BATAK
Dosen :
Emi Zulaika,SH.,M.H.
OLEH :
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS JEMBER
2020
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
1
B. RUMUSAN MASALAH
C. TUJUAN PENULISAN
2
BAB II
PEMBAHASAN
Atau bisa disebut juga sebagai hukum yang tumbuh dari kesadaran hukum,
menjelmakan rasa hukum yang nyata dari rakyat, serta pembentukan norma
tidak bergantung pada penguasa rakyat. Hukum adat merupakan pola hidup
masyarakat, karena ia tumbuh dari suatu kebutuhan hidup yang riil. Oleh
karenanya, hukum adat meskipun bersifat tradisional namun memiliki nilai
elastis dan dinamis. Hal di atas kiranya akan lebih diperjelas dengan melihat
kepada kerakteristik hukum adat. Hukum adat
3
Dalam hukum adat perkawinan itu bukan hanya merupakan peristiwa
penting bagi mereka yang masih hidup saja, tetapi perkawinan juga
merupakan peristiwa yang sangat berarti serta sepenuhnya mendapat
perhatian. Dengan demikian, perkawinan menurut hukum adat merupakan
suatu hubungan kelamin antara laki-laki dengan perempuan, yang membawa
hubungan lebih luas, yaitu antara kelompok kerabat laki-laki dan perempuan,
bahkan antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain. Hubungan
yang terjadi ini ditentukan dan diawasi oleh sistem norma-norma yang berlaku
di dalam masyarakat itu. Perkawinan ideal ialah suatu bentuk perkawinan
yang terjadi dan dikehendaki oleh masyarakat.
Dalam hukum adat (terutama batak), rukun dan syarat perkawinan sama
dengan yang terdapat dalam hukum Islam, yaitu adanya calon mempelai laki-
laki, calon mempelai wanita, wali nikah, adanya saksi dan dilaksanakan
melalui ijab qabul.
4
2. Bentuk perkawinan semendo (suitor service marriage). Yaitu si
istri tetap bertempat tinggal ditempat keluarga ibunya, dan
suamilah yang datang ketempat istrinya, baik secara menetap
ataupun tidak.
3. Bentuk perkawinan bebas (exchange marriage). Si istri boleh
bertempat tinggal ditempat suami, atau ditempat asli istri,
satu dengan lainnya, sesuai dengan kehendak kedua
mempelai.
Di Tapanuli Selatan dianut system perkawinan jujur dan
asimetris (searah). Hal ini sesuai dengan sisitem kekeluargaan
yang menarik garis keturunan kebapaan, dalam perkawinan
jujur di
5
oleh keluarga anak perempuan itu, kemungkinan peminangan
itu akan ditolak.
6
di dalamnya masuk daerah di lembah Silindung yaitu Tarutung, Sipahutar,
Pangaribuan, Garoga dan Pahae. Daerah Humbang diantaranya Dolok Sanggul,
Onan Ganjang, Lintong Ni huta, Pakkat dan sekitarnya. Sementara Toba meliputi
Balige, Porsea, Samosir, Parsoburan dan Huta Julu.
Dari ketiga daerah Batak Toba tersebut, juga memiliki perbedaan dalam hal
adat – istiadat juga, diantaranya perbedaan dalam tata adat perkawinan,
pemakaman juga dalam pembagian warisan. Dan dalam adat – istiadat juga ada
beberapa daerah yang sangat patuh terhadap dalam adat atau dengan kata lain adat
– istiadat nya sangat kuat, itu dikarenakan daerah dan keadaan daerah yang masih
menjunjung tinggi sistem adat- istiadat. Daerah yang sangat menjunjung tinggi
adat – istiadat tersebut adalah masyarakat daerah Humbang dan daerah Toba.
Masyarakat ini biasanya selalu mempertahankan kehidupan dari budaya dan adat
– istiadat mereka.
G. Sistem Patrilineal
Patrilineal adalah suatu adat masyarakat yang mengatur alur keturunan berasal
dari pihak ayah. Dimana jika terjadi masalah maka yang bertanggungjawab adalah
pihak laki-laki. Sistem kekeluargaan ini dianut oleh bangsa Arab, Eropa, dan
suku Batak yang hidup di daerah Sumatera Utara.
Kata Patrilineal seringkali disamakan dengan patriarkhat atau patriarkhi,
meskipun pada dasarnya artinya berbeda. Patrilineal berasal dari dua kata,
yaitu pater (bahasa Latin) yang berarti “ayah”, dan linea (bahasa Latin) yang
berarti “garis”. Jadi, “patrilineal” berarti mengikuti “garis keturunan yang ditarik
dari pihak ayah”. Sementara itupatriarkhat berasal dari dua kata yang lain,
yaitu pater yang berarti “ayah” dan archein(bahasa Yunani) yang berarti
“memerintah”. Jadi, “patriarkhi” berarti “kekuasaan berada di tangan ayah atau
pihak laki-laki“. Dari pengertian tersebut jelas terlihat perbedaan makna dari
kedua kata tersebut. Patrilineal mengarah ke garis keturunan dan patriarkhat lebih
menjurus kearah kekuasaan. Meski kedua hal tersebut sama-sama memiliki kaitan
dengan pihak laki-laki.
H. Hukum Waris Adat
7
Khususnya di Indonesia banyak dikenal system hukum waris yang dapat
diberlakukan dalam masyarakat, ini tidak terlepas dari aspek sejarah bahwa
system hokum yang pernah eksis dalam sejarah Negara Indonesia sangat plural
(majemuk) , antara lain hukm waris barat, hokum waris islam, dan hokum waris
adat.
Hokum waris adat merupakan penggunaan istilah yang berbeda dengan hokum
waris lainnya, sehingga terlihat hokum waris adat merupakan system yang
berbeda dengan hokum waris islam dan huku waris barat yang sampai sekarang
masih banyak dianut oleh anggota masyarakat.
Oleh karenanya, perlu ditegaskan hokum waris adat merupakan salah satu dari
sekian banyak system hokum yang ada dalam hokum adat yang bersumber dari
akar budaya asli bangsa Indonesia yang beraneka ragam.
I. Hukum Waris Adat Batak Toba
Dalam pembagian warisan orang tua. Yang mendapatkan warisan adalah anak laki
– laki sedangkan anak perempuan mendapatkan bagian dari orang tua suaminya
atau dengan kata lain pihak perempuan mendapatkan warisan dengan cara hibah.
Pembagian harta warisan untuk anak laki – laki juga tidak sembarangan, karena
pembagian warisan tersebut ada kekhususan yaitu anak laki – laki yang paling
kecil atau dalam bahasa batak nya disebut Siapudan. Dan dia mendapatkan
warisan yang khusus. Dalam sistem kekerabatan Batak Parmalim, pembagian
harta warisan tertuju pada pihak perempuan. Ini terjadi karena berkaitan dengan
system kekerabatan keluarga juga berdasarkan ikatan emosional kekeluargaan.
Dan bukan berdasarkan perhitungan matematis dan proporsional, tetapi biasanya
dikarenakan orang tua bersifat adil kepada anak – anak nya dalam pembagian
harta warisan.
Dalam masyarakat Batak non-parmalim (yang sudah bercampur dengan budaya
dari luar), hal itu juga dimungkinkan terjadi. Meskipun besaran harta warisan
yang diberikan kepada anak perempuan sangat bergantung pada situasi, daerah,
pelaku, doktrin agama dianut dalam keluarga serta kepentingan keluarga. Apalagi
ada sebagian orang yang lebih memilih untuk menggunakan hukum perdata dalam
hal pembagian warisannya.
8
Hak anak tiri ataupun anak angkat dapat disamakan dengan hak anak kandung.
Karena sebelum seorang anak diadopsi atau diangkat, harus melewati proses adat
tertentu. Yang bertujuan bahwa orang tersebut sudah sah secara adat menjadi
marga dari orang yang mengangkatnya. Tetapi memang ada beberapa jenis harta
yang tidak dapat diwariskan kepada anak tiri dan anak angkat yaitu Pusaka turun –
temurun keluarga. Karena yang berhak memperoleh pusaka turun-temurun
keluarga adalah keturunan asli dari orang yang mewariskan.
Dalam Ruhut-ruhut ni adat Batak (Peraturan Adat batak) jelas di sana diberikan
pembagian warisan bagi perempuan yaitu, dalam hal pembagian harta warisan
bahwa anak perempuan hanya memperoleh: Tanah (Hauma pauseang), Nasi Siang
(Indahan Arian), warisan dari Kakek (Dondon Tua), tanah sekadar (Hauma Punsu
Tali). Dalam adat Batak yang masih terkesan Kuno, peraturan adat – istiadatnya
lebih terkesan ketat dan lebih tegas, itu ditunjukkan dalam pewarisan, anak
perempuan tidak mendapatkan apapun. Dan yang paling banyak dalam mendapat
warisan adalah anak Bungsu atau disebut Siapudan. Yaitu berupa Tanak Pusaka,
Rumah Induk atau Rumah peninggalan Orang tua dan harta yang lain nya dibagi
rata oleh semua anak laki – laki nya. Anak siapudan juga tidak boleh untuk pergi
meninggalkan kampong halaman nya, karena anak Siapudan tersebut sudah
dianggap sebagai penerus ayahnya, misalnya jika ayahnya Raja Huta atau Kepala
Kampung, maka itu Turun kepada Anak Bungsunya (Siapudan).
Jika kasusnya orang yang tidak memiliki anak laki-laki maka hartanya jatuh ke
tangan saudara ayahnya. Sementara anak perempuannya tidak mendapatkan
apapun dari harta orang tuanya. Dalam hukum adatnya mengatur bahwa saudara
ayah yang memperoleh warisan tersebut harus menafkahi segala kebutuhan anak
perempuan dari si pewaris sampai mereka berkeluarga.
Dan akibat dari perubahan zaman, peraturan adat tersebut tidak lagi banyak
dilakukan oleh masyarakat batak. Khususnya yang sudah merantau dan
berpendidikan. Selain pengaruh dari hukum perdata nasional yang dianggap lebih
adil bagi semua anak, juga dengan adanya persamaan gender dan persamaan hak
antara laki – laki dan perempuan maka pembagian warisan dalam masyarakat adat
Batak Toba saat ini sudah mengikuti kemauan dari orang yang ingin memberikan
9
warisan. Jadi hanya tinggal orang-orang yang masih tinggal di kampung atau
daerah lah yang masih menggunakan waris adat seperti di atas. Beberapa hal
positif yang dapat disimpulkan dari hukum waris adat dalam suku Batak Toba
yaitu laki-laki bertanggung jawab melindungi keluarganya, hubungan kekerabatan
dalam suku batak tidak akan pernah putus karena adanya marga dan warisan yang
menggambarkan keturunan keluarga tersebut. Dimana pun orang batak berada
adat istiadat (partuturan) tidak akan pernah hilang.
10
kepada abang si gadis. Jika pemuda itu dapat mengalahkan abang si
gadis didalam suatu pertempuran maka perdamaian akan dipulihkan
kedua belah pihak. Dengan jalan mempertunangkan salah seorang
cucu perempuan muda dari parboru dengan cucu lelaki dari orang
yang tadinya anak perempuan dari parboru itu dipertunangkan.
Kemudian dari parboru juga harus menyerahkan dua ekor lembu
dan setengah dari suatu rumah sebagai ulos topot-topot (selembar kain
yang pada hakikatnya adalah hukuman), sedangkan parboru tidak
mendapatkan apa-apa. Sebenarnya penyelesaian seperti itu tampak
sangat rumit, tetapi dikalangan orang Batak, hal seperti itu di anggap
sesuatu yang biasa.
11
perjanjian, begitu pula setiap barang yang diberikannya, akan
dinyatakan batal, pemberian yang sudah diterima harus dikembalikan.
12
b. Marlojong / mangalua (Kawin lari).
1) Sumbang.
2) Manaek (menaiki).
13
anaknya lahir, tapi sekarang dengan adanya agama maka
dinikahkan secara agama.Dalam prakteknya pernikahan yang
paling sering dilakukan oleh masyarakat Padang sidimpuan
adalah pernikahan pertunangan dan pernikahan lari (kawin
lari), walaupun ada beberapa kasus yang melangsungkan
pernikahan dengan sumbang.
Masing masing kedua cara ini ada aturan, tata cara, dan tata
tertibnya yang harus selalu dipatuhi oleh setiap orang Batak.
Kedua bentuk perkawinan itu tergambar lewat pantun Tapanuli
berikut ini, /Aha na tubu di lambung ni suhat/Ulang baen
margonjong- gonjong/Adong namarbagas dipabuat/Dung i muse
14
adong na marlojong/ yang artinya adalah, /Apa yang tumbuh
dekat keladi/Jangan dibuat berderet lagi/Ada yang kawin dilamar
pasti/ Namun ada yang kawin lari. Perbuatan marlojong ‘kawin
lari’ pada masyarakat Tapanuli Selatan merupakan satu
kebiasaan apabila perkawinan yang umum tidak dapat dilakukan.
Untuk itu, perlu diketahui dan dipahami dengan baik
perkawinan menurut adat Dalihan na Tolu ini di daerah
Tapanuli. Jadi, perkawinan marlojong ini merupakan jalan
keluar yang akan ditempuh oleh sepasang muda-mudi batak
apabila mereka memperoleh kesulitan dan kendala yang tidak
dapat diselesaikan. Untuk itu, penyelesaian masalah dapat
dilakukan melalui mufakat seperti kata pantun Tapanuli berikut
ini,
15
rohana pula yang berasal dari kata roha yang berarti ‘hati’ dan
akhiran na yang berarti ‘nya’. Jadi, ungkapan mambaen rohana
berarti ‘berbuat hatinya’ yang mengandung pengertian ‘menurutkan
kata hatinya’.
16
Istilah marlojong takko-takko mata pula berasal dari kata
marlojong ‘berlari’, takko-takko yang berarti ‘curi-curi’ dan mata
yang juga berarti ‘mata’. Sehingga istilah marlojong takko-takko
mata ini
17
bujing/Madung jujung adat matobang/ yang artinya adalah,
/Tanggalkan gelang tangan manis/Saat masuk gelang
biasa/Tinggalkan kebiasan anak gadis/ sudah sampai ke masa dewasa.
Kalau seorang anak gadis marlojong dengan seorang pemuda, ada
beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu:
18
anak gadis harus bersiap-siap membawa teman.Fungsi temannya ini
adalah sebagai
BAB III
KESIMPULAN
19
System kekerabatan yang digunakan masyarakat batak toba adalah system
patrilineal, dimana warisan lebih dominan diberikan kepada anak laki-laki.
Sedangkan anak perempuan mendapat warisan berupa hibah dari suaminya.
Pembagian warisan dalam masyarakat adat Batak Toba saat ini sudah
mengikuti kemauan dari orang yang ingin memberikan warisan. Laki-laki
bertanggung jawab melindungi keluarganya, hubungan kekerabatan dalam suku
batak tidak akan pernah putus karena adanya marga dan warisan yang
menggambarkan keturunan keluarga tersebut. Dimana pun orang batak berada
adat istiadat (partuturan) tidak akan pernah hilang. Jadi hanya tinggal orang-
orang yang masih tinggal di kampung atau daerah lah yang masih menggunakan
waris adat dengan sistem patrilineal.
Adapun sistem yang digunakan dalam pernikahan masyarakat batak toba
antara lain Boru Nadipabuat (Perjodohan), Marlojong / mangalua (Kawin
lari), Tangko Binoto (mencuri tapi diketahui), Boru Nasimbahor (perkawinan
terlarang).
Untuk dapat meneruskan keturunan suatu keluarga, masyarakat batak
toba khususnya melakukan pernikahan. Sebelum melakukan pernikahan
dalam masyarakat Batak sangat identik dengan pertunangan untuk
menentukan jodoh yang sesuai menurut orang tua untuk anaknya. Hal tersebut
dilatar belakangi semata-mata merupakan transaksi keuangan. Selain itu,
untuk masiboruan (mengadakan hubungan boru) dengan jalan
mempertunangkan anak-anak. Hal ini karena hasrat orang tua untuk menjadi
tondong (lebih dekat secara kekeluargaan) satu sama lain.
DAFTAR PUSTAKA
20
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, Menurut Perundangan,
Hukum Adat, Hukum Agama, Bandung: Mandar Maju, 1990, hlm. 23.
Soerjono Soekanto, Intisari Hukum Keluarga, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,
1992, hlm. 34.
https://id.scribd.com/doc/291390854/.
21