Pneumonia merupakan infeksi akut yang mengenai jaringan paru-paru (alveoli) yang dapat
disebabkan oleh berbagai mikroorganisme seperti virus, jamur, bakteri, pajanan bahan kimia
atau kerusakan fisik dari paru-paru, maupun pengaruh tidak langsung dari penyakit lain.
Berdasarkan data riset kesehatan dasar (Riskesdas) tahun 2018 memiliki prevalensi sekitar
2%.
Pada pasien anak, angka pneumonia komuniti dari tahun 2015-2018 pada anak-anak dibawah
usia 5 tahun sekitar 500.000 kasus per tahun dengan 425 pasien meninggal.
Kejadian pneumonia dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Dalam epidemiologi deskriptif
dikenal 3 karakteristik utama untuk menentukan faktor yang saling berkaitan dengan suatu
kejadian atau penyakit. Ketiga
karakteristik tersebut meliputi variabel orang, tempat dan waktu.
Kementerian Kesehatan mencatat, kasus pneumonia pada anak usia 0-5 tahun diperkirakan
meningkat pada 2020 sebesar 890.151 kasus dibandingkan pada 2019 sebesar 885.482 kasus.
Namun, kasus pneumonia yang terdeteksi justru menurun 33,9 persen dibandingkan pada
2019 yang sebesar 468.392 kasus menjadi 309.843 kasus. Angka kematian yang tercatat juga
menurun dari 550 pada 2020 menjadi 498 kasus pada 2019.
Variabel orang (person)
Faktor person yang mempengaruhi kejadian pneumonia pada balita adalah umur, jenis
kelamin, status gizi, status
imunisasi,pemberian ASI, dan pemberian vitamin A.
Balita penderita pneumonia paling banyak terjadi pada
kelompok umur 12-35 bulan dimana keadaan balita umur ≤24 bulan belum memiliki sistem
imun yang sempurna dan lumen pernapasan masih sempit.17 Balita umur 2-3 tahun
merupakan puncak terjadinya pneumonia akibat
infeksi virus. Pneumonia lebih banyak terjadi pada balita berjenis kelamin laki-laki (57%).
Carey et. al (2008) mengemukakan bahwa kemunculan surfaktan pada wanita neonatal lebih
awal. Estrogen dalam paru berfungsi untuk stimulasi surfaktan paru. Kemunculan surfaktan
menjadikan patensi kecilnya saluran udara dan ruang udara, sehingga menyebabkan laju
aliran udara lebih tinggi dan hambatan jalan napas lebih rendah. Selain itu, pertumbuhan
saluran pernapasan pada anak
perempuan lebih cepat daripada jaringan parenkim, namun sebaliknya pada laki-laki
(pertumbuhan disanapsis) menyebabkan saluran pernapasan balita laki-laki lebih sempit.
Sama halnya pernyataan Sunyataningkamto dkk. (2004) yang menyebutkan bahwa diameter
saluran pernapasan anak laki-laki lebih kecil dibandingkan dengan diameter saluran
pernapasan
anak perempuan.
Menurut Kim M dalam Kemenkes (2018), faktor risiko terjadinya pneumonia balita adalah
malnutrisi, keadaan
yang menyebabkan lemahnya reflek batuk seperti pada penderita cerebral palsy dan penyakit
neurologi, gangguan sistem imun, tidak mendapat ASI, tidak mendapat imunisasi, serta
terpapar udara di dalam dan di luar ruangan.
Salah satu faktor ekstrinsik kejadian pneumonia pada balita yaitu tingkat pendidikan ibu.
Rendahnya pendidikan ibu menunjukan rendahnya pengetahuan ibu mengenai pneumonia.
Rendahnya pengetahuan ibu dalam pencegahan dan mengenali gejala awal kesakitan
pneumonia pada balita menyebabkan tingginya risiko kesakitan akibat pneumonia.