama
dan menguasai harta pribadi milik mantan suami dengan alasan mantan suami tidak memiliki
harta yang dimasukan ke dalam perkawinan sama sekali sebab selama perkawinan tidak
menafkahi istri dan anak. Dengan alasan tidak adanya pembagian harta bersama tersebut
suami mengajukan somasi dan tidak di respon mantan istrinya. Oleh karena itu mantan suami
mengajukan gugatan kepada pengadilan negeri semarang. Berdasarkan kasus tersebut peneliti
akan menjabarkan mengenai harta benda dalam perkawinan agar dapat dipahami jenis harta
apa saja yang menjadi milik pribadi dan menjadi

Bagian bersama yang dapat dibagikan. penjelasan pasal 35 ayat 1 No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan menjelaskan mengenai definisi harta perkawinan adalah harta yang
diperoleh selama perkawinan berlangsung, baik itu berupa harta hasil pendapatan suami
maupun hasil pendapatan istri dan hasil pendapatan pribadi suami dan istri yang diperoleh
selama perkawinan, meskipun pokoknya tidak termasuk harta bersama. Pengaturan tersebut
tetap menjadi harta bersama selama di dalam perkawinan tidak ada perjanjian perihal status
harta kekayaan pada saat sebelum dan saat terlaksananya perkawinan.18 Terhadap harta
bersama tersebut ada pengecualian yaitu harta yang diperoleh dari bawaan, hibah dan wasiat,
jenis-jenis harta ini tidak termasuk harta bersama tetapi termasuk jenis harta pribadi milik
suami atau istri.19 KUHPerdata menjelaskan bahwa sejak perkawinan terjadi, maka pada saat
itu terjadilah penggabungan harta milik pasangan, penggabungan ini terikat masuk ke dalam
keluarga dan sejak detik itu kelimpahannya menjadi milik pasangan tersebut. Hal ini diatur
dalam pasal 119 KUHPerdata:20 “Mulai saat terjadi perkawinan dilangsungkan, demi hukum
berlakulah persatuan bulat antara harta kekayaan suami dan istri, sekadar mengenai itu
dengan perjanjian kawin tidak diadakan ketentuan lain. Persatuan itu sepanjang hal itu tidak
ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.” Dan terdapat penjelasan lebih mengenai harta
benda selain pencampuran yaitu harta benda yang diperoleh selama perkawinan berlangsung
sesuai pasal yang 120 sampai dengan pasal 122 KUHPerdata, adalah:

1. Benda bergerak dan tidak bergerak termasuk yang sudah ada maupun akan ada di masa
depan baik yang berasal dari hibah ataupun warisan.

2. Utang pihak suami-istri yang terjadi saat sebelum perkawinan atau selama perkawinan;
Hutang tersebut dapat terjadi karena macam-macam alasan, tidak hanya utang-utang yang
didasarkan perjanjian, tetapi meliputi juga hutang yang timbul karena adanya:21

a. denda-denda

b. penggantian kerugian karena (onrechtmatige daad)

c. beban-beban yang melekat pada warisan atau pun hibah yang jatuh dalam harta persatuan.

3. Semua hasil dan pendapatan, untung dan rugi selama perkawinan.

Pengaturan mengenai harta benda perkawinan sedikit berbeda pada pasal 35-37 Undang-
Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan di mana menurut ketentuan pasal 35 UU No.
1/1974, harta bersama atau harta benda dalam perkawinan dapat dibedakan menjadi:
1. Harta milik bersama, yaitu harta benda yang diperoleh selama ikatan perkawinan masih
berlangsung yang dinilai sebagai hasil usaha suami-istri bersama atau salah satu di antara
mereka. 22 Dari penjelasan pasal 35 UU No. 1/1974 tersebut maka dapat disimpulkan bahwa
dari mana dan dari siapa harta tersebut berasal tidak dapat dibedakan. Namun pengertian
harta benda dalam pasal tersebut bisa saja menimbulkan adanya salah pengertian, karena
harta benda dalam kata sehari-hari berfokus pada segi aktiva. "Kata benda" di sini diartikan
sebagai vermogen atau harta kekayaan, karena dalam kata harta kekayaan meliputi semua
pasiva atau hutang-hutangnya. Arti yang demikian lebih sesuai dengan tanggungjawab suami
maupun istri. Sehingga akibatnya, semua harta yang ada dan semua hutang yang sudah ada,
pada saat perkawinan dilangsungkan pada dasarnya adalah hak (milik) dan kewajiban suami
maupun istri yang mempunyai harta atau hutang tersebut.

2. Harta milik sendiri, terdiri atas:

a. harta bawaan, yakni harta benda masing-masing suami-istri yang dimilikinya,

harta yang telah dimiliki suami maupun istri pada saat perkawinan berlangsung tidak masuk
ke dalam harta bersama kecuali mereka membuat perjanjian lain. Untuk harta bawaan, suami-
istri berhak menggunakannya masing-masing dan juga dapat melakukan perbuatan hukum
terhadapnya sesuai dengan pasal 36 ayat (2) UU No. 1/1974.

b. harta perolehan adalah harta benda yang didapat oleh masing-masing pihak suarni- istri
sebagai hadiah atau warisan setelah perkawinan dilangsungkan. Pada umumnya harta ini
berbentuk hibah, hadiah atau sedekah, harta ini tidak didapat melalui usaha bersama mereka
selama terjadinya perkawinan. Sama halnya harta bawaan, harta ini juga menjadi milik
pribadi pasangan suami-istri sepanjang tidak adanya ketentuan lain dalam perjanjian kawin.

Jika dilihat dari aturan pada KUHPerdata dan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan dapat dilihat terdapat perbedaan di mana dalam harta benda
KUHPerdata terdapat percampuran semua harta dan menjadi satu yaitu harta bersama
sedangkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 memisahkan harta menjadi harta bersama dan
harta. Tekait harta bersama dalam perkawinan ini dapat disimpangi dengan adanya perjanjian
perkawinan, biasanya hal ini terjadi terhadap pasangan yang tidak mau di antara mereka ada
penyatuan harta benda, baik tertentu saja atau keseluruhan harta benda yang ia miliki serta
dapat juga mengatur mengenai penyatuan harta bersama tetapi dalam hal mengurus harta
tersebut masing-masing pihak mau membuat aturan tersendiri. Oleh karena tidak adanya
perjanjian perkawinan harta bersama harus dibagikan dan berdasarkan pasal 37 Undang-
Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang berisikan “Bila perkawinan putus
karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing- masing.” Dari pasal ini
tersebut jika dihubungkan dengan kasus pada digunakan putusan Mahkamah Agung NOMOR
1636 K/Pdt/2018 bahwa mereka adalah warga negara Indonesia berketurunan Tionghoa dan
beragama Buddha.
Di dalam agama Buddha sendiri tidak mengenal adanya perceraian dan
mengembalikan ketentuan perceraian dan pembagian harta bersama kepada hukum negara.25
Peraturan pelaksana PP No. 9 Tahun 1975 tidak mengatur mengenai harta benda di dalam
perkawinan, maka dari itu pasal 66 UU No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan mengatakan:

“Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan
atas Undang-undang ini, maka dengan berlakunya Undang-undang ini ketentuan-ketentuan
yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Ordonansi
Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijks Ordonantie Christen Indonesiers S.1933 No. 74),
Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de gemengde Huwelijken S. 1898 No. 158),
dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam
Undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku.”

Terhadap warga negara Indonesia keturunan tionghoa diatur dalam pasal 2 Undang-Undang
Perkawinan No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan bagian penjelasan yang berisikan:26

“Dewasa ini berlaku berbagai hukum perkawinan bagi berbagai golongan warganegara dan
berbagai daerah seperti berikut:

a. bagi orang-orang Indonesia Asli yang beragama Islam berlaku hukum agama yang telah
diresiplir dalam Hukum Adat;

b. bagi orang-orang Indonesia Asli lainnya berlaku Hukum Adat;

c. bagi orang-orang Indonesia Asli yang beragama Kristen berlaku Huwelijksordonnantie


Christen Indonesia (S. 1933 Nomor 74);

d. bagi orang Timur Asing Cina dan warganegara Indonesia keturunan Cina berlaku
ketentuan-ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Perdata dengan sedikit perubahan;

e. bagi orang-orang Timur Asing lain-lainnya dan warganegara Indonesia keturunan Timur
Asing lainnya tersebut berlaku hukum Adat mereka;

f. bagi orang-orang Eropa dan Warganegara Indonesia keturunan Eropa dan yang disamakan
dengan mereka berlaku Kitab Undang-undang Hukum Perdata.”

Hal ini dipertegas dengan adanya surat edaran Mahkamah Agung Kepada para hakim
di Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi tertuang pada tanggal 20 Agustus 1975 No.
MA/Pemb/0807/75 mengenai petunjuk-petunjuk pelaksana pada UU Perkawinan dan PP No.
9 tahun 1975 sub 4 yang berisikan bahwa terhadap harta benda perkawinan yang belum diatur
dalam PP No. 9 Tahun 1975 dikarenakan belum dilaksanakannya secara efektif maka dari itu
ketentuan pada aturan hukum dan perundang-undangan lama masih berlaku sejalan dengan
pendapat yang dikatakan oleh Subekti mengenai aturan KUHPerdata dan aturan undang-
undang lain tetap berlaku sepanjang tidak diatur dalam ketentuan UU No. 1 tahun 1974
Tentang Perkawinan

Berdasarkan isi pasal 37 UU No 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan penjelasan Jo


pasal 66 UU No 1 tahun 1974 tentang perkawinan Jo surat edaran Mahkamah Agung kepada
para hakim di Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi tertuang pada tanggal 20 Agustus
1975 No. MA/Pemb/0807/75 Jo yurisprudensi Mahkamah Agung juga dalam putusan No.
726 K/Sip/1976 Prof subekti (doktrin) mengenai aturan KUHPerdata dan aturan undang-
undang lain tetap berlaku sepanjang tidak diatur dalam ketentuan UU No. 1 tahun 1974
Tentang Perkawinan tersebut dijelaskan bahwa warga negara Indonesia keturunan Tionghoa
menggunakan ketentuan-ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Perdata dengan sedikit
perubahan yakni perubahan terhadap hal- hal yang tidak diatur dalam KUHPerdata dapat
digunakan Undang-Undang Perkawinan sebagai penyelesaiannya

Pembagian harta benda dapat dilihat menjadi 2 (dua) hal yaitu terhadap pembagian
cerai karena kematian dan pembagian cerai hidup. Terhadap pembagian cerai mati diatur
dalam pasal 832 ayat (1) KUHPerdata28 yang memberikan penjelasan bahwa yang menjadi
ahli waris ialah anggota keluarga sedarah yang sah maupun di luar perkawinan, serta suami
atau istri yang hidup terlama, dengan kata lain semua menjadi ahli waris dengan sendirinya
untuk memperoleh barang atau harta benda maupun piutang serta hutang-hutang dari pewaris,
sedangkan pembagian cerai hidup diatur pada pasal 128 KUHPerdata mengenai pembagian
harta benda perkawinan, apabila perkawinan dilakukan dengan persatuan harta benda, pasal
128 KUHPerdata mengatur: “Setelah bubarnya persatuan, maka harta benda kesatuan dibagi
dua antara suami dan istri, atau antara para ahli waris mereka masing-masing, dengan tak
mempedulikan soal dari pihak yang manakah barang-barang itu diperolehnya.”29
Berdasarkan isi pasal tersebut harta bersama harus dibagikan setengah untuk mantan suami
dan setengah untuk mantan istri.

Lalu bagaimana terhadap mantan suami yang tidak memberikan nafkah selama
perkawinan apakah ia berhak atas bagian setengah dari harta bersama ini? berdasarkan kasus
ini peraturan pada KUHPerdata dan UU Perkawinan No 1 tahun 1974 tidak memberikan
pengaturan khusus terhadap kontribusi dalam perkawinan dan menganggap harta bersama
adalah satu kesatuan dan apabila bubar harus dibagi sama rata kepada para pihak. Peneliti
berpandangan bahwa pembagian ini mencederai rasa keadilan, bagaimana bisa sang mantan
suami mendapat setengah bagian dari harta bersama padahal ia selama perkawinan tidak
memberikan kontribusi nafkah kepada istri dan anak. Kontribusi suami untuk memberikan
nafkah dalam perkawinan sebenarnya diatur jelas pada pasal 105 ayat (1) KUHPerdata
menjelaskan bahwa Setiap suami adalah kepala dalam persatuan suami- istri. Dan kewajiban
lainnya dipertegas pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPerdata”) menjelaskan
mengenai pengaturan mengenai nafkah dengan jelas, yaitu dalam pasal 107 KUHPerdata,
yang mengatakan bahwa:30 ”Setiap suami berwajib menerima istrinya dalam rumah yang ia
diami. Berwajiblah ia pula melindunginya dan memberi padanya segala apa

Yang perlu dan berpatutlah dengan kedudukan dan kemampuannya.” Dari penjelasan
tersebut dapat dilihat bahwa memberikan nafkah adalah kewajiban suami sebagai seorang
kepala keluarga. Keadaan istri yang bekerja dan mampu mencukupi keperluan hidupnya tidak
membuat kewajiban suaminya dalam memberi nafkah menjadi gugur dan dengan berakhirnya
perkawinan dan dibaginya harta bersama apakah adil bila mantan suami mendapatkan bagian
setengah dari harta bersama tersebut.
Jika dihubungkan dengan kapasitas dan kewajiban suami sebagaimana diamanatkan
pada pasal 107 KUHPerdata maka dapat digolongkan menjadi 3 jenis: Pertama terhadap
suami yang tidak melakukan kewajibannya untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Kedua,
terhadap suami yang abai dalam melaksanakan kewajibannya kepada keperluan hidup
keluarga seperti suami yang melupakan keluarganya dan gemar akan hal hal yang tidak baik
seperti malas, nongkrong di warung kopi, suka mabuk-mabukan, atau bermain judi dengan
kata lain tindakan suami seperti ini menyalahi kodratnya sebagaimana di atur pada pasal 107
KUHPerdata yang menjelaskan bahwa suami harus memberikan nafkah kepada keluarganya
meskipun hanya semampunnya saja. Oleh karenanya terhadap suami yang melakukan hal ini
tidaklah layak mendapat harta bersama seandainya mereka bercerai. Ketiga terhadap suami
yang gagal dalam usahanya untuk mencukupi kebutuhan keluarganya, dengan kata lain ia
telah berusaha untuk memenuhi kebutuhan keluarga akan tetapi mengalami kegagalan yang
menyebabkan perekonomian di dalam keluarga tersebut jatuh maka apabila terjadi perceraian
dengan permasalahan kasus ini menurut keadilan berhaklah ia mendapat bagian sebagaimana
bagian yang diatur pada pasal 128 KUHPerdata yang memberikan bagian sama rata antara
para pihak yang bercerai.

Untuk menjawab tersebut peneliti juga perlu melihat beberapa teori keadilan yang ada
yang pertama adalah dari Aristoteles yang mempunyai pendapat terdapat pada karyanya
“Nichomachean Ethics” yang mempunyai arti bahwa perbuatan kebajikan atau keadilan ialah
kebajikan yang utama. Menurut Aristoteles, “justice consists in treating equals equally and
unequals un equally, in proportion to their inequality” yang artinya mengenai konsep
keadilan yaitu pandangan bahwa suatu keadilan adalah sebuah hak kesetaraan tetapi hal ini
bukan berarti persamarataan dengan kata lain ia berpendapat bahwa hak yang diperoleh harus
sesuai sepadan dengan hal yang dilakukan, yaitu setiap orang mempunyai hak yang sama
sesuai dengan kapasitas dan kemampuannya. Aristoteles membagikan keadilan menjadi 2
(dua) macam yaitu keadilan distributif dan keadilan kumulatif. Keadilan distributif adalah
jenis keadilan di mana setiap orang mempunyai porsi yang berbeda-beda dengan yang lain,
yang membedakannya adalah prestasi atau jasanya, jadi bagian hak yang diperoleh
tergantung kepada kemampuan atau kapasitasnnya sedangkan keadilan kumulatif adalah
keadilan di mana setiap orang mempunyai porsi yang sama

Rata tanpa membeda-bedakan prestasi atau kapasitasnya dengan kata lain bagian
mereka sama rata tanpa dibeda-bedakan satu sama lain. Pendapat kedua dari Thomas
Aquinass yang membagikan keadilan menjadi keadilan umum dan khusus. Di dalam keadilan
umum membagikan jenis keadilan dengan dihubungkan terhadap 3 hubungan dasar mengenai
struktur fundamental:

1. “Hubungan antar individu (ordo paritium ad partes)

2. Hubungan antar masyarakat seabagai keseluruhan dengan individu (ordo


otiuspartes)

3. Hubungan antara individu terhadap masyarakat secara keseluruhan (ordo partium


ad totum).” Dari ketiganya mempunyai makna yang sama ikatan antara manusia
dengan manusia lainnya dan menyertakan haknya.
Keadilan khusus memberikan pembagian menjadi 3 (tiga) jenis keadilan vindikatif
(justitia vindivativa), dibagi menjadi keadilan distributif (justitia distributiva) dan keadilan
komutatif (justitia commutativa). Keadilan komutatif adalah jenis keadilan yang tidak
memandang jasa atau kapasitas seseorang dan memberikan hak secara sama. Keadilan
vindikatif adalah jenis keadilan di mana memberikan denda atau bentuk ganti kerugian yang
disesuaikan kepada tindak kejahatan yang diperbuat. Keadilan distributif adalah jenis
keadilan yang ada dan mengatur hubungan antar manusia baik antar individu, masyarakat dan
negara dan menekankan bagaimana hak yang diperoleh tersebut harus sesuai dengan
kemampuan atau kapasitasnya secara proporsional dan adil di dalam kehidupan
bermasyarakat. Konsep ini merupakan bentuk dari konsep Aristoteles yang dikembangkan.36
Pendapat ketiga dari John Boatright dan Manuel Velasquez yaitu pengarang modern yang
membagikan keadilan menjadi 3 (tiga) jenis yakni:

1. Keadilan distributif (distributive justice), mempunyai pengertian yang sama pada pola
tradisional, dimana benefits and burdens harus dibagi secara adil.

2. Keadilan retributif (retributive justice), berkaitan dengan terjadinya kesalahan, dimana


hukum atau denda dibebankan kepada orang yang bersalah haruslah bersifat adil.

3. Keadilan kompensatoris (compensatory justice), menyangkut juga kesalahan yang


dilakukan, tetapi menurut aspek lain, orang mempunyai kewajiban moral untuk memberikan
kompensasi atau gani rugi kepada pihak yang dirugikan.”

Penjelasan sebelumnya menjelaskan bahwa dalam keadilan distributif harus ada


ketetapan prinsip yang harus terpenuhi yaitu:”

a. kepada setiap orang bagian yang sama.

b. kepada setiap orang sesuai dengan kebutuhan individualnya;

c. kepada setiap orang sesuai dengan haknya;

d. kepada setiap orang sesuai dengan usaha individualnya;

e. kepada setiap orang sesuai dengan kontribusinya;

f. kepada setiap orang sesuai dengan jasanya.”

Berdasarkan teori keadilan yang telah dikemukakan dapat kita jelaskan bahwa teori
kumulatif Aristoteles, keadilan komutatif Thomas Aquinass memang terpenuhi pada
ketentuan pasal 128 KUHPerdata di mana hak setiap orang diberikan sama rata tanpa melihat
kontribusinya. Dalam memperoleh harta benda perkawinan. Namun apabila dalam keadaan
mantan suami tidak memberikan nafkah selama perkawinan akan lebih tepat digunakan teori
keadilan Keadilan distributif Aristoteles, keadilan distributif Thomas Aquinass, keadilan
distributif (distributive justice) John Boatright dan Manuel Velasquez yang pada intinya
setiap orang mempunyai bagian yang berbeda-beda hal ini harus disesuaikan dengan prestasi
atau jasa yang dia punyai, jika dihubungkan dengan konsep harta bersama dan dalam kasus di
mana mantan suami tidak memberikan nafkah perkawinan maka bisa diartikan bahwa ia tidak
memberikan kontribusi dalam harta benda perkawinan maka bagian harta yang diperoleh
apabila terjadi perceraian tidak bisa dibagikan secara seimbang.

Kekuasaan kehakiman mempunyai prinsip kebebasan hakim yaitu suatu kebebasan


yang independen untuk menengakkan hukum keadilan agar terwujudnya peradilan yang
berlandaskan kepada Pancasila dan UUD 1945 sebagai falsafah berbangsa dan bernegara hal
ini pun diatur dalam ketentuan pada Undang-Undang No 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan
kehakiman pasal 5 ayat (1) berisikan: “hakim dan hakim konstritusi wajib mengali dan
mengikuti dan memahami nilai- nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat” berdasarkan pasal tersebut peran hakim haruslah menyelesaikan aturan dalam
perkara dengan memperhatikan nilai-nilai keadilan dalam masyarakat atau dengan kata lain
diperbolehkan seorang hakim melakukan Contra Legem yakni suatu putusan hakim yang
tidak merujuk pada peraturan perundang-undang yang berlaku dengan kata lain hakim tidak
melaksanakan aturan yang berlaku ataupun seorang hakim dalam memutuskan bertentangan
dengan aturan hukum yang berlaku, hal ini diperbolehkan sepanjang ketentuan pada aturan
atau pasal tersebut sudah tidak lagi mengimplementasikan perkembangan dan nilai keadilan
yang ada di dalam kehidupan masyarakat dan pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan “bahwa peradilan dilakukan
demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”

Berdasarkan ketentuan pasal-pasal yang telah dikemukakan, diharapkan hakim dalam


mengambil keputusan pembagian harta bersama perlu memperhatikan peranan dari masing-
masing pihak dalam menyokong tanggung jawab dalam rumah tangga contoh nafkah di mana
nafkah adalah salah satu pondasi dari terlaksananya perkawinan yang kekal dan abadi apabila
salah satu pihak terutama suami tidak memberikan nafkah maka timpang lah pondasi
perkawinannya dan apabila terjadi perceraian pembagian harta bersama mereka tidak ideal
untuk dibagi sama rata karena pertanggung jawaban selama pernikahan yaitu nafkah tidak
dilaksanakan dengan baik. Oleh karena itu makna keadilan distributif sangat penting di sini
yaitu pembagian berdasarkan peranan di mana setiap orang mempunyai bagian yang berbeda-
beda hal ini harus disesuaikan dengan prestasi atau jasa yang dia punyai, maka tidaklah adil
apabila harta bersama dibagi sama rata karena peranan suami dalam memberikan nafkah
tidak ada.

Putusan hakim yang adil sesuai permasalahan ini yaitu pihak mantan suami hanya
berhak mendapatkan 1/3 (sepertiga) dan seorang mantan istri berhak memperoleh bagian 2/3
(dua pertiga) bagian dikarenakan kapasitas istri atau kemampuan istri lebih besar yakni
mencari nafkah untuk keberlangsungan keluarga dan menjadi ibu rumah tangga dan menjaga
anaknya serta tidak adanya kontribusi nafkah mantan suami dalam perkawinan (double
barden).

Upaya penyelesaian dalam kasus sengketa harta bersama ini perlu peran pemerintah
dan DPR untuk membuat aturan yang memproteksi pembagian harta bersama baik sebelum
dan saat perkawinan atau setelah adanya perkawinan melalui aturan baru atau revisi terhadap
undang undang perkawinan no 1 tahun 1975 tentang perkawinan. Di buat pembaharuan
mengenai aturan perkawinan, pembagian harta bersama, penyelesaian sengketa harta
bersama. Pengaturan tentang pembuatan akta perjanjian perkawinn antara pasangan suami
istri yang akan menikah merupakan hal penting untuk menghindari perselisihan mengenai
harta bersama di kemudian hari, akta perjanjian perkawinan sendiri harus dibuat oleh notaris
agar akta perjanjian perkawinan tersebut dapat dijadikan alat bukti yang kuat, sebab isi dari
akta autentik ini dapat disamakan dengan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum
tetap dan mengikat baik dari putusan pengadilan tingkat awal sampai peninjauan kembali.
Maka peran notaris sendiri menjadi sangat penting dalam pembuatan akta perjanjian
perkawinan untuk menghindari perkara sengketa harta bersama akibat tidak adanya akta
perjanjian perkawinan dengan kekuatan pembuktian yang kuat di kemudian hari.

Mengenai skema aturan pembagian harta bersama perlu di perhatikan besaran


kontribusi berdasarkan nilai-nilai keadilan agar kondisi suami yang menjadi tulang punggung
keluarga tetapi tidak memberikan nafkah selama perkawinan mendapatkan bagian yang
sesuai dengan kontribusinya selama perkawinan. Hal ini dilakukan untuk mencegah adanya
ketidakadilan dalam pembagian harta bersama yang sering kali diterima pihak perempuan
karena mendapat bagian lebih sedikit atau sama rata, padahal selama perkawinan
menjalankan dua tugas yaitu: 1. Berkontribusi dengan bekerja untuk memenuhi kebutuhan
keluarga selama perkawinan 2. Menjadi ibu rumah tangga dan mengurus rumah. Oleh
karenanya perlu pembaharuan terhadap aturan yang ada untuk melindungi semua perempuan
apabila tidak ada peranan suami dalam pemberian nafkah selama perkawinan. Peran notaris
selanjutnya dapat dilakukan dengan membuat akta kesepakatan dan pembagian harta bersama
di luar pengadilan, untuk membantu menyelesaikan sengketa harta bersama, karena dengan
adanya akta kesepakatan mengenai harta bersama tersebut maka terdapat bukti yang kuat di
pengadilan apabila salah satu pihak melanggar kesepakatan yang telah dibuat. Hal ini juga
dapat terwujud apabila antara para pihak bersepakat untuk menyelesaikan pembagian harta
bersama secara damai dengan mengakhiri sengketa perebutan harta bersama antara mereka.

D. Penyelesaian terhadap pembagian harta Bersama setelah


bercerai dalam pertimbangan Majelis Hakim Putusan Mahkamah Agung
NOMOR 1636 K/Pdt/ Peneliti akan menganalisis pembagian harta bersama
putusan Mahkamah Agung No 1636K/Pdt/2018 apakah pembagian tersebut sudah
tepat atau belum?

Menurut peneliti pembagian tersebut kurang tepat dalam penggunaan aturan dan
penyelesaian pembagian harta bersama. Seharusnya pengaturan terhadap mereka harus
merujuk kepada pasal 66 UU No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang mengatakan:
“Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan
atas Undang-undang ini, maka dengan berlakunya Undang-undang ini ketentuan-ketentuan.
yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Ordonansi
Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijks Ordonantie Christen Indonesiers S.1933 No. 74),
Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de gemengde Huwelijken S. 1898 No. 158),
dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam
Undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku.”
Serta aturan mengenai warga negara Indonesia keturunan tionghoa diatur dalam pasal 2
bagian penjelasan Undang-Undang Perkawinan No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang
berisikan:

“Dewasa ini berlaku berbagai hukum perkawinan bagi berbagai golongan warganegara dan
berbagai daerah seperti berikut:

a. Bagi orang-orang Indonesia Asli yang beragama Islam berlaku hukum agama yang telah
diresiplir dalam Hukum Adat;

b. Bagi orang-orang Indonesia Asli lainnya berlaku Hukum Adat;

c. Bagi orang-orang Indonesia Asli yang beragama Kristen berlaku Huwelijksordonnantie


Christen Indonesia (S. 1933 Nomor 74);

d. Bagi orang Timur Asing Cina dan warganegara Indonesia keturunan Cina berlaku
ketentuan-ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Perdata dengan sedikit perubahan;

e. Bagi orang-orang Timur Asing lain-lainnya dan warganegara Indonesia keturunan Timur
Asing lainnya tersebut berlaku hukum Adat mereka;

f. Bagi orang-orang Eropa dan Warganegara Indonesia keturunan Eropa dan yang disamakan
dengan mereka berlaku Kitab Undang-undang Hukum Perdata.”

Kedua aturan ini mendapatkan penegasan dalam pelaksanaannya yakni Surat Edaran
Mahkamah Agung kepada para hakim di pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi tertuang
pada tanggal 20 Agustus 1975 No. MA/Pemb/0807/75 mengenai petunjuk-petunjuk
pelaksana pada UU Perkawinan dan PP No. 9 tahun 1975 sub 4 yang berisikan bahwa
terhadap harta benda perkawinan yang belum diatur dalam PP No. 9 Tahun 1975 dikarenakan
belum dilaksanakannya secara efektif maka dari itu ketentuan pada aturan hukum dan
perundang-undangan lama masih berlaku sejalan dengan pendapat yang dikatakan oleh
Subekti mengenai aturan KUHPerdata dan aturan undang- undang lain tetap berlaku
sepanjang tidak diatur dalam ketentuan UU No. 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan
Berdasarkan isi pasal 37 UU No 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan penjelasan Jo pasal 66
UU No 1 tahun 1974 tentang perkawinan Jo surat edaran Mahkamah Agung Kepada para
hakim di pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi tertuang pada tanggal 20 Agustus 1975
No. MA/Pemb/0807/75 Jo yurisprudensi Mahkamah Agung juga dalam putusan No. 726
K/Sip/1976 Prof subekti (doktrin) mengenai aturan KUHPerdata dan aturan undang-undang
lain tetap berlaku sepanjang tidak diatur dalam ketentuan UU No. 1 tahun 1974 Tentang
Perkawinan tersebut dijelaskan bahwa warga negara Indonesia keturunan tionghoa
menggunakan ketentuan- ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Perdata dengan sedikit
perubahan yakni perubahan terhadap hal-hal yang tidak diatur dalam KUHPerdata dapat
digunakan Undang-Undang Perkawinan sebagai penyelesaiannya.

Serta Robert B. Seidman juga mengatakan:39 “bahwa setiap undang sekali


dikeluarkan akan berubah baik melalui perubahan formal maupun melalui cara-cara yang
ditempuh birokrasi ketika bertindak. Ia berubah disebabkan oleh adanya perubahan kekutan
sosial, budaya ekonomi, politik dan lain lain yang melingkupinya.” Pelaksanaan terhadap
perubahan ini disebakan oleh para pemegang peran dalam pembuatan undang-undang dan
birokrasi penegakan serta berlaku juga sebaliknya.

Berdasarkan penjelasan yang telah dikemukakan sebelumnya bisa dikatakan bahwa


apabila ada aturan hukum yang belum memiliki peraturan pelaksananya maka akan kembali
ke aturan terdahulu atau aturan lamanya hal ini sejalan dengan surat MA/Pemb/0807/75
Tentang Petunjuk- petunjuk MA mengenai pelaksanaan UU No. 1 tahun 1974 dan PP No. 9
tahun 1975 yang menjelaskan bahwa terhadap harta bersama perkawinan yang belum diatur
dalam PP maka harus merujuk kembali kepada aturan perundang-undangan yang lama. Hal
ini juga berlaku terhadap aturan harta bersama di mana dalam pelaksanaannya pembagian
harta bersama terhadap pasangan WNI keturunan Tionghoa beragama Buddha masih
menggunakan aturan pada KUHPerdata sebagaimana terdapat pada surat MA No. 726
K/Sip/1976 Tanggal 15 Februari 1977 yang mempunyai pertimbangan bahwa meskipun UU
No 1 tahun 1974 telah berlaku, akan tetapi dalam pelaksanaannya memerlukan aturan
pelaksana namun terhadap aturan-aturan yang terdapat dalam KUHPerdata belum diatur
akibatnya terhadap pasangan WNI keturunan Tionghoa masih diperlukan berlakunya aturan
dalam KUHperdata.

Pengaturan mengenai harta bersama terhadap pasangan suami-istri WNI keturunan


Tionghoa ditentukan pada KUHPerdata pasal 119 di mana dijelaskan bahwa setelah adanya
perkawinan dan selama perkawinan tersebut berlangsung maka demi hukum telah terjadilah
penyatuan harta benda pasangan suami-istri yang menjadi satu kesatuan sepanjang tidak ada
pengaturan lain di dalam perjanjian perkawinan dan pasal 120 sampai 122 KUHPerdata
memberikan penjelasan mengenai harta apa saja yang termasuk di dalam pengaturan ini
sebagaimana berikut: pasal 120 sampai dengan pasal 122 KUHPerdata, adalah:

1. Benda bergerak dan tidak bergerak termasuk yang sudah ada maupun akan ada di masa
depan baik yang berasal dari hibah ataupun warisan.

2. Utang pihak suami-istri yang terjadi saat sebelum perkawinan atau selama perkawinan;
Hutang tersebut dapat terjadi karena macam-macam alasan, tidak hanya utang-utang yang
didasarkan perjanjian, tetapi meliputi juga hutang yang timbul karena adanya:40

a. Denda-denda

b. Penggantian kerugian karena (onrechtmatige daad)

c. Beban-beban yang melekat pada warisan atau pun hibah yang jatuh dalam harta persatuan.

3. Semua hasil dan pendapatan, untung dan rugi selama perkawinan.

Maka seharusnya keputusan Mahkamah Agung yang merujuk kepada keputusan


Pengadilan Negeri No. 219/Pdt.G/2016/PN Smg yang menggunakan aturan pada pasal 35
ayat (1) Undang-Undang No 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan tidaklah tepat dan tidak boleh
dikabulkan karena tidak ada harta benda pribadi milik penggugat di dalam KUHPerdata,
pasal 119 KUHPerdata semua jenis harta akan melebur menjadi satu kesatuan bersama jadi
harta sebagai berikut termasuk harta bersama yang harus dibagikan kepada kedua nya:

1. Sertifikat berlian GIA.

2. Dus dan sertifikat jam arloji Rolex.

3. Ipad (yang berada di dalam koper hitam) serta cincin Blue Saphire

4. Cincin berlian, kalung emas 1 ons, gelang emas 1 ons, (yang berada di dalam brankas)

Menurut peneliti, hakim dalam mengambil keputusannya cenderung kaku dan tidak
memperhatikan lebih jelas tentang pengertian nafkah dalam perkawinan dengan memandang
bahwa membayar kebutuhan rumah berupa air dan listrik serta iuran-iuran rumah tangga
sebagai bentuk nafkah yang sebenarnya, di mana nafkah berupa penghidupan yang cukup
bagi istri dan anak tidak diperhatikan dengan baik. Pada pasal 105 ayat (1) KUHPerdata
menjelaskan bahwa setiap suami adalah kepala dalam persatuan suami-istri, dan kewajiban
lainnya dipertegas pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPerdata”) menjelaskan
mengenai pengaturan mengenai nafkah dengan jelas, yaitu dalam pasal 107 KUHPerdata,
yang mengatakan bahwa:41 ”Setiap suami berwajib menerima istrinya dalam rumah yang ia
diami, berwajiblah ia pula melindunginya dan memberi padanya segala apa yang perlu dan
berpatutlah dengan kedudukan dan kemampuannya.” KUHPerdata dan menurut kamus umum
Bahasa Indonesia susunan WJS Poerwadarminta kata nafkah mempunyai arti, yakni: ”

a. Belanja untuk memelihara kehidupan;

b. Rezeki, makanan sehari-hari;

c. Uang belanja yang diberikan kepada isteri;

d. (bahasa percakapan) = gaji; Misal: mencari nafkah (mencari rezeki), suami wajib
memberikan nafkah kepada isteri (uang belanja).”

Berdasarkan ketentuan yang telah dikemukakan maka definisi nafkah bukan hanya
membayar air dan listrik serta iuran-iuran rumah tangga saja tetapi harus juga memberikan
uang belanja untuk penghidupan keluarga yang bisa digunakan untuk membeli kebutuhan
pokok, pakaian dan kebutuhan lainnya, di dalam kasus ini tuan Sandjaja Widjaja (Pemohon
Kasasi II) bekerja sebagai direktur PT Sanindo Sukses Cemerlang tidak mungkin ia tidak
mempunyai kemampuan untuk memenuhi kebutuhan selain air dan listrik serta iuran-iuran
rumah tangga di mana di dalam pasal 107 KUHPerdata terdapat frasa kalimat “berpatutlah
dengan kedudukan dan kemampuannya.” Dengan kata lain kedudukan pekerjaan tuan
Sandjaja Widjaja (Pemohon Kasasi II) sebagai direktur PT Sanindo Sukses Cemerlang
termasuk mampu untuk menghidupi keluarganya.

Dengan kata lain suami suami tidak memberikan kontribusi sebesar kontribusi istri di
mana nyonya Lenny (Termohon Kasasi I) turut bekerja mencari nafkah untuk memberikan
penghidupan kepada keluarga serta harus menjalankan perannya sebagai istri yaitu mengurus
anak dan rumah tangga (double barden). Oleh karenanya hakim perlu memperhatikan
penegakkan prinsip keadilan dalam proses peradilan. Hakim tidak hanya “la bauche de la loi”
(corong undang- undang), hakim harus menggali dengan pikirannya untuk menemukan
hukumnya dalam menangani kasus yang ditanganinya, sehingga dapat memutus dengan
putusan yang adil. dalam memutuskan harus memperhatikan aturan dalam Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman pasal 5 ayat (1) di mana dinyatakan
“hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum
dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.” Serta perlu juga hakim memperhatikan
hak-hak perempuan di mana perempuan harus diperhatikan secara adil secara gender yang
ditegaskan dalam Deklarasi Wina mengenai konsepsi hak perempuan sebagai hak asasi
manusia secara universal “The human rights of women and of the girl-child are an
inalienable, integral and indivisible part of universal human right”. Oleh karena itu tidaklah
adil bila pembagian harta tersebut dibagi sama rata maka seharusnya hakim melakukan
Contra Legem yaitu putusan majelis hakim yang menyampingkan aturan perundang-
undangan yang ada dengan kata lain hakim tidak melaksanakan bahkan bertentangan dengan
aturan perundang-undangan yang ada sepanjang aturan yang tidaklah sesuai lagi dengan
perkembangan dan rasa keadilan masyarakat merujuk terhadap kasus ini Mahkamah Agung
seharusnya dapat melakukan rujukan terhadap putusan sebelumnya yaitu yurisprudensi
Putusan Mahkamah Agung Nomor 266K/AG/2010: “maka demi rasa keadilan Majelis Hakim
memberikan putusan Penggugat memperoleh harta bersama lebih besar dari Tergugat yaitu ¾
(tiga perempat). Bagian harta bersama dan tergugat memiliki ¼ (seperempat) bagian dari
harta bersama. Dalam hal ini hakim menyimpangi pasal 128 KUHPerdata yang menjelaskan
bahwa jika ada perceraian maka harta bawaan menjadi hak masing-masing suami dan isteri
dan harta bersama akan dibagi dua sama rata di antara keduanya.”

Berdasarkan hal tersebut peneliti merasa putusan Mahkamah Agung No 1636


K/Pdt/2018 kurang tepat dalam penerapan aturan untuk pasangan WNI keturunan Tionghoa
ini, aturan yang harus diterapkan dalam penyelesaian perkara ini seharusnya adalah
KUHPerdata di mana tidak ada harta pribadi yang dimiliki, semua harus menyatu menjadi
satu dalam harta bersama dan pembagian terhadap harta bersama seharusnya memperhatikan
teori keadilan distributif dikarenakan peran istri yang lebih besar di dalam kehidupan
keluarga yaitu harus mencari nafkah untuk kehidupan dan menjalankan perannya menjadi ibu
dan mengasuh anak dan rumah tangga.
BAB IV

PENUTUP

Simpulan

Berdasarkan analisis pada bab sebelumnya, maka peneliti menyimpulkan sebagai berikut:

1. Setelah perkawinan berakhir, harta bersama dibagi menurut tata cara yang diatur dalam
Pasal 128 KUH Perdata, yang menyatakan bahwa harta bersama yang ada dalam perkawinan
itu dibagi rata, tetapi menjadi milik bersama, dengan keputusan Mahkamah Agung No 1636
K./Pdt/2018 menjelaskan bahwa mantan suami tidak memberikan nafkah selama perkawinan,
oleh karena itu perceraian yang mungkin merupakan pembagian harta yang dibagi rata patut
dianggap tidak pantas, karena peran dan tugas mantan suami tetap selama ini. perkawinan,
terutama dalam hal nafkah. tidak dilakukan dengan benar. Jelas bahwa perempuan harus
mencari nafkah dan memenuhi kebutuhan hidup keluarga hanya karena kurangnya dukungan
dari laki-laki yang membayar tagihan rumah tangga. Jadi kalau mengacu pada teori keadilan
distributif Aristoteles, keadilan distributif Thomas Aquinas, keadilan distributif John
Boatright, dan Manuel yang menegaskan bahwa setiap orang mempunyai bagian yang
berbeda-beda, maka harus disesuaikan dengan prestasi atau jasanya, jika memang demikian.
berhubungan dengan konsep tersebut. arta bersama dan dalam hal bekas suami-istri tidak
tinggal di luar perkawinan, maka dapat diartikan bahwa ia tidak ikut serta dalam harta
perkawinan, oleh karena itu harta yang diperoleh selama perceraian tidak dapat dibagi rata.

2. Setelah berakhirnya perkawinan, harta bersama itu dibagi menurut tata cara yang
ditentukan dalam Pasal 128 KUH Perdata, yang menurutnya harta bersama dalam perkawinan
itu dibagi rata, tetapi menjadi milik bersama berdasarkan penetapan Mahkamah Agung No.
1636 K./Pdt/2018 menjelaskan bahwa mantan suami/istri tidak membayarkan nafkah selama
perkawinan, oleh karena itu perceraian yang mungkin memerlukan pembagian harta yang
sama, harus dianggap tidak pantas, karena peran dan tanggung jawab mantan suami/istri tetap
ada. mantan pasangannya. sama selama ini. pernikahan, khususnya dalam kaitannya dengan
kehidupan. tidak dilakukan dengan benar. Jelas bahwa perempuan harus mencari nafkah dan
menafkahi keluarga hanya karena laki-laki yang membayar tagihan rumah tangga tidak
mempunyai tunjangan. Jadi kalau mengacu pada teori keadilan distributif Aristoteles,
keadilan distributif Thomas Aquinas, keadilan distributif John Boatright, dan teori Manuel
yang menekankan bahwa setiap orang mempunyai bagian yang berbeda-beda, maka harus
disesuaikan dengan prestasi atau jasanya, jika itu adalah kasusnya, terkait dengan konsep ini.
harta bersama, dan apabila bekas isteri tidak tinggal di luar perkawinan, maka dapat diartikan
bahwa ia tidak mendapat bagian dalam harta perkawinan, sehingga harta yang diperoleh
selama perceraian tidak dapat dibagi rata.

Saran

Dari simpulan yang sudah dikemukakan sebelumnya peneliti akan menyampaikan beberapa
saran sebagaimana berikut:

1. Untuk menghindari perselisihan bersama yang berkepanjangan, maka harus dibuat undang-
undang tentang kewajiban membuat akad atau perjanjian perkawinan dan perbuatan membagi
harta bersama setelah perceraian, tetapi sebelumnya tanpa akad nikah, dan harus dibuatkan
akta ini. oleh Notaris, yang berguna sebagai alat bukti dan mempunyai kekuatan hukum tetap,
dengan tujuan untuk mengurangi sengketa harta bersama di pengadilan.

2. Pemerintah dan DPR harus merancang undang-undang yang secara khusus mengatur
tentang bentuk revisi undang-undang perkawinan atau ketentuan baru tentang pengaturan
perkawinan dan perceraian dalam kaitannya dengan nafkah keluarga dan dampaknya
terhadap pembagian harta bersama pasca perceraian, sehingga menambah nilai. asas keadilan
distributif, sehingga ketimpangan pembagian harta bersama tidak menimbulkan ketidakadilan
bagi para pihak.
DAFTAR PUSTAKA

I. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Indonesia. Undang-Undang Tentang Perkawinan, UU No. 1, LN No. 1 Tahun 1974, TLN No.

3019.,

Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [Burgerlijk Wetboek]. Diterjemahkan oleh R. Subekti


dan R. Tjitrosudibio cet 35. Jakarta: Balai Pustaka, 2009.

II. BUKU-BUKU

Abdurrahman dan Syahrani. Masalah-masalah Hukum Perkawinan Di Indonesia, Bandung:


Alumni, 1978

Arinanto. S. et al. Hukum Hak Asasi Manusia. Cet. Ke 5. Yogyakarta: PUSHAM UII. 2015.
H Ismuha. Pencaharian Harta Bersama Suami-istri. Jakarta: Bulan Bintang, 1978.

Hadikusuma, Hilman. Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan Hukum Adat dan
Hukum Agama. Bandung: Mandar Maju, 2007.

Irianto, Sulistyowati. Perempuan Dan Hukum: Menuju Hukum Yang Berperspektif


Kesetaraan Dan Keadilaan Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006.
Kusuma, Beny. Perkawinan dipandang dari sisi Dharma, Jakarta: Budhha Cahlu, 1989. Latif,
Djamil. Aneka Hukum Perceraian di Indonesia. Cet.2. Jakarta: Ghalia Indonesia 1985.

Marwanto, Rahman. Harta Gono Gini, Sengketa dan Penyelesaiannya Setelah Perceraian.

Jakarta: Pustaka Ilmu, 2012.

Moedjono. Pengantar Ilmu Hukum Dan Pengantar Tata Hukum Indonesia, Bagian I,
Yogyakarta: Penerbit Yayasan Penerbitan FKIS-IKIP, 1994.

Poerwadarminta. W. J. S., Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1976.

Satrio, J. Hukum Harta Perkawinan, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1991.

Sembiring, Rosnidar. Hukum Keluarga Harta-harta Benda dalam Perkawinan. Depok:


Rajagrafindo Persada, 2016.

Sumaryono, E. Etika Hukum (Relevansi Teori Hukum Kodrat Thomas Aquinas) Yogyakarta:
Kanisius, 2000.

Syaifuddin, Muhammad et.al. Hukum Perceraian. Jakarta: Sinar Grafika, 2012.

Thalib, Muhammmad. Manajemen Keluarga Sakinah. Yogyakarta: Pro-U Media, 2007.

Usman, Rachmadi. Aspek-Aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di Indonesia,


Jakarta: Sinar Grafika, 2006

Wacks, Raymond. Jurisprudence, London: Blackstone Press Limited, 1995.

Warasih, Esmi. Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, Semarang: PT Suryadaru Utama,
2005.

Wasman dan Wardah Nuroniyah. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Perbandingan Fiqh
dan Hukum Positif. Yogyakarta: CV. Citra Utama, 2011.

III. JURNAL

Arum, Giovanni Aditya. “Konsep Keadilan (Iustitia) Perspektif St. Thomas Aquinas
dan Relevansinya Bagi Pemaknaan Sila V Pancasila”, Lumen Veritatis Jurnal
Filsafat dan Teologi (2019), hlm. 25

Singal, Erni C. “Pembagian Harta Gono Gini dan Penetapan Hak Asuh Anak
Akibat Perceraian Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974”, Jurnal Le
Crimen, Vol. 6, No.5, (2017). Hlm. 90.

Anda mungkin juga menyukai