Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH HUKUM ADAT

ASAS POKOK HUKUM ADAT 1 (HUKUM PERORANGAN)

Dosen Pembimbing:

Soni Zakaria, S.Sy., S.H

Disusun oleh:

Khaerul Fahmi 201510020311035

Eva Rusdiana Dewi 201710020311064

Iis Muala Wati 201710020311071

Hanee Mad-Adam 201710020311075

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS AGAMA ISLAM

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

2019
BAB I
PENDAHULUAN

Hukum adalah ilmu yang sangat menarik, namun pada pelaksanaannya sering di
jumpai kejanggalan,dan perbedaan dalam penafsiran, di indonesia begitu banyak
peraturan/undang-undang yang diciptakan. Hukum Nasional Sebagai Hasil
Pengembangan Hukum Adat, untuk terwujudnya hukum nasional dengan mengangkat
hukum rakyat yaitu hukum adat menjadi hukum nasional terlihat pada naskah sumpah
pemuda pada tahun 1928 bahwa hukum adat layak diangkat menjadi hukum nasional
yang modern 1.
Hukum Perdata adalah hukum yang mengatur kepentingan perorangan yang satu
dengan yang lainnya dalam pergaulan masyarakat, yang memberikan batasan – batasan
dan oleh karenanya memberikan perlindungan pada kepentingan perorangan dalam
perbandingan yang tepat antara kepentingan yang satu dengan kepentingan yang lain
dalam masyarakat tertentu, terutama hubungan keluarga dan hubungan lalu lintas
hukum privat 2.
Hukum Perorangan, adalah keseluruhan kaedah hukum yang mengatur kedudukan
manusia sebagai subjek hukum dan wewenang untuk memperoleh, memiliki, dan
mempergunakan hak – hak dan kewajiban ke dalam lalu lintas hukum serta kecakapan
untuk bertindak sendiri melaksanakan hak-haknya, juga hal – hal yang mempengaruhi
kedudukan subjek hukum. Dalam artian sempit hukum perorangan dapat diartikan
sebagai hukum orang yang hanya ketentuan orang sebagai subjek hokum. Dan dalam
artian yang luas Hukum orang tidak hanya ketentuan orang sebagai subjek hukum tetapi
juga termasuk aturan hukum keluarga.
Oleh karena pentingnya hukum perorangan dalam keberlangsungan hidup
masyarakat adat. Maka kami dalam makalah ini akan membahas mengenai “Asas Pokok
Hukum Adat yang Berkenaan dengan Hukum Perorangan”. Adapun garis besar
pembahasannya adalah mengenai “Hukum Kekeluargaan dan Hukum Perkawinan
Adat”.

1
Soepomo, Bab – Bab Tentang Hokum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta, 1996, Hlm : 45
2
Prof.Subekti,SH, "Pokok-pokok Hukum Perdata" PT. Intermasa, Jakarta, 2003, Hlm : 25
BAB II
PEMBAHASAN

A. Hukum Kekeluargaan.
1. Hal Keturunan.
Maksudnya adalah ketunggalan leluhur, artinya terdapat hubungan darah
antara orang seseorang dengan orang lain, dua orang atau yang lebih
memiliki hubungan darah. Jadi yang disini adalah keturunan yang seorang
dari yang lain. hubungan kekeluargaan ini merupakan faktor yang sangat
penting di kemudian hari dalam hal-hal berikut:
a) Masalah perkawinan yaitu untuk menyakinkan apakah terdapat
hubungan kekeluargaan yang merupakan larangan untuk menjadi suami
istri,misalnya terlalu dekat, adik kakak, sekandung dll.
b) Masalah waris dalam hal ini hubungan kekeluargaan merupakan dasar
harta peninggalan.3

2. Hubungan Anak dan Orang Tua.


Hubungan anak dan orang tua merupakan hal yang penting dalam hukum
kekeluargaan.yaitu sebegai penerus generasi, sebagai pusat harapan
orangtuanya di kemudian hari apabila orang tuanya tidak mampu secara fisik
ataupun orang tuanya tidak mampu bekerja lagi.
Oleh karena itu, dalam masyarakat apabila anak masih dalam kandungan
maka diadakanlah upacara adat yang sifatnya religio-magis serta
penyelenggaranya dilakukan dengan cara yang berurutan mengikuti
perkembangan fisik anak yang itu dilakukan bertujuan untuk melindungi
anak dan ibunya dari berbagai macam bahaya dan gangguan-gangguan
apabila anak tersebut dilahirkan.
Akan tetapi, tidak semua lahir dalam keadaan normal seperti diatas.
Adakalnya tidak berjalan dengan normal.4

3. Prof.Subekti,SH, "Pokok-pokok Hukum Perdata" PT. Intermasa, Jakarta, 2003, Hlm : 25


4.Dewi Sulastri,Pengantar Hukum Adat,op.cit.h.123.
a) Anak Lahir Diluar Perkawinan
Hubungan anak lahir diluar perkawinan dengan wanita melahirkannya
maupun dan pria yang bersangkutan dengan tersebut,tidak selalu sama di
setiap daerah.
b) Anak Lahir Karena Zina.
Anak zina adalah anak yang dilahirkan dari hubungan antara wanita dan
pria yang bukan suaminya.
c) Anak lahir setelah perceraian.
Anak yang dilahirkan setelah berceraia, menurut adat ialah anak dari
suami wanita yang melahirkan itu, apabila kelahirannya itu terjadi batas-
batas waktu mengandung.

3. Hubungan Anak dengan Keluarganya.


Pada umumnya anak dan keluarganya tergantung dari keadaan sosial
dalam masyarakat yang bersangkutan dan lebih khusus lagi tergantung dari
sistem persekutuannya.seperti diketahui di Indonesia terdapat persekutuan-
persekutuan adat yang susunannya berdasarkan tiga macam garis keturunan,
yaitu garis keturunan, yaitu garis keturunan ibu, garis keturunan bapak, dan
garis keturunan bapak dan ibu.
Maksudnya dalam garis keturunan bapak dan ibu (birateral),
hubungan anak dan pihak bapak dengan ibu sama eratnya,derajatnya ataupun
pentingnya. Lain halnya dalam garis keturunan unirateral (patrilineal atau
matrilineal) adalah tidak sama eratnya,derajatnya ataupun pentingnya.

4. Memelihara Anak Yatim Piatu


Apabila dalam suatu keluarga, salah satu dari orang tuanya bapak atau
ibunya sudah tidak ada lagi, maka anak-anak yang belum dewasa dipelihara
oleh salah satu orang tuanya yang masih hidup.
Jika kedua orang tuanya tidak ada, maka yang memelihara anak-anak
yang ditinggalkan adalah salah satu dari kelurga yang terdekat dan yang
paling memungkinkan untuk keperluan itu. Dalam keadaan demikian
biasanya tergantung pada anak diasuh dimana pada waktu ibu dan bapaknya
masih ada, kalau biasanya diasuh dikeluarga ibu, maka anak akan diasuh
oleh keluarga ibu dan sebaliknya.
Dalam keluarga matrilineal, jika bapaknya meninggal dunia, maka
ibunya meneruskan kekuasannya terhadap anak-anak yang belum dewasa.
Jika ibunya yang meninggal dunia, maka anak-anak yang belum dewasa
berada pada kerabat ibunya serta dipelihara terus oleh kerabat ibunya yang
bersangkutan, sedangkan hubungan antara anak dengan bapaknya dapat terus
dipelihara.
Dalam keluarga yang patrilineal jika bapaknya meninggal dunia, maka
ibunya terus memelihara anak-anak yang belum dewasa, jika ibunya
meninggalkan rumah dan pulang kerumah lingkungan keluarganya atau
kawin lagi, maka anak-anak tetap pada kekuasaan keluarga almarhum
suaminya.
Ketentuan-ketentuan tersebut di atas, makin hari atau lambat laun
mengalami perubahan dan penyimpangan-penyimpangan menyesuaikan
dengan perkembangan masyarakat dan cara berfikir masyarakat yang
modern.

5. Mengangkat Anak (Adopsi)


Mengangkat anak (adopsi) adalah suatu perbuatan pengambilan anak
orang lain ke dalam keluarga sendiri sehingga timbul suatu hubungan
kekeluargaan yang sama seperti yang ada antara orang tua dengan anak
kandung sendiri. Dilihat dari sudut anak yang dipungut, maka dapat
dibedakan beberapa macam, sebagai berikut:
a) Mengangkat Anak bukan Warga Keluarga
Lazimnya tindakan ini disertai dengan penyerahan barang-barang
magis atau sejumlah uang kepada keluarga anak semula. Alasan adopsi
pada umumnya takut tidak ada keturunan. Kedudukan hukum anak
adopsi ini adalah sama dengan anak kandung suami istri yang
mengangkatnya, sedangkan kekeluargaan dengan orang tua sendiri
secara adat menjadi putus.
Adopsi harus terang artinya wajib dilakukan dengan upacara adat
serta dengan bantuan kepala adat. Hal demikian terdapat di daerah Gayo,
Lampung, Pulau Nias dan Kalimantan.
b) Mengangkat Anak dari Kalangan Keluarga
Alasan mengadopsi anak ini sama dengan yang di atas, yaitu
karena takut tidak mempunyai keturunan.
Di Bali perbuatan ini disebut nyentanayang, adapun dalam
keluarga dengan selir-selir, maka apabila isterinya tidak mepunyai anak,
biasanya anak-anak dari selir-selir itu diangkat untuk dijadikan anak
istrinya.
Prosedur pengambilan anak di Bali sebagai berikut:
1) Wajib membicarakan kehendak untuk mengangkat anak dengan
keluarganya secara matang Dilakukan sesuai dengan adat yaitu
dengan jalan membakar benang yang melangbangkan hubungan
anak dengan keluarganya putus
2) Memasukkan anak tersebut dalam hubungan kekeluargaan yang
memungut, istilahnya diperas.
3) Pengumuman kepada warga, pada zaman kerajaan dahulu
dibutuhkan surat izin raja terkait dengan adopsi ini yang
berupa surat peras (akta).
c) Mengangkat Anak dari Kalangan Keponakan-Keponakan
Perbuatan ini terdapat di Jawa, Sulawesi dan beberapa daerah
lain. Sebab pengankatan keponakan sebagai anak karena;
1) Tidak punya anak sendiri
2) Belum dikaruniai anak
3) Terdorong oleh rasa kasihan
Sesungguhnya perbuatan ini merupakan pergeseran
kekeluargaan dalam lingkungan keluarga. Lazimnya ini tidak disertai
dengan pembayaran atau penyerahan barang. Tetapi di Jawa Timur
sekedar sebagai tanda bahwa hubungan anak dengan orang tuanya
terputus (pedot), orang tua kadung anak tersebut diberi uang
sejunlah rongwang segobang (=17 ½ sen ) sebagai syarat. Sedangkan di
Minahasa diberi tanda yang disebut parade sebagai pengakuan.
Selain itu dikenal juga dengan istilah pemungutan anak yang
maksud serta tujuannya buakn semata karena untuk memperoleh
keturunan melainkan lebih untuk memberikan kedudukan hukum
kepada anak yang dipungut agar lebih baik dan menguntungkan dari
semula. Misalnya mengangkat anak laki-laki dari selir (Lampung, Bali)
dan mengangkat anak tiri menjadi anak sendiri.
Perlu ditegaskan, bahwa nak yang diangkat itu pada umumnya
mereka yang belum kawin dan kebanyakan anak yang belum dewasa.
Sedangkan yang mengangkat biasanya orang yang sudah menikah serta
yang berumur jauh lebih tua dari pada anak angkatnya, sehingga anak
tersebut memang pantas diangkat menjadi anaknya.
Mungkinkah adopsi dicabut atau digugurkan? Adopsi pada
asasnya dapat digugurkan atau dicabut dalam hal-hal yang dapat juga
menjadi alasan untuk membuang anak kandung sendiri dari lingkungan
keluarga.

B. Hukum Perkawinan Adat


1. Arti Perkawinan dalam Hukum Perkawinan Adat
Perkawinan adalah salah suatu peristiwa yang sangat penting dalam
penghidupan masyarakat, sebab pekawinan itu tidak hanya mengangkut
wanita dan pria bakal mempelai saja, tetapi juga orang tua kedua belah pihak ,
saudara-saudaranya , bahkan keluarga-keluarga mereka masing-masing.
Malahan dalam hukum adat perkawinan itu bukan hanya merupakan
peristiwa penting bagi mereka yang masih hidup saja, tetapi perkawinan juga
merupakan peristiwa yang sangat berarti sarta yang sepenuhnya mendapat
perhatian dan diikuti oleh arwah-arwah para leluhur kedua pihak. Dan dari
arwah-arwah inilah kedua belah pihak beserta seluruh keluarganya
mengharapkan juga restunya bagi mempelai berdua, hingga mereka ini
setelah nikah selanjutnya dapat hidup rukun bahagia sebagai suami-istri
sampai “kaken-kaken ninen-ninen” (istilah jawa yang artinya sampai sang
suami menjadi kaki-kaki dan sang isteri menjadi nini-nini yang bercucu-
cicit).
Oleh karena perkawinan mempunyai arti yang demikian pentingnya,
maka pelaksanaannya senantiasa dimulai dan seterusnya disertai dengan
berbagai-bagai upacara lengkap dengan “sesajen-sejajennya”. Ini semua
barangkali dapat dinamakan takhayul , tetapi ternyata sampai sekarang hal-
hal itu masih sangat meresap pada kepercayaan sebagian besar rakyat
Indonesia dan oleh karenanya juga masih tetap dilakukan di mana-mana.

Professor Hazairin dalam bukunya “Rejang” mengemukakan peristiwa


perkawinan itu sebagai tiga buah rentetan perbuatan-perbuatan magis yang
bertujuan menjamin ketenangan (koelte) , kebahagiaan (welvaart) dan
kesuburan (vruchtbaarheid).

2. Pertunangan dalam Hukum Perkawinan Adat


Pertunangan adalah merupakan suatu stadium (keadaan) yang bersifat
khusus yang di Indonesia ini biasanya mendahului dilangsungkannya suatu
perkawinan. Stadium pertunangan ini timbul setelah ada persetujuan antara
kedua belah pihak (pihak keluarga bakal suami dan pihak keluarga bakal istri)
untuk mengadakan perkawinan. Dan persetujuan ini dicapai oleh kedua belah
pihak setelah lebih dahulu ada suatu lamaran,yaitu suatu permintaan atau
pertimbangan yang dikemukakan oleh pihak laki-laki kepada pihak
perempuan.

Lamaran ataupun meminang demikian ini , lazimnya dilakukan oleh


seorang utusan, duta yang mewakili keluarga pihak laki-laki. Pada umumnya
yang ditugaskan sebagai duta untuk mengadakan pembicaraan yang pertama
kalinya dengan keluarga pihak perempuan itu adalah anggota keluarga yang
dekat serta biasanya yang sudah berumur. (Sekarang banyak pula yang
dilakukan oleh orang tua kedua belah pihak sendiri).

Pada zaman sekarang sebagai tanda pengikat pada masa pertunangan ini
lazimnya digunakan cincin serta diberikan juga timbal-balik oleh kedua belah
pihak. Dengan saling memberikan juga cincin sebagai tanda pengikat yang
kelihatan ini , maka timbul kemudian kebiasaan diadakannya upacara
“pertukaran cincin” sebagai saat dimulainya secara resmi stadium
pertunangan.

Dasar alasan pertunangan ini adalah tidak sama di semua daerah ;


lazimnya adalah : Karena ingin menjamin perkawinan yang dikehendaki itu
dapat sudah dilangsungkan dalam waktu dekat; sekedar untuk membatasi
pergaulan kedua belah pihak yang telah diikat oleh pertunangan itu,
khususnya di daerah-daerah yang ada pergaulan sangat bebas antara muda-
mudi; memberi kesempatan kepada kedua belah pihak untuk saling lebih
mengenal, sehingga mereka kelak sebagai suami-istri dapat diharapkan
menjadi suatu pasangan yang harmonis.

3. Bentuk-Bentuk Perkawinan Adat


Adanya perbedaan bentuk perkawinan adat, disebabkan karena adanya
perbedaan sistem kekerabatan atau sistem keturunan yang dianut oleh
masing-masing masyarakat adat di Indonesia. Berikut ini uraian bentuk-
bentuk hukum perkawinan adat di Indonesia, antara lain:
a. Bentuk Perkawinan Jujur (bridge-gif marriage)
Kawin jujur merupakan bentuk perkawinan di mana pihak laki-
laki memberikan jujur kepada pihak perempuan. Benda yang dapat
dijadikan sebagai jujur biasanya benda-benda yang memiliki magis.
Pemberian jujur diwajibkan adalah untuk mengembalikan keseimbangan
magis yang semula menjadi goyah, oleh karena terjadinya kekosongan
pada keluarga perempuan yang telah pergi karena menikah tersebut.
Perkawinan jujur di jumpai pada masyarakat Patrineal. Ciri-ciri
perkawinan jujur adalah patrilokal, artinya isteri bertempat tinggal di
kediaman suami atau keluarga suami. Di samping itu perkawinan jenis
ini bersifat exogami yaitu larangan untuk menikah dengan warga yang
se-clan atau se-marga.
Dalam perkembangannya, bentuk hukum perkawinan ini tumbuh
bervariasi, menurut kepentingan kekerabatan yang bersangkutan. Ada
istilah perkawinan mengabdi dalam perkembangan perkawinan jujur. Hal
ini terjadi karena ketika diadakan pembicaraan lamaran, pihak laki-laki
tidak dapat memenuhi syarat-syarat permintaan dari pihak perempuan.
Selain itu, variasi bentuk perkawinan jujur antara lain: perkawinan ganti
suami, perkawinan ganti istri, perkawinan ambil beri, dan perkawinan
ambil anak.
b. Bentuk perkawinan semenda (suitor service marriage)
Perkawinan semenda pada hakikatnya bersifat matrilokal dan
exogami. Matrilokal berarti bahwa isteri tidak berkewajiban untuk
bertempat tinggal di kediaman suami. Dalam perkawinan ini biasa
dijumpai dalam keadaan darurat, di mana perempuan sulit mendapatkan
jodoh atau karena laki- laki tidak mampu untuk memberikan jujur.
Seperti halnya perkawinan jujur, perkawinan semenda juga
memiliki beragam variasi, diantaranya ada semenda nunggu yang
merupakan perkawinan semenda namun hanya bersifat sementara. Ada
juga semenda ngangkit dan masih ada lagi lainnya.
c. Bentuk perkawinan bebas (exchange marriage)
Dalam bentuk kawin bebas tidak menentukan secara tegas
dimana suami atau isteri akan tinggal, hal ini tergantung pada keinginan
masing-masing pihak. Bentuk kawin bebas ini bersifat endogami, artinya
suatu anjuran untuk kawin dengan warga kelompok kerabat sendiri.

4. Larangan Perkawinan dalam Hukum Perkawinan Adat


Segala sesuatu yang dapat menyebabkan perkawinan tidak dapat
dilaksanakan karena tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dikehendaki
oleh hukum adat atau larangan agama yang telah masuk menjadi ketentuan
hukum adat merupakan larangan perkawinan dalam hukum adat. Diantaranya
adalah:
a. Hubungan Kekerabatan
Larangan ini salah satunya ada dalam hukum adat Batak yang bersifat
asymmetrish connubium, yakni dilarangnya terjadi perkawinan antara
laki-laki dengan perempuan yang satu marga.
b. Perbedaan Kedudukan
Larangan ini salah satunya ada dalam hukum adat Minagkabau, seorang
perempuan dari golongan penghulu dilarang kawin dengan laki-laki yang
tergolong “kemenakan di bawah lutur”. Di Bali, karena pengaruh ajaran
agama Hindu, seorang laki-laki dari keturunan “triwarna” atau
“triwangsa” (Brahmana, Ksatria, dan Weisha) dilarang kawin dengan
perempuan dari keturunan “Sudra” atau orang-orang kebanyakan (biasa)
c. Perbedaan Agama
Larangan ini salah satunya ada dalam hukum adat Lampung. Setiap warga
adat harus beragama Islam. Oleh karena itu, laki-laki dan perempuan yang
beragama lain, harus terlebih dahulu memasuki agama Islam.

5. Adat Pelamaran, Acara, dan Upacara Perkawinan dalam Hukum


Pekawinan Adat
Adat pelamaran dalam hukum adat adalah tata cara melakukan
pelamaran sebelum berlangsungnya acara perkawinan secara hukum adat.
Cara melamar di berbagai daerah di Indonesia, biasanya dilakukan terlebih
dahulu oleh pihak yang akan melamar dengan mengirimkan utusan atau
perantara perempuan/laki-laki yang berkunjung kepada pihak yang dilamar
untuk melakukan penjajakan. Setelah itu, barulah pelamaran secara resmi
dilakukan oleh keluarga pihak laki-laki.

Mengenai acara dan upacara perkawinan dalam hukum perkawinan adat


di berbagai daerah di Indonesia dalam penyelengaraannya tidaklah sama.
Terdapat perbedaan adat istiadat atau pengaruh agama dalam pelaksanaan
adat perkawinan. Pelaksanaanya juga berbeda , ada yang sederhana dan yang
benar-benaran tergantung kondisi keuangan dan status sosial mereka.

Pada umumnya acara dan upacara perkawinan dalam hukum perkawinan


adat telah diresapi hukum perkawinan berdasarkan ketentuan agama. Bagi
mereka yang melaksanakan perkawinan menurut agama Islam , maka mereka
melakukan “ijab-qabul” antara bapak/wali mempelai perempuan dengan
mempelai laki-laki seraya disaksikan oleh dua orang saksi, dalam suatu
majlis. Bagi mereka yang beragam Kristen/Katolik , mempelai laki-laki dan
perempuan mengucapkan perjanjian perkawinannya di hadapan pendeta atau
pastur yang memberkali mereka di Gereja.

Bagi mereka yang beragama Budha, mempelai laki-laki atau perempuan


mengucapkan perjanjian mereka di Vihara di depan altar suci Sang
Budha/Bodisatwa dan diberkati oleh pendeta yang disebut “Khikkuhu” atau
‘Bhikkuni”, atau “Sumanera” atau “Sumantri”. Bagi mereka yang melakukan
perkawinan menurut agama Hindu kedua mempelai laki-laki dan perempuan
melakukan upacara pemberkatan yang disebut “Mejaya-jaya” oleh Brahmana.

Sedangkan bagi mereka yang akan melakukan perkawinan campuran


dikarenakan perbedaan agama, hendaknya salah satu mengalah dan
melepaskan agama yang dianutnya, sehingga perkawinan dilakukan menurut
tata cara satu agama saja. Acara pelaksanaan perkawinan yang hanya
dilakukan di Kantor Catatan Sipil atau melakukan perkawinan ganda menurut
agama masing-masing adalah tidak sah.

Kebanyakan di kalangan masyarakat, masyarakat tidak hanya cukup


dilaksanakan menurut ketentuan agama mereka masing-masing, melainkan
dilengkapi pula dengan pelaksanaan upacara-upacara adat, baik dalam bentuk
yang sederhana maupun dalam bentuk pesta besar. Mengenai pelaksanaan
upacara-upacara adat ini dapat berlaku sejak dilakukannya lamaran, ketika
perkawinan dilaksanakan, dan beberapa waktu sesudahnya.

Rangkaian upacara perkawinan adat yang diselenggarakan secara besar-


besaran dapat meliputi berbagai kegiatan adat yang diatur dan dilaksanakan
oleh suatu panitia khusus yang terdiri dari tua-tua adat, kaum ibu, kaum
kerabat, muda-mudi dan sebagainya, yaitu sebagai berikut :

• Upacara membawa tanda lamaran dari pihak laki-laki kepada pihak


perempuan.
• Upacara perkenalan calon mempelai dan keluarga/kerabat pihak calon
besan.
• Upacara peresmian mengikat tali pertunangan kedua calon mempelai.
• Upacara melepas dan mengantar atau menjemput mempelai dan
menerima atau menyambut mempelai.
• Upacara pelaksanaan perkawinan menurut hukum agama , dan
dilanjutkan dengan upacara perkawinan adat.
• Upacara pemberian gelar-gelar mempelai laki-laki dan perempuan
serta penetapan kedudukan adat keduanya serta keluarga orang
tuanya.
• Upacara makan bersama antara kedua kerabat besan dan para
undangan.
• Upacara kunjungan keluarga kedua mempelai ketempat-orang tua,
kerabat dan tetangga.
A.van Gennep, seorang ahli sosiologi Perancis menamakan semua
upacara-upacara perkawinan adat dengan sebutan “rites de passage” (upacara-
upacara peralihan). Upacara-upacara peralihan yang melambangkan peralihan
atau perubahan status dari mempelai berdua : dari tadinya hidup terpisah,
setelah melampaui upacara-upacara dimaksud menjadi hidup bersatu dalam
suatu kehidupan bersama sebagai suami-istri : semula mereka masing-masing
merupakan seorang warga keluarga orang tua mereka masing-masing, setelah
melampaui upacara-upacara yang bersangkutan mereka berdua merupakan
keluarga sendiri , suatu keluarga baru yang berdiri sendiri dan mereka pimpin
sendiri.
“Rites de passage” ini menurut A.van Gennep terdiri atas tiga stadia,
yaitu :
a. rites de separation (upacara perbisahan dari status semula).
b. rites de marge (upacara perjalanan ke status yang baru).
c. rites d’aggregation (upacara pemerimaan dalam status yang baru).
Tiap-tiap stadia ini dalam kenyataannya sudah merupakan rangkaian
upacara-upacara tersendiri.
Hubungan suami istri setelah perkawinan bukanlah merupakan suatu
hubungan perikatan yang berdasarkan perjanjian atau kontrak, tetapi
merupakan suatu paguyuban. Paguyuban ini oleh professor Djojodiguno
disebut paguyuban hidup yang menjadi pokok ajang hidup suami-istri
selanjutnya besert anak-anaknya. Paguyuban hidup tersebut lazimnya disebut
somah (istilah Jawa yang artinya keluarga) dan dalam somah itu hubungan
antara suami dan istri itu adalah sedemikian rupa rapatnya, sehingga dalam
pandangan orang Jawa mereka berdua itu merupakan satun ketunggalan.
Bahwa setelah perkawinan suami-istri itu merupakan satu ketunggalan
adalah terbukti antara lain karena :
• Menurut adat kebiasaan yang belum hilang sama sekali kedua
mempelai itu pada saat perkawinan melepaskan nama yang mereka
masing-masing pakai hingga saat itu (nama kecil) serta kemudian
memperoleh nama baru (nama tua) yang selanjutnya mereka pakai
bersama.Kalau Sarimin kawin dengan Tukinem, maka sesudah kawin
diganti nama mereka dengan : misalkan Kromorejo : mulai saat itu
Sarimin dipanggil “pak kromorejo” dan Tukinem dipanggil “mbok
kromojero”. Pada zaman sekarang suami istri pun masih bertunggal
nama, yaitu mereka berdua memakai nama sang suami selaku nama
mereka bersama. Kebiasaan baru ini barangkali timbul karena
pengaruh Barat (baca Belanda).
• Sebutan yang dipakai untuk menggambarkan hubungan suami
istri,yaitu “garwa”(jawa). Istilah ini berasal dari kata-kata “sigaraning
nyawa”(artinya adalah belahan jiwa). Jadi jelas dari sesebutan tersebut
di atas, nyata sekali pendangan orang jawa bahwa suami istri itu
merupakan satu ketunggalan.
• Adanya ketunggalan harta-benda dalam perkawinan yang disebut
“harta-gini”
BAB III
PENUTUP

Hukum adat adalah sistem hukum yang dikenal dalam lingkungan kehidupan
sosial di Indonesia dan negara-negara Asia lainnya seperti Jepang, India, dan Tiongkok.
Sumbernya adalah peraturan-peraturan hukum tidak tertulis yang tumbuh dan
berkembang dan dipertahankan dengan kesadaran hukum masyarakatnya. Karena
peraturan-peraturan ini tidak tertulis dan tumbuh kembang, maka hukum adat memiliki
kemampuan menyesuaikan diri dan elastis.
Keberadaan hukum adat tidak pernah akan mundur atau tergeser dari percaturan
politik dalam membangun hukum nasional, hal terlihat dari terwujudnya kedalam
hukum nasional yaitu dengan mengangkat hukum rakyat/hukum adat menjadi hukum
nasional terlihat pada naskah sumpah pemuda pada tahun 1928 bahwa hukum adat
layak diangkat menjadi hukum nasional yang modern. Akan tetapi sebaiknya hukum
adat yang dijadikan hukum nasional difilter terlebih dahulu. Semua itu bertujuan untuk
memelihara agama, akal, nyawa, harta, dan keturunan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Bushar, Muhammad, Asas-asas Hukum Adat (suatu pengantar) cetakan ke-2.


Jakarta: Pradnya Paramita, 1976.
2. Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta: PT. Intermasa, 2003.
3. Soepomo, Bab–Bab tentang Hukum Adat, Jakarta: Pradnya Paramita, 1996.
4. Ter Haar, B, Asas–asas dan Susunan Hukum Adat, Jakarta: PT. Pradnya Paramita,
2001.
5. Wignyodipuro, Suroyo, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Jakarta: Masagung,
1987.
6. Wulansari, Dewi, Hukum Adat Indonesia: Suatu Pengantar. Bandung: Refika
Aditama. 2016.

Anda mungkin juga menyukai