Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH HUKUM PERDATA

IMPLIKASI HUKUM TERHADAP ANAK DI LUAR NIKAH DALAM WARIS PERDATA


DI INDONESIA

Disusun Oleh :
Gladis Adelia Salsabila (22201021069)

Dosen Pengampu :
Dr Abdul Rokhim, SH., M.Hum

UNIVERSITAS ISLAM MALANG


2023
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat Rahmat
dan KaruniaNya sehingga saya dapat menyusun makalah ini dengan baik dan tepat pada
waktunya. Dalam makalah ini saya membahas mengenai “Implikasi Hukum Terhadap Anak Di
Luar Nikah DalamWaris Perdata Di Indonesia”

Pada kesempatan ini saya mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Abdul
Rokhim, SH., M. Hum. Selaku dosen mata kuliah Hukum Perdata, berkat tugas yang diberikan
ini dapat menambah wawasan saya berkaitan dengan topik yang berkaitan.

Makalah ini dibuat dengan bantuan dari beberapa pihak untuk membantu menyelesaikan
tantangan dan hambatan selama mengerjakan makalah ini. Oleh karena itu, saya mengucapkan
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam menyusun
tugas makalah ini.

Saya memnyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar pada makalah ini.
Oleh karena itu saya mengundang pembaca untuk memberikan saran serta kritik yang dapat
membangun saya. Kritik konstruktif dari pembaca sangat saya harapkan utuk penyempurnaan
makalah selanjutnya.
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................................2

DAFTAR ISI.......................................................................................................................3

LATAR BELAKANG MASALAH...................................................................................4

RUMUSAN MASALAH...................................................................................................4

ANALISIS MASALAH.....................................................................................................4

KESIMPULAN..................................................................................................................15

DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................................16
I. LATAR BELAKANG
Pernikahan merupakan hubungan jiwa dan raga antara seorang pria dan
seorang wanita yang didasarkan pada agama dan keyakinan akan Tuhan Yang Maha
Esa. Melalui pernikahan, pasangan tersebut memulai sebuah keluarga yang
memerlukan kerja sama yang baik agar tercipta keharmonisan dalam keluarga.
Pernikahan menciptakan hubungan antara seorang ayah dan anak, sehingga anak
tersebut mempunyai hak yang sah terhadap ayahnya. Sebaliknya, jika seorang anak
lahir di luar pernikahan, ia tidak mempunyai hak legal terhadap ayahnya.1
Kejadian yang terjadi saat seorang bayi lahir dari sebuah hubungan yang tidak
didasarkan pada pernikahan dapat memengaruhi status anak tersebut, di mana dalam
hukum perdata, anak tersebut dianggap sebagai anak tidak sah. Bahkan dalam
masyarakat, seringkali anak tersebut dijuluki dengan sebutan anak haram zina atau
anak haram lainnya. Padahal, bayi yang lahir tidak memiliki kesalahan dan terkesan
mengalami diskriminasi di dalam keluarga dan masyarakat.2
Menurut hukum, anak yang dilahirkan di luar pernikahan hanya memiliki
hubungan hukum dengan ibunya. Hal ini bisa dimengerti karena bayi yang lahir di
luar pernikahan sering kali tidak memiliki ayah yang jelas, seperti bayi yang lahir
dari hubungan zina, yang hanya jelas siapa ibunya karena ibu yang melahirkan.
Sementara, siapa bapaknya masih harus dibuktikan.
Menurut keputusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor
46/PUU-VIII/2010, jika seorang anak sudah menikah, maka dia akan memiliki hak
yang sama dengan anak yang belum menikah dalam hal keperdataan, selama dapat
dibuktikan bahwa ada kesepakatan di antara mereka. Hak keperdataan anak, terutama
dalam hal pewarisan, tidak dapat dipisahkan dari prinsip-prinsip hukum yang berlaku
di masyarakat yang kredibel. Dalam hal ini, hukum perdata, adat, dan Islam dapat
digunakan untuk menentukan hak waris anak. Hukum waris Islam dan hukum waris
perdata adalah dua undang-undang yang berbeda filosofinya dalam masyarakat
sehingga produk hukum yang dihasilkan juga berbeda. Hukum waris perdata bersifat
sekuler sementara hukum waris Islam bersifat religius.3

1
Rio, R. (2021). Implikasi Yuridis Terhadap Anak di Luar Nikah dalam Persepektif Mazhab Syafi’i. JYRS:
Jurnal Online Mahasiswa Program Studi Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam, 2(1), 42-62.
2
Aryanto, A. D. (2016). Perlindungan Hukum Anak Luar Nikah Di Indonesia. Bilancia: Jurnal Studi Ilmu
Syariah dan Hukum, 10(1), 122-13
Makalah ini bertujuan untuk meneliti status anak luar nikah dalam hukum
waris Indonesia serta bagaimana hak waris anak luar nikah diatur oleh hukum waris
Indonesia. Dalam penelitian ini, ditemukan beberapa masalah terkait status orang
yang belum menikah dengan hak waris yang juga harus diakui. Solusi atas masalah
tersebut diusulkan melalui penelitian yang dilakukan berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang mengatur secara hukum. Tujuan utama pernikahan adalah
untuk membentuk keluarga yang bahagia, kekal, dan sejahtera. Keluarga yang
harmonis juga bisa dicapai dengan memiliki anak, namun beberapa orang ingin
memiliki anak tanpa menikah, dan hal ini menimbulkan masalah dalam pembagian
warisan. Undang-undang Perubahan Undang-undang Perkawinan No. 16 Tahun
1974, Pasal 1, menjelaskan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara
seorang pria dengan seorang istri atau suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga
yang bahagia dan kekal, yang berlandaskan keimanan semata kepada Tuhan.4
II. RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana pelaksanaan waris perdata bagi anak di Luar Nikah?


2. Apa saja faktor yang mempengaruhi Waris Perdata bagi Anak di Luar Nikah?

3
Ipandang, I. (2020). Komparasi Tentang Pembagian Harta Waris Untuk Anak Luar Nikah Dalam Kuh Perdata Dan
Kompilasi Hukum Islam. FALASIFA: Jurnal Studi Keislaman, 11(1), 185-200.
4
Kumoro, R. Y. S. (2017). Hak dan Kedudukan Anak Luar Nikah dalam Pewarisan Menurut KUH-
Perdata. Lex Crimen, 6(2).
III PEMBAHASAN

Pelaksanaan Waris Perdata bagi Anak di Luar Nikah di Indonesia

Hukum waris adalah aturan yang mengatur tentang bagaimana harta benda (hak dan
kewajiban) dari seseorang yang telah meninggal akan dialihkan kepada satu atau lebih orang.
Secara sederhana, hukum waris mencakup semua aturan hukum yang terkait dengan harta benda
seseorang yang meninggal, termasuk peralihan hak atas harta benda, konsekuensi dari
penerimaan warisan, serta hubungan antara penerima warisan dengan pihak ketiga.

Paul Scholten mengemukakan bahwa anak haram adalah keturunan dari hubungan di luar
nikah dan hubungan sedarah yang memiliki ikatan hukum dengan ahli waris, dan selanjutnya
diakui sebagai anak haram. Sedangkan anak-anak hasil dari hubungan pezina dan inses,
meskipun tidak sah karena tidak dapat diakui, tidak memiliki status atau hak untuk menerima
warisan dari orang tuanya..

Menurut Pasal 272 dari Buku Warisan (BW), anak luar kawin adalah anak yang diakui
dan lahir dari seorang ibu, namun bukan merupakan anak dari suami sah yang sah secara hukum
dengan ibu anak tersebut, dan juga bukan termasuk dalam kategori anak hasil hubungan pezina
atau anak luar kawin..

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) mengkategorikan ahli waris


ke dalam 4 (empat) kelompok.:

1) Pasal 852 KUH Perdata mengatur bahwa kelompok I dalam ahli waris terdiri dari
anak dan keturunan, serta suami atau istri. Mereka memiliki bagian yang sama dalam
pembagian warisan, seperti yang dinyatakan dalam pasal tersebut: "Pembagian antara
anak dan janda adalah sama jika salah satu dari anak tersebut meninggal terlebih
dahulu, maka akan digantikan oleh anak dari anak yang meninggal tersebut atau cucu
putra mahkota.”

Menurut Pasal 852 (2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, anak-anak dan
keturunan langsung mewarisi pada derajat pertama dan mendapat bagian yang sama.
Prinsip kesetaraan ini berlaku dalam pembagian warisan, yang berarti bahwa ketika
ada hak waris yang dilanjutkan hingga anak-anak atau keturunan seluruhnya mewarisi
dari putra mahkota, maka mereka tetap memperoleh hak yang sama, meskipun lahir
dari pernikahan yang berbeda.

Pasal 852 a KUH Perdata menetapkan bahwa bagian ahli waris suami atau istri yang
paling tua akan disamakan dengan bagian anak-anak. Pemerataan ini hanya berlaku
jika suami atau istri yang paling tua masih hidup saat kematian. Namun, jika putra
mahkota meninggal tanpa keturunan dan hanya meninggalkan suami atau istri tertua
yang masih hidup, maka suami atau istri tersebut berhak atas seluruh warisan. Jika
ada pria atau wanita yang menyerahkan orang tua, saudara laki-laki atau perempuan
mereka saat masih hidup, maka orang yang lebih tua di antara mereka akan
diutamakan sebagai ahli waris, walaupun mereka bukan termasuk kelompok I.

2) Kelompok II dalam hukum waris mencakup orang tua dan saudara kandung, dan
pemberian bagian harta dilakukan dengan cara yang sama baik pada garis keturunan
ayah maupun ibu.

Golongan II akan menerima warisan hanya jika tidak ada ahli waris dari Golongan I.
Golongan II terdiri dari orang tua dan saudara kandung pewaris. Mereka menerima
bagian yang sama dalam warisan, bahkan jika saudara kandung adalah anak dari
orang tua yang telah meninggal. Cara pembagian warisan untuk ahli waris Golongan
II diatur dalam pasal-pasal tertentu:

a) Pasal 854 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata


Jika seseorang meninggal tanpa keturunan atau suami/istri, maka ayah dan ibu akan
menerima sepertiga dari warisan, sedangkan jika ada saudara laki-laki atau perempuan,
mereka akan menerima sepertiga sisanya. Jika orang yang meninggal memiliki lebih dari
satu saudara laki-laki atau perempuan, ayah dan ibu masing-masing akan menerima
seperempat dan dua perempat sisanya akan dibagi rata di antara saudara-saudaranya.
Dalam situasi ini, ahli waris termasuk ke dalam Kelas II, yaitu ayah, ibu, dan saudara
kandung. Jumlah bagian yang diterima oleh masing-masing ahli waris diatur sedemikian
rupa sehingga jika ayah dan ibu mewarisi bersama dengan satu saudara, masing-masing
akan menerima sepertiga dari warisan. Namun, jika putra mahkota memiliki lebih dari dua
saudara kandung, ayah dan ibunya harus menerima tidak kurang dari seperempat bagian
warisan dan sisanya akan dibagi antara saudara-saudaranya..

b) Pasal 855 KUH Perdata

Pasal ini mengatur pembagian warisan antara ayah atau ibu yang masih hidup dengan
saudara kandung pewaris. Jika yang meninggal dunia hanya memiliki saudara laki-laki
atau perempuan, ayah atau ibu yang hidup paling lama akan menerima setengah dari harta
warisan, sedangkan saudara kandung akan menerima setengah bagian yang tersisa. Namun
jika terdapat dua ahli waris atau lebih, ayah atau ibu akan menerima seperempat dari
warisan, sedangkan saudara laki-laki atau perempuan akan memperoleh bagian yang
tersisa..

c) Pasal 856 KUH Perdata

Apabila ayah atau ibu sebagai ahli waris telah meninggal dunia, maka saudara-saudara ahli
waris akan membagi seluruh harta warisan tanpa memandang jenis kelamin antara laki-laki
dan perempuan..

d) Pasal 857 KUH Perdata

Pasal tersebut memaparkan bahwa dalam situasi pewarisan kelas II, apabila ada, maka
pembagian harta warisan haruslah sama rata antara saudara-saudara kandung, tanpa
membedakan jenis kelamin..

3) Pasal ini menjelaskan tentang Kelompok III sebagai kerabat sedarah pada garis ayah
dan ibu, yang terdiri dari saudara sedarah dari garis ayah dan saudara sedarah dari
garis ibu. Pembagian warisan pada golongan ini diatur dalam Pasal 853 KUHPerdata,
yang menyatakan bahwa semua keluarga, termasuk garis lurus ayah dan ibu, termasuk
dalam ahli waris golongan III. Warisan pertama-tama dibagi menjadi dua bagian, satu
bagian untuk kerabat sedarah ayah dan satu bagian lagi untuk kerabat sedarah ibu.
Bagian dari radiasi ayah akan dibagi antara kerabat sedarah ayah dan ibu dari ayah,
sedangkan bagian dari radiasi ibu akan dibagi antara kerabat sedarah ibu dan ayah
dari ibu. Pembagian ini dilakukan dengan tujuan agar setiap bagian atau setiap baris
mewarisi seolah-olah itu adalah entitas yang terpisah, tanpa pengganti tempat dalam
urutan langsung. Keluarga inti akan menutup keluarga yang kedudukannya lebih jauh
dari ahli waris, sesuai dengan Pasal 843 KUHP.

4) Pasal ini menjelaskan mengenai kelompok IV dalam pewarisan, yaitu semua keluarga
dari garis atas masih hidup dan terdapat juga sekelompok anak kerabat di garis lain.
Kelompok IV terdiri dari saudara sedarah kedua pada garis sempalan derajat keenam.
Dalam hal ini, kelompok IV hanya menerima warisan jika tidak ada ahli waris pada
kelompok I, II, atau III. Pembagian warisan untuk kelompok IV diatur dalam Pasal
856 KUHPerdata, dimana harta warisan akan dibagi menjadi dua bagian yang setara
antara kerabat sedarah pada garis atas dan saudara sedarah kedua pada garis sempalan
derajat keenam..

Pasal 858 KUH Perdata mengatur tentang ahli waris kelas IV, yaitu keluarga dari garis atas
yang masih hidup serta sekelompok anak kerabat di garis lain. Jika tidak ada saudara sedarah
atau kerabat sedarah pada generasi atasan kedua, maka setengah dari harta peninggalan akan
menjadi bagian kerabat sedarah yang masih hidup pada generasi tersebut, dan separuh sisanya
akan menjadi bagian dari darah marga di sisi garis keturunan lainnya. Hal ini berlaku kecuali
ada ketentuan lain yang disebutkan dalam Pasal tersebut. Dengan demikian, Pasal 858 dapat
dijelaskan sebagai berikut.:

a) Jika tidak ada saudara kandung (kelas II);


b) Kerabat dalam beberapa garis lurus ke atas (artinya golongan III);
c) Peternakan dibagi menjadi dua bagian, yaitu:
- /2 bagian warisan (kloving), menjadi bagian dari keluarga sedarah yang
masih hidup dalam garis lurus ke atas.
- Selebihnya 1/2 bagian, kecuali pasal berikut, menjadi bagian kerabat dari
jalur lain.
Kerabat dari garis kedua adalah paman dan bibi dan semua keturunan mereka yang
meninggal sebelum ahli waris, mereka adalah ahli waris derajat keempat.
Menurut KUH Perdata, ada dua jenis warisan, yaitu:

1) Ahli waris demi hukum atau surat wasiat;

2) Karena diatur dalam surat wasiat (wasiat) atau disebut warisan dengan cara "wasiat".

Pasal 875 KUH Perdata mendefinisikan surat wasiat atau wasiat terakhir sebagai
dokumen yang berisi pernyataan dari seseorang tentang keinginannya setelah meninggal dunia
dan dapat dicabut kapan saja. Pasal 876 KUH Perdata mengatur dua cara dalam membuat wasiat,
yaitu secara tertulis dan secara lisan:

a) Erfstelling merupakan suatu bentuk pembuatan wasiat di mana tidak ada objek
tertentu yang dituju. Dalam hal ini, putra mahkota dapat memindahkan harta peninggalannya
setelah kematiannya kepada satu atau beberapa orang dengan cara yang setara atau seimbang,
seperti dengan membaginya setengah, sepertiga, dan sebagainya..

Menurut KUH Perdata, ada dua jenis warisan, yaitu:

1) Ahli waris demi hukum atau surat wasiat;

2) Karena diatur dalam surat wasiat (wasiat) atau disebut warisan dengan cara "wasiat".

Pernyataan dalam Pasal 875 KUH Perdata menyatakan bahwa surat wasiat atau wasiat
terakhir merujuk pada dokumen tertulis yang memuat pernyataan seseorang mengenai
apa yang diinginkannya terjadi setelah kematiannya dan dapat dibatalkan. Sementara itu,
Pasal 876 KUH Perdata memberikan dua cara untuk mengatur wasiat, yaitu:
a) Erfstelling adalah salah satu jenis surat wasiat dalam KUH Perdata yang dibuat tanpa
menyebutkan objek waris yang pasti. Pasal 954 KUH Perdata mengatur tentang
Erfstelling, yang merujuk pada surat wasiat akhir dari seorang putra mahkota yang
memutuskan untuk mengalihkan harta peninggalannya setelah ia meninggal kepada
satu atau lebih penerima, dengan pembagian yang setara atau tidak setara, seperti
setengah, sepertiga, dan sebagainya.

b) Pemberian hikmat atau warisan dalam wasiat adalah memberikan objek yang dapat
ditentukan. Pasal 957 Tsk mengatur bahwa wasiat adalah keputusan khusus di mana seorang
pewaris memberikan satu atau lebih barang tertentu kepada satu atau lebih penerima atau
memberikan semua harta dalam bentuk tertentu, seperti warisan atau hadiah dari hasil dan
pendapatan atau seluruh harta. Wasiat adalah pernyataan sepihak terakhir seseorang yang
dapat dicabut sewaktu-waktu, tetapi dalam pembuatannya harus memperhatikan dua hal,
yaitu Pasal 897 KUH Perdata yang menyatakan bahwa orang yang belum dewasa atau
berumur di bawah 18 tahun tidak dapat membuat wasiat, dan Pasal 888 KUH Perdata yang
menyatakan bahwa jika surat wasiat berisi syarat-syarat yang tidak praktis, tidak dapat
dipahami, atau bertentangan dengan kebiasaan yang baik, maka akan dibaca sebagai tidak
sah. Oleh karena itu, dalam membuat wasiat, harus memuat penunjukan ahli waris dan
syarat-syarat pemberian.5

Faktor yang mempengaruhi Waris Perdata bagi Anak di Luar Nikah

A. Anak haram yang dapat mewarisi


Meskipun masyarakat Indonesia tetap memegang teguh nilai-nilai konvensional
Timur, namun sangat memalukan bahwa sikap masyarakat yang seharusnya mendukung
hukum agama dan adat masih memandang sebelah mata anak luar nikah. Anak yang lahir
di luar nikah seringkali menghadapi diskriminasi, pengucilan, dan perlakuan yang tidak
adil dalam masyarakat. Anak-anak ini tidak hanya mengalami penderitaan emosional,
tetapi juga kesulitan dalam kehidupan publik, seperti kesulitan dalam memperoleh akta
kelahiran. Masyarakat masih memandang rendah pada anak luar nikah dan menganggap
mereka tidak memiliki hak yang sama dengan anak sah dari orang tua yang ideal. Hal ini
disebabkan oleh anggapan bahwa anak luar nikah dilahirkan dari hubungan yang tidak sah
dan oleh karena itu dianggap memiliki masa depan yang suram, seperti kesulitan dalam
pendidikan dan pekerjaan.

5
Ipandang, I. (2020). Komparasi Tentang Pembagian Harta Waris Untuk Anak Luar Nikah Dalam Kuh Perdata
Dan Kompilasi Hukum Islam. FALASIFA: Jurnal Studi Keislaman, 11(1), 185-200.
.

Masih menjadi sebuah ketakutan bagi masyarakat Indonesia untuk memiliki anak di luar
nikah karena dianggap sebagai tindakan yang melanggar norma dan agama. Jika seorang ibu
ingin mendaftarkan kelahiran anaknya, ia harus melakukannya secara rahasia dan membuat akta
kelahiran di bawah tanah. Membuat akta kelahiran bisa mengungkapkan kepada masyarakat
bahwa anak tersebut lahir di luar nikah, dan dalam masyarakat Timur khususnya di Indonesia,
memiliki anak di luar nikah dianggap sebagai aib yang harus disembunyikan bahkan dengan cara
menyembunyikan anak tersebut. Oleh karena itu, banyak ibu yang enggan untuk mendaftarkan
kelahiran anak luar nikah mereka.

Anak memiliki aspirasi terkait hak waris, dan mereka berharap bahwa sengketa terkait
warisan dapat diatasi dengan mengajukan kasus ke pengadilan agama agar dapat diberikan
putusan yang mengakui hak waris anak tersebut. Pemberian warisan sangat tergantung pada
orang tua kandung anak, seperti terlihat pada kewenangan pengadilan agama dalam menentukan
pengangkatan anak dan mengklarifikasi siapa orang tua kandung dari anak tersebut. Oleh karena
itu, mewarisi hak waris tergantung pada keberadaan orang tua kandung.

Hakim memiliki tugas untuk melindungi kepentingan publik dan harus diawasi agar
bekerja sesuai aturan. Kepastian hukum sangat penting dan setiap undang-undang harus disertai
penjelasan yang jelas dan mudah dipahami. Penjelasan tersebut diperlukan untuk menjelaskan
dan mengklarifikasi ketentuan hukum yang abstrak dan sulit diterapkan pada situasi tertentu.
Hakim memiliki tanggung jawab untuk memeriksa, menyelidiki, dan memutuskan setiap kasus
yang diajukan kepadanya. Dalam melakukan tugasnya, hakim harus menghubungkan aturan-
aturan hukum dengan kasus konkret yang sedang dipertimbangkan agar keputusannya dapat
diterapkan secara tepat. Keputusan hakim adalah pilihan terakhir untuk menyelesaikan sengketa
hukum dan harus dihormati sebagai akhir dari proses hukum.

B. Anak diluar nikah tidak dapat mewaris

Konflik dalam hal pewarisan sering terjadi dan dapat mengakibatkan hubungan antar
anggota keluarga menjadi retak. Hal ini biasanya terjadi ketika seseorang merasa tidak puas
dengan bagian warisannya atau bahkan tidak menerima bagian apa pun. Konflik semacam ini
bisa menjadi akar masalah bagi anggota keluarga dan menyebabkan perpecahan yang
berlangsung lama, bahkan bertahun-tahun.
SIMPULAN

Dalam hukum perdata, ada ketentuan-ketentuan yang terkait dengan pembagian harta
peninggalan anak yang dilahirkan di luar nikah. Status anak dan pengakuan anak di luar nikah
memiliki dampak hukum yang penting. Meskipun pengakuan anak dapat dilakukan oleh ibu atau
ayah, namun menurut Pasal 43 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, anak yang lahir di
luar perkawinan tidak memiliki hubungan keperdataan dengan ayahnya. Oleh karena itu, ayah
dapat mengakui anak tersebut untuk memperoleh hubungan keperdataan yang baru. Dengan
pengakuan ini, anak luar nikah berhak menerima bagian warisan dari orang tua yang
mengakuinya. Namun, tidak semua anak luar nikah dapat mewarisi dari orang tua mereka. Anak
luar nikah yang diakui oleh ayahnya sebelum ayah tersebut menikah lagi, dapat mewarisi harta
orang tua mereka. Besar harta warisan yang diterima oleh anak luar nikah yang diakui tergantung
pada ahli waris siapa anak tersebut diakui sebagai ahli waris. Ada juga beberapa kasus di mana
hak waris anak di luar nikah dapat dicabut, seperti jika anak tersebut terbukti melakukan
tindakan kriminal terhadap ahli waris atau jika ia memalsukan atau menyalahgunakan surat
wasiat.
DAFTAR PUSTAKA

Soesilo dan Pramudji R., Undang-undang RI No. 1 Tahu 1974 tentang Perkawinan, T.tp:
Rhedbook Publisher, 2008.

Tim Pelaksana Pentashihan Mushaf al-Qur’an, Mushaf ‘Aisyah: Al-Qur’an dan Terjemah
untuk Wanita (Bandung: Hilal, 2010)

Rr. Murdiningsih, Tesis: Peranan Notaris, Jakarta: FH UI, 2009.

Soesilo dan Pramudji R., Kitab Undang-undang Hukum Perdata, T.tp: Rhedbook
Publisher, 2008.

Tamakiran S., Asas-asas Hukum Waris Menurut Tiga Sistim Hukum, Bandung: Pionir
Jaya, 2000.

Anisitus Amanat, Membagi Warisan Berdasarkan Pasal-pasal Hukum Perdata BW,


Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000.

Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Kencana, 2012.

Dari, Nikah, Perspektif Hukum, Oleh Marshall, and Christian Watulingas, ‘Hak Dan

Kedudukan Hukum Anak Di Luar Nikah Dari Perspektif Hukum Perdata’, Lex

Privatum, 7.3 (2019), 29–35

Edyar, Busman, ‘Status Anak Luar Nikah Menurut Hukum Positif Dan Hukum Islam
Pasca

Farahi, Ahmad, and Ramadhita Ramadhita, ‘Keadilan Bagi Anak Luar Kawin Dalam
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010’, Journal de Jure, 8.2
(2017), 74 <https://doi.org/10.18860/j-fsh.v8i2.3778>

Kumoro, R., ‘HAK DAN KEDUDUKAN ANAK LUAR NIKAH DALAM


PEWARISAN MENURUT KUH-PERDATA’, LEX CRIMEN, 6.2 (2017)

Langbroek, Philip, Kees Van Den Bos, Marc Simon Thomas, Michael Milo, and Wibo
Van Rossum, ‘Methodology of Legal Research : Challenges and Opportunities’,
13.3 (2017), 1–8
Nurhadi, Nurhadi, ‘IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
NOMOR 46/PUU-VIII/2010 TENTANG ANAK DI LUAR KAWIN’, Jurnal
Yudisial, 11.2 (2018) <https://doi.org/10.29123/jy.v11i2.66>

Pradipta, Vidya. Martinelli, Imelda, ‘PERGESERAN NILAI HAK WARIS TERHADAP


ANAK LUAR KAWIN DIAKUI (Studi Kasus Putusan Nomor 239/Pdt.G/2015/-
PN.JKT.PST)’, 2018

Anda mungkin juga menyukai