OLEH :
AL FAJRI
NIM. 2223680006
MAMAD
NIM. 22232020005
DOSEN PEMBIMBING:
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkawinan ialah salah satu bentuk manifestasi dari hukum alam, atau
hukum kodrat yang merupakan tuntutan naluri manusia sebagai bagian dari
hak asasi untuk kelangsungan hidupnya untuk membentuk generasi
selanjutnya. Kehadiran seorang anak bisa menjadi perekat hubungan suami-
istri, yang menghadirkan peran baru sebagai orang tua, sebagai penerus dan
pewaris keluarga. Akan tetapi, kenyataannya beberapa pasangan suami istri
tidak bisa memiliki anak, sementara mereka sangat ingin adanya anak dalam
kehidupan rumah tangga mereka.
Maka upaya untuk pengangkatan atau adopsi anak, lantas menjadi
pilihan untuk mendapatkan anak meskipun bukan anak kandung. Definisi
anak angkat dalam pasal 1 Ayat 9 Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak adalah “Anak yang
haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan Keluarga Orang Tua, Wali yang
sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan
membesarkan anak tersebut ke dalam lingkungan keluarga orang tua
angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan”.
Kepastian hukum merupakan hal yang sangat penting karena tanpa
kepastian hukum akan memunculkan kekacauan dalam masyarakat, oleh
sebab itu putusan atau penetapan pengadilan adalah salah satu cara untuk
mendapatkan kepastian hukum itu.“Oleh karena itu, jelas bahwa berfungsinya
hukum untuk menciptakan ketertiban, keadilan dan kepastian dalam
masyarakat”.1
Dimata hukum tujuan dalam pengangkatan anak ialah semata-mata
untuk meningkatkan kesejahteraan anak angkat itu sendiri.Dan ternyata masih
1
Johny Ibrahim, 2007, Teori dan Metodologi Penelitan Hukum Normatif, Bayumedia
Publishing, Cetakan ketiga, Malang, h . 7.
1
2
banyak anak yang lahir di luar perkawinan yang sah. Istilah penyebutan anak
yang lahir di luar perkawinan, lazim disebut “anak luar kawin” atau “anak
luar nikah”. Kedua istilah tersebut mempunyai maksud yang sama yaitu anak
yang lahir di luar perkawinan yang sah. Dalam penelitian ini, penulis
memakai istilah “anak luar nikah”, sehingga penyebutan selanjutnya dengan
“anak luar kawin” adalah mempunyai maksud yang sama dalam kedua istilah
tersebut oleh karenanya keduanya penulis gunakan secara bergantian.
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP) mengenal
dua macam status anak, yaitu anak sah dan anak luar kawin, sebagaimana
dijelaskan di dalam Pasal 42 Undang-undang Perkawinan, bahwa anak sah
adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat dari perkawinan yang
sah. Sedangkan anak luar kawin terdapat dalam Pasal 43 Undang-undang
Perkawinan, menyebutkan bahwa anak yang dilahirkan di luar perkawinan
hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya.
B. Rumusan Masalah
Dari uraian di atas dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut.
1. Bagaimana hak waris anak angkat?
2. Bagaimana hak waris anak diluar nikah?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetauhi bagaimana hak waris anak angkat.
2. Untuk mengetauhi bagaimana hak waris anak diluar nikah.
BAB II
PEMBAHASAN
2
Onesimus Sahuleka, “The Child Adoption in the Inheritance System of the Sentani
Indigenous Community”, Journal of Law, Policy and Globalization, Vol.49, hlm.3.
3
4
3
Suharto,”Hak Waris Anak Angkat Menurut Hukum Islam Di Indonesia”, Jurnal Studi
Hukum Islam, Vol No. 2, hlm.110.
4
NM. Wahyu Kuncoro, 2015, Waris Permasalahan dan solusinya, , Jakarta : Raih Asa
Sukses, hlm.68.
5
5
Onesimus Sahuleka, “The Child Adoption in the Inheritance System of the Sentani
Indigenous Community”, Journal of Law, Policy and Globalization, Vol.49, hlm.2
6
Maman Suparman, 2015, Hukum Waris Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, hlm.42.
6
sah dimata hukum terhadap harta orang tua kandungnya. Pada dasarnya
sistem kewarisan yang berlaku dalam KUH Perdata adalah sistem
Parental atau Bilateral terbatas, yang mana semua anggota keluarga
memiliki hubungan darah pada keturunan ayah dan ibunya. Tetapi, selain
pewarisan secara keturunan maupun sistem pewarisan ab intensato yang
terdapat dalam undang-undang dengan tanpa surat wasiat, surat wasiat
atau testament ialah sebuah akta yang mempunyai isi pernyataan
seseorang tentang keinginannya, dapat terjadi setelah ia meninggal dan
dapat diambil kembali olehnya.7
7
Irawaty, “Inheritance Laws in Indonesia”, Indonesian Journal of Multidisciplinary Islamic
Studies, Vol. 1 No. 2, hlm.214.
8
Francis H. Fairley, “Inhertiance Rights Consequent to Adoptions”, North Carolina Law
Review, Vol.49 No.3, hlm.228.
7
9
Fikri dab Wahidin, “Konsepsi Hukum Waris Islam Dan Hukum Waris Adat (Analisis
Kontekstualisasi dalam Masyarakat Bugis)”, Jurnal Ilmu Syari’ah Dan Hukum, Vol. 1 No.2,
hlm.200
10
Oemarsalim, 2013, Dasar-Dasar Hukum Waris Di Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta,
hlm.28.
11
Maman Suparman, 2015, Hukum Waris Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, hlm.45.
8
pusaka hanya boleh diwaris oleh ahli waris yang memiliki hubungan
darah dengan pewaris.12 Dalam hal perwalian, saat putusan dikeluarkan
oleh pengadilan, maka orang tua angkat menjadi wali anak angkat
tersebut.sejak saat itu juga, semua hak dan kewajiban orang tua kandung
diserahkan kepada orang tua angkat. Namun, jika ada kekecualian
terhadap anak angkat perempuan yang beragama islam karena saat dia
akan menikah, maka yang hanya dapat menjadi wali nikah hanyalah
orang tua asli atau hubungan sedarahnya dan dalam hal waris pula
menyatakan bahwa yang terdapat pada khazanah hukum Indonesia, baik
hukum adat, hukum islam, maupun hukum nasional, terdapat sebuah
ketentuan tentang hak waris, ketiganya mempunyai kesamaan dala
kekuatan. Jadi seseorang dapat memilih hukum mana yang akan
digunakan untuk menentukan pewarisan terhadap anak angkat. 13
Dalam Hukum Islam dijelaskan tentang penamaan anak angkat
tidak membuat seseorang mempunyai hubungan yang ada dalam
darah.Penamaan dan penyebutan anak angkat tidak ada didalam Hukum
Islam, agar dapat menjadi dasar dan sebab mewaris, karena prinsip dasar
sebab mewaris dan prinsip pokok dalam kewarisan, ialah hubungan darah
atau arhaam. Menurut Islam, anak angkat tidak memiliki hak atas
mewarisi harta peninggalan orang tua angkatnya, karena dalam
pandangan Islam dasar pewarisan hanya memiliki dua sebab, yaitu sebab
hubungan darah dan sebab hubungan perkawinan. Anak angkat tidak
memiliki hubungan darah dengan orang tua angkatnya, jadi anak angkat
tidak dapat dikatakan sebagai ahli waris dari orang tua angkatnya, tetapi
masih dapat menjadi ahli waris dari orang tua kandungnya.Untuk
memberikan jaminan terhadap anak angkat dalam mendapatkan harta
orang tua angkatnya, jadi orang tua angkat bisa memberikan hibah harta
bagi anak angkatnya selama masih hidup.Selain itu bisa dengan diberikan
melalui wasiat. Adapun tata cara untuk membagikan warisan yang suudah
12
Effendi Perangin, 2016, Hukum Waris, Rajawali Press, Jakarta, hlm.26
13
Irma Devita Purnamasari, 2014, Kiat-Kiat Cerdas, Mudah, dan Bijak Memahami
Masalah, PT Mizan Pustaka, Bandung, hlm.120.
9
14
Susiana, “Hak Anak Angkat Terhadap Harta Peninggalan Orang Tua Angkat Menurut
Hukum Islam”, Kanun Jurnal Ilmu Hukum, Vol XIII No. 55, hlm.143.
15
Mochammad Taqrib, “Perlindungan Hak Waris Anak Angkat Perspektif Hukum Islam Di
Indonesia”, Jurnal Pustaka hlm.47
10
16
Sintia Stela Karulehe, “Kedudukan Anak Angkat Dalam Mendapatkan Harta Warisan
Ditinjau Dari Hukum Waris”, Lex Privatum, Vol. IV, No. 1 hlm.171.
17
Susiana, “Hak Anak Angkat Terhadap Harta Peninggalan Orang Tua Angkat Menurut
Hukum Islam”, Kanun Jurnal Ilmu Hukum, Vol XIII No. 55, hlm.146
18
NM. Wahyu Kuncoro,2015, Waris Permasalahan dan solusinya, Raih Asa Sukses,
Jakarta, hlm.70.
11
19
Hartono Surjopratiknjo, Hukum Waris Tanpa Wasiat, (Yogyakarta: Fakultas Hukum
UGM: 1983, hlm. 39.
20
Anisitus Amanat. Membagi Warisan Berdasarkan Pasal‐Pasal Hukum Pedata BW,
(Jakarta: Rajawali Pers, 1984), hlm. 14.
21
J. Satrio, Hukum Waris, (Bandung: Alumni, 1992), hlm. 151.
13
22
Anisitus Amanat, Op. Cit., hal 17.
14
23
R. Subekti, Kitab Undang‐Undang Hukum Perdata, (Jakarta: Pradnya Paramita 1992),
hlm. 53.
15
menjadi anak yang diakui oleh orangtuanya secara sah dan tentu saja
pengakuan dari salah satu atau kedua orangtuanya menimbulkan
akibat‐akibat hukum yang berbeda dibandingkan anak luar nikah yang
benar‐benar tidak diakhui ataupun bila dibandingkan dengan anak sah.
Betitik tolak dari apa yang telah diuraikan di atas, dapatlah dipahami,
suatu pemahaman dan perbandingan antara KHI dan KUHPerdata
mengenai status anak luar nikah.
Menurut KHI, anak luar nikah memiliki status sebagai anak
tidak sah dari orang tuanya. Hal ini dikarenakan ia adalah hasil
hubungan perzinaan. Sedangkan menurut KUH Perdata, anak yang
dihasilkan dari hubungan seks sebelum nikah antara perjaka dan
gadis, dengan tidak nikahnya kedua orangtuanya tersebut
dikategorikan sebagai anak luar nikah. Dia berstatus sebagai anak
tidak sah dari orangtuanya. Namun KUH Perdata memberikan
kesempatan bagi kedua orangtuanya untuk mengakui anak tersebut.
Sehinga statusnya menjadi anak yang diakui secara sah oleh orang
tuanya.
b. Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Pada Pasal 99 KHI, dapat diketahui bahwa yang termasuk anak
sah adalah:
1) Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah
orang tuanya.
2) Hasil pembuahan suami isteri yang sah di luar rahim dan
dilahirkan oleh siteri yang sah tersebut.
Jadi pada hakikatnya anak sah adalah anak yang dibenihkan dan
dilahirkan akibat pernikahan yang sah. Akad nikah yang sah antara
ayah dan ibunya yang menentukan sah tidaknya anak yang dihasilkan
oleh keduanya. Pengertian akan pemahaman anak sah adalah yang
sesuai dengan ketentuan Hukum Islam. Kebalikan dari anak sah
adalah anak yang tidak sah. Anak jenis mana sajakah yang termasuk
ketegori ini ? jabawabannya adalah sesuai juga keterangan yang
17
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Hak waris anak angkat
Dalam menggunakan suatu lembaga adat, penentuan waris bagi
anak angkat berkaitan pada hukum adat yang ada.Bagi keluarga yang
parental seperti suku jawa, pengangkatan anak tidak memutuskan
hubungan darah anak angkat dengan orang tua kandungnya. Oleh karena
itu, selain untuk mendapatkan hak waris dari orang tua angkatnya, dia
tetap memiliki hak atas waris dari orang tua kandungnya.Sedangkan
dengan di Bali, pengangkatan anak merupakan hal yang wajib bagi
hukum yang melepaskan anak angkat dari orang tua kandungnya ke
dalam keluarga angkatnya. Anak tersebut akan menjadi anak kandung
yang mengadopsinyaa dan meneruskan kedudukan ayah angkatnya
Menurut Putusan Mahkamah Agung (MA), Hukum Adat
Peringanan seorang anak adopsi tidak berhak atas mewarisi barang-
barang pusaka atau asli dari orang tua yang mengangkatnya. Barang
pusaka hanya boleh diwaris oleh ahli waris yang memiliki hubungan
darah dengan pewaris. Dalam hal perwalian, saat putusan dikeluarkan
oleh pengadilan, maka orang tua angkat menjadi wali anak angkat
tersebut.sejak saat itu juga, semua hak dan kewajiban orang tua kandung
diserahkan kepada orang tua angkat. Namun, jika ada kekecualian
terhadap anak angkat perempuan yang beragama islam karena saat dia
akan menikah, maka yang hanya dapat menjadi wali nikah hanyalah orang
tua asli atau hubungan sedarahnya dan dalam hal waris pula menyatakan
bahwa yang terdapat pada khazanah hukum Indonesia, baik hukum adat,
hukum islam, maupun hukum nasional, terdapat sebuah ketentuan tentang
hak waris, ketiganya mempunyai kesamaan dala kekuatan. Jadi seseorang
20
21
berpendapat bahwa harta warisan anak zina itu sama seperti ketentuan
anak bukan zina.24
24
M. Ali Hasan., Masail Fiqhiyah Al‐Haditsah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997),
hlm. 94.
23
DAFTAR PUSTAKA
1. Buku
Anisitus Amanat. 1984, Membagi Warisan Berdasarkan Pasal‐Pasal
Hukum Pedata BW, Jakarta: Rajawali Pers.
Hasan., M. Ali, 1997, Masail Fiqhiyah Al‐Haditsah, Jakarta: Raja
Grafindo Persada.
Ibrahim, Johny, 2007, Teori dan Metodologi Penelitan Hukum Normatif,
Bayumedia Publishing, , Malang, Cetakan ketiga.
J. Satrio, Hukum Waris, 1992, Bandung: Alumni.
Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata)
Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Kuncoro, NM. Wahyu, 2015, Waris Permasalahan dan solusinya, , Jakarta
: Raih Asa Sukses.
Oemarsalim, 2013, Dasar-Dasar Hukum Waris Di Indonesia, Jakarta ,
Rineka Cipta,
Perangin, Effendi, 2016, Hukum Waris, Jakarta , Rajawali Press.
Purnamasari, Irma Devitam 2014, Kiat-Kiat Cerdas, Mudah, dan Bijak
Memahami Masalah, Bandung, PT Mizan Pustaka.
R. Subekti, 1992, Kitab Undang‐Undang Hukum Perdata, Jakarta:
Pradnya Paramita.
Suparman, Maman, 2015, Hukum Waris Perdata, Jakarta, Sinar Grafika.
Surjopratiknjo, Hartono, 1983, Hukum Waris Tanpa Wasiat, Yogyakarta:
Fakultas Hukum UGM.
2. Jurnal
Fikri dab Wahidin, “Konsepsi Hukum Waris Islam Dan Hukum Waris
Adat (Analisis Kontekstualisasi dalam Masyarakat Bugis)”, Jurnal
Ilmu Syari’ah Dan Hukum, Vol. 1 No.2.
Francis H. Fairley, “Inhertiance Rights Consequent to Adoptions”, North
Carolina Law Review, Vol.49 No.3.
Irawaty, “Inheritance Laws in Indonesia”, Indonesian Journal of
Multidisciplinary Islamic Studies, Vol. 1 No. 2.
Karulehe, Sintia Stela “Kedudukan Anak Angkat Dalam Mendapatkan
Harta Warisan Ditinjau Dari Hukum Waris”, Lex Privatum, Vol.
IV, No. 1.
24