Anda di halaman 1dari 12

Hukum Kekeluargaan Adat

Dosen Pengampu : Saifuddin, SHI, MSI.

Oleh Kelompok 1:

1. M. Jaozan Irfandi (20103080003)

2. Uly Fikrotul Ulya (20103080007

3. M. Abrori Riki Wahyudi (20103080028)

4. Moh Suaidil Umam (20103080037)

5. Mohammad Khaerul Alfan (20103080090)

6. Ila Alawiyah (20103080093)

7. Zamza Prilanita (20103080102)

8. M. Hisyam Alfani (20103080109)

9. Bintang Zahputra Rananda Akhsan (20103080113)


A. Keturunan dalam kekeluargaan hukum adat

Perkawinan adalah hubungan hukum yang merupakan pertalian yang sah antara seorang laki-
laki dan seorang wanita yang telah memenuhi syarat-syarat perkawinan, untuk jangka waktu
yang selama mungkin.

Pasal 1 Undang–undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP) menyebutkan


bahwa Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.Ikatan lahir ini disebut sebagai hubungan
formal yang bersifat nyata baik bagi kedua mempelai, orang lain, atau masyarakat umum.

Pasal 2 ayat (1) UUP telah mengatur bahwa seorang pria terikat perkawinan secara sah
dengan seorang wanita apabila perkawinan mereka tersebut dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Setelah pelaksanaan perkawinan menurut
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya kemudian dalam ayat (2) nya
perkawinan tersebut dimohonkan untuk dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Perkawinan yang mengikat kedua mempelai secara lahir akan memiliki kekuatan
hukum yang pasti dengan terpenuhinya ketentuan dasar perkawinan seperti yang dimaksud di
atas. Bagi masyarakat adat perkawinan bukan sekedar persetubuhan antara jenis kelamin
yang berbeda sebagaimana makhluk lainnya, tetapi perkawinan adalah bertujuan untuk
membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, bahkan dalam pandangan masyarakat adat
perkawinan itu bertujuan untuk membangun, membina, dan memelihara hubungan
kekerabatan yang rukun dan damai.

Hilman Hadikusuma mengartikan hukum perkawinan adat adalah aturan hukum yang
menunjukkan bagaimana suatu perkawinan itu terjadi dan berakhir serta akibat–akibat
hukumnya. Di dalam hukum perkawinan adat diuraikan tentang cara peminangan,
pertunangan, sistem dan bentuk perkawinan. Bentuk perkawinan adat dipengaruhi oleh
susunan kekerabatan.

Menurut Hilman Hadikusuma, hal yang demikian dianggap sebagai berikut :

1. Hukum susunan kekerabatan yang patrilineal maka sistem pertalian darah lebih
diutamakan adalah kewangsaan ayah dan pada umumnya berlaku adat perkawinan
dengan pembayaran jujur, dimana setelah perkawinan istri masuk kedalam kerabat
suaminya. Kemudian jika tidak mempunyai keturunan berlaku adat pengangkatan
anak laki–laki. Anak laki–laki adalah penerus keturunan baik yang ditarik dari satu
bapak asal, sedang anak perempuan dipersiapkan untuk menjadi anak orang lain yang
akan memperkuat keturunan orang lain.
2. Dalam susunan kekerabatan yang Matrilineal maka sistem pertalian darah lebih
diutamakan adalah keturunan ibu dan pada umumnya berlaku adat perkawinan
semenda, dimana setelah perkawinan suami berada dibawah pengaruh kerabat istri.
Anak–anak wanita adalah penerus keturunan ibunya yang ditarik dari satu ibu asal,
sedangkan anak–anak pria hanya berfungsi sebagai pemberi bibit keturunan. Jika
tidak mempunyai keturunan anak perempuan maka dapat berlakulah sistem
pengangkatan anak perempuan.
3. Sedang dalam sistem kekerabatan yang parental maka sistem pertalian darah tidak
berbeda dengan sistem keturunan ayah dan ibu dan pada umumnya berlaku adat
perkawinan bebas, dimana setelah perkawinan suami istri hidup mandiri. Kemudian
jika tidak mempunyai keturunan dapat berlaku pengangkatan anak pria atau
perempuan.

Berikutnya berbicara mengenai pewarisan, sistem pewarisan juga tidak akan terlepas dari
sistem kekeluargaan yang dianut oleh masyarakat hukum adat di Indonesia. Eman Suparman
menyebutkan :

a. Sistem Patrilineal yang menarik garis keturunan pihak nenek moyang laki – laki,
kedudukan dan pengaruh laki – laki dalam hukum waris sangat menonjol.
b. Sistem Matrilineal yang menarik garis keturunan pihak nenek moyang perempuan,
kedudukan dan pengaruh perempuan dalam hukum waris sangat menonjol.
c. Sistem Parental/Bilateral yang menarik garis keturunan dari dua sisi, baik dari pihak
ayah maupun dari pihak ibu, kedudukan anak laki – laki dan anak perempuan dalam
hukum waris sama dan sejajar, artinya baik anak laki – laki maupun anak perempuan
merupakan ahli waris dari harta peninggalan orang tua mereka.

Perubahan-perubahan khususnya dalam hal pewarisan mengalami pengaruh dari


perkembangan di sekelilingnya, dimana secara umum aturan-aturan Hukum Waris
mengalami pengaruh seperti :

1. Perubahan/perkembangan sosial

2. Karena semakin eratnya ikatan keluarga, sejalan dengan melonggarnya ikatan klan dan
suku

3. Aturan-aturan pewarisan dari hukum asing yang karena hubungan tertentu dengan agama
mendapat kewibawaan yang berasal dari religi, aturan-aturan itu misalnya dari hakim-hakim
agama diterapkan atas peristiwa-peristiwa konkrit, meskipun pengaruh itu

didalam hukum waris lebih kecil dari pada dalam hukum perkawinan, tergantung kepada
kekuatan hukum waris tersebut apakah hukum tersebut dapat bertahan ataukah akan terjadi
perubahan yang mendalam. Perubahan atau perkembangan akan dimungkinkan oleh adanya
moderenisasi cara berpikir dari anggota masyarakat adat dan para penegak hukum, seperti
dikemukakan Mohammad Koesnoe. Hukum adat pada prinsipnya adalah hukum rakyat.
sebagai hukum rakyat yang mengatur kehidupan yang terus berubah dan berkembang
pembuatnya adalah rakyat sendiri. oleh karena itu hukum adat mengalami perubahan yang
terus menerus melalui keputusan-keputusan atau penyelesaian yang dikeluarkan oleh
masyarakat sebagai hasil temu rasa dan temu pikir melalui permusyawaratan. Dalam hal ini
setiap perkembangan yang terjadi selalu diusahakan mendapat tempat dalam tata hukum adat.
B. Hubungan Anak Dengan Orangtuanya

Anak kandung memiliki kedudukan yang terpenting dalam tiap somah (gezin) dalam suatu
masyarakat adat. Oleh orang tua, anak itu dilihat sebagai penerus generasinya, juga
dipandang sebagai wadah di mana semua harapan orangtuanya dikelak kemudian hari wajib
ditumpahkan, pula dipandang sebagai pelindung orangtuanya kelak bila orangtua sudah tidak
mampu lagi secara fisik untuk mencari nafkah sendiri (Bushar Muhammad;2006, hal:5).

Menurut hukum adat anak kandung yang sah adalah anak yang dilahirkan dari perkawinan
bapak ibu yang sah , walaupun terjadinya perkawinan tersebut setelah ibunya melahirkan
terlebih dahulu. Oleh karena itu sejak dalam kandungan hingga anak tersebut lahir sampai
dengan anak tersebut tumbuh didalam masyarakat adat akan selalu diadakan ritual khusus
untuk mendoakan keselamatan anak tersebut.

Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dimana anak tersebut lahir dari perkawinan antara
seorang pria dengan seorang wanita, dimana nantinya wanita tersebut yang akan melahirkan
dan pria tersebut akan menjadi bapak dan menjadi suami dari wanita tersebut. Itu merupakan
keadaan yang normal.

Tetapi keadaan tersebut adakalanya tidak berjalan dengan normal. Di dalam masyarakat
sekitar kita sering penyimpangan-penyimpangan didalam melakukan hubungan antara pria
dengan wanita sehingga menimbulkan kejadian-kejadian yang tidak normal (abnormal).

Kejadian – kejadian tersebut menimbulkan akibat, sebagai berikut :

A. anak lahir diluar perkawinan

Hubungan anak yang lahir diluar perkawinan dengan wanita yang melahirkan maupun
dengan pria yang bersangkutan dengan anak tersebut tiap daerah tidak mempunyai
pandangan yang sama. Di mentawai, timor, minahasa, dan ambon, misalnya wanita yang
melahirkan anak itu dianggap sebagai ibu anak yang bersangkutan. Jadi biasa seperti kejadian
normal seorang wanita melahirkan anak dalam perkawinan yang sah (bushar Muhammad;
2006, hal;7).

Tetapi di beberapa daerah lainnya ada pendapat yang wajib mencela keras si ibu yang tidak
kawin itu beserta anaknya. Bahkan mereka semula lazimnya dibuang dari persekutuannya
(artinya tidak diakui lagi sebagai warga persekutuan), kadang-kadang malah dibunuh atau
seperti halnya di daerah kerajaan dahulu mereka itu dipersembahkan kepada raja sebagai
budak (Bushar Muhammad, 2006; hal;7).

Yang menimbulkan tindakan-tindakan tersebut dikarenakan takut melihat adanya kelahiran


yang tidak didahului oleh perkawinan beserta upacara-upacara dan selamatan-selamatan yang
diperlukan. Untuk mencegah nasib si ibu dengan anaknya, terdapat suatu tindakan adat
dimana akan memaksa pria yang bersangkutan untuk kawin dengan wanita yang telah
melahirkan anak itu, jadi si pria tersebut diwajibkan melangsungkan perkawinan dengan
wanita yang karena perbuatannya menjadi hamil dan kemudian melahirkan anak pria
tersebut. Di sumatera selatan tindakan tersebut dilakukan oleh rapat marga. Demikian pula di
Bali, bahkan di daerah ini apabila yang dimaksud tidak mau mengawini wanita yang telah
melahirkan anak tersebut, akan di jatuhi hukuman.

Selain melakukan kawin paksa, adapula dengan mengawini wanita hamil tersebut dengan
laki-laki lain yang bukan bapak biologis dari anak tersebut. Perkawinan dilakukan dengan
maksud agar anak tersebut dilahirkan pada perkawinan yang sah, sehingga anak itu menjadi
anak yang sah. Perkawinan tersebut banyak dijumpai di desa-desa di Jawa (disebut nikah
tambelan) dan di tanah suku Bugis (disebut pattongkog sirik). Anak yang di lahirkan diluar
perkawinan tersebut di jawa di sebut anak haram jadah di Astra, lampung di sebut anak
kappang. Anak-anak tersebut bisa menjadi sah dan masuk dalam persekutuan apabila dengan
pembayaran ataupun sumbangan adat.

Hubungan antara anak dengan bapak yang tidak/belum kawin dengan ibu yang melahirkan,
seperti diminahasa, hubungan anak dengan pria yang tak kawin dengan ibu yang
melahirkannya, adalah biasa seperti hubungan anak dengan bapak. Bila si ayah hendak
menghilangkan kesangsian mengenai hubungan tersebut, maka ia harus memberikan lilikur
(hadiah) kepada ibu anaknya (dalam hal ini antara bapak dengan si ibu tidak tinggal satu
rumah)(Imam sudiyat; 2007; hal ;92). Di daerah lain, anak lahir di luar perkawinan, menurut
hukum adat adalah anak yang tidak berbapak.

B. Anak lahir karena zinah

Anak zinah adalah anak yang dilahir dari suatu hubungan antara seorang wanita dengan pria
yang bukan suaminya. Menurut hukum adat suaminya akan tetap menjadi bapak anak yang
dilahirkan istrinya itu, kecuali apabila sang suami menolak berdasarkan alasan-alasan yang
dapat diteriama, dapat menolak menjadi bapak anak yang dilahirkan oleh istrinya karena
telah melakukan zinah.

C. Anak lahir setelah perceraian.

Anak yang dilahirkan setelah bercerai, menurut adat mempunyai bapak bekas suami wanita
yang melahirkan itu, apabila kelahirannya terjadi dalam batas-batas waktu mengandung.
Banyak pula di jumpai dimana seorang laki-laki yang memelihara selir disamping dia
mempunyai istri yang sah. Anak yang dilahirkan dari selir-selir tersebut mempunyai
kedudukan serta hak-hak (seperti; hak warisan) yang tidak sama dengan anak-anak dari isteri
yang sah. Anak-anak yang dilahirkan dari istri yang sah akan mendapatkan haknya lebih
banyak.

Hubungan anak dengan orangtua (anak dengan bapak atau anak dengan ibu) akan
menimbulkan akibat hukum sebagai berikut;

a. larangan kawin antara anak dengan bapak atau anak dengan ibu
b. saling berkewajiban memelihara dan memberi nafkah
c. Apabila si ayah ada, maka ia akan bertindak sebagai wali dari anak perempuanny
apabila pada upacara akad nikah yang dilakukan secara Islam
Menurut hukum adat yang menganut sistem kekerabatan Parental seperti di masyarakat jawa
kewajiban orangtua kepada anaknya sampai dengan anak tersebut dewasa dan hidup mandiri.
Pada sistem Parental tanggung jawab tidak hanya dibebankan kepada bapak saja melainkan
juga ibu ikut bertanggung kepada anak-anaknya.

C. Pemeliharaan keluarga dalam hukum adat

1. Hubungan Anak Dengan Orangtuanya

Anak kandung memiliki kedudukan yang terpenting dalam tiap somah (gezin) dalam suatu
masyarakat adat. Oleh orang tua, anak itu dilihat sebagai penerus generasinya, juga
dipandang sebagai wadah di mana semua harapan orangtuanya dikelak kemudian hari wajib
ditumpahkan, pula dipandang sebagai pelindung orangtuanya kelak bila orangtua sudah tidak
mampu lagi secara fisik untuk mencari nafkah sendiri.

Menurut hukum adat anak kandung yang sah adalah anak yang dilahirkan dari perkawinan
bapak ibu yang sah , walaupun terjadinya perkawinan tersebut setelah ibunya melahirkan
terlebih dahulu. Oleh karena itu sejak dalam kandungan hingga anak tersebut lahir sampai
dengan anak tersebut tumbuh didalam masyarakat adat akan selalu diadakan ritual khusus
untuk mendoakan keselamatan anak tersebut.

Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dimana anak tersebut lahir dari perkawinan antara
seorang pria dengan seorang wanita, dimana nantinya wanita tersebut yang akan melahirkan
dan pria tersebut akan menjadi bapak dan menjadi suami dari wanita tersebut. Itu merupakan
keadaan yang normal.

Tetapi keadaan tersebut adakalanya tidak berjalan dengan normal. Di dalam masyarakat
sekitar kita sering penyimpangan-penyimpangan didalam melakukan hubungan antara pria
dengan wanita sehingga menimbulkan kejadian-kejadian yang tidak normal (abnormal).

2. Hubungan Anak Dengan Kerabatnya

Hukum adat mengatur tentang hubungan anak dengan kerabatnya dimana sesuai dengan
keadaan sosial dalam masyarakat bersangkutan yang berdasarkan dari sistem keturunannya
(sistem kekerabatannya). Hukum adat di masyarakat Indonesia dimana persekutuan-
persekutuan berlandaskan pada tiga (3) macam garis keturunan, yaitu garis keturunan bapak
dan ibu, garis keturunan bapak, dan garis keturunan ibu.

Dalam masyarakat parental hubungan anak dengan kerabat bapak maupun ibunya adalah
sama . Masyarakat dengan sistem kekerabatan parental maka masalahmasalah tentang
larangan kawin, warisan, kewajiban memelihara semuanya berintensitas sama terhadap kedua
belah pihak baik kerabat ayah maupun kerabat ibu. Menurut hukum adat dimana susunan
kekerabatan yang patrilinial dan atau matrilineal yang masih kuat, yang disebut orang tua
bukan saja dalam garis lurus keatas tetapi juga dalam garis lurus kesamping, seperti para
paman, saudara ayah yang lelaki (Batak, Lampung) dan para paman, saudara ibu yang lelaki
(Minangkabau, Semenda) terus ke atas, seperti kakek, buyut, canggah dan Poyang.

Di lingkungan masyarakat adat patrilineal anak tidak hanya hormat kepada ayah maupun
ibunya, tetapi anak juga hormat kepada kerabat garis keturunan ayah. Jadi hubungan anak
dengan kerabat ayahnya jauh lebih erat dan lebih penting dibandingkan dengan kerabat dari
ibu. Dalam persekutuan patrilineal dimana kerabat ayah tingkat derajat dan lebih tinggi
dibandingkan kerabat ibu, tetapi sama sekali tidak melupakan kerabat dari Ibu. Seperti di
Tapanuli pada suku Batak dimana sistem kekerabatannya patrilineal keluarga pihak Ibu
khususnya bagi pemudanya, pertama-tama diakui sebagai satu keluarga dari lingkungan mana
mereka terutama harus mencari bakal istrinya. Dimana persekutuan keluarga ibunya
merupakan apa yang disebut “hula-hula”, sedangkan keluarga bapak merupakan “boru-nya”.
Jadi hubungan keluarga bapak dan keluarga ibu di daerah ini adalah keluarga yang bakal
memberikan calon suami (boru) dan keluarga yang bakal memberikan istri (hula-hula).
Lainnya dalam masyarakat adat matrilineal hubungan antara anak dengan keluarga dari pihak
ibu adalah jauh lebih erat dan jauh dianggap lebih penting dari pada hubungan antara anak
dengan keluarga pihak dari bapak. Tetapi hal tersebut juga tidak melupakan kerabat dari
pihak bapak, seperti di Minangkabau keluarga pihak bapak yang disebut “bako kaki” dalam
upacara-upacara selalu hadir, bahkan kadang-kadang pihak bapak ini memberi bantuan dalam
memelihara anak.

Dilingkungan matrilineal misalnya di Minangkabau yang terutama wajib dihormati anak


kemenakan selain ayah dan ibunya adalah semua mamak saudara lelaki ibu, terutama yang
berkedudukan mamak kepala waris Anak luar kawin meskipun didalam masyarakat dianggap
rendah tetapi dianggap oleh persekutuan kekerabatannya , misalnya di Jawa tidak ada
pembedaan anak luar kawin dengan ayahnya, maka berlaku pula terhadap kekerabatanya.
Sedangkan ada daerah lain seperti rejang yang menganggak anak luar kawin itu dianggap
rendah sehingga anak luar kawin tidak mempunyai hubungan dengan kekerabatannya.

3. Pemeliharaan Anak Yatim (-Piatu)

Dalam suatu keluarga apabila salah satu orangtua meninggal baik, bapak atau ibu sudah
tidak ada lagi sedangkan anak tersebut belum dewasa dalam susunan masyarakat parental
maka anak akan berada dalam pemeliharaan dan tetap dalam kekuasaan ibu apabila ayah
yang meninggal atau ayah apabila ibu yang meninggal dunia sampai anaknya dewasa dan
dapat hidup mandiri. Apabila kedua orangtuanya meninggal dunia anak belum dewasa maka
anak akan dipelihara dan menjadi tanggung jawab dari kerabat ayah atau ibu yang terdekat
dengan anak tersebut dan mempunyai kemampuan sampai dengan anak tersebut dewasa dan
hidup mandiri.

Anak yatim piatu dalam masyarakat matrilineal jika yang meninggal dunia adalah si Ibu
anak tersebut tetap menetap, dipelihara dan berada dalam kekuasaan dari kerabat Ibunya,
ayah hanya akan memperhatikan kepentingan dari anak-anak tersebut Sedangkan si ayah
yang meninggal dunia maka Ibu akan meneruskan kekuasaannya terhadap anak-anak yang
belum dewasa, misalnya; di Minangkabau. Jika ayah meninggal dunia dalam masyarakat
patrilineal sedangkan si anak belum dewasa maka ibu yang akan mendidik anak tersebut,
tetapi Ibu beserta anak akan menjadi tanggung jawab dan tetap tinggal di lingkungan kerabat
mendiang suaminya , misalnya di Batak dan Bali. Tetapi apabila si Janda ingin keluar dari
lingkungan kerabat suaminya tersebut (misalkan kawin dengan laki-laki lain) ia dapat
bercerai dengan kerabat suaminya, anak tetap dalam kekuasaan kerabat mendiang suaminya.
Jadi apabila dalam keluarga yang susunan kekerabatannya unilateral orangtuanya meninggal
dunia, jika keluarga tersebut patrilineal maka kekuasaan orangtua terhadap anak-anak yang
ditinggal selanjutnya berada pada keluarga pihak bapak dan berada pada kekuasaan kerabat
ibu jika keluarga tersebut matrilineal.

4. Adopsi Anak (Pengangkatan Anak)

Keturunan dalam masyarakat adat sangat diperlukan karena untuk meneruskan


kekerabatanya. Jadi apabila dalam suatu keluarga tidak mempunyai anak, maka dapat
dilakukan pengangkatan anak. Pengangkatan anak tidak hanya dilakukan apabila dalam
keluarga tersebut tidak mempunyai keturunan, tetapi keluarga tersebut tidak mempunyai anak
laki-laki untuk meneruskan kekerabatannya seperti pada masyarakat Bali. Kedudukan anak
angkat dapat di bedakan antara anak angkat sebagai penerus keturunan (Lampung; tegak
tegi), anak angkat karena perkawinan atau untuk penghormatan. Di lampung anak orang lain
yang diangkat menjadi tegak tegi biasanya diambil dari anak yang masih bertali kerabat
dengan bapak angkatnya.

Di Bali adopsi anak karena perkawinan dilakukan apabila tidak mempunyai anak laki-laki
untuk dijadikan penerus keturunan , dimana anak angkat tersebut di kawinkan dengan anak
wanita bapak angkatnya yang disebut nyentane dan anak angkat itu menjadi sentane tarikan
yang mempunyai hak dan kewajiban dengan anak kandung. Dalam perkawinan tersebut tidak
mengakibatkan anak tersebut menjadi pewaris dari bapak angkatnya, melainkan hanya
mendapatkan kedudukan dalamkewargaan adat dalam kesatuan kekerabatan bapak
angkatnya.

Anak angkat yang dilakukan sebagai penghormatan adalah pengangkatan anak atau
pengangkatan saudara (Lampung; adat mewari) tertentu sebagai tanda penghargaan, misalnya
mengangkat pejabat pemerintahan sebagai saudara angkat. Pengangkatan tersebut tidak
menimbulkan akibat hukum waris dari si ayah kepada anak angkatnya, kecuali ada perjanjian
tambahan ketika upacara adat dihadapan pemuka ada dilaksanakan.

D. Pengangkatan Anak Menurut Hukum Adat

Pengangkatan anak menurut hukum adat sering dikenal sebagai usaha mengambil anak
bukan keturunannya sendiri dengan maksud untuk memelihara dan memperlakukannya
sebagai anak sendiri. Pada umumnya masyarakat Indonesia lebih suka mengangkat anak dari
kalangan keluarga sendiri, di mana tanpa melalui prosedur pengadilan.

Adapun alasan untuk melakukan pengangkatan anak disebabkan karena :


1. Untuk memperkuat pertalian kekeluargaan dengan orang tuanya yang di angkat.

2. Kadang-kadang oleh sebab belas kasihan, jadi untuk menolong anak itu.

3. Berhubung dengan kepercayaan, bahwa oleh karena mengangkat anak itu, kemudian
akan mendapat anak sendiri.

4. Mungkin pula untuk mendapatkan bujang di rumah, yang dapat membantu pekerjan
sehari-hari.

5. Tidak mempunyai keturunan.

6. Tidak ada penerus keturunan.

7. Menurut adat perkawinan setempat.

Pengertian istilah pengangkatan anak disesuaikan dengan tata cara adat masyarakat
setempat yang terdapat di Indonesia menurut sistim kekeluargaan masing-masing, untuk itu
penulis menjabarkan sedikit tentang pengertian anak angkat pada masyarakat Patrilineal,
Matrilneal dan Parental. Pada masyarakat yang sistim kekeluargaannya Parental, seperti di
Jawa, Madura atau daerah lainnya, dalam pengangkatan anak mempunyai istilah sendiri-
sendiri, misalnya anak kukut atau anak pulung (Sunda) anak pungut (Jakarta), mupu anak
(Jawa Tengah), anak ngapek (Jawa Timur), dan tujuannya berlain-lain pula. Pengangkatan
anak di Jawa dan Madura pada umumnya di daerah lainnya yang sifat kekeluargaannya
parental, kedudukan anak angkat itu tidak memutuskan pertalian keluarga antara anak yang di
angkat dengan orang tua kandungnya sendiri.

Pada masyarakat yang sistim kekeluargaannya Patrilineal, seperti di Bali atau daerah-
daerah lainnya, kedudukan anak itu betul-betul memutuskan pertalian keluarga antara yang di
angkat dengan orang tua kandungnya sendiri. Anak angkat itu masuk dalam kehidupan atau
rumah tangga orang tua yang mengangkatnya , kedudukannya sebagai anak kandungnya
sendiri dengan fungsi untuk meneruskan keturunan orang tua angkatnya, bukan mewaris
harta peninggalan orang tua angkatnya, dan pengangkatan anak dilakukan dengan upacara
"pemerasan" (pemutusan) dengan orang tua kandungnya dan ia sepenuhnya menjadi anak
dari orang tua yang mengangkatnya.

Pada masyarakat Matrilineal dalam hal pengangkatan anak, jarang sekali terjadi, karena
pada masyarakat Matrilineal yang mengikuti garis ibu, seperti di Minangkabau pada
prinsipnya tidak dikenal pengangkatan anak, karena masyarakatnya mayoritas beragam Islam
dan di dalam hukum Islam hanya dapat dibenarkan apabila memenuhi ketentuan-ketentuan
sebagai berikut:

 Tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang di angkat dengan orang tua
biologis dan keluarga.

 Anak angkat tidak berkedudukan sebagai pewaris dari orang tua angkatnya,
melainkan tetap sebagai pewaris dari orang tua kandungnya, demikian juga orang tua
angkatnya tidak berkedudukan sebagai pewaris dari anak angkatnya.
 Anak angkat tidak boleh mempergunakan nama orang tua angkatnya secara langsung,
kecuali sekedar sebagai tanda pengenal atau alamat.

 Orang tua angkat tidak dapat bertindak sebagai wali terhadap anak angkat.

a. Pengangkatan anak menurut hukum adat Jawa

Menurut hukum adat Jawa yang sistem kekeluargaannya parental atau bilateral adalah
masyarakat hukum yang tidak mengenal clan. Clan ialah seseorang yang menghubungkan
dirinya ke atas melalui satu garis penghubung saja yaitu penghubung secara patrilineal (garis
penghubung laki-laki atau hanya penarik garis penghubung melalui garis penghubung
wanita). Pada masyarakat parental atau bilateral seseorang menghubungkan dirinya ke atas
dengan ayah dan ibu, kakek dan nenek dan seterusnya, ke atas sampai kepada sepasang suami
istri yang dianggap sebagai orang-orang yang diakui sebagai orang-orang yang menurunkan
mereka. Laki-laki dan perempuan tidak dibedakan dalam hal warisan. Sedangkan anak angkat
hanya dapat memperoleh warisan dari harta gono-gini orang tua angkatnya. Proses
pengangkatan anak berdasarkan hukum adat Jawa pada umumnya yang dilakukan adalah
adanya persetujuan kedua belah pihak antara orang tua kandung dengan orang tua yang
mengangkat anak, dengan adanya persetujuan itu mereka pergi ke balai desa untuk
memberitahukan maksud mereka, kepala desa membuat surat pernyataan penyerahan anak
yang ditandatangani oleh kedua belah pihak. Surat pernyataan itu turut ditandatangani oleh
para saksi dan diketahui oleh kepala desa dan camat, di hadapan kepala desa dan stafnya
terjadi serah terima anak dari orang tua kandung kepada orang tua angkat, setelah serah
terima diadakan selamatan mengundang tetangga-tetangga terdekat dari orang tua angkat
dengan dibacakan doa selamatan terlebih dahulu atas pengangkatan anak tersebut.

b. Pengangkatan anak menurut hukum adat Bali

Susunan keluarga yang bersifat Patrilineal adalah suatu masyarakat hukum Adat dimana
seseorang baik laki-laki atau perempuan menghubungkan dirinya keatas melalui garis
penghubung laki-laki. Pada masyarakat patrilineal yang berhak mewaris harta peninggalan
orang tuanya yaitu anak kandung laki-laki dan atau anak angkat laki-laki sedangkan anak
perempuan bukan merupakan ahli waris dari orang tuanya, hal ini disebabkan karena seorang
perempuan setelah melangsungkan perkawinan masuk ke dalam keluarga suaminya. Dimana
dalam perkawinan seorang pria memberikan barang atau uang kepada pihak mempelai
wanita.

Mengenai tata cara pengangkatan anak pada masa patrilineal seperti di Bali, mengangkat
anak dari kalangan keluarga di sebut dengan “nyentanayang”, anak lazimnya diambil dari
salah satu clan yang ada hubungan tradisionalnya, yaitu yang disebut purusa, tetapi akhir-
akhir ini dapat pula anak diambil dari luar clan itu, bahkan di beberapa desa dapat pula
diambil anak dari lingkungan keluarga istri (pradana), dalam keluarga dengan selir-selir
(gundik) maka apabila istri tidak mempunyai anak, biasanya anak-anak dari selir-selir itu
diangkat untuk dijadikan anak-anak istrinya.

Prosedur pengangkatan anak di Bali adalah sebagai berikut:

 Orang yang ingin mengangkat anak itu lebih dahulu wajib membicarakan
kehendaknya dengan keluarganya secara matang.

 Anak yang akan diangkat hubungan kekeluargaan dengan ibunya dan dengan
keluarganya secara adat harus diputuskan, yaitu dengan jalan membakar benang
(hubungan anak dengan keluarganya putus) dan membayar menurut adat seribu
kepeng disertai pakaian disertai pakaian wanita lengkap (hubungan anak dengan ibu
menjadi putus).

 Anak kemudian dimasukkan dalam hubungan kekeluargaan dari keluarga yang


mengangkatnya, istilahnya diperas.

 Pengumuman kepada warga desa (siar)

Oleh karena itu, di Bali perbuatan mengangkat anak adalah perbuatan hukum melepaskan
anak itu dari pertalian keluarganya dengan orang tuanya sendiri dan memasukkan anak itu ke
dalam bapak angkatnya, sehingga anak tersebut berkedudukan sebagai anak kandung untuk
meneruskan keturunan bapak angkatnya. Menurut hukum adat Bali pengangkatan anak tidak
boleh diwakilkan tidak ada batas umur tertentu yang dapat diangkat anak, baik yang baru
lahir maupun seorang yang sudah dewasa, pokoknya anak angkat itu tidak boleh lebih tua
dari orang tua angkatnya. Pengangkatan anak dilakukan dengan upacara di hadapan seorang
pemangku adat dengan saksi-saksi perangkat desa yang bersangkutan, kesamaan derajat atau
golongan antara si anak dengan orang tua angkat adalah merupakan suatu syarat.

c. Pengangkatan anak menurut hukum adat Mingkabau

Pada masyarakat Matrilineal dalam hal pengangkatan anak, jarang sekali terjadi, karena
pada masyarakat Matrilineal yang mengikuti garis ibu, seperti di Minagkabau pada
prinsipnya tidak dikenal pengangkatan anak, karena masyarakat mayoritasnya beragama
Islam dan di dalam hukum Islam hanya dapat dibenarkan apabila memenuhi ketentuan-
ketentuan sebagai berikut:

 Tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dengan orang tua
biologis dan keluarga.

 Anak angkat tidak berkedudukan sebagai pewaris dari orang tua angkatnya,
melainkan tetap sebagai pewaris dari orang tua kandungnya, demikian juga orang tua
angkatnya tidak berkedudukan sebagai pewaris dari anak angkat.

 Anak angkat tidak boleh mempergunakan nama orang tua angkatnya secara langsung,
kecuali sekedar sebagai tanda pengenal atau alamat.
 Orang tua angkat tidak dapat bertindak sebagai wali terhadap anak angkatnya.

Sehingga di dalam masyarakat Matrilineal seperti di Minangkabau, harta kekayaan yang


diperoleh suami tidak diwariskan kepada anak-anaknya karena anak bukan ahli waris dari
ayahnya, tetapi berhak mewarisi dari harta kekayaan ibunya atau keluarga ibunya.

DAFTAR PUSTAKA

Bushar Muhammad (2006), Pokok-pokok Hukum Adat, Jakarta, PT Pradnya Paramita.


Hilman Hadikusuma (2003), Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Bandung, Mandar
Maju.

Iman Sudiyat (2007), Hukum Adat (sketsa asas), Yogyakarta, Liberty

Van Dijk(2006), Pengantar Hukum Adat Indonesia, Bandung, Mandar Maju.

Priptianingsih, Sri dan Fahim Kurniawan, Ahmad. Pengangkatan Anak Berdasarkan Hukum
Adat dan Hukum Positif di Indonesia

Anda mungkin juga menyukai