Ilham
Fakultas Hukum
Universitas Diponegoro
2015
BAB I
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Toraja Sa’dan adalah masyarakat yang berada dalam lingkup wilayah Toraja Selatan di
wilayah kabupaten Tana Toraja, khususnya yang mendiami wilayah sekitaran sungai Sa’dan.
Dalam masyarakat yang memegang adat tentu mempunyai tata cara perkaawinan yang mungkin
berbeda dengan daerah lainnya di Indonesia, bahkan bukan tidak mungkin untuk berbeda dengan
peraturan yang terdapat dalam perundang-undangan nasional Indonesia
Oleh karena itu maka disini akan dibahas mengenai kebudayaan yang ada dalam
masyarakat Toraja Sa’dan, khususnya yang terkait dengan perkawinan tentang tata cara dan
syarat-syarat perkawinan yang kemudian akan dikaitkan dengan perundang-undangan nasional
untuk dilihat apakah terdapat perbedaan antara kedua hukum tersebut.
B. Rumusan Masalah
1. Meliputi mana saja masyarakat Toraja Sa’dan
2. Tata Cara perkawinan dalam masyarakat Toraja Sa’dan
3. Kaitan budaya perkawinan dengan hukum nasional
C. Tujuan
1. Mengetahui perkawinan yang ada didalam masyarakat Toraja Sa’dan
2. Mengetahui hubungan perkawinan masyarakat Toraja Sa’dan dengan hukum Nasional
BAB II
PEMBAHASAN
Masyarakat adat Toraja Sa’dan adalah masyarakat yang mendiami daerah sungai Sa’dan
hingga sebagian dari wilayah toraja selatan yang sekarang diliputi oleh kabupaten Tana Toraja
atau termasuk kedalam wilayah Provinsi Sulawesi Selatan. Namun terdapat perbedaan-perbedaan
yang ada diantara di wilayah Toraja Sa’dan itu karena didalamnya terbagi lagi menjadi 3 wilayah
yang hukumnya berbeda antara ketiganya itu, yakni dipuangi, Diambe’i, dan dima’dikai. .
Kemudian didalam masyarakat ini masih terbentuk dari berbagai lapisan masyarakat dari yang
kedudukannya tinggi hingga rendah.
Bila dibandingkan kebudayaan lain yang terhitung dekat dari masyarakat Toraja
Sa’dan ini akan tetap terlihat perbedaan. Dalam masyarakat Bugis-Makassar pesta dan
upacara pernikahan yang akan diberlangsungkan dibuat agar menjadi meriah. Bahkan
dalam adat lain biasanya perkawinan itu menggunakan penyembelihan hewan atau
pengorbanan kepada dewa. Dalam hal ini maka akan sangat berbeda dengan masyarakat
Toraja Sa’dan yang masih menganut kepercayaannya asli namun dalam upacara
perkawinannya tidak dibuat meriah dan hanya sederhana saja.
Meskipun tidak terlalu meriah dibanding masyarakat lain, tetap tidak dapat
diambil kesimpulan bahwa lembaga dalam masyarakat adat disini, Rampanan Kapa’
(Perkawinan) merupakan hal yang penting. Karena terkait dengan perkawinan ada dalam
penuturan mitos masyarakat setempat, cerita tentang terjadinya alam semesta selalu
dituturkan bahwa lembaga perkawinan telah ditentukan oleh Puang Matua (Dewa Utama)
sendiri. Sehingga aturan-aturan mengenai perkawinan mempunyai dasarnya di langit dan
pelanggaran terhadapnya mempunyai akibat yang buruk bagi manusia dan keturunannya.
Hal yang melatarbelakangi hal ini adalah karena Puang Matua meletakkan dasar-
dasar mengenai perkawinan ini menjadi hal yang pertama kali, setelah itu baru Puang
Matua menetapkan ketentuan-ketentuan mengenai cara menyembah dewa dan leluhur.
Karena ketentuan mengenai perkawinan idciptakan pertama kali dan hal ini tidak terkait
dalam lingkup pemujaan/religi, maka dalam pelaksanaannya berdasarkan adat dan tidak
memerlukan persembahan.
Oleh karena itu maka dapat disimpulkan bahwa walaupun berbeda dengan
kematian, perkawinan tidak memerlukan upacara-upacara atau perkembangan khusus
2) Syarat perkawinan
Dalam perkawinan adat Toraja Sa’dan tidak ada batasan mengenai umur dari para
calon suami atau isteri sehingga dapat dikawinkan ketika sudah dianggap dewasa dan
mampu untuk menjalankan rumah tangganya. Kemudian biasanya mengenai perkawinan
ini ada atas dasar persetujuan kedua calon mempelai dan izin dari orang tua
Dalam hukum adat disini ketika seorang perempuan dipinang maka peran
keluarga besar sangat penting karena selanjutnya akan dilakukan pengusutan mengenai
calon mempelai untuk kemudian ditentukan apakah orang tua menyetujui untuk
menikahkan anaknya atau tidak.
3) Larangan Perkawinan
Sistem kekerabatan yang ada di Toraja Sa’dan adalah berdasarkan
pengelompokan kasta yang berlapis-lapis. Maka dari itu dimungkinkan adanya larangan
perkawinan yang terjadi antara lapisan tersebut. Meskipun dimasa sekarang hal seperti ini
dianggap sudah tidak relevan, namun menurut kepercayaan masyarakat adat disini
apabila tidak ada larangan terhadap perkawinan antar lapisan maka akan dapat
menimbulkan ketidakseimbangan alam.
Wanita yang berasal dari lapisan atas dilarang untuk menikah dengan pria yang
berasal dari lapisa’n bawah. Suatu ketentuan seperti ini tentu memiliki sanksi, yakni
apabila seorang budak melakukan hubungan seksual dengan wanita yang berdarah
bangsawan maka hukuman yang harus diterima pria adalah kematian dengan cara
dihanyutkan atau dipukul dengan pentungan. Cara ini adalah agar dalam eksekusinya
tidak menimbulkan darah pria menyentuh tanah. Kemudian sanksi yang diberikan kepada
wanita seharusnya adalah kematian juga, namun dalam banyak kasus pada praktek
biasanya hanya diasingkan saja.
Kebalikan dari kasus diatas adalah seorang pria yang berasal dari golongan
bangsawan boleh untuk menikahi wanita yang berasal dari golongan budak. Namun
dampaknya adalah anak yang dihasilkan dari hubungan tersebut tidak akan memperoleh
kedudukan bangsawan dari bapaknya dan tidak dapat masuk kedalam lingkungan
kekerabatan bapaknya.
Apabila sikap yang diberikan pihak wanita positif maka utusan embawa sirih-
pinang untuk kemudian dikirimkan kepada keluarga yang hendak dipinang itu, yang
biasanya disertai pula dengan sepasang pakaian untuk wanita. Apabila sikap yang
diberikan pihak wanita adalahnegatif maka sirih yang diberikan tadi harus dikembalikan
kepada pihak pria dalam 3 hari, apabila tidak maka lamaran dianggap diterima. Apabila
sudah diterima maka keluarga pria mengirim utusan kembali kepada pihak wanita untuk
membicarakan bentuk penyelenggaraan dan proses perkawinan. Apabila acaranya
sederhana maka calon suami diantarkan oleh beberapa teman pria yang bukan
keluarganya datang berkunjung ke tempat wanita beberapa malam berturut-turut.
Kemudian dalam malam ketiga akan diadakan perkawinan dan diresmikan dengan acara
makan bersama yang sangat sederhana, yaitu hanya makan nasi bersama garam atau lauk
ikan belut yang disaksikan oleh keluarga terdekat si wanita, pengantar dari pria, serta
kepala adat setempat
Monogami/poligami
Dalam masyarakat adat toraja , pada umumnya bentuk perkawinan yang paling
asli adalah monogami, sehingga biasanya pihak wanita akan menentang suami yang
menginginkan isteri baru. Apabila si suami bersikeras untuk kawin lagi dan pihak isteri
bersikeras untuk menentang maka persoalan ini akan diajukan kepada kepala adat yang
berfungsi mendamaikan sengketa dengan cara mengadakan pertemuan adat untuk
memecahkan siapa yang bersalah untuk memecahkan rumah tangga ini. Apabila suami
bersikeras ingin mengambil isteri kedua tanpa alasan yang sah dan tidak jelas mengapa
dia mau melakukannya maka suami akan membayar denda. Kemudian apabila suami
ingin menikah lagi disebabkan karena tidak mempunyai keturunan maka ini merupakan
salah satu alasan yang dapat diterima, tapi biasanya isteri pertama meminta bercerai
juga.
C. Kaitan Budaya Toraja Sa’dan Dengan Hukum Nasional
1) Syarat Perkawinan
Mengenai batas umur, didalam UU no.1 tahun 1974 telah ditentukan bhawa batas
umur menikah bagi seorang wanita adalah 16 tahun, sedangkan bagi pria adalah 19 tahun.
Terkait didalam masyarakat adat Traja Sa’dan ini biasanyaperempuan tidak berada
dibawah umur 16-17 tahun, dan juga pria biasanya berumur tidak lebih muda dari 20
tahun sehingga tidak ada permasalahan mengenai umur dengan UU no.1 tahun 1974
2) Larangan Perkawinan
Dalam pasal 2 UU no.1 tahun 1974 dikatakan bahwa perkawinan adalah sah
apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu,
kemudian perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Maka sudah jelas bahwa perkawinan menurut adat berdasarkan tata cara diatas
sudah benar dan diakui oleh hukum nasional, namun yang menjadi permasalahan adalah
bahwa setiap perkawinan yang terjadi dicatatkan. Dilihat dari letyak masyarakat adat
Toraja Sa’dan ini seperti diawal telah dijelaskan berada di daerah yang cukup jauh dari
pusat kota dan kantor-kantor pemerintah maka akan sulit untuk memenuhi ketentuan
pasal 2 ayat (2) UU no.1 tahun 1974 karena terkait efektivitas dan efisiensi. Kemudian
pertanyaan yang muncul adalah apakah suatu perkawinan tetap sah apabila hanya
dilakukan menurut kepercayaannya ? didalam pasal tersebut memang seharusnya dicatat
namun tidak ada ketentuan bahwa perkawinan yang tidak dicatat adalah tidak sah karena
hal ini maka suatu perkawinan meskipun tidak dicatat, perkawinan tersebut tetap
dikatakan sah. Tujuan tidak ada sanksi atas ketentuan pencatatan adalah karena tidak
semua wilayah di Indonesia dimungkinkan untuk melakukan proses administratif
tersebut, sehingga tiap orang yang masih beritikad baik untuk menikah tetap sah
meskipun belum tercatat.
Tujuan dari pencatatan secara tertulis itu tentu adalah terkait dengan
pembuktian yang akan dilakukan dikemudian hari. Maka untuk pembuktian terhadap
perkawinan yang tidak dicatat ini adalah diserahkan kepada hakim.
4) Monogami/Poligami
Didalam adat Toraja Sa’dan sendiri bentuk aslinya adalah monogami tetapi masih
dimungkinkan pula untuk melakukan poligami dengan ketentuan tertentu yaitu apabila
tidak mempunyai keturunan. Apabila ada permasalahan ini maka kasus akan dibawa oleh
keluarga isteri pertama kepada tua-tua adat untuk diperiksa dan ditentukan apakah suami
disini menjadi perusak rumah tangga atau bukan. Apabila terbukti merupakan perusak
rumah tangga maka akan diberikan sanksi berupa denda kepada isteri pertama.
Kesimpulan
Dalam budaya perkawinan yang ada didalam wilayah Toraja Sa’dan meiliki ciri khas
yang berbeda dengan budaya-budaya lain. Dapat dilihat dari pemaparan diatas bahwa masyarakat
Toraja Sa’dan menjalankan upacara perkawinan yang tidak terlalu mewah dibanding dengan
budaya perkawinan adat yang ada di wilayah lain karena dapat dibilang cukup sederhana, tata
cara perkawinan yang tidak mewajibkan secara tertulis , kemudian perkawinan bersifat
monogami tidak mutlak. Dari beberapa ciri tersebut jika dibandingkan dengan ketentuan yang
ada dalam perundang-undangan terdapat perbedaan namun perbbedaan tersebut masih dapat
diakomodir oleh perundang-undangan yang berlaku.
Daftar Pustaka
T.O Ihromi. 1981. Adat Perkawinan Toraja Sa’dan dan Tempatnya Dalam Hukum Positif Masa
Kini. Yogyakarta:Gadjah Mada University Press