Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH

PEMIKIRAN HUKUM WARIS

WARIS ANAK ANGKAT DAN ANAK LUAR NIKAH DI INDONESIA

OLEH :

AL FAJRI
NIM. 2223680006

MAMAD
NIM. 22232020005

DOSEN PEMBIMBING:

Dr. yusmita, M.Ag


Dr. Khairuddin Wahid, M.Ag

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM (HKI)


PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI FATMAWATI SUKARNO BENGKULU
2022
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perkawinan ialah salah satu bentuk manifestasi dari hukum alam, atau
hukum kodrat yang merupakan tuntutan naluri manusia sebagai bagian dari
hak asasi untuk kelangsungan hidupnya untuk membentuk generasi
selanjutnya. Kehadiran seorang anak bisa menjadi perekat hubungan suami-
istri, yang menghadirkan peran baru sebagai orang tua, sebagai penerus dan
pewaris keluarga. Akan tetapi, kenyataannya beberapa pasangan suami istri
tidak bisa memiliki anak, sementara mereka sangat ingin adanya anak dalam
kehidupan rumah tangga mereka.
Maka upaya untuk pengangkatan atau adopsi anak, lantas menjadi
pilihan untuk mendapatkan anak meskipun bukan anak kandung. Definisi
anak angkat dalam pasal 1 Ayat 9 Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak adalah “Anak yang
haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan Keluarga Orang Tua, Wali yang
sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan
membesarkan anak tersebut ke dalam lingkungan keluarga orang tua
angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan”.
Kepastian hukum merupakan hal yang sangat penting karena tanpa
kepastian hukum akan memunculkan kekacauan dalam masyarakat, oleh
sebab itu putusan atau penetapan pengadilan adalah salah satu cara untuk
mendapatkan kepastian hukum itu.“Oleh karena itu, jelas bahwa berfungsinya
hukum untuk menciptakan ketertiban, keadilan dan kepastian dalam
masyarakat”.1
Dimata hukum tujuan dalam pengangkatan anak ialah semata-mata
untuk meningkatkan kesejahteraan anak angkat itu sendiri.Dan ternyata masih

1
Johny Ibrahim, 2007, Teori dan Metodologi Penelitan Hukum Normatif, Bayumedia
Publishing, Cetakan ketiga, Malang, h . 7.

1
2

banyak anak yang lahir di luar perkawinan yang sah. Istilah penyebutan anak
yang lahir di luar perkawinan, lazim disebut “anak luar kawin” atau “anak
luar nikah”. Kedua istilah tersebut mempunyai maksud yang sama yaitu anak
yang lahir di luar perkawinan yang sah. Dalam penelitian ini, penulis
memakai istilah “anak luar nikah”, sehingga penyebutan selanjutnya dengan
“anak luar kawin” adalah mempunyai maksud yang sama dalam kedua istilah
tersebut oleh karenanya keduanya penulis gunakan secara bergantian.
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP) mengenal
dua macam status anak, yaitu anak sah dan anak luar kawin, sebagaimana
dijelaskan di dalam Pasal 42 Undang-undang Perkawinan, bahwa anak sah
adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat dari perkawinan yang
sah. Sedangkan anak luar kawin terdapat dalam Pasal 43 Undang-undang
Perkawinan, menyebutkan bahwa anak yang dilahirkan di luar perkawinan
hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya.

B. Rumusan Masalah
Dari uraian di atas dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut.
1. Bagaimana hak waris anak angkat?
2. Bagaimana hak waris anak diluar nikah?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetauhi bagaimana hak waris anak angkat.
2. Untuk mengetauhi bagaimana hak waris anak diluar nikah.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Hak Waris Anak Angkat


1. Hak Waris Yang Berlaku Bagi Anak Angkat
Kehadiran keturunan bukan hanya sebagai sarana perekat dalam
keluarga, tetapi juga sebagai penerus maupun pewaris dari harta yang
diserahkan oleh orang tua. Bahkan dalam komunitas suku atau klan
tertentu, kehadiran anak memiliki tujuan untuk menjadi penerus keluarga
merupakan hal yang utama untuk menghindari kepunahan suku atau klan.
Maka dari itu, jika terdapat suku atau klan yang tidak memiliki keturunan
merasa khawatir dalam menghadapi kenyataan itu, suku atau klan akan
mengadopsi seorang anak, dengan alasan untuk meneruskan keturunan
mereka, dan ada juga pengangkatan anak yang dilaksanakan untuk
memberi kedudukan hukum pada anak yang diangkat sehingga dapat
menjadi lebih baik dan lebih layak daripada kondisi sebelumnya.
Dengan dilakukannya pengangkatan anak beralihlah tanggung
jawab terhadap anak, yaitu dari orang tua kandung ke orang tua
angkat.Tanggung jawab untuk dapat menjaga, melindungi dan membiayai
kebutuhan hidup dan pendidikan anak merupakan tanggung jawab orang
tua angkat.Sehingga yang mana mengenai pengangkatan anak
dilaksanakan melalui kebiasaan lokal dan hukum adat, jadi setelah
meninggalnya orang tua angkat, hak yang diperoleh anak angkat terhadap
harta atau kekayaan yang diserahkan oleh orang tua angkat tidak
mendapatkan kejelasan atau kepastian hukum. Begitu pula dengan
hubungan hukum antara anak yang diangkat dan orang tua kandungnya
juga tidak memiliki kejelasan mengenai anak yang diangkat masih bisa
menjadi ahli waris yang diserahkan oleh orang tua kandung. 2

2
Onesimus Sahuleka, “The Child Adoption in the Inheritance System of the Sentani
Indigenous Community”, Journal of Law, Policy and Globalization, Vol.49, hlm.3.

3
4

Anak angkat merupakan anak yang tidak memiliki hubungan darah


dari orang tua tetapi diadopsi untuk dijadikan anaknya sendiri dan
memiliki perlakuan yang sama dengan anak kandung maka antara anak
angkat dan orang tua yang mengangkat anak tersebut munculah suatu
hubungan kekeluargaan yang sama dengan yang ada pada orang tua
kandung dan anak kandungnya sendiri. Pelaksanaan pengangkatan anak
tidak menimbulkan putusnya hubungan darah antara anak maupun orang
tua kandungnya.Tujuan terbesar dalam pengangkatan anak yaitu dengan
meningkatkan kesejahteraan anak angkat itu sendiri terutama dalam
kedudukannya memperoleh harta warisan orang tua angkatnya. 3
Untuk dapat melakukan pengangkatan di Indonesia yang.hal yang
utama dalam pengangkatan anak atau adopsi yang ada di Indonesia
semata-mata hanya ingin memenuhi kepentingan anaknya yang terbaik
dalam rangka memberikan kesejahteraan dan perlindungan bagi anak. 4
Hukum waris yang berlaku di Indonesia dibedakan menjadi tiga, yaitu
Hukum Waris Barat yang terdapat pada KUHPerdata, Hukum Adat, dan
Hukum Islam. Peraturan dasar dari hukum waris menggunakan tiga
sistem hukum yang telah dijelaskan sebelumnya, tidak bisa dipisahkan
dengan sejarah Sistem hukum Indonesia pada masa era kolonial, yang
mana pemerintah kolonial Belanda pada waktu itu membuat peraturan
Indische Staatsregeling (IS) dan.
Hukum keluarga Indonesia yaitu murni dan memiliki bagian,
antara lain Hukum Adat, Hukum Sipil yang dikodifikasikan dan Oriental
Hukum perdata. Terutama pada Hukum Adat, terjadi kemajemukan
hukum yang mana terdapat dalam hukum adat yang memiliki perbedaan
antara satu wilayah dengan wilayah lainnya.Kenyataan keanekaragaman
hukum waris adat di berbagai daerah dan komunitas etnis menimbulkan
kesulitan dalam menggabungkan hukum waris nasional.Dalam

3
Suharto,”Hak Waris Anak Angkat Menurut Hukum Islam Di Indonesia”, Jurnal Studi
Hukum Islam, Vol No. 2, hlm.110.
4
NM. Wahyu Kuncoro, 2015, Waris Permasalahan dan solusinya, , Jakarta : Raih Asa
Sukses, hlm.68.
5

pernikahan pasti memiliki akibat pada aturan warisan.Selain yang


terdapat pada peraturan perundang-undanganyang dilakukan berdasarkan
dengan adat istiadat setempat dan keyakinan agama dan aturan yang
dianut oleh mereka yang menghargai pernikahan. Perbedaan yang terjadi
dalam prosedur pernikahan maupun perbedaan sesuai dengan keyakinan
yang menimbulkan kondisi yang mana penggabungan hukum waris akan
sulit. Hukum adat berkaitan dengan pewarisan yang umumnya
menggunakan prinsip bahwa pengalihan harta yang diserahkan oleh
seseorang yang telah meninggal dunia.Warisan hanya dapat diperoleh
atau diwarisi oleh mereka yang mempunyai hubungan darah atau
keturunan yaitu anak yang diberikan harta warisan atau mereka yang
mempunyai hubungan pernikahan. 5
Dalam Staatsblad Nomor 129 Tahun 1917 yang menjelaskan
bahwa seorang anak angkat dengan anak anak kandung dari orang tua
angkat mempunyai hak yang sama. Oleh karena itu,, anak angkat dalam
keluarga memiliki kedudukan yang sama dengan anak kandung atau anak
yang terlahir dari orang tua angkatnya. Hal itu pun bisa menimbulkan
akibat terhadap persamaan hak dan kewajiban yang dipunya oleh anak
angkat termasuk dalam pembagian harta warisan orang tua angkatnya jika
telah meninggal dunia. Jadi kedudukan anak angkat dalam mendapatkan
harta warisan mempunyai hak yang sama sama seperti anak kandung
mengenai anak yang sah adalah anak yang dilahirkan sebagai akibat
pernikahan yang sah. Maka dari itu, kedudukan anak angkat meskipun
bukan anak kandung memiliki kedudukan yang sama dimata hukum
khususnya dalam pembagian harta warisan. 6
Ketentuan dalam Pasal 852 KUH Perdata yang menjelaskan
mengenai bentuk hak dalam mewarisi harta warisan seorang anak angkat
yang sudah diakui secara sah menurut hukum walaupun tidak berdasarkan
suatu wasiat. Sedangkan hak mewaris anak angkat yang diadopsi secara

5
Onesimus Sahuleka, “The Child Adoption in the Inheritance System of the Sentani
Indigenous Community”, Journal of Law, Policy and Globalization, Vol.49, hlm.2
6
Maman Suparman, 2015, Hukum Waris Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, hlm.42.
6

sah dimata hukum terhadap harta orang tua kandungnya. Pada dasarnya
sistem kewarisan yang berlaku dalam KUH Perdata adalah sistem
Parental atau Bilateral terbatas, yang mana semua anggota keluarga
memiliki hubungan darah pada keturunan ayah dan ibunya. Tetapi, selain
pewarisan secara keturunan maupun sistem pewarisan ab intensato yang
terdapat dalam undang-undang dengan tanpa surat wasiat, surat wasiat
atau testament ialah sebuah akta yang mempunyai isi pernyataan
seseorang tentang keinginannya, dapat terjadi setelah ia meninggal dan
dapat diambil kembali olehnya.7

2. Hak Anak Angkat Dalam Mendapatkan Warisan


Dalam undang-undang North Carolina yang berlaku, seperti dalam
sebagian besar undang-undang adopsi negara lain, penentuan hak waris
tidak disebutkan secara langsung atau tidak langsung sebagai salah satu
tujuan utama dari undang-undang.Sebaliknya, pertimbangan hak waris
sebagian besar muncul undang-undang sebagai legislatif setelah berpikir
hanya sebagian selesai, dan dijabarkan dalam undang-undang sebagai
produk sampingan dari memberikan yang anak rumah baru dan perawatan
penuh kasih dari orang tua angkat hokum yang baru.Ini adalah
aksiomatis.Bahwa adopsi tidak diketahui atau tidak diakui oleh hukum
umum Inggris.Mungkin secara historis lebih akurat mengatakan bahwa
adopsi itu tidak ada di bawah hukum umum Inggris.Oleh karena itu
Undang-undang tentang anak yang diadopsi tidak mewarisi dari orang tua
angkatnya dan itu diperlukan, jika mereka menginginkan anak angkat
untuk menerima properti mereka, untuk membuat ketentuan oleh
kehendak atau permukiman. Di sisi lain, undang-undang adopsi pertama
di Amerika Serikat, diberlakukan pada tahun 1851 oleh Massachusetts,
mengizinkan anak yang diadopsi untuk mewarisi dari induk angkat.8

7
Irawaty, “Inheritance Laws in Indonesia”, Indonesian Journal of Multidisciplinary Islamic
Studies, Vol. 1 No. 2, hlm.214.
8
Francis H. Fairley, “Inhertiance Rights Consequent to Adoptions”, North Carolina Law
Review, Vol.49 No.3, hlm.228.
7

Konsepsi Hukum Waris Adat dan Islam Hukum waris yang


terdapat dalam hukum adat sering diartikan sebagai kumpulan peraturan
yang mengenai peralihan harta peninggalan atau harta warisan dari satu
generasi ke generasi lain, baik tentang benda material maupun immaterial.
Sekaligus menjelaskan bahwa proses kewarisan tidak selalu dilakukan
dalam suasana kematian. Maka itu menandakan tentang hukum waris adat
mencakup juga mengenai masalah tindakan-tindakan tentang pelimpahan
harta benda seseorang pada saat masih hidup. 9 Sistem Hukum Waris yang
terdapat dalam Hukum Adat ialah hukum rakyat yang berkembang dalam
masyarakat dan tidak tertulis dalam bentuk perundang-undangan Negara.
Oleh karena itu, keberadaannya lahir dan hidup dalam masyarakat itu
sendiri, yang tetap digunakan dalam lapangan hukum perdata, khususnya
dalam masalah waris yang membahas mengenai harta peninggalan yang
tidak diberikan, harta benda yang diberikan, harta benda keluarga. 10
Dalam menggunakan suatu lembaga adat, penentuan waris bagi
anak adopsi berkaitan pada hukum adat yang ada.Bagi keluarga yang
parental seperti suku jawa, pengangkatan anak tidak memutuskan
hubungan darah anak angkat dengan orang tua kandungnya. Oleh karena
itu, selain untuk mendapatkan hak waris dari orang tua angkatnya, dia
tetap memiliki hak atas waris dari orang tua kandungnya.Sedangkan
dengan di Bali, pengangkatan anak merupakan hal yang wajib bagi
hukum yang melepaskan anak angkat dari orang tua kandungnya ke
dalam keluarga angkatnya. Anak tersebut akan menjadi anak kandung
yang mengadopsinyaa dan meneruskan kedudukan ayah angkatnya. 11
Menurut Putusan Mahkamah Agung (MA), Hukum Adat
Peringanan seorang anak adopsi tidak berhak atas mewarisi barang-
barang pusaka atau asli dari orang tua yang mengangkatnya. Barang

9
Fikri dab Wahidin, “Konsepsi Hukum Waris Islam Dan Hukum Waris Adat (Analisis
Kontekstualisasi dalam Masyarakat Bugis)”, Jurnal Ilmu Syari’ah Dan Hukum, Vol. 1 No.2,
hlm.200
10
Oemarsalim, 2013, Dasar-Dasar Hukum Waris Di Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta,
hlm.28.
11
Maman Suparman, 2015, Hukum Waris Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, hlm.45.
8

pusaka hanya boleh diwaris oleh ahli waris yang memiliki hubungan
darah dengan pewaris.12 Dalam hal perwalian, saat putusan dikeluarkan
oleh pengadilan, maka orang tua angkat menjadi wali anak angkat
tersebut.sejak saat itu juga, semua hak dan kewajiban orang tua kandung
diserahkan kepada orang tua angkat. Namun, jika ada kekecualian
terhadap anak angkat perempuan yang beragama islam karena saat dia
akan menikah, maka yang hanya dapat menjadi wali nikah hanyalah
orang tua asli atau hubungan sedarahnya dan dalam hal waris pula
menyatakan bahwa yang terdapat pada khazanah hukum Indonesia, baik
hukum adat, hukum islam, maupun hukum nasional, terdapat sebuah
ketentuan tentang hak waris, ketiganya mempunyai kesamaan dala
kekuatan. Jadi seseorang dapat memilih hukum mana yang akan
digunakan untuk menentukan pewarisan terhadap anak angkat. 13
Dalam Hukum Islam dijelaskan tentang penamaan anak angkat
tidak membuat seseorang mempunyai hubungan yang ada dalam
darah.Penamaan dan penyebutan anak angkat tidak ada didalam Hukum
Islam, agar dapat menjadi dasar dan sebab mewaris, karena prinsip dasar
sebab mewaris dan prinsip pokok dalam kewarisan, ialah hubungan darah
atau arhaam. Menurut Islam, anak angkat tidak memiliki hak atas
mewarisi harta peninggalan orang tua angkatnya, karena dalam
pandangan Islam dasar pewarisan hanya memiliki dua sebab, yaitu sebab
hubungan darah dan sebab hubungan perkawinan. Anak angkat tidak
memiliki hubungan darah dengan orang tua angkatnya, jadi anak angkat
tidak dapat dikatakan sebagai ahli waris dari orang tua angkatnya, tetapi
masih dapat menjadi ahli waris dari orang tua kandungnya.Untuk
memberikan jaminan terhadap anak angkat dalam mendapatkan harta
orang tua angkatnya, jadi orang tua angkat bisa memberikan hibah harta
bagi anak angkatnya selama masih hidup.Selain itu bisa dengan diberikan
melalui wasiat. Adapun tata cara untuk membagikan warisan yang suudah

12
Effendi Perangin, 2016, Hukum Waris, Rajawali Press, Jakarta, hlm.26
13
Irma Devita Purnamasari, 2014, Kiat-Kiat Cerdas, Mudah, dan Bijak Memahami
Masalah, PT Mizan Pustaka, Bandung, hlm.120.
9

diatur dengan sebaik-baiknya. Al-Quran menjelaskan secara jelas dan


terperinci mengenai hukum-hukum yang berhubungan dengan hak
kewarisan. Di Indonesia, dasar hukum yang menjadikan pedoman bagi
hal kewarisan dan penetapan ahli waris bagi masyarakat yang beragama
Islam yaitu Kompilasi Hukum Islam (KHI).14
Orang tua angkat yang tidak memperoleh wasiat akan dibagi
wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta wasiat anak angkatnya.
Dan bagi anak angkat yang tidak mendapatkan wasiat akan dibagi wasiat
wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua
angkatnya. 15 Secara terminologis wasiat merupakan pemberian harta
secara sukarela dari seorang kepada pihak lain yang berlaku setelah orang
tersebut meninggal, baik harta itu berupa materi maupun atau berupa
manfaat. Hanafi menberikan sebuah pengertian mengenai wasiat yaitu
berupa pesan seseorang untuk memberikan sebagian harta bendanya
kepada orang yang dipilihnya dan pelaksanaannya terjadi setelah orang
tersebut meninggal dunia. Wasiat wajibah merupakan suatu tindakan yang
dilaksanakan oleh penguasa maupun hakim sebagai aparat negara yang
memaksa atau memberi putusan tentang wajib wasiat kepada orang yang
telah meninggal, yang dikasihkan kepada orang tertentu dalam keadaan
tertentu.Hak waris anak angkat dilakukan dengan wasiat wajibah yang
terlebih dahulu harus dilakukan dan diadakan perbandingan tentang
pembagian warisan kepada anak kandung atau ahli waris.Aturan yang
menjadi pedoman hukumnya, kewajiban ahli waris kepada pewaris, yang
mana salah satu kewajibannya tersebut memiliki kewajiban untuk
menjalankan segala wasiat dari pewaris. Wasiat ini masih dilakukan, baik
diucapkan, dikehendaki dan tidak bisa bagi orang yang telah meninggal
dunia. Wasiat wajibah adalah wasiat yang dilaksanakannya dengan tidak
dipengaruhi atau bergantung terhadap keinginan orang yang telah

14
Susiana, “Hak Anak Angkat Terhadap Harta Peninggalan Orang Tua Angkat Menurut
Hukum Islam”, Kanun Jurnal Ilmu Hukum, Vol XIII No. 55, hlm.143.
15
Mochammad Taqrib, “Perlindungan Hak Waris Anak Angkat Perspektif Hukum Islam Di
Indonesia”, Jurnal Pustaka hlm.47
10

meninggal dunia.Maka dari itu, pelaksanaan wasiat tersebut tidak


membutuhkan adanya bukti karena wasiat tersebut tidak diucapkan,
dituliskan maupun dikehendaki tetapi pelaksanaannya berdasarkan pada
alasanalasan hukum yang memberikan kebenaran bahwa wasiat tersebut
dilaksanakan.Landasan yang dapat dipakai untuk menjadi aturan tentang
wasiat wajibah kepada anak angkat.16
Dalam menentukan kewajiban orang tua angkat, KHI memberikan
wasiat wajibah bagi anak angkat yang mempunyai tujuan untuk
kesejahteraan anak angkat, karena orang tua angkat sudah memiliki
tanggung jawab untuk menjaga dan merawat anak angkatnya. Menurut
Musthofa Sy, wasiat wajibah mengatur antara anak angkat maupun orang
tua angkat agar bisa mencegah dan menghindari konflik antara anak
angkat dengan keluarga orang tua angkat yang akan dijadikan ahli waris
dari orang tua angkat tersebut.17
Peraturan dalam memberi wasiat bagi anak angkat dengan wasiat
wajibah ini sebenarnya dianggap hal yang baru jika dikaitkan dengan fiqh
tradisional, bahkan peraturan perundangundangan tentang kewarisan yang
diterapkan diberbagai dunia Islam.Al-Qur’an secara tegas melarang
penyamaan hubungan karena pengangkatan anak yang sudah berkembang
dalam adat masyarakat Arab Madinah saat itu dengan hubungan karena
hubungan darah. Maka dapat dikatakan bahwa anak angkat yang tidak
mempunyai hubungan darah dengan orang tua angkatnya.Oleh karena itu,
mereka tidak mempunyai hak untuk menjadi ahli waris maupun dalam
memperoleh harta warisan dari orang tua angkatnya. Tetapi,masalah
pewarisan dalam hal ini hanya terbatas. Dalam hal hibah wasiat, anak
angkat tetap diperbolehkan untuk memperoleh harta warisan orang tua
angkatnya. 18

16
Sintia Stela Karulehe, “Kedudukan Anak Angkat Dalam Mendapatkan Harta Warisan
Ditinjau Dari Hukum Waris”, Lex Privatum, Vol. IV, No. 1 hlm.171.
17
Susiana, “Hak Anak Angkat Terhadap Harta Peninggalan Orang Tua Angkat Menurut
Hukum Islam”, Kanun Jurnal Ilmu Hukum, Vol XIII No. 55, hlm.146
18
NM. Wahyu Kuncoro,2015, Waris Permasalahan dan solusinya, Raih Asa Sukses,
Jakarta, hlm.70.
11

B. Hak Waris Anak diluar Nikah


1. Pengertian Anak Luar Nikah
a. Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Kompilasi Hukum Islam pada Pasal 99 menyatakan bahwa:
Anak sah adalah :
a. Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah.
b. Hasil pembuahan suami isteri di luar rahim dan dilhirkan oleh
isteri tersebut.
Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, dengan demikian jelaslah
bahwa yang dimaksud dengan anak luar nikah menurut Kompilasi
Hukum Islam (KHI) adalah anak yang dibenihkan atau dilahirkan di
luar pernihakan yang sah menurut ajaran agama. Akad nikah yang sah
antara ayah dan ibulah yang menentukan apakah anak tersebut
termasuk anak zina ataukah anak sah mereka. Sehubungan dengan hal
ini, huruf b Pasal 99 dari Kompilasi Hukum Islam memperlihatkan
upaya KHI dalam mengantisipasi pengaruh dari kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang sedang berkembang dewasa ini. Di
mana, karena sesuatu atau lain hal isteri tidak bisa mengandung benih
dari suaminya dengan cara biasa, maksudnya melalui hubungan
seksual antara kedua, kecuali apabila dalam prosesnya dibantu dengan
teknologi kedokteran.
b. Menurut KUH Perdata
Untuk mendapatkan pengertian yang mendalam tentang
pengertian anak luar nikah menurut KUH perdata, di sini akan kita
ketahui beberapa pendapat para ahli hukum perdata sebagai berikut:
1) Menurut Hartono Surjopratiknjo
Memberikan pengertian anak luar nikah atau biasa
dinamakan ”Natuurlijk kind” adalah semua anak tidak sah, kecuali
12

yang ”in overspel of bloedschande verwkt” (yang dihasilkan dari


zina) .19
2) Anisitus Amanat
Memberikan pengertian anak luar nikah adalah anak yang
dihasilkan dari hubungan seks seorang pria dengan seorang wanita
sebelum melangsungkan pernihakan yang sah. Hubungan badan di
luar pernikahan tersebut boleh jadi diteruskan ke jenjang
perkawinan yang sah dan boleh juga tidak. Masing‐masing pihak
boleh melangsungkan pernihakan yang sah dengan pria atau
wanita lain. Akibatnya seorang suami bisa memiliki anak luar
nikah, demikian juga isteri. 20
3) Menurut J. Satrio, S.H.
Undang – Undang tidak dengan tegas mengatakan siapa
yang dapat dikatakan sebagai anak luar kawin, tetapi dari Pasal
272 B.W. dapat kita simpulkan bahwa anak luar kawin dapat
diakui adalah anak yang dibenihkan oleh seorang ibu, tetapi tidak
dibenihkan oleh seorang pria yang berada dalam ikatan yang sah
dengan ibu si anak tersebut, dan tidak termasuk di dalam
kelompok anak zina dan anak sumbang. 21
Bila dilihat pendapat tersebut di atas dapatlah dipahami, dimana
ketika pendapat tersebut pada dasarnya bersumber dari ketentuan
Pasal 272 Kitab Undang‐Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) yang
berbunyi: Kecuali anak‐anak yang dibenihkan dalam zina atau dalam
sumbang, tiap‐tiap anak yang diperbuah perkawinan den gan
kemudian kawinnya bapak dan ibunya akan menjadi sah apabila
kedua orang itu sebelum telah mengakuinya menurut ketentuan
undang‐undang atau apabila pengakuan itu dilakukan di dalam akte

19
Hartono Surjopratiknjo, Hukum Waris Tanpa Wasiat, (Yogyakarta: Fakultas Hukum
UGM: 1983, hlm. 39.
20
Anisitus Amanat. Membagi Warisan Berdasarkan Pasal‐Pasal Hukum Pedata BW,
(Jakarta: Rajawali Pers, 1984), hlm. 14.
21
J. Satrio, Hukum Waris, (Bandung: Alumni, 1992), hlm. 151.
13

perkawinan sendiri. Bila dilihat ketentuan Pasal 272 KUH Perdata


tersebut di atas, terlihat bahwasanya KUH Perdata membedakan
pengertian anak luar nikah, anak zina atau anak sumbang. Menurut
Anisitus Amanat bahwa anak zina adalah : anak yang dibuahkan
dimana kedua orangtuanya atau salah seorang dari keduanya masih
terikat dalam pernikahan lain yang masih sah. Sedangkan anak
sumbang adalah anak yang dilahirkan dari hubungan badan antara dua
orang tua di mana oleh hukum dilarang untuk kawin, misalnya antara
ibu tiri dan anak tiri. 22

2. Status Anak Luar Nikah Menurut Kitab Undang‐Undang Hukum


Perdata (KUHPerdata) dan Kompilasi Hukum Islam (KHI)
a. Menurut Kitab Undang‐Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)
Di dalam Kitab Undang‐Undang Hukum Perdata terdapat
peraturan–peraturan khusus dan istimewa mengenai perhubungan
antara anak luar nikah dengan orangtua yang mengakuinya selaku
anak.
Seorang anak ada kemungkinan tidak mempunyai ayah tetapi
juga bisa tidak mempunyai ibu dalam artian bahwa seorang anak
dengan ibu yang mengandung dan melahirkannya tidak memilki
hubungan hukum sama sekali baik dalam hal hubungan keluarga,
pemeliharaan, pemberian nafkah dan lain sebagainya.
Dengan demikian, mungkin terjadi seorang anak luar nikah
memiliki ayah dan ibu biologis, tetapi secara yuridis mereka tidak
memiliki kewajiban apa‐apa terhadap anak‐anaknya. Perhubungan
hukum antara si anak dengan orangtuanya baru ada setelah ada
pengakuan yang dilakukan oleh ayah atau ibu atau keduanya bersama‐
sama terhadap anak tersebut.
Menurut R. Subekti di dalam KUHPerdara dikenal adanya tiga
jenis anak:

22
Anisitus Amanat, Op. Cit., hal 17.
14

1) Anak sah, yakni tiap‐tiap anak yang dilahirkan atau ditumbuhkan


sepanjang pernihakan orang tuanya (Pasal 250 KUH Perdata).
2) Anak luar Nikah yang diakui oleh salah satu atau kedua orang
tuanya.
3) Anak luar nikah yang tidak diakui oleh orang tuanya. 23
Jadi, anak yang dilahirkan atau dibuahkan di dalam pernikahan
orang tuanya adalah anak sah, dengan demikian, anak yang dibuahkan
sepanjang pernikahan lalu dilahirkan setelah pernikahan orang tuanya
putus adalah anak sah. Demikian pula, anak yang dibenihkan sebelum
pernikahan tetapi dilahirkan di dalam pernikahan adalah anak sah
juga. Dengan demikian, anak yang lahir dengan tidak memenuhi
ketentuan tersebut adalah anak tidak sah. Oleh karena itu anak luar
nikah yang orang tuanya tidak menikah secara sah, memiliki
kedudukan sebagai anak tidak sah.
Dengan pengakuan salah satu atau kedua orangtuanya secara
bersama‐sama, ia menjadi anak luar nikah yang diakui.
Kedudukannya sedikit lebih rendah dari anak sah namun lebih tinggi
dari anak luar nikah yang tidak diakui oleh orangtuanya. Di dalam
Pasal 272 KUH Perdata dinyatakan bahwa: tiap‐ tiap anak yang
dibenihkan di luar pernikahan, kemudian dengan nikahnya bapak dan
ibu biologisnya, maka anak tersebut menjadi anak sah apabila
keduanya sebelum menikah telah mengakuinya menurut ketentuan
undang‐undang yakni tercatat dalam akta kelahiran si anak atau di
dalam akta pernikahan orang tuanya.
Artinya apabila pengakuan dilakukannya pada saat pernihakan
orangtua, maka pengakuan tersebut dicatat dalam akta nikah. Di mana
dalam akta pernihakan terdapat klausa tentang pengakuan anak
mereka yang telah dibenihkan atau dilahirkan sebelum mereka
melakukan pernikahan.

23
R. Subekti, Kitab Undang‐Undang Hukum Perdata, (Jakarta: Pradnya Paramita 1992),
hlm. 53.
15

Mungkin saja terjadi sebelum melakukan pernikahan yang sah,


kedua orangtua lalai mengakui anak luar nikah mereka. KUH Perdata
tetap memberi kemungkinan anak tersebut dapat menjadi anak sah.
Syaratnya sesuai dengan ketentuan Pasal 274 KUH Perdata bagi
orangtua yang lalai mengakui anak luar nikah mereka, maka kelalaian
tersebut dapat diperbaiki dengan surat pengesahan dari Presiden yang
diberikan setelah mendengar nasehat dari Mahkamah Agung.
Bila mana ayah dan ibu tidak melangsungkan pernikahan
masing‐masing tetap dapat melakukan pengakuan terhadap anak luar
nikah mereka. Pengakuan ini menurut Pasal 281 KUH Perdata
dilakukan melalui akta otentik. Jika pengakuan tersebut dilakukan
dalam akta otentik, maka masing‐masing pihak yang berkepentingan
berhak menuntut pencatatan pengakuan di dalam akta kelahiran si
anak. Selain melalui akta otentik, maka pengakuan juga dapat
dilakukan melalui akta yang dibuat oleh pegawai catatan sipil,
selanjutnya hal ini dibukukan dalam rigister kelahiran menurut hari
dibuatnya pengakuan tersebut. Hal ini harus tercatat di dalam akta
kelahiran si anak.
Pengakuan yang dilakukan oleh bapak yang berkeinginan
mengakui si anak, hanya bisa diterima apabila disetujui oleh ibu yang
mengandungnya, sebagaimana yang dijelaskan dalam Pasal 284 KUH
Pedata yang berbunyi sebagai berikut:
Suatu pengakuan terhadap anak luar nikah selama hidup ibunya,
jika ibu itu termasuk golongan Indonesia atau golongan yang
dipersamakan dengan itu, tidak akan diterima jika si ibu tidak
menyetujuinya. Jika anak yang demikian itu diakui setelah ibunya
meninggal dunia maka pengakuan tidak mempunyai lain, melainkan
terhadap bapak.
Dengan adanya pengakuan dari salah satu atau kedua
orangtuanya, kedudukan anak luar nikah yang sangat terbelakang
karena ia dikategorikan sebagai anak tidak sah terobati. Statusnya
16

menjadi anak yang diakui oleh orangtuanya secara sah dan tentu saja
pengakuan dari salah satu atau kedua orangtuanya menimbulkan
akibat‐akibat hukum yang berbeda dibandingkan anak luar nikah yang
benar‐benar tidak diakhui ataupun bila dibandingkan dengan anak sah.
Betitik tolak dari apa yang telah diuraikan di atas, dapatlah dipahami,
suatu pemahaman dan perbandingan antara KHI dan KUHPerdata
mengenai status anak luar nikah.
Menurut KHI, anak luar nikah memiliki status sebagai anak
tidak sah dari orang tuanya. Hal ini dikarenakan ia adalah hasil
hubungan perzinaan. Sedangkan menurut KUH Perdata, anak yang
dihasilkan dari hubungan seks sebelum nikah antara perjaka dan
gadis, dengan tidak nikahnya kedua orangtuanya tersebut
dikategorikan sebagai anak luar nikah. Dia berstatus sebagai anak
tidak sah dari orangtuanya. Namun KUH Perdata memberikan
kesempatan bagi kedua orangtuanya untuk mengakui anak tersebut.
Sehinga statusnya menjadi anak yang diakui secara sah oleh orang
tuanya.
b. Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Pada Pasal 99 KHI, dapat diketahui bahwa yang termasuk anak
sah adalah:
1) Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah
orang tuanya.
2) Hasil pembuahan suami isteri yang sah di luar rahim dan
dilahirkan oleh siteri yang sah tersebut.
Jadi pada hakikatnya anak sah adalah anak yang dibenihkan dan
dilahirkan akibat pernikahan yang sah. Akad nikah yang sah antara
ayah dan ibunya yang menentukan sah tidaknya anak yang dihasilkan
oleh keduanya. Pengertian akan pemahaman anak sah adalah yang
sesuai dengan ketentuan Hukum Islam. Kebalikan dari anak sah
adalah anak yang tidak sah. Anak jenis mana sajakah yang termasuk
ketegori ini ? jabawabannya adalah sesuai juga keterangan yang
17

terdapat dalam pasal‐pasal Kompilasi Hukum Islam. Maka yang


termasuk anak tidak sah adalah:
1) Anak yang dihasilkan dari hubungan seks antara seorang pria
dengan wanita yang antara keduanya tidak terdapat ikatan
pernikahan yang sah.
2) Anak yang dihasilkan dari inseminasi buatan yang tidak sah
dimana sel telur dan sel mani yang dipergunakan berasal dari
sepasang pria dan wanita yang bukan pasangan suami isteri yang
sah ataupun bilamana ibu yang mengandung dan melahirkan anak
wanita pemilik sel telur tersebut.
3) Anak yang tidak diakui oleh suami sebagai anak sah. Suami
menolak bahwa anak yang dikandung dan dilahirkan oleh
isterinya bukan berasal dari benihnya sehingga ia melakukan
sumpah li’an agar pengingkaran dan penolakannya tersebut
disahkan oleh pengadilan.
Hal ini dijelaskan pada pasal 101 KHI. Ketiga jenis anak
tersebut di atas merupakan anak‐anak yang dibenihkan secara tidak
sah, maka selanjutnya timbullah pertanyaan apakah statusnya sebagai
anak tidak sah menimbulkan akibat – akibat tertentu, apakah antara
anak dengan orangtuanya masih terdapat hubungan hak dan kewajiban
sebagaimana yang diperoleh oleh anak sah. Sehubungan dengan hal
ini akan penulis bahas pada bab berikutnya.
3. Ketentuan Hukum Waris Terhadap Anak Luar Nikah Menurut
KUHPerdata dan Kompilasi Hukum Islam
a. Menurut Hukum Perdata
Mengenai ketentuan hukum waris terhadap anak luar nikah
menurut KUH Perdata, dimana bagi orang‐orang yang tunduk kepada
KUH Perdata, umumnya warga negara Indonesia yang berbangsa
Eropah dan Tinghoa di dalam pasal 272 KUH Perdata menjelaskan
bahwa:
18

Kecuali anak‐anak yang dibenihkan dalam zinah atau sumbang,


tiap‐tiap anak yang diperbuahkan di luar perkawinan, dengan
kemudian kawinnya bapak dan ibunya, akan menjadi sah, apabila
kedua orangtua itu sebelum kawin telah mengakuinya menurut
ketentuan undang‐undang atau apabila pengakuan itu dilakukan dalam
akta perkawinan sendiri. Selanjutnya di dalam Pasal 280 KUH Perdata
menjelaskan bahwa: dengan pengakuan yang dilakukan terhadap
seorang anak luar nikah, tiumbullah hubungan perdata antara si anak
dan bapak atau ibunya. Kemudian Pasal 862 KUH Perdata
menjelaskan pula: Jika si mininggal meninggalkan anak‐anak luar
nikah yang telah diakui dengan sah, maka warisan harus dibagi
dengan cara yang ditentukan di dalam Kitab Undang‐Undang Hukum
Perdata.
b. Menurut KHI (Kompilasi Hukum Islam)
Selanjutnya menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI), dimana
bangunan hukum Kewarisan Islam memiliki dasar yang sangat kuat.
Di dalam ayat‐ayat al‐Qur’an cukup banyak yang menunjukkan
tentang hukum kewarisan, diantaranya firman Allah SWT yang
artinya: ”Dan orang‐orang yang mempunyai hubungan darah,
sebahagiannya adalah lebih berhak dari pada sebagian yang lain di
dalam ketetapan Allah.”
Sehubungan dengan hal ini, maka Kompilasi Hukum Islam (KHI)
pada Pasal 174 menjelaskan:
1) Kelompok‐kelompok ahli waris terdiri dari:
(a) Menurut hubungan darah: ‐ Golonga laki‐laki, terdiri dari :
ayah, anak laki‐laki, saudara laki‐laki, paman, dan kakek. ‐
Golongan perempuan, terdiri dari: ibu, anak perempuan, dan
nenek.
(b) Menurut Hubungan Perkawinan.
2) Apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat
warisan hanya anak, ayah, ibu , janda atau duda.
19

Berdasarkan pasal tersebut di atas, dapat disimpulkan pula bahwa,


berdasarkan hubungan darah dan kekerabatan, anak merupakan ahli
waris yang terpenting, mereka lebih berhak menerima harta warisan
dibandingkan ahli waris yang lain karena sangat dekatnya kekerabatan
ia dengan sipewaris.
Mengenai anak luar nikah, sebagaimana yang telah dijelaskan
pada bab sebelumnya, bahwa mereka hanya berhak mempunyai
hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga dari pihak ibunya. Jadi
hal ini telah dinyatakan di dalam Pasal 100 dari Kompilasi Hukum
Islam (KHI) yang berbunyi: “Anak yang lahir di luar perkawinan
hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga
ibunya”. Oleh karena itu, apabila yang meninggal adalah ayah
zinahnya, maka anak zina laki‐laki dan perempuan tidak memiliki hak
untuk mewarisi. Oleh karena itu, apabila yang meninggal adalah ayah
zinanya, maka anak zina laki‐laki dan perempuan tidak memiliki hak
untuk mewarisi. Akan tetapi, bila yang meninggal adalah ibunya,
maka ia berhak menjadi ahli waris. Hal ini sesuai dengan hadits
riwayat Abu daud yang artinya: “Rasulullah S.A.W menjadikan hak
waris anak li’an (mula’anah) kepada ibunya dan ahli waris ibu
sesudahnya”. Dan juga pada hadits lain berbunyi: “Dari ibnu Umar
bahwasanya seorang laki‐laki menuduh isterinya berzina dan ia tidak
mengakui anaknya, maka Rasulullah S.A.W memutuskan perkawinan
keduanya, dan anaknya dinisabkan pada ibunya”.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Hak waris anak angkat
Dalam menggunakan suatu lembaga adat, penentuan waris bagi
anak angkat berkaitan pada hukum adat yang ada.Bagi keluarga yang
parental seperti suku jawa, pengangkatan anak tidak memutuskan
hubungan darah anak angkat dengan orang tua kandungnya. Oleh karena
itu, selain untuk mendapatkan hak waris dari orang tua angkatnya, dia
tetap memiliki hak atas waris dari orang tua kandungnya.Sedangkan
dengan di Bali, pengangkatan anak merupakan hal yang wajib bagi
hukum yang melepaskan anak angkat dari orang tua kandungnya ke
dalam keluarga angkatnya. Anak tersebut akan menjadi anak kandung
yang mengadopsinyaa dan meneruskan kedudukan ayah angkatnya
Menurut Putusan Mahkamah Agung (MA), Hukum Adat
Peringanan seorang anak adopsi tidak berhak atas mewarisi barang-
barang pusaka atau asli dari orang tua yang mengangkatnya. Barang
pusaka hanya boleh diwaris oleh ahli waris yang memiliki hubungan
darah dengan pewaris. Dalam hal perwalian, saat putusan dikeluarkan
oleh pengadilan, maka orang tua angkat menjadi wali anak angkat
tersebut.sejak saat itu juga, semua hak dan kewajiban orang tua kandung
diserahkan kepada orang tua angkat. Namun, jika ada kekecualian
terhadap anak angkat perempuan yang beragama islam karena saat dia
akan menikah, maka yang hanya dapat menjadi wali nikah hanyalah orang
tua asli atau hubungan sedarahnya dan dalam hal waris pula menyatakan
bahwa yang terdapat pada khazanah hukum Indonesia, baik hukum adat,
hukum islam, maupun hukum nasional, terdapat sebuah ketentuan tentang
hak waris, ketiganya mempunyai kesamaan dala kekuatan. Jadi seseorang

20
21

dapat memilih hukum mana yang akan digunakan untuk menentukan


pewarisan terhadap anak angkat.
Menurut Islam, anak angkat tidak memiliki hak atas mewarisi harta
peninggalan orang tua angkatnya, karena dalam pandangan Islam dasar
pewarisan hanya memiliki dua sebab, yaitu sebab hubungan darah dan
sebab hubungan perkawinan. Orang tua angkat yang tidak memperoleh
wasiat akan dibagi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta
wasiat anak angkatnya. Dan bagi anak angkat yang tidak mendapatkan
wasiat akan dibagi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta
warisan orang tua angkatnya.
2. Hak waris anak diluar nikah
Bertitik tolak dari apa yang telah diuraikan di atas, dapat
disimpulkan bahwa ketentuan‐ketentuan mengenai pewarisan anak luar
nikah telah diatur di dalam pasal‐pasal pada Kompilasi Hukum Islam
(KHI), yang kesemuanya itu dilandaskan pada ketentuan‐ketentuan
hukum Islam yang terdapat di dalam al‐ Qur’an dan Hadits Rasulullah
S.A.W.
Sedangkan di dalam KUH Perdata dasar‐dasar peraturan terhadap
pewarisan anak luar nikah diatur di dalam beberapa pasal istimewa di
dalam KUH Perdata. Pasal‐pasal tersebut mengatur mulai dari pengakuan
terhadap anak luar nikah hinggá soal pewarisan yang kemudian dijelaskan
dan dirincikan lagi dalam pasal‐pasal yang ada.
Tentang Porsi pembagian warisan terhadap anak luar nikah, bila
kita lihat di dalam Kompilasi Hukum Islam, di dalam ketentuan yang
telah dijelaskan bahwa anak luar nikah itu hanya memiliki hubungan
nasab dengan ibunya. Untuk itu bagian yang ia terima harus melihat
jumlah kekayaan harta ibunya, termasuk anak‐anak yang sah atau saudara
kandungnya. Pengaturan tentang tata cara pembagian serta besarnya
bagian yang berhak diterima anak luar nikah adalah sama sebagaimana
yang berlaku terhadap anak‐anak sah, sebagaimana yang dinyatakan oleh
M. Ali Hasan : bahwasanya Zaid bin Tsabit dan ahli‐ahli hukum Madinah
22

berpendapat bahwa harta warisan anak zina itu sama seperti ketentuan
anak bukan zina.24

24
M. Ali Hasan., Masail Fiqhiyah Al‐Haditsah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997),
hlm. 94.
23

DAFTAR PUSTAKA

1. Buku
Anisitus Amanat. 1984, Membagi Warisan Berdasarkan Pasal‐Pasal
Hukum Pedata BW, Jakarta: Rajawali Pers.
Hasan., M. Ali, 1997, Masail Fiqhiyah Al‐Haditsah, Jakarta: Raja
Grafindo Persada.
Ibrahim, Johny, 2007, Teori dan Metodologi Penelitan Hukum Normatif,
Bayumedia Publishing, , Malang, Cetakan ketiga.
J. Satrio, Hukum Waris, 1992, Bandung: Alumni.
Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata)
Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Kuncoro, NM. Wahyu, 2015, Waris Permasalahan dan solusinya, , Jakarta
: Raih Asa Sukses.
Oemarsalim, 2013, Dasar-Dasar Hukum Waris Di Indonesia, Jakarta ,
Rineka Cipta,
Perangin, Effendi, 2016, Hukum Waris, Jakarta , Rajawali Press.
Purnamasari, Irma Devitam 2014, Kiat-Kiat Cerdas, Mudah, dan Bijak
Memahami Masalah, Bandung, PT Mizan Pustaka.
R. Subekti, 1992, Kitab Undang‐Undang Hukum Perdata, Jakarta:
Pradnya Paramita.
Suparman, Maman, 2015, Hukum Waris Perdata, Jakarta, Sinar Grafika.
Surjopratiknjo, Hartono, 1983, Hukum Waris Tanpa Wasiat, Yogyakarta:
Fakultas Hukum UGM.

2. Jurnal
Fikri dab Wahidin, “Konsepsi Hukum Waris Islam Dan Hukum Waris
Adat (Analisis Kontekstualisasi dalam Masyarakat Bugis)”, Jurnal
Ilmu Syari’ah Dan Hukum, Vol. 1 No.2.
Francis H. Fairley, “Inhertiance Rights Consequent to Adoptions”, North
Carolina Law Review, Vol.49 No.3.
Irawaty, “Inheritance Laws in Indonesia”, Indonesian Journal of
Multidisciplinary Islamic Studies, Vol. 1 No. 2.
Karulehe, Sintia Stela “Kedudukan Anak Angkat Dalam Mendapatkan
Harta Warisan Ditinjau Dari Hukum Waris”, Lex Privatum, Vol.
IV, No. 1.
24

Sahuleka, Onesimus “The Child Adoption in the Inheritance System of the


Sentani Indigenous Community”, Journal of Law, Policy and
Globalization, Vol.49.
Suharto,”Hak Waris Anak Angkat Menurut Hukum Islam Di Indonesia”,
Jurnal Studi Hukum Islam, Vol No. 2.
Susiana, “Hak Anak Angkat Terhadap Harta Peninggalan Orang Tua
Angkat Menurut Hukum Islam”, Kanun Jurnal Ilmu Hukum, Vol
XIII No. 55.
Taqrib, Mochammad “Perlindungan Hak Waris Anak Angkat Perspektif
Hukum Islam Di Indonesia”, Jurnal Pustaka.

Anda mungkin juga menyukai