Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dinegara kita pengangkatan anak semakin berkembang karena banyaknya


anak yang terlantar akibat adanya bencana tsunami, bayi yang lahir hidup (life
birth) yang dibuang oleh orang tua/ keluarganya untuk menutupi malu atau aib
keluarga, karena bayi lahir diluar perkawinan sebagai akibat free sex atau kumpul
kebo, atau bayi itu ditinggalkan di rumah sakit, karena yang bersangkutan tidak
mampu mencukupi kebutuhan hidupnya hingga mengakibatkan terlantarnya bayi,
bahkan bisa berakibat kematiannya.
Oleh karena itu pegangkatan anak semakin mencuat akhir-akhir ini
sebagaimana Islam mewajibkan siapa saja yang menemukan bayi terlantar untuk
segera menyelamatkan jiwanya. Pada umumnya dikalangan bangsa-bangsa yang
menganut sistem adopsi, anak angkat mempunyai kedudukan hukum seperti anak
kandung sendiri, hal itu akan berimplikasi terhadap status hukumnya yakni dalam
hak kewarisan. Untuk mengetahui status hukum anak angkat dalam kewarisan maka
penulis mengkaji tentang Hak Waris atas Anak Angkat.

A. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Pengertian Anak Angkat ?
2. Bagaimana Anak Angkat menurut Hukum Positif dan kewarisannya ?
3. Bagaimana Hak yang diperoleh Anak Angkat Dalam Hukum Adat Aceh ?
4. Bagaimana Kedudukan anak angkat menurut Kompilasi Hukum Islam ?

B. Tujuan Pembahasan
1. Untuk mengetahui Pengertian Anak Angkat.
2. Anak Angkat menurut Hukum Positif dan kewarisannya.
3. Hak yang diperoleh Anak Angkat Dalam Hukum Adat Aceh.
4. Kedudukan anak angkat menurut Kompilasi Hukum Islam.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Anak Angkat

Anak yang diadopsi disebut “anak angkat”. Mahmud Syaltut, ahli Fiqh


kontemporer dari Mesir menngemukakan bahwa adopsi ada dua
pengertian. Pertama, mangambil anak orang lain utuk diasuh dan dididik dengan
penuh perhatian dan kasih sayang, tanpa diberikan status anak kandung. Sedang
pengertian kedua, mengambil anak orang lain untuk diberi status sebagai anak
kandung.1 Dalam bahasa Arab adopsi disebut dengan tabanny, yang menurut Prof.
Mahmud Yunus diartikan dengan “mengambil anak angkat”, sedang menurut kamus
Munjid diartikannya sebagai anak.
Menurut ajaran Islam adopsi disebut tabanny. Di zaman jahiliyah sebelum
agama Islam datang masalah tabanny banyak didapatkan dikalangan bangsa Arab.
Bahkan menurut sejarahnya, nabi Muhammad sendiri sebelum menerima
kerasulannya mempunyai anak angkat yang bernama Zaid putra Haritsah dalam
status budak (sahaya) yang dihadiahkan oleh Khadijah bin Khuwailid kepada
Muhammad bin Abdullah. Kemudian anak tersebut dimerdekakan dan diangkat
menjadi anak angkat serta namanya diganti dengan Zaid bin Muhammad. Dihadapan
kaum Quraisy Muhammad pernah mengatakan “Saksikanlah oleh kamu, bahwa Zaid
kuangkat menjadi anak angkatku dan mewarisiku dan aku mewarisinya”.
Setelah Muhammad menjadi Rasul turunlah wahyu yang menegaskan
masalah ini, seperti yang telah disebutkan di atas. Sesudah itu turun pula wahyu yang
menetapkan tentang peraturan waris mewaris yang menentukan bahwa hanya kepada
orang-orang yang ada pertalian sedarah turunan dan perkawinan. Mulai saat itu nama
Zaid bin Muhammad diganti dengan Zaid bin Haritsah.
Dengan demikian yang bertentangan dengan ajaran Islam adalah mengangkat
anak (adopsi) dengan memberikan status yang sama dengan anak kandung sendiri.

1
Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyyah, (Jakarta: Toko Gunung Emas), hlm. 28

2
B. Anak Angkat menurut Hukum Positif dan kewarisannya
Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Pasal 1 ayat 9 memberikan
pengertian bahwa anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan
kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung
jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, ke dalam
lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan
pengadilan.
Kemudian dalam Peraturan Pemerintah No. 54 Th. 2007 Pasal 1 ayat 1
dengan redaksi bahasa yang sama menyebutkan bahwa anak angkat adalah anak yang
haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau
orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan
anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan
keputusan atau penetapan pengadilan.2
Sebagaimana diatur dalam Staatblaad 1917 No. 129, akibat hukum dari
pengangkatan anak adalah anak tersebut secara hukum memperoleh nama dari bapak
angkat, dijadikan sebagai anak yang dilahirkan dari perkawinan orang tua angkat dan
menjadi ahli waris orang tua angkat. Artinya, akibat pengangkatan tersebut maka
terputus segala hubungan perdata, yang berpangkal pada keturunan karena kelahiran,
yaitu antara orang tua kandung dan anak tersebut. Oleh karena itu, anak yang
diadopsi secara sah melalui putusan pengadilan, kedudukannya adalah sama dengan
anak kandung. Sehingga yang bersangkutan berhak mewarisi harta peninggalan
orang tuanya.

C. Hak yang diperoleh Anak Angkat Dalam Hukum Adat Aceh


Status dan hak anak angkat dalam suatu masyarakat, sangat terkait
erat dengan kultur dan struktur sosial suatu masyarakat tersebut. Kultur dan struktur
pada masing-masing masyarakat tentu memberikan status dan peran yang
berbeda pula pada anak angkat. Seorang anak memberikan nilai-nilai
psikologis, sosial dan ekonomis, bahkan religius kepada saudara, orang tua,
keluarga dan warga masyarakat lainnya.
2
R. Soeroso, Perbandingan Hukum Perdata, (Jakarta: Grafindo Persada, 2000), hlm. 197.

3
Satu hal yang penting disikapi adalah penentuan hak kepada anak angkat
yang berasal dari harta benda orang tua angkat. Yurisprudensi Mahkamah Agung
tanggal 18 Maret 1959 No. 37 K/ SIP/1959 menyebutkan bahwa seorang anak angkat
mendapat bagian harta dari orang tua angkat sebanyak sepertiga bagian. Mahkamah
Agung Republik Indonesia dalam pertimbangan hukumnya menyatakan bahwa
pengangkatan anak telah menjadi tradisi dalam masyarakat Indonesia. Disamping itu
telah menjadi tradisi pula bahwa anak angkat selalu berdampingan dengan orang tua
angkat, dan anak angkat telah memberi bantuan baik besar maupun kecil
dalam segala urusan orang tua angkat.
Dalam Masyarakat Aceh, hak anak angkat diperlakukan sama seperti
anak kandung, kecuali harta warisan dan hubungan mahram. Namun
sebahagian dari mereka memandang tidak adil jika anak angkat yang hidup
lama dalam sebuah keluarga tidak mendapat apa-apa jika orang tua angkatnya
meninggal dunia. Umumnya Masyarakat Aceh menyebut Anak angkat yang hidup
dalam sebuah keluarga, dengan sebutan aneuk geutung. Anak angkat tersebut
berhak mendapatkan perhatian dari orang tua angkatnya, tidak hanya terbatas pada
dipenuhinya kebutuhan hidup sehari-hari, tetapi juga dalam hal memperoleh
pendidikan yang layak hingga mereka mandiri dan hidup berkeluarga kelak.
Dalam masyarakat Aceh, jangankan anak angkat yang telah hidup lama
dengan keluarga yang menerimanya, anak yang hadir saja pada saat pembagian harta
warisan akan mendapat bagian harta warisan. Bagian ini dalam hukum adat Aceh
disebut hak raheung.
Dalam hal memberikan bagian harta kepada anak angkat, Masyarakat Aceh,
khususnya di Aceh lebih mengenal pemberian melalui hibah, dari pada lembaga
wasiat. Karena wasiat hanya diberikan kepada meunasah. Anak angkat memperoleh
sebahagian harta dengan hibah. Hibah tersebut diberikan tidak melebihi 1/3 bagian
dari harta peninggalan orang tua angkatnya. Sebagian kecil harta yang dihibahkan
disebut dengan silapeh gafan. Istilah ini juga berfungsi untuk memperhalus tutur
bahasa pada saat hibah dilaksanakan. Wujud dari pemberian hibah tersebut
laksanakan dengan disaksikan oleh kepala gampong (geuchik) dan tokoh adat

4
seperti Tuha Peut.
Pemberian hibah adalah salah satu cara yang dilakukan oleh Masyarakat di
Aceh Barat dalam memberikan bagian harta dari orang tua angkat kepada
anak angkatnya sebagai wujud kasih sayang yang telah terjalin diantara keduanya.
Mereka masih beranggapan bahwa Islam secara jelas menegaskan bahwa hubungan
antara orang tua angkat dengan anak angkat, tidak menyebabkan keduanya
mempunyai hubungan waris mewaris, dengan demikian seorang anak angkat tidak
dapat mewarisi harta orang tua angkatnya. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya,
Motif yang paling menonjol dalam pengangkatan anak di Aceh adalah karena rasa
belas kasihan, untuk mengurus hari tua dan sebagai tanggungan dalam daftar gaji.
Berkaitan dengan masalah tersebut diatas, ada salah seorang anak angkat di
Acehyang menurut keterangannya, Sampai saat ini belum memperoleh bagian harta
dari almarhum orang tua angkatnya, yang telah meninggal dunia akibat musibah
tsunami pada 26 Desember 2004 yang lalu,112 dan Sekarang anak tersebut
telah kembali pada orang tua kandungnya. Dari keterangan tersebut, terlihat jelas
bahwa, Sebagian anak angkat di Aceh, belum menerima pemberian hak dari harta
orang tua angkat Mereka tetap berpegang pada prinsip bahwa tidak saling mewarisi
antara anak angkat dengan orang tua angkat. Persoalan pemberian harta kepada anak
angkat, bisa saja dilakukan tetapi bukan atas nama hak anak angkat, belum lagi ada
ahli waris dari orang tua angkat, yang mempermasalahkan pemberian harta tersebut.
karena tidak ingin ada bagian harta yang jatuh ke tangan orang lain.
Memang Pemberian harta kepada anak angkat, bisa saja melalui institusi
hibah, hadiah atau wasiat. Namun, institusi yang seperti ini agak sulit, karena tidak
mengarah secara pasti hak terhadap anak angkat. Oleh karenanya, Majelis
Permusyawaratan Ulama, sudah semestinya memberikan solusi terhadap praktek
pengangkatan anak yang ada di Aceh, sehingga benar-benar dapat memberikan
jaminan dan perlindungan bagi anak angkat. Dukungan dan perhatian yang besar dari
Majelis Permusyawaratan Ulama terhadap penyusunan peraturan perundang-
undangan di daerah akan sangat berarti dalam menjaga kelangsungan kehidupan anak
angkat yang ada di Aceh.

5
Menurut hukum adat di Indonesia, anak angkat ini ada yang berhak
mendapatkan warisan dan ada pula yang tidak dapat menuntut warisan dari orang tua
angkatnya. Di samping itu pula tergantung pada bentuk upacara pengangkatan anak
tersebut. Makin banyak upacara yang dilakukan, makin besar kemungkinan
mendapat bagian dari orang tua angkat. Masing-masing mempunyai karateristik
tersendiri.
Tidak semua anak angkat berhak mewarisi harta orang tua angkatnya,
sebaliknya terdapat beberapa daerah yang menganggap anak angkat sebagai
anak kandung dengan demikian berhak atas harta orang tua angkatnya. Pada
kenyataannya, fenomena adat masyarakat Aceh yang dikemukakan diatas,
memang tidak bertentangan dengan syariat Islam. Namun pasti akan menjadi
Problema apabila ayah angkat meninggal dunia tanpa sempat menghibahkan hartanya
kepada anak angkat tersebut.

D. Kedudukan anak angkat menurut Kompilasi Hukum Islam


Pengangkatan anak tidak membawa akibat hukum dalam hal hubungan darah,
hubungan wali-mewali dan hubungan waris mewaris dengan orang tua angkat. Ia
tetap menjadi ahli waris dari orang tua kandungnya dan anak tersebut tetap memakai
nama dari ayah kandungnya (M. Budiarto, S.H.,Pengangkatan Anak Ditinjau Dari
Segi hukum, AKAPRESS, 1991). Dengan demikian, anak adopsi tidak mewarisi
harta peninggalan orang tua angkatnya. Untuk melindungi hak dari anak adopsi
tersebut, maka orang tua angkat dapat memberikan wasiat asalkan tidak melebihi 1/3
harta peninggalannya.
Kedudukan anak angkat menurut Kompilasi Hukum Islam adalah tetap
sebagai anak yang sah berdasarkan putusan pengadilan dengan tidak memutuskan
hubungan nasab / darah dengan orang tua kandungnya, dikarenakan prinsip
pengangkatan anak menurut Kompilasi Hukum Islam adalah merupakan manifestasi
keimanan yang membawa misi kemanusiaan yang terwujud dalam bentuk
memelihara orang lain sebagai anak dan bersifat pengasuhan anak dengan

6
memelihara dalam pertumbuhan dan perkembangannya dengan mencukupi segala
kebutuhannya.
KHI tidak mengakui adanya kedudukan anak angkat terhadap harta warisan
dari orang tua angkat. Artinya anak angkat tidak berhak atas harta warisan orang tua
angkat. Akan tetapi, dalam pasal 209 KHI menjelaskan bahwa keberadaan anak
angkat mempunyai hak wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan
orang tua angkat.
Ketentuan Hukum Islam, yakni :
a. Tidak memutuskan hubungan darah antara anak angkat dengan orang tua
kandung.
b. Anak angkat tidak berkedudukan sebagai pewaris dari orang tua angkat,
melainkan tetap sebagai pewaris dari orang tua kandungnya.
c. Orang tua angkat tidak dapat bertindak sebagai wali nikah dalam
perkawinan terhadap anak angkatnya.

7
BAB III
PENUTUP
A. kesimpulan
Anak yang diadopsi disebut “anak angkat”. Mahmud Syaltut, ahli Fiqh
kontemporer dari Mesir menngemukakan bahwa adopsi ada dua
pengertian. Pertama, mangambil anak orang lain utuk diasuh dan dididik dengan
penuh perhatian dan kasih sayang, tanpa diberikan status anak kandung. Sedang
pengertian kedua, mengambil anak orang lain untuk diberi status sebagai anak
kandung.
Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Pasal 1 ayat 9 memberikan
pengertian bahwa anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan
kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung
jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, ke dalam
lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan
pengadilan.
KHI tidak mengakui adanya kedudukan anak angkat terhadap harta warisan
dari orang tua angkat. Artinya anak angkat tidak berhak atas harta warisan orang tua
angkat. Akan tetapi, dalam pasal 209 KHI menjelaskan bahwa keberadaan anak
angkat mempunyai hak wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan
orang tua angkat.
B. Saran
Demikianlah penulisan makalah ini semoga kiranya bermanfaat bagi kita
semua. Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih banyak kekurangan
dan kesilapan, maka kritikan dan saran yang sifatnya membangun sangat penulis
harapkan guna untuk kemajuan penulisan-penulisan yang akan dating.

8
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Ghofar, Asyari, 2003, pandangan islam tentang zina dan perkawinan
sesudah hamil, Andes Utama, Jakarta.
Abu Zahra, Muhammad. Tanpa tahun, ushul al-fiqh, Dar al fikr, Beirut.

Anda mungkin juga menyukai