Anda di halaman 1dari 3

Marliani Putri

2174201046

1.Corak hukum adat di Indonesia menurut Prof. F. D. Holleman yakni :


* Tradisional.
* Magis Religius (Magisch-Religieus).
* Komunal (Kebersamaan).
* Konkret dan visual.
* Tidak dikodifikasi.
* Terbuka dan sederhana.
* Dapat berubah dan menyesuaikan diri.
* Musyawarah dan mufakat.
Penjelasan
* Tradisional
Hukum adat yang diwariskan secara turun-temurun sejak dahulu melalui keturunan dan
eksistensinya tetap dipertahankan ke generasi selanjutnya.
* Magis Religius (Magisch-Religieus)
Sifat ini merupakan sifat yang diwarisi pada pola pikir masyarakat adat yang membentuk
suatu keyakinan bahwa sesuatu yang menyangkut dengan Agama bersifat sakral.
Sebelum masyarakat hukum adat mengenal Agama, sifat religius tersebut dimulai dari cara
berpikir yang tidak logis, yaitu animisme dan kepercayaan pada hal-hal yang bersifat gaib,
benda-benda yang memiliki daya gerak (dinamisme), dan ada juga roh-roh halus yang
mengawasi kehidupan manusia karena ada yang menciptakan, yaitu Tuhan Yang Maha
Pencipta.
* Komunal (Kebersamaan)
Hubungan yang terjadi diantara anggota masyarakat yang satu dan yang lain didasarkan
oleh rasa kebersamaan, kekeluargaan, tolong menolong, dan gotong royong. Kepentingan
bersama selalu di atas kepentingan individu.
* Konkret dan visual
Konkret berarti jelas, nyata, berwujud, dan ada secara visual yang berarti dapat terlihat,
tampak, terbuka, tidak tersembunyi.
* Terbuka dan sederhana
Terbuka dalam artian menerima masuknya unsur-unsur asing sepanjang tidak bertentangan
dengan hukum adat tersebut. Sederhana dapat diartikan tidak bertele-tele dan mudah dalam
pewujudannya.
* Tidak dikodifikasi
Hukum adat bukanlah Undang-undang atau kitab, jadi tidak perlu dibukukan.
* Dapat berubah dan menyesuaikan diri
Hukum adat yang ada pada zaman sekarang dapatlah berubah karena situasi dan kondisi
yang berbeda antara zaman dahulu dan sekarang. Jadi, hukum adat dapat berubah seiring
dengan majunya zaman.
* Musyawarah dan Mufakat
Musyawarah dan mufakat bertujuan untuk menyelesaikan beberapa konflik yang terjadi
dalam masyarakat adat. Biasanya ini dipimpin oleh tetua atau yang dikepalai di suatu
daerah tersebut.
2.Sistem kekerabatan dalam hukum adat mengatur tentang kedudukan seseorang sebagai
anggota kerabat, kedudukan anak terhadap orangtua dan sebaliknya, serta kedudukan anak
terhadap kerabat yang berdasarkan pada pertalian darah ( keturunan.)

3.1. Sistem Endogami: yaitu seorang hanya dibenarkan mengadakan perkawinan dengan
seseorang dalam suku sendiri. Sistem perkawinan ini sudah jarang terjadi.
2. Sistem Eksogami: yaitu perkawinan dengan seseorang yang berlainan suku atau
suku yang lain.
3. Sistem Eleutherogami: yaitu sistem ini tidak mengenal larangan-larangan atau
keharusan-keharusan. Laranga-larangan dalam sistem ini adalah yang bertalian dengan
ikatan kekeluargaan yaitu:
o Nasab (samadengan turunan yang dekat) seperti kawin dengan ibu, nenek, anak
kandung, cucu, saudara kandung, saudara bapak atau ibu.
o Musyahara (samadengan periparan) yaitu kawin dengan ibu tiri, menantu, mertua,
anak tiri, dll.

4.Dalam hukum waris adat, anak angkat menerima hak-hak dan kewajiban sebagai ahli
waris layaknya anak kandung baik materiil maupun immaterial. Suroyo Wingnjodipuro
menyebutkan bahwa adopsi dalam hal ini harus terang, artinya wajib dilakukan dengan
upacara adat serta dengan bantuan kepala adat. Kedudukan hukum anak yang diangkat
demikian ini adalah sama dengan anak kandung daripada suami isteri yang
mengangkatnya, sedangkan hubungan kekeluargaan dengan orang tua sendiri secara adat
menjadi putus, seperti yang terdapat di daerah Gayo, Lampung, Pulau Nias, dan
Kalimantan.

5.Hal ini nampak misalkan dalam gugatan perdata pelanggaran hukum adat “Pualaeu
Manleu” di Babaki Timur Timor. Yaitu kasus dimana seorang pemuda di Amanuban Barat,
Kabupaten Kefamenanu menjalin hubungan cinta dengan seorang gadis di Kecamatan
Biboki, Timor Timur. Ketika bertemu, si pemuda meminta hubungan seks dengan janji akan
segera mengawininya. Karena janji tersebut, si gadis lalu bersedia untuk digauli karena ia
percaya akan dijadikan istrinya. Ketika si gadis hamil dan menuntut untuk segera dikawini, si
pemuda menolak dengan berbagai alasan. Orangtua si gadis menghubungi orangtua
pemuda untuk bermusyawarah menyelesaikan permasalahan kehamilan. Namun, pada
waktu hari musyawarah yang ditentukan yang dihadiri oleh Kepala Desa dan Kepala
Kecamatan, pemuda dan orangtuanya tidak datang. Keluarga si gadis mengajukan gugatan
perdata pelanggaran hukum adat “Pualaeu Manleu” dan meminta hakim menjatuhkan sanksi
adat. “Pualaeu Manleu” adalah suatu acara dimana dibicarakan tentang besarnya belis/mas
kawin yang harus dibayar calon penggantin laki-laki yang ditentukan oleh belis yang diterima
oleh ibu calon pengantin perempuan. Ketidakhadiran pemuda dan keluarganya merupakan
pelanggaran adat Pualaeu Manleu yang mempermalukan si gadis dan keluargnya.Hakim
Kasasi mengadili dan menyatakan si pemuda telah melakukan perbuatan atau melanggar
hukum adat Pualaeu Manleu dan menjatuhkan sanksi membayar sanksi adat secara
tanggung renteng bersama orangtuanya berupa 5 ekor sapi dan uang Rp. 1.000.000. Kasus
serupa terjadi di Kafamenanu, Kabupaten Timor Tengah Utara,NTT dimana seorang
pemuda melakukan ingkar janji kawin yang oleh Hakim Pertama dan Hakim Kasasi
dinyatakan sebagai Perbuatan Melawan Hukum Adat, dan para tergugat dihukum untuk
membayar sanksi adat secara tanggung renteng.
Dari putusan tersebut, disimpulkan bahwa dalam menghadapi kasus gugatan perdata yang
fundamentum petendi dan petitumnya berdasar pada pelanggaran hukum adat dan
penegakan ‘sanksi adatnya’ bila dalam persidangan Pengugat dapat membuktikan dalil
gugatannya, maka Hakim harus menerapkan hukum adat mengenai masalah tersebut yang
masih berlaku di daerah yang bersangkutan setelah mendengar Tetua Adat setempat
(Putusan MA RI No. 3898 K/Pdt/1989 tanggal 19 Nopember 1992 dan Putusan MA RI No.
772 K/Pdt/1992 tanggal 17 Juni 1993).

Anda mungkin juga menyukai