Anda di halaman 1dari 22

ARTIKEL DAN RESUME

HUKUM PERKAWINAN ADAT DAN KECERDASAN


EMOSIONAL EQ

Dosen Pengampu :
Ratnawati, SH., MH

Mata Kuliah :
Hukum Adat

Di Susun Oleh :
Muhammad Farhan Azzahro
Nim :
202111500047

FAKULTAS HUKUM PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


UNIVERSITAS DR. SOETOMO
SURABAYA
2022
BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Seperti yang kita ketahui, Indonesia merupakan sebuah negara yang


memiliki berbagai macam budaya dan suku. Keragaman budaya dan suku
tersebut menyebabkan Indonesia memiliki aturan dan hukum yang berbeda di
daerah tertentu. Perbedaan aturan dan hukum di daerah tertentu itulah yang
membuat Indonesia menggunakan system hukum majemuk, dengan
menggunakan 3 hukum, yaitu hukum Barat/Belanda, hukum Islam, dan Hukum
Adat.
Pada makalah ini, saya akan membahas tentang hukum adat yang
hukumnya berasal dari nenek moyang kita. Hukum adat ini bersifat tidak tertulis
dan dapat berkembang sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya. Setiap suku di
Indonesia mempunyai hukum adat yang berbeda-beda. Namun pada dasarnya hal
yang diatur oleh hukum adat pada masing-masing suku adalah sama, yaitu
mengenai perkawinan, waris, tanah , benda, perikatan, dll. Namun pada makalah
ini saya akan membahas tentang perkawinan dalam hukum adat.

BAB II
PEMBAHASAN

1. Pengertian Hukum Perkawinan Adat

Menurut UU No.1 Tahun 1974 Perkawinan adalah ikatan lahir batin


antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Tuhan
Yang Maha Esa. Dalam hukum adat, arti perkawinan sangatlah penting dalam
penghidupan masyarakat kita sebab perkawinan itu tidak hanya menyangkut
wanita dan pria bakal mempelai saja, namun juga orang tua kedua belah pihak,
saudara-saudaranya, bahkan keluarga-keluarga mereka masing-masing. Bahkan
dalam hukum adat perkawinan itu bukan hanya merupakan peristiwa penting bagi
mereka yang masih hidup saja, tetapi perkawinan merupakan peristiwa yang
penting bagi leluhur mereka yang telah tiada. Para leluhur yang telah tiada ini
diharap dapat memberikan restu kepada calon mempelai wanita dan laki-laki agar
dapat hidup rukun sampai kakek nenek.1
Dalam hukum perkawinan adat, sebuah perkawinan tidak hanya
menjadi urusan kedua belah pihak yang melangsungkan perkawinan, melainkan
juga menjadi urusan masyarakat sekitarnya dan sukunya, Tujuan dari perkawinan
adat ini adalah untuk melahirkan generasi baru dengan latar belakang budaya
yang sama, sehingga suku dan budaya tersebut masih terasa eksistensinya seiring
dengan perkembangan zaman yang semakin modern ini.
Prof. Hazairin dalam bukunya “Rejang” mengemukakan peristiwa
perkawinan itu sebagai 3 buah rentetan perbuatan-perbuatan magis yang
menjamin ketenangan (“koelte”), kebahagiaan (“welvaart”), dan kesuburan
(“vruchtbaarheid”). Sedangkan menurut A. Van Gennep sosiolog asal Perancis
menyatakan bahwa dalam perkawinan adat terdapat upacara-upacara peralihan
yang disebut “rites de passage” yang dibagi atas 3 tahap yaitu :
a. Rites de separation (upacara perpisahan dari status semula)
b. Rites de marge (Upacara perjalanan ke status yang baru)
c. Rites d’aggregation (upacara penerimaan dalam status yang baru)
1
) Soerojo Wignjoediporo hlm. 122
Menurut Prof. Djojodiguno perkawinan bukanlah merupakan sebuah
kontrak atau perjanjian, tetapi merupakan sebuah paguyuban yang menjadi pokok
ajang hidup suami istri beserta anaknya. Dalam bahasa Jawa disebut somah atau
keluarga. Sehingga dalam pandangan orang Jawa pasangan suami istri merupakan
suatu ketunggalan / kesatuan, yang antara lain dapat terlihat sebagai berikut :
a. Kedua mempelai melepaskan nama mereka masing-masing yang dipakai saat
kecil dan selanjutnya menggunakan nama bersama
b. Istilah bahasa Jawa “garwa” singkatan dari kata “sigaraning nyawa” yang
berarti belahan jiwa.
c. Kasatuan harga benda dalam bahasa jawa disebut “harga gini”
Adapun tujuan perkawinan bagi masyarakat hukum adat yang bersifat
kekerabatan, adalah untuk mempertahankan dan meneruskan keturunan menurut
garis kebapakan atau keibuan atau keibu-bapakan, untuk kebahagiaan rumah
tangga keluarga/kerabat, untuk memperoleh nilai-nilai adat budaya dan
kedamaian, dan untuk mempertahankan warisan. Oleh karena sistem keturunan
dan kekerabatan antara suku bangsa Indonesia yang satu dan lain berbeda-beda,
termasuk lingkungan hidup dan agama yang dianut berbeda-beda, maka tujuan
perkawinan adat bagi masyarakat adat juga berbeda antara suku bangsa yang satu
dan daerah yang lain, begitu juga dengan akibat hukum dan upacara
perkawinannya.

2. Sistem Perkawinan Adat

Sistem perkawinan adat di Indonesia dibagi menjadi 3, yaitu :


a. Sistem Endogami
Dalam sistem ini, orang hanya boleh kawin dengan orang dari suku
keluarganya sendiri. Sistem perkawinan ini sekarang jarang terjadi di
Indonesia. Menurut Van Vollenhoven hanya ada satu daerah saja yang secara
praktis mengenal sistem endogamy ini, yaitu daerah Toraja. Tetapi sekarang,
di daerah ini pun sistem ini kan lenyap dengan sendirinya kalau hubungan
daerah itu dengan daerah lainnya akan menjadi lebih mudah, erat dan meluas.
Sebab sistem tersebut di daerah ini hanya terdapat secara praktis saja; lagi
pula endogamy sebetulnya tidak sesuai dengan sifat susunan kekeluargaan
yang ada di daerah itu, yaitu parental.
b. Sistem Exogami
Dalam sistem ini, orang diharuskan menikah dengan orang diluar
marganya. Menikah dengan marganya sendiri merupakan larangan. Namun
demikian, seiring berjalannya waktu, dan berputarnya zaman lambat laun
mengalami proses perlunakan sedemikian rupa, sehingga larangan
perkawinan itu diperlakukan hanya pada lingkungan kekeluargaan yang
sangat kecil saja. Sistem ini dapat dijumpai di daerah Gayo, Alas, Tapanuli,
Minangkabau, Sumatera Selatan, Buru dan Seram.
c. Sistem Eleutherogami
Sistem ini tidak mengenal larangan-larangan atau keharusan seperti
pada sistem endogami dan exogami. Larangan yang ada dalam sistem ini
hanya yang berhubungan dengan ikatan kekeluargaan yakni seperti Nasab
atau turunan yang dekat seperti kawin dengan ibu, nenek, anak kandung, cucu
(keturunan garis lurus ketas dan kebawah), serta dengan saudara kandung,
saudara bapak atau ibu. Ada juga yang disebut Musyaharah (periparan)
seperti kawin dengan ibu tiri, menantu, mertua, dan anak tiri. Sistem ini dapat
dijumpai hampir di seluruh masyarakat Indonesia, termasuk Jawa.

3. Asas-Asas Perkawinan dalam Hukum Adat

Asas-asas perkawinan dalam hukum adat dibedakan menjadi 2


golongan, yaitu :
a. Bentuk perkawinan berdasarkan arah persiapan :
 Pertunangan
Suatu keadaan yang bersifat khusus dan dilangsungkan sebelum perkawinan.
Pertunangan adalah persetujuan antar pihak laki-laki dan pihak perempuan untuk
melangsungkan perkawinan. Persetujuan ini dicapai oleh kedua belah pihak setelah
adanya proses lamaran. Pertunangan baru mengikat apabila dari pihak laki-laki sudah
memberikan kepada pihak perempuan sebuah tanda pengikat dalam adat Jawa disebut
paningset.
Pada dasarnya alasan adanya pertunangan adalah :
 Karena ingin menjamin perkawinan yang dikehendaki itu terjadi dalam waktu
yang dekat.
 Untuk membatasi pergaulan pihak yang diikat.
 Memberi kesempatan kepada kedua belah pihak untuk saling lebih mengenal.
Namun pertuanangan ini juga masih bisa dibatalkan apabila ada
hal-hal berikut :
 Kehendak kedua belah pihak untuk membatalkan
 Salah satu pihak tidak memenuhi janjinya.
 Perkawinan tanpa lamaran dan pertunangan
Ada beberapa corak perkawinan yang tidak didahului oleh lamaran dan pertunangan.
Corak perkawinan yang demikian kebanyakan ditemukan dalam persekutuan yang
bersifat patrilineal. Namun dalam matrilineal (garis ibu) dan patrilineal (garis bapak)
juga ditemukan walaupun hanya sedikit. Seperti di daerah Lampung, Kalimantan,
Bali, Sulawesi Selatan.

b. Bentuk perkawinan berdasarkan tata susunan kekerabatan :


Antara perkawinan dan sifat susunan kekeluargaan terdapat hubungan
yang erat sekali. Bahkan dapat dikatakan bahwa suatu peraturan hukum
perkawinan sukar dipaham tanpa peninjauan hukum kekeluargaan yang
bersangkutan. Seperti yang telah diketahui, di Indonesia terdapat 3 macam
sifat kekeluargaan , yaitu patrilineal, matrilineal, dan parental. Hal ini juga
mempengaruhi corak petkawinan dalam masing-masing sifat
kekeluargaan, berikut penjelasannya.
 Kekerabatan Patrilineal
Bentuk perkawinan yang umum pada sifat kekerabatan ini adalah
perkawinan jujur. Dimana pihak laki-laki meberikan jujur kepada
pihak perempuan. Dan setelah perkawinan sang istri akan masuk ke
dalam garis keturunan suaminya begitu pula dengan anak-anaknya
nanti.
Suku yang menganut sistem kekerabatan Patrilineal di
Indonesia adalah adalah suku Batak, suku Rejang dan suku Gayo.
 Kekerabatan Matrilineal
Dalam sifat kekerabatan ini, tidak ada pemberian jujur. Pada
saat perkawinan, suami dijemput dari rumahnya kemudian dibawa
ke rumah istrinya. Suami disini tidak masuk kedalam keluarga si
istri, melainkan tetap pada keluarganya sendiri. Namun anak-
anaknya masuk kedalam keluarga si istri, dan si suami pada
hakikatnya tidak memiliki kekuasaan terhadap anak-anaknya.
Daerah yang menganut sistem kekerabatan matrilineal adalah
Sumatera Barat (Suku Minangkabau).

 Kekerabatan Parental
Setelah kawin keduanya menjadi satu keluarga, baik keluarga
suami maupun keluarga isteri. Dengan demikian dalam susunan
keluarga parental suami dan isteri masing-masing mempunyai dua
keluarga yaitu keluarga suami dan keluarga isteri.
Dalam susunan kekerabata Parental terdapat juga kebiasaan
pemberian-pemberian oleh pihak laki-laki kepada pihak
perempuan. Namun pemberian disini tidak mempunyai arti seperti
Jujur tetapi lebih mempunyai arti hadiah perkawinan.
Suku yang menganut sistem kekerabatan Parental adalah suku
Dayak Kanayat.

4. Perceraian

Perceraian menurut hukum adat merupakan peristiwa yang luar biasa


dan merupakan sebuah problema sosial dan yuridis yang penting dalam
kebanyakan daerah.
Pada dasarnya setiap keluarga, kerabat, serta masyarakat adanya pun
menghendaki perkawinan itu dapat dipertahankan selama hidupnya, namun
apabila perceraian itu adalah untuk kepentingan keseluruhan maka dapat
dijalankan.
Adapun sebab-sebab dibenarkannya perceraian menurut hukum adat,
adalah :
a. Istri berzinah
b. Kemandulan istri
c. Impotensi Suami
d. Suami meninggalkan istri sangat lama ataupun istri berkelakuan
tidak sopan
e. Adanya keinginan dari kedua belah pihak untuk bercerai

5. Larangan Perkawinan

Larangan perkawinan dalam hukum adata adalah segala sesuatu yang


dapat menyebabkan perkawinan itu tidak dapat dilaksanakan karena tidak
memenuhi persyaratan sebagaimana yang dikehendaki oleh hukum adat atau
larangan agama yang telah masuk menjadi ketentuan hukum adat.
Beberapa larangan itu adalah :
a. Karena hubungan kekerabatan
b. Karena perbedaan kedudukan
c. Karena perbedaan agama

6. Hukum Perkawinan Adat Suku Minang

Kami akan memberikan contoh hukum perkawinan adat yang


digunakan oleh masyarakat adat suku Minangkabau, khususnya daerah Pariaman,
Sumatera Barat. Suku Minangkabau dikenal sebagai suku yang masih kental
dengan adat istiadatnya. Hukum adat di Pariaman menjadi salah satu hukum
positif yang berlaku disana. Berikut ini beberapa penjelasan mengenai hukum
adat suku Minang di Pariaman :
a. Sistem Kekerabatan
Sistem kekerabatan disana dinamakan Matrilineal yaitu hubungan
keturunan yang diambil dari garis keturunan ibu. Tidak hanya di Pariaman,
dalam sistem kekerabatan matrilinial di Minangkabau, pihak keluarga ayah
tidak banyak terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan dalam
lingkungan keluarga
b. Sistem Perkawinan
Sistem perkawinan yang dianut adalah sistem perkawinan exogami,
dimana pernikahan se.klan atau semarga. Dalam struktur sistem perkawinan
exogami disini, pasangan suami istri tetap berada pada marga suku masing-
masing meskipun telah diikat oleh sebuah perkawinan
c. Adat Bajapuik
Suku Minang di Pariaman terkenal dengan adat bajapuiknya. Adat
bajapuik adalah adat “membeli laki-laki” untuk dinikahi. Yang dimaksud
disini adalah, pihak perempuan membayar berupa uang yang disebut dengan
uang ”uang japuik” kepada pihak laki-laki untuk dinikahkan dengan calon
pengantin perempuan. Nominal uang japuik yang diberikan dilihat
berdasarkan tinggi rendahnya status sosial si pria tersebut, semakin tinggi
maka uang japuik yang diberikan juga semakin tinggi, begitu pula sebalinya.
Hal ini dimaksudkan untuk menghargai usaha keluarga laki-laki itu untuk
merawat dan membesarkan anaknya sampai waktu ia menikah dan harus
merelakan anaknya untuk tinggal bersama keluarga istrinya.
d. Tata Cara Perkawinan
 Maresek
Maresek merupakan langkah pertama yang dilakukan sebelum
adanya proses lamaran. Utusan pihak perempuan mendatangi rumah
utusan pihak laki-laki untuk mecari tahu apakah laki-laki yang dituju
itu berminat dan cocok untuk menikah dengan calon pengantin
perempuan. Setelah kesepakatan terjadi maka dilanjutkan pada proses
selanjutnya.
 Pinang Maminang
Pinang Maminang adalah proses lamaran, dimana keluarga
perempuan beserta ssepuhnya datang membawa sirih pinang lengkap
untuk tanda persembahan, beserta dengan buah-buahan dan kue-kue.
 Mahanta atau Meminta Izin
Kedua calon mempelai meminta izin untuk menikah kepada para
sesepuhnya. Mempelai pria membawa rokok untuk sesepuhnya, dan
mempelai wanita membawa sirih pinang untuk sesepuhnya.
 Babako-Babaki
Keluarga ayah pihak perempuan memperlihatkan kasih sayang
dengan membantu membiayai perkawinan semampunya. Mempelai
wanita diantar kerumah keluarga ayahnya untuk diberi nasihat, dan
membawa pulang barang-barang pemberian keluarga ayahnya.
 Malam Bainai
Malam Bainai adalah malam dimana calon mempelai wanita di hiasi
dengan pacar merah diujung jari-jarinya sebagai ungkapan kasih
sayang dan kesiapan keluarga untuk melepas calon mempelai wanita
dalam pernikahan.
 Manjapuik Marapulai
Pihak perempuan menjemput mempelai laki-laki dari rumahnya
untuk selanjutnya melaksanakan akad nikah di rumah
mempelai wanita.
 Akad

RESUME
HUKUM PERKAWINAN ADAT

Pengertian Hukum Perkawinan Adat

Menurut UU No.1 Tahun 1974 Perkawinan adalah ikatan lahir batin


antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa.
Dalam hukum adat, arti perkawinan sangatlah penting dalam penghidupan masyarakat
kita sebab perkawinan itu tidak hanya menyangkut wanita dan pria bakal mempelai
saja, namun juga orang tua kedua belah pihak, saudara-saudaranya, bahkan keluarga-
keluarga mereka masing-masing.
Menurut Prof. Djojodiguno perkawinan bukanlah merupakan sebuah kontrak atau
perjanjian, tetapi merupakan sebuah paguyuban yang menjadi pokok ajang hidup
suami istri beserta anaknya. Dalam bahasa Jawa disebut somah atau keluarga.
Sehingga dalam pandangan orang Jawa pasangan suami istri merupakan suatu
ketunggalan / kesatuan, yang antara lain dapat terlihat sebagai berikut :
a. Kedua mempelai melepaskan nama mereka masing-masing yang dipakai
saat kecil dan selanjutnya menggunakan nama bersama
b. Istilah bahasa Jawa “garwa” singkatan dari kata “sigaraning nyawa” yang
berarti belahan jiwa.
c. harga benda dalam bahasa jawa disebut “harga gini”

Asas-Asas Perkawinan dalam Hukum Adat

Asas-asas perkawinan dalam hukum adat dibedakan menjadi 2


golongan, yaitu :
a. Bentuk perkawinan berdasarkan arah persiapan :
 Pertunangan
Suatu keadaan yang bersifat khusus dan dilangsungkan sebelum perkawinan.
Pertunangan adalah persetujuan antar pihak laki-laki dan pihak perempuan untuk
melangsungkan perkawinan. Persetujuan ini dicapai oleh kedua belah pihak setelah
adanya proses lamaran. Pertunangan baru mengikat apabila dari pihak laki-laki sudah
memberikan kepada pihak perempuan sebuah tanda pengikat dalam adat Jawa disebut
paningset.
Pada dasarnya alasan adanya pertunangan adalah :
 Karena ingin menjamin perkawinan yang dikehendaki itu terjadi dalam
waktu yang dekat.
 Untuk membatasi pergaulan pihak yang diikat.
 Memberi kesempatan kepada kedua belah pihak untuk saling lebih
mengenal.
Namun pertuanangan ini juga masih bisa dibatalkan apabila ada
hal-hal berikut :
 Kehendak kedua belah pihak untuk membatalkan
 Salah satu pihak tidak memenuhi janjinya.
b. Bentuk perkawinan berdasarkan tata susunan kekerabatan :
Antara perkawinan dan sifat susunan kekeluargaan terdapat hubungan yang
erat sekali. Bahkan dapat dikatakan bahwa suatu peraturan hukum perkawinan sukar
dipaham tanpa peninjauan hukum kekeluargaan yang bersangkutan. Seperti yang telah
diketahui, di Indonesia terdapat 3 macam sifat kekeluargaan , yaitu patrilineal,
matrilineal, dan parental.

Perceraian
Perceraian menurut hukum adat merupakan peristiwa yang luar biasa
dan merupakan sebuah problema sosial dan yuridis yang penting dalam
kebanyakan daerah.
Pada dasarnya setiap keluarga, kerabat, serta masyarakat adanya pun
menghendaki perkawinan itu dapat dipertahankan selama hidupnya, namun
apabila perceraian itu adalah untuk kepentingan keseluruhan maka dapat
dijalankan.
Adapun sebab-sebab dibenarkannya perceraian menurut hukum
adat, adalah :
a. Istri berzinah
b. Kemandulan istri
c. Impotensi Suami
d. Suami meninggalkan istri sangat lama ataupun istri berkelakuan tidak
sopan
e. Adanya keinginan dari kedua belah pihak untuk bercerai
Larangan Perkawinan
Larangan perkawinan dalam hukum adata adalah segala sesuatu yang
dapat menyebabkan perkawinan itu tidak dapat dilaksanakan karena tidak
memenuhi persyaratan sebagaimana yang dikehendaki oleh hukum adat atau
larangan agama yang telah masuk menjadi ketentuan hukum adat.
Beberapa larangan itu adalah :
a. Karena hubungan kekerabatan
b. Karena perbedaan kedudukan
c. Karena perbedaan agama
KECERDASAN EMOSIONAL

A. Kecerdasan Emosional
A.1 Pengertian Kecerdasan Emosional
Kecerdasan emosional pertama kali dipublikasikan pada tahun 1995 oleh
seorang dosen psikologi, Daniel Goleman. Pada awal kemunculannya, banyak
kalangan yang tertarik dan kemudian terpengaruh dengan berbagai pandangan
dalam teori tersebut. Di dalam sejumlah ulasan tentang kecerdasan emosional,
dikemukakan kecerdasan emosional jauh lebih penting daripada kecerdasan dan
kemampuan intelektual seseorang dalam mempengaruhi kesuksesan hidupnya.
Salah satu hal yang mendasari pandangan ini adalah gejolak perasaan sangat
mempengaruhi proses berpikir. Misalnya, saat individu sedang marah,
konsentrasinya mulai terganggu dan kemudian mempengaruhi proses
pengambilan keputusan.
Kecerdasan emosional jika secara tradisional diartikan sebagai kemampuan
membaca, menulis, dan berhitung yang merupakan keterampilan kata dan angka
yang menjadi fokus di pendidikan formal (sekolah). Kecerdasan emosi atau
Emotional Quotation (EQ) meliputi kemampuan mengungkapkan perasaan,
kesadaran serta pemahaman tentang emosi dan kemampuan untuk mengatur
dan mengendalikannya. Kecerdasan emosional adalah kemampuan untuk
memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustasi, mengendalikan
dorongan hati dan tidak melebihlebihkan kesenangan, mengatur suasana hati
dan menjaga agar beban stres tidak melumpuhkan kemampuan berpikir
(Goleman, 2004: 45).

A.2 Definisi Kecerdasan Emosional


Selain menurut Goleman, banyak dari para ahli yang memiliki pengertian
mereka sendiri-sendiri mengenai kecerdasan emosional, diantaranya:
Steiner pada tahun 1997 dalam Utama (2009: 1) menjelaskan kecerdasan
emosi adalah suatu kemampuan yang dapat mengerti emosi diri sendiri
dan orang lain, serta mengetahui bagaimana emosi diri sendiri
terekspresikan untuk meningkatkan maksimal etis sebagai kekuatan
pribadi.
Patton pada tahun 1998 dalam Utama (2009: 1) mengemukakan
kecerdasan emosi sebagai kemampuan untuk mengetahui emosi secara
efektif guna mencapai tujuan, dan membangun hubungan yang

Produktif dan dapat meraih keberhasilan.


Bar-On pada tahun 2000 dalam Utama (2009: 1) menyebutkan
Kecerdasan emosi adalah suatu rangkaian emosi, pengetahuan emosi dan
kemampuan-kemampuan yang mempengaruhi kemampuan Keseluruhan
individu untuk mengatasi masalah tuntutan lingkungan secara efektif.

A.3 Komponen Kecerdasan Emosional


Menurut Goleman (2003: 14-15), ada empat kemampuan mendasar yang ada
pada kecerdasan emosional yaitu :
Kesadaran Diri (Self-Awareness)
Kesadaran diri emosional : kemampuan untuk membaca dan memahami emosi-
emosi dan juga mengenal pengaruhnya pada kinerja, hubungan, dan sebagainya.
Penilaian diri secara akurat : penilaian realistis dari kekuatan dan kelemahan.
Kepercayaan diri : perasaan yang kuat dan sensitif mengenai harga Diri.

Manajemen Diri (Self-Management)


Kontrol diri : kemampuan untuk menjaga agar emosi dan kata hati yang
mengganggu tetap terkontrol.
Kepantasan untuk dipercaya : sesuatu penunjukan dari kejujuran dan integritas
yang terus-menerus.
Kesungguhan : kemampuan untuk mengatur diri sendiri dan tanggung jawab
yang dimiliki.
Kemampuan beradaptasi : kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan situasi
yang berubah dan mengatasi masalah.
Orientasi kesuksesan : dorongan untuk mewujudkan standar kesempurnaan
pribadi.
Inisiatif : kesiapan untuk merebut kesempatan.

Kesadaran Sosial (Self- Awareness)


Empati : kemampuan merasakan emosi orang lain, memahami cara pandang
mereka, dan tertarik secara aktif terhadap keprihatinan mereka.
Kesadaran berorganisasi : kemampuan untuk membaca arus dari kehidupan
berorganisasi, membangun jaringan keputusan, dan menavigasikan politik.
Orientasi jasa : kemampuan untuk mengenali dan memenuhi kebutuhan
konsumen.

Kemampuan Sosial (Social-Skill)


Kepemimpinan bervisi : kemampuan untuk mengambil tanggung jawab dan
memberikan inspirasi dengan visi sebagai pendorong.
Pengaruh : kemampuan untuk mempergunakan berbagai taktik Persuasif.
Mengembangkan orang lain : feedback kecenderungan untuk mendukung
kemampuan orang lain melalui dan bimbingan.
Komunikasi : kemampuan untuk mendengarkan dan mengirimkan pesan yang
jelas, meyakinkan, dan baik.
Perubahan katalisator : keahlian dalam memprakarsai ide-ide baru dan
memimpin orang ke arah yang baru
Manajemen konflik : kemampuan untuk mengurangi
Ketidaksetujuan dan menyusun resolusi.
Membangun ikatan : keahlian mempererat dan menjaga jaringan hubungan.
Kerja tim dan kolaborasi : kemampuan mempromosikan kerjasama dan
membangun tim.

B. Pengalaman Kerja

B.1 Pengertian Pengalaman Kerja


Dalam hal penerimaan karyawan, pihak perusahaan harus benar-benar jeli
dalam melaksanakan seleksi kepada para karyawan yang akan diterima dan
dipekerjakan di perusahaannya. Sudarsono pada tahun 2001 dalam Mulyawati
(2008: 4) menyatakan dalam organisasi perusahaan, manusia merupakan faktor
penentu keberhasilan organisasi. Perusahaan yang ingin menjadi sukses,
membutuhkan syaratsyarat tertentu yang harus dimiliki oleh para karyawannya.
Dalam penerimaan karyawan diperlukan ketelitian dalam penyeleksian
karyawan baru. Setiap perusahaan dalam melakukan aktivitasnya pasti memiliki
tujuan-tujuan tertentu yang hendak dicapai. Untuk mewujudkan tujuan tersebut
setiap perusahaan harus pandai dalam memilih strategi yang utamanya
melakukan perencanaan SDM, pada intinya terfokus pada langkah-langkah
tertentu yang diambil oleh manajer atas tersedianya tenaga kerja yang tepat
untuk mencapai tujuan dan berbagai sasaran yang telah dan akan ditetapkan.
Sudarsono pada tahun 2001 dalam Mulyawati (2008: 5) menyatakan dalam
penerimaan karyawan, kualifikasi pekerja yang dibutuhkan untuk memangku
suatu jabatan, pendidikan, pengalaman, dan keterampilan yang harus dimiliki.
Dengan semakin tinggi tingkat pendidikan seorang karyawan, maka dia akan
memiliki pengetahuan atau wawasan yang luas dan didukung dengan
pengalaman kerja yang dimilikinya, maka seseorang karyawan sudah memiliki
nilai plus dalam melaksanakan tanggung jawabnya. Berbekal pengalaman yang
dimiliki, seorang karyawan juga sudah mempunyai keterampilan dan tahu cara
yang tepat untuk menyelesaikan tugasnya. Manullang & Marihot pada tahun
2001 dalam Mulyawati (2008: 5) menyatakan kemampuan seseorang ditentukan
oleh kualifikasi yang dimilikinya, antara lain : oleh pendidikan, pengalaman dan
sifat-sifat pribadi.
Pengalaman kerja menurut Manulang pada tahun 1984 dalam Ismanto (2005:
24) adalah proses pembentukan pengetahuan atau keterampilan tentang metode
suatu pekerjaan karena keterlibatan karyawan tersebut dalam pelaksanaan
tugas pekerjaan.
Pendapat lain yang dikemukakan Ranupandojo pada tahun 1984 dalam Ismanto
(2005: 24), pengalaman kerja adalah ukuran tentang lama waktu atau masa
kerja yang telah ditempuh seseorang, dapat memahami tugas-tugas suatu
pekerjaan dan telah melaksanakan dengan baik.
Menurut Trijoko pada tahun 1980 dalam Ismanto (2005: 24) pengalaman kerja
adalah pengetahuan atau keterampilan yang telah diketahui dan dikuasai
seseorang yang merupakan akibat dari perbuatan atau pekerjaan yang telah
dilakukan selama waktu tertentu.
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan pengalaman kerja adalah tingkat
penguasaan pengetahuan serta keterampilan seseorang dalam pekerjaannya
yang dapat diukur dari masa kerja dan dari tingkat pengetahuan serta
keterampilan yang dimilikinya.

B.2 Pengukuran Pengalaman Kerja


Pengukuran pengalaman kerja digunakan sebagai sarana untuk menganalisis
dan mendorong efisiensi dalam pelaksanaan tugas pekerjaan. Beberapa hal yang
digunakan untuk mengukur pengalaman kerja seseorang menurut Asri pada
tahun 1986 dalam Ismanto (2005: 25) adalah sebagai berikut :
Gerakannya mantap dan lancar

Setiap karyawan yang berpengalaman akan melakukan gerakan yang mantap


dalam bekerja tanpa disertai keraguan.
Gerakannya berirama
Artinya tercipta kebiasaan dalam melakukan pekerjaan sehari-Hari.
Lebih cepat menanggapi tanda-tanda

Artinya tanda-tanda seperti akan terjadi kecelakaan kerja.


Dapat menduga akan timbulnya kesulitan sehingga lebih siap
menghadapinya.

Oleh karena didukung oleh pengalaman kerja dimilikinya maka seorang pegawai
yang berpengalaman dapat menduga akan adanya kesulitan dan siap
menghadapinya.
Bekerja dengan tenang Seorang pegawai yang berpengalaman akan
memiliki rasa percaya diri yang cukup besar.

B.3 Faktor-faktor Pengalaman Kerja


Selain itu ada juga beberapa faktor yang mempengaruhi pengalaman kerja
karyawan. Beberapa faktor lain mungkin yang berpengaruh dalam kondisi-
kondisi tertentu menurut Handoko pada tahun 1984 dalam Mulyawati (2008:
26) adalah
Sebagai berikut :
Latar belakang pribadi, mencakup pendidikan, kursus, latihan, bekerja.
Untuk menunjukkan apa yang telah dilakukan Seseorang di waktu yang
lalu.
Bakat dan minat, untuk memperkirakan minat dan kapasitas atau
kemampuan seseorang.
Sikap dan kebutuhan (attitudes dan needs) untuk meramalkan tanggung
jawab dan wewenang seseorang.
Kemampuan-kemampuan analisis dan manipulatif untuk Mempelajari
kemampuan penilaian dan penganalisaan.
Keterampilan dan kemampuan teknik, untuk menilai
Kemampuan dalam aspek-aspek teknik pekerjaan.

Ada beberapa hal juga yang diperlukan untuk menentukan berpengalaman


tidaknya seorang karyawan yang sekaligus sebagai indikator pengalaman kerja
menurut Foster pada tahun 2001 dalam Mulyawati (2008: 28) yaitu :
Lama waktu/ masa bekerja
Ukuran tentang lama waktu atau masa kerja yang telah ditempuh seseorang
dapat memahami tugas-tugas suatu pekerjaan dan telah melaksanakan dengan
baik.
Tingkat pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki Pengetahuan
merujuk pada konsep, prinsip, prosedur, kebijakan atau informasi lain
yang dibutuhkan oleh karyawan. Pengetahuan juga mencakup
kemampuan untuk memahami dan menerapkan informasi pada tanggung
jawab pekerjaan. Sedangkan keterampilan merujuk pada kemampuan
fisik yang dibutuhkan untuk mencapai atau menjalankan suatu tugas atau
pekerjaan.
Penguasaan terhadap pekerjaan dan peralatan
Tingkat penguasaan seseorang dalam pelaksanaan aspek-aspek teknik peralatan
dan teknik pekerjbekerj
C. Prestasi Akademik

C.1 Pengertian Prestasi


Menurut Qohar pada tahun 2000 dalam Sahputra (2009: 15) prestasi adalah
hasil dari suatu kegiatan yang telah dikerjakan, diciptakan, baik secara individual
maupun kelompok. Prestasi tidak akan pernah dihasilkan tanpa suatu usaha baik
berupa pengetahuan maupun berupa keterampilan.
Nasrun pada tahun 2000 dalam Sahputra (2009: 15) menyebutkan prestasi
menyatakan hasil yang telah dicapai, dilakukan, dikerjakan dan sebagainya,
dengan hasil yang menyenangkan hati dan diperoleh dengan jalan keuletan
kerja.

C.2 Pengertian Prestasi Akademik


Institusi pendidikan dianggap sebagai tempat terjadinya proses belajar dan
mengajar dan merupakan institusi sosial yang tetap eksis sampai sekarang.
Mahasiswa yang menempuh jenjang pendidikan di beberapa institusi baik negeri
dan swasta, tingkat kesuksesan mereka dalam pendidikan diukur dengan nilai.
Mahasiswa dengan nilai yang baik dianggap sebagai mahasiswa yang berprestasi
atau “berhasil”, dalam memahami dan menginplementasikan ilmu yang telah
diperoleh.
Baiquni pada tahun 2007 dalam Sahputra (2009: 11) menyatakan dalam situasi
belajar yang sifatnya kompleks dan menyeluruh serta membutuhkan dan
melibatkan interaksi, sering kali ditemukan mahasiswa yang tidak dapat meraih
prestasi akademik yang setara dengan kemampuan inteligensianya, karena pada
dasarnya prestasi akademik merupakan hasil interaksi dari berbagai faktor yang
berbeda antara satu individu dengan individu lainnya.
Prestasi akademik menurut Sobur pada tahun 2006 dalam Sahputra (2009: 15)
merupakan perubahan dalam hal kecakapan tingkah laku, ataupun kemampuan
yang dapat bertambah selama beberapa waktu dan tidak disebabkan proses
pertumbuhan, tetapi adanya situasi belajar. Wujud dari proses belajar tersebut
dapat berupa lisan maupun tulisan, dan keterampilan serta pemecahan masalah
langsung dapat diukur atau dinilai dengan menggunakan tes yang terstandar.

C.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Prestasi Akademik


Banyak faktor yang bisa mempengaruhi prestasi akademik seseorang. Menurut
Rola pada tahun 1996 dalam Sahputra (2009: 16) ada empat faktor yang
mempengaruhi prestasi akademik yaitu :
Pengaruh Keluarga dan Kebudayaan
Besarnya kebebasan yang diberikan orang tua kepada anaknya, jenis pekerjaan
orang tua dan jumlah serta urutan anak dalam keluarga memiliki pengaruh yang
sangat besar dalam perkembangan prestasi. Produk-produk kebudayaan pada
suatu daerah seperti cerita rakyat, sering mengandung tema prestasi yang dapat
membangkitkan semangat.
Peranan Konsep Diri
Konsep diri merupakan bagaimana individu berpikir tentang dirinya sendiri.
Apabila individu percaya dirinya mampu untuk melakukan sesuatu, maka
individu itu akan termotivasi untuk melakukan hal tersebut sehingga
berpengaruh dalam tingkah lakunya.
Pengaruh Dari Peran Jenis Kelamin
Prestasi akademik yang tinggi sering diidentikkan dengan maskulinitas, sehingga
banyak wanita yang belajar tidak maksimal khususnya jika wanita tersebut
berada di antara pria. Pada wanita terdapat kecenderungan takut akan
kesuksesan, yang artinya pada wanita terdapat kekhawatiran dirinya akan
ditolak oleh masyarakat apabila dirinya memperoleh kesuksesan, namun sampai
saat ini konsep tersebut masih diperdebatkan.
Pengakuan dan Prestasi
Individu akan berusaha bekerja keras jika dirinya merasa dipedulikan oleh orang
lain. Dimana prestasi sangat dipengaruhi oleh peran orang tua, keluarga dan
dukungan lingkungan tempat dimana individu berada. Individu yang diberi
dorongan untuk berprestasi akan lebih realistis dalam mencapai tujuannya.
Sedangkan di lain pihak Soemanto pada tahun 2006 dalam Sahputra (2009: 17)
menyatakan faktor yang mempengaruhi prestasi dan tingkah laku individu
adalah:
Konsep Diri
Pikiran atau persepsi individu tentang dirinya sendiri, merupakan faktor yang
penting mempengaruhi prestasi dan tingkah laku individu.
Locus of Control
Dimana individu merasa melihat hubungan antara tingkah laku dan akibatnya,
apakah dapat menerima tanggung jawab atau tidak atas tindakannya. Locus of
Control mempunyai dua dimensi yaitu dimensi eksternal dan dimensi internal.
Dimensi eksternal akan menganggap tanggung jawab atas segala perbuatan
berada di luar diri pelaku. Sedangkan dimensi internal melihat tanggung jawab
segala perbuatan berada pada diri si pelaku. Individu yang memiliki locus of
control eksternal memiliki kegelisahan, kecurigaan dan rasa permusuhan.
Sedangkan individu yang memilik locus of

Control internal suka bekerja sendiri dan efektif.


Kecemasan yang Dialami
Kecemasan merupakan gambaran emosional yang dikaitkan dengan ketakutan.
Dimana dalam proses belajar mengajar, individu memiliki derajat dan jenis
kegelisahan yang berbeda.
Motivasi Hasil Belajar
Jika motivasi individu untuk berhasil lebih kuat daripada motivasi untuk tidak
gagal, maka individu akan segera merinci kesulitan-kesulitan yang dihadapinya.
Sebaliknya, jika motivasi individu untuk tidak gagal lebih kuat, individu akan
mencari soal yang lebih muda atau lebih sukar.

Kerangka Penelitian Kecerdasan emosional dapat diartikan sebagai kemampuan


mental yang Membantu kita mengendalikan dan memahami perasaan-perasaan
kita dan orang lain Yang menuntun kepada kemampuan untuk mengatur
perasaan-perasaan tersebut. Dalam bidang Psikologi kecerdasan emosional
merupakan hal yang masih baru. Kecerdasan emosional mulai terkenal ketika
diperkenalkan secara massal oleh Goleman pada tahun 1995. Di dalam salah satu
bukunya Goleman menyebutkan Bahwa seseorang di samping kecerdasan
intelektual (IQ) ada kecerdasan lain yang membantu seseorang sukses yakni
kecerdasan emosional (EQ). Bahkan secara khusus dikatakan kecerdasan
emosional lebih berperan dalam kesuksesan dibandingkan kecerdasan
intelektual. Klaim ini memang terkesan agak dibesarkan-besarkan meskipun ada
beberapa penelitian yang menunjukkan kebenaran ke arah sana. Sebuah studi
bahkan menyebutkan IQ hanya berperan 4%-25% terhadap kesuksesan dalam
pekerjaan. Sisanya ditentukan oleh EQ atau faktor-faktor lain di luar IQ tadi.
Pengalaman kerja adalah kemampuan atas segala sesuatu yang telah diperoleh
dan dimiliki oleh para karyawan melalui aktivitas jasmani yang biasanya
ditunjukkan dalam masa kerja. Tingkat keahlian seseorang dapat dihubungkan
dengan pengalaman kerjanya, artinya dengan pengalaman yang banyak berarti
keahliannya juga cukup tinggi. Manulang pada tahun 1992 dalam Mulyawati
(2008: 6) menyatakan kesanggupan untuk dapat menyelesaikan suatu tugas
tertentu dengan berhasil tidak saja ditentukan oleh pengalaman, akan tetapi
lebih banyak dipengaruhi oleh inteligensi seseorang.
Setiawan pada tahun 2006 dalam Sahputra (2009: 15) mengatakan prestasi
akademik adalah istilah untuk menunjukkan suatu pencapaian tingkat
keberhasilan tentang suatu tujuan, karena suatu usaha belajar telah dilakukan
oleh seseorang secara optimal.
Pada penelitian ini peneliti berusaha mencari hubungan kecerdasan emosional
dengan pengalaman kerja dan prestasi akademis mahasiswa Pasca Sarjana UAJY.
Untuk lebih jelasnya hubungan kecerdasan emosional, pengalaman kerja, dan
prestasi akademis.

D. Hipotesis

Shipley, Jackson dan Segrest (2010: 4), dalam buku Working with Emotional
Intelligence, Daniel Goleman menulis tingkat kecerdasan emosional itu tidak
terjadi.
secara genetik dan tidak berkembang hanya pada anak usia dini. Tidak seperti
kecerdasan intelektual, yang berubah seiring dengan pertumbuhan, misalnya
setelah masa remaja, kecerdasan emosional justru sebagian besar dipelajari dan
terusmenerus berkembang seiring dengan menjalani dan belajar dari
pengalaman. Penelitian telah mempelajari tingkat kecerdasan emosional orang-
orang dari tahun ke tahun semakin baik kemampuannya saat bertumbuh, lebih
mahir dalam menangani emosi, memotivasi diri sendiri, mengasah empati dan
kemampuan sosial.
RESUME
KECERDASAN EMOSIONAL EQ
Kecerdasan emosional pertama kali dipublikasikan pada tahun 1995 oleh
seorang dosen psikologi, Daniel Goleman. Pada awal kemunculannya, banyak
kalangan yang tertarik dan kemudian terpengaruh dengan berbagai pandangan
dalam teori tersebut. Di dalam sejumlah ulasan tentang kecerdasan emosional,
dikemukakan kecerdasan emosional jauh lebih penting daripada kecerdasan dan
kemampuan intelektual seseorang dalam mempengaruhi kesuksesan hidupnya.
Salah satu hal yang mendasari pandangan ini adalah gejolak perasaan sangat
mempengaruhi proses berpikir. Misalnya, saat individu sedang marah,
konsentrasinya mulai terganggu dan kemudian mempengaruhi proses
pengambilan keputusan.
Dalam hal penerimaan karyawan, pihak perusahaan harus benar-benar jeli
dalam melaksanakan seleksi kepada para karyawan yang akan diterima dan
dipekerjakan di perusahaannya. Sudarsono pada tahun 2001 dalam Mulyawati
(2008: 4) menyatakan dalam organisasi perusahaan, manusia merupakan faktor
penentu keberhasilan organisasi. Perusahaan yang ingin menjadi sukses,
membutuhkan syaratsyarat tertentu yang harus dimiliki oleh para karyawannya.
 Pengukuran pengalaman kerja digunakan sebagai sarana untuk
menganalisis dan mendorong efisiensi dalam pelaksanaan tugas
pekerjaan. Beberapa hal yang digunakan untuk mengukur
pengalaman kerja seseorang menurut Asri pada tahun 1986 dalam
Ismanto.
 Selain itu ada juga beberapa faktor yang mempengaruhi pengalaman
kerja karyawan. Beberapa faktor lain mungkin yang berpengaruh
dalam kondisi-kondisi tertentu menurut Handoko pada tahun 1984
dalam Mulyawati.

Kerangka Penelitian Kecerdasan emosional dapat diartikan sebagai kemampuan


mental yang Membantu kita mengendalikan dan memahami perasaan-perasaan
kita dan orang lain Yang menuntun kepada kemampuan untuk mengatur
perasaan-perasaan tersebut. Dalam bidang Psikologi kecerdasan emosional
merupakan hal yang masih baru. Kecerdasan emosional mulai terkenal ketika
diperkenalkan secara massal oleh Goleman pada tahun 1995.
Shipley, Jackson dan Segrest (2010: 4), dalam buku Working with Emotional
Intelligence, Daniel Goleman menulis tingkat kecerdasan emosional itu tidak
terjadi. secara genetik dan tidak berkembang hanya pada anak usia dini. Tidak
seperti kecerdasan intelektual, yang berubah seiring dengan pertumbuhan,
misalnya setelah masa remaja, kecerdasan emosional justru sebagian besar
dipelajari dan terusmenerus berkembang seiring dengan menjalani dan belajar
dari pengalaman. Penelitian telah mempelajari tingkat kecerdasan emosional
orang-orang dari tahun ke tahun semakin baik kemampuannya saat bertumbuh,
lebih mahir dalam menangani emosi, memotivasi diri sendiri, mengasah empati
dan kemampuan sosial.

Anda mungkin juga menyukai