Anda di halaman 1dari 14

Muslim Pohan

PERKAWINAN SEMARGA MASYARAKAT MIGRAN BATAK


MANDAILING DI YOGYAKARTA

Muslim Pohan
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
Email: muslimpohan@gmail.com

Abstract
[Same clan marriage is prohibited in Batak tradition, as one clan is considered as descendant of blood from the
father. There are 3 (three) tradition marriage systems, exogamy, endogamy, and eleutrogami. The same clan
marriage carried out by the Batak community of Mandailing migrants in Yogyakarta experienced a shift in
meaning from the Batak culture, from the exogamy marriage system to the eleutherogami marriage system
that did not recognize the prohibition as well as in the exogamy or endogamy marriage system. Factors that
affecting same clan marriage in Batak Mandailing migrants are caused by factors of love, religious factors,
economic factors, educational factors and cultural factors. Same clan marriage in the community of Batak
Mandailing migrants have done because the Mandailing Batak migrant communities do not believe in taboos]

[Perkawinan semarga merupakan perkawinan yang dilarang dalam adat Batak, semarga dianggap
satu keturunan darah dari bapak. Ada 3 (tiga) sistem perkawinan adat, exogami, endogami, dan
eleutrogami. Perkawinan semarga yang dilaksanakan masyarakat Batak Mandailing migran di
Yogyakarta mengalami pergeseran makna dari budaya adat Batak, dari sistem perkawinan exogami
menjadi sistem perkawinan eleutherogami yang tidak mengenal adanya larangan sebagaimana halnya
dalam sistem perkawinan exogami atau endogami. Faktor-faktor yang mempengaruhi perkawinan
semarga dalam masyarakat Batak Mandailing migran disebabkan karena faktor cinta, faktor
agama, faktor ekonomi, faktor pendidikan dan faktor budaya. Perkawinan semarga dalam
masyarakat Batak Mandailing migran dilakukan karena masyarakat Batak Mandailing migran
sudah tidak percaya dengan hal tabu.]

Kata Kunci: Perkawinan, Semarga, Masyarakat Batak Mandailing, Migran

A. Pendahuluan melainkan juga terkait bahkan tergantung


Perkawinan merupakan jalan terhormat aturan lain seperti hukum adat. Dalam Islam,
yang disediakan Allah swt. bagi manusia untuk perkawinan kadang tidak hanya dilandasi
memenuhi hasratnya sebagai mahluk ber- pada kepatuhan akan ajaran Islam, tetapi juga
pasang-pasangan.1 Perkawinan bukan hanya kepatuhan pada hukum adat. Dalam tingkat
hubungan antara kedua belah pihak tetapi tertentu bahkan hukum adat bisa menjadi
menyangkut hubungan keluarga pihak laki-laki pertimbangan utama seseorang melaksanakan
dan perempuan. perkawinan.
Dalam praktiknya, perkawinan berkaitan Menurut Moh. Koesnoe, “adat esensinya
erat dengan berbagai hukum yang berlaku di adalah keseluruhan ajaran nilai dan imple-
masyarakat. Perkawinan sering kali tidak mentasinya yang mengatur cara hidup masya-
hanya berkaitan dengan agama tertentu, rakat Indonesia, dan telah lahir dari konsep

1
Slamet Abidin dan H.Aminuddin, Fiqih Munakahat I (Bandung: Pustaka Setia, 1999), hlm. 2.

134 Al-Ah}wa>l, Vol. 10, No. 2, Desember 2017 M/1439 H


Perkawinan Semarga Masyarakat Migran Batak Mandailing di Yogyakarta

masyarakat tentang manusia dan dunia ini”. dianggap sebagai saudara dan sedarah dari
Sedangkan Menurut Hazairin, “adat sebagai ayah (patrilinial). Perkawinan semarga adalah
jalan hidup”. Di Indonesia, istilah adat juga suatu perkawinan antara seorang laki-laki dan
bukannya tidak biasa. Adat sering sekali seorang perempuan yang mempunyai marga
digunakan oleh masyarakat umum dalam yang sama. Misalnya perkawinan antara mar-
bentuknya yang sederhana, namun istilahnya ga Hasibuan dengan marga Hasibuan, marga
yang lebih rumit seperti adat istiadat atau adat Harahap dengan marga Harahap, marga Lubis
kebiasaan sering digunakan juga. Sebagaimana dengan marga Lubis, dan lain sebagainya.4 Di
yang disampaikan Snouck Horgronje, sese- sisi lain, masyarakat Batak memiliki tipe Keke-
orang harus sadar akan perbedaan antara ter- rabatan asymmetrisch connubium. Sistem ini
ma adat yang digunakan dalam daerah sendiri dengan tegas melarang terjadinya perkawinan
dengan adat di daerah lain.2 antara seorang laki-laki dan seorang perem-
Hukum adat perkawinan adalah hukum puan yang semarga.
masyarakat (hukum rakyat) yang tidak tertulis Menurut Surojo Wignjodipuro, hukum adat
dalam bentuk perundang-undangan negara, merupakan hukum yang hidup dan berkem-
yang mengatur tata-tertib perkawinan. Berda- bang dalam masyarakat. Hukum Adat mem-
sarkan pengertian tersebut, bahwa hukum punyai nilai-nilai yang hidup dalam masya-
terhadap adat perkawinan dibuat sendiri oleh rakat. Ia mengatakan:
suatu kelompok budaya tertentu yang disepa- “Adat tingkah laku yang ada dalam suatu
kati bersama oleh kelompok. Adapun per- masyarakat (sudah, sedang, akan) diadat-
kawinan adat ada tiga macam yaitu: kan. Adat tersebut ada yang tebal dan ada
Pertama, exogami yaitu seorang laki-laki juga yang tipis dan senantiasa menebal
dilarang menikah dengan perempuan yang dan menipis. Aturan-aturan tingkah laku
semarga dengannya. Kedua, endogami manusia dalam masyarakat seperti yang
yaitu seorang laki-laki diharuskan meni- dimaksudkan di atas adalah aturan-atur-
kahi perempuan dalam lingkungan kera- an adat. Akan tetapi dari aturan-aturan
bat (suku, klan famili) sendiri dan dilarang tingkah laku itu ada juga aturan-aturan
menikahi perempuan di luar kerabat. tingkah laku yang merupakan aturan
Ketiga, eleutrogami yaitu seorang laki-laki hukum”.5
tidak lagi diharuskan atau dilarang me-
nikahi perempuan di luar ataupun di Larangan perkawinan semarga sudah
dalam lingkungan kerabat melainkan turun-temurun sebelum agama Islam datang
dalam batas-batas yang telah ditentukan ke tanah Batak. Karena itu, hukum adat selalu
hukum Islam dan hukum perundang- ditaati masyarakat Batak setempat dan masih
undangan yang berlaku.3
mempertahankannya. Pada zaman dahulu,
pasangan yang melakukan perkawinan semar-
Berdasarkan sistem perkawinan di atas,
ga akan dihukum berat seperti dikucilkan dari
masyarakat Batak menganut sistem perkawin-
pergaulan masyarakat, biasanya masyarakat
an exogami. Secara antropologis, perkawinan
tidak mau menerima mereka, tidak diakui dan
semarga dianggap sebagai perkawinan pantang
dilarang mengikuti acara adat, bahkan kedua
atau menyalahi aturan adat Batak. Perkawinan
belah pihak akan dikenai sanksi dengan diren-
laki-laki dengan perempuan yang semarga
dahkan oleh komunitasnya dan atau diusir dari

2
Sebagaimana dikutip oleh Ratno Lukito dalam Tradisi Hukum Indonesia (Yogyakarta: Teras, 2008), hlm. 6-8.
3
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1990), hlm. 67-69.
4
  J.C.Vergouwen, Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba (Yogyakarta: LKIS Yogyakarta, 1986), hlm. 35.
5
Surojo Wignjodipuro, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat (Alumni Bandung: 1979), hlm. 11.

Al-Ah}wa>l, Vol. 10, No. 2, Desember 2017 M/1439 H 135


Muslim Pohan

masyarakat tersebut.6 Masyarakat Batak Man- Batak Mandailing merupakan nama suku
dailing adalah kelompok masyarakat yang bangsa yang mendiami Kabupaten Mandailing
telah melanggar larangan melakukan perka- Natal, Tapanuli Selatan, Padang Lawas, Pa-
winan semarga. Adat larangan perkawinan dang Lawas Utara dan Kota Padangsidem-
semarga dalam adat Batak justru dilaksanakan puan, Sumatera Utara. Nama Mandailing telah
dan dilanggar oleh masyarakat. Sistem perka- banyak diperdebatkan sampai sekarang de-
winan ke luar marga sudah luntur dalam ma- ngan berbagai versi yang berbeda-beda. Man-
syarakat Batak.7 Perkawinan ini disebut dengan dailing atau mandahiling bisa juga berasal dari
perkawinan semarga (sumbang). Penelitian ini kata mandala dan hiling atau holing, yang
relevan untuk diteliti mengingat perkawinan artinya pusat Negeri Kalinga atau Kalingga.
semarga dalam masyarakat adat Kalingga sendiri berasal dari kata Sanskrit
Tulisan berupaya melihat dinamika yang Lingga, yang berarti lelaki dan imbuhan ka
terjadi di masyarakat Batak Bandailing dalam atau ha, menjadi Kalingga atau Halingga, yang
hal perkawinan semarga yang jelas dilarang berarti kelelakian. Menurut Meuraxa (1974),
dan ditabukan oleh para ketua adat dan masya- nama Mandailing berasal dari kata mande hilang
rakat Batak. Tulisan ini juga berupaya meng- (bahasa Minangkabau) berarti ibu yang hilang
gambarkan factor-faktor penyebab terjadinya dan kata mundahilang berarti juga Munda yang
perkawinan semarga di antara masyarakat mengungsi.8 Akibat kedatangan bangsa Aria
Batak Mandailing. Ini menjadi penting bagi sekitar tahun 1500 sebelum masehi, maka
kajian hukum Islam dan hukum Adat, di mana bangsa Munda menyingkir ke selatan. Setelah
hubungan keduanya tidak statis melainkan pendudukan lembah sungai Gangga, bangsa
berubah sesuai konteks yang melingkupinya. Munda pindah ke luar dari daerah India me-
nuju Assam Asia Tenggara. Pada saat inilah
B. Asal Mula Nama Mandailing diduga ada sebagian bangsa Munda yang ma-
suk ke Sumatera melalui pelabuhan Barus di
Batak merupakan salah satu suku bangsa
Pantai Barat Sumatera dan meneruskan per-
di Indonesia. Nama ini merupakan sebuah
jalanannya sampai ke suatu daerah yang
terma kolektif untuk mengidentifikasikan
kemudian disebut dengan nama Mandailing.
beberapa suku bangsa yang bermukim dan
Perpindahan bangsa Munda dari mandalay
berasal dari Tapanuli, Sumatera Utara. Suku
ke Sumatera dapat dihubungkan dengan
bangsa yang dikategorikan sebagai Batak
terjadinya perpindahan bangsa-bangsa Asia
adalah: Batak Toba, Batak Karo, Batak Pak-
Selatan ke wilayah Indonesia pada tahun 1000
pak, Batak Simalungun, Batak Angkola, dan
sebelum masehi. Menurut Mangaraja Lelo Lubis
Batak Mandailing. Sebagian besar orang Batak
nama Mandailing berasal dari kata mandala
menganut agama Kristen dan sebagian lagi ber-
holing, yaitu nama kerajaan yang wilayahnya
agama Islam. Tetapi ada pula yang menganut
meliputi Portibi di Gunung Tua Padanglawas
agama Malim dan juga menganut kepercayaan
hingga Pidoli di Mandailing.9 Peninggalannya
animisme (disebut sipelebegu atau parbegu),
masih dapat dilihat di Portibi berupa Candi-
walaupun kini jumlah penganut kedua ajaran
candi purba. Selain itu juga terdapat pening-
ini sudah semakin berkurang.

6
Wawancara dengan Bapak Drs.H.Rusli Hasibuan, masyarakat Mandailing migran, di Berbah Yogyakata, tanggal 20
Agustus 2014.
7
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat, hlm. 68.
8
M. Dolok Lubis dan D. Devriza Harisdani, Mandailing: Sejarah, Adat dan Arsitektur (Medan: Karya Ilmiah Program
Studi Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara, 1999), hlm. 13.
9
M. Dolok Lubis dan D. Devriza Harisdani, Mandailing: Sejarah,Adat dan Arsitektur, hlm. 14.

136 Al-Ah}wa>l, Vol. 10, No. 2, Desember 2017 M/1439 H


Perkawinan Semarga Masyarakat Migran Batak Mandailing di Yogyakarta

galan Candi-candi di Saba Biara Pidoli Keca- an dengan keluarganya di kampung halaman.
matan Panyabungan dan Simangambat Keca- Hubungan ini tetap dijalin dan dipertahankan
matan Siabu. Candi-candi ini dinamakan bahkan selalu diajarkan kepada anak cucunya.
dengan Candi Biara yang berasal dari sebutan Banyak masyarakat Batak Mandailing ke-
Vihara yaitu tempat peribadatan umat Hindu. mudian bermigrasi. Migrasi merupakan perpin-
Keberadaan Mandailing sudah diperhitungkan dahan seseorang melewati batas provinsi menuju
sejak abad ke-14 dengan dicantumkannya ke provinsi lain dalam jangka waktu 6 (enam)
nama Mandailing dalam sumpah Palapa Gajah bulan atau lebih. Namun, seseorang juga dikate-
Mada pada syair ke-13 Kakawin Negaraker- gorikan sebagai migran walaupun perpindah-
tagama hasil karya Mpu Prapanca.10 annya kurang dari 6 bulan apabila secara resmi
telah pindah atau sebelumnya telah menetap di
C. Keberadaan Masyarakat Migran Batak daerah tujuan. Menurut Everett S. Lee ada
Mandailing di Yogyakarta beberapa faktor yang mempengaruhi terhadap
Aspek sosiokultural Yogyakarta berada keputusan seseorang untuk bermigrasi, yaitu:
dalam naungan wilayah kerajaan yang berbasis faktor-faktor yang terdapat di daerah asal, faktor
kebudayaan Jawa. Oleh karena itu, kebudayaan yang terdapat di daerah tujuan, faktor rintangan,
Jawa sangat menonjol baik dalam bentuk inte- dan faktor-faktor pribadi. 11 Sementara itu,
raksi sosial maupun kelompok. Yogyakarta sen- Michael Todaro mengatakan motif utama
diri disebut kota pelajar. Ini terlihat 70% pendu- migrasi adalah ekonomi. Ada harapan bagi pen-
duknya adalah pelajar serta banyaknya perguru- duduk pergi ke kota, yaitu: ingin mendapatkan
an tinggi secara keseluruhan di Yogyakarta. pendapatan yang lebih tinggi dari desa. Hal ini
mencerminkan adanya ketidakseimbangan
Masyarakat Batak Mandailing menjadikan
antara ekonomi di desa dan di kota. Hal ini
Yogyakarta sebagai tempat perantauan untuk
dibuktikan oleh Cousens dalam penelitiannya di
mengadu nasib. Kemajemukan budaya yang
Irlandia yang mengatakan bahwa para migran
ada membuat kota Yogyakarta dijuluki sebagai
pada umumnya berasal dari daerah miskin
kota budaya. Hal tersebut memberikan daya
dalam arti bahwa mereka kekurangan tanah
tarik tersendiri untuk menarik perhatian ma-
pertanian dan sumber daya lainnya sehingga
syarakat nusantara untuk bermigrasi ke Yogya-
menyebabkan pendapatan mereka rendah.
karta. Dari beberapa migran yang ada di Yog-
yakarta, masih terdapat masyarakat migran Banyak teori yang membahas masalah
yang membawa budaya asal daerahnya masing- migrasi dan model yang berusaha menjelaskan
masing. Masyarakat migran yang berasal dari fenomena migrasi. Pertama, teori dorong-tarik
Batak Mandailing, misalnya, mereka masih adalah faktor-faktor yang terdapat di daerah
tetap membawa dan melestarikan salah satu asal maupun di daerah tujuan dapat positif, ne-
budaya yang sudah turun-temurun dilarang gatif maupun netral terhadap migrasi. Daerah
oleh hukum adat dan tetap dipertahankan di asal pada faktor positif mempunyai daya dorong
tanah perantauan, yaitu perkawinan semarga. terhadap seseorang untuk pindah ke daerah
Masyarakat Batak biasanya senang merantau tersebut, sebaliknya faktor negatif di daerah
keluar dari daerahnya. Hal ini dilakukan untuk tujuan mempunyai daya tarik terhadap sese-
mencari kehidupan yang lebih baik. Namun orang untuk datang ke daerah tersebut. Se-
demikian, mereka tidak pernah memutuskan dangkan faktor negatif di daerah asal akan
ikatan kekeluargaan atau hubungan kekerabat- berfungsi sebagai penghambat. Begitu juga

10
Cut Nuraini, Permukiman Suku Batak Mandailing (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2004), hlm. 17.
11
Sunarto Hs, Penduduk Indonesia dalam Dinamika Migrasi 1971-1980, hlm. 22.

Al-Ah}wa>l, Vol. 10, No. 2, Desember 2017 M/1439 H 137


Muslim Pohan

pada faktor negatif di daerah tujuan adalah setempat. Mereka dikenal memiliki karakter
faktor yang tidak disenangi oleh seseorang pekerja keras dan pada umumnya menggeluti
untuk pergi ke daerah lain. Penilaian seseorang pekerjaan di hampir semua sektor kehidupan
terhadap suatu faktor tertentu tergantung di antaranya ada yang menjabat sebagai ang-
kepada keadaan pribadi orang tersebut yang gota TNI, Polisi, Hakim, Wiraswasta, Dosen,
dipengaruhi oleh pendidikan, pengalaman, Guru, dan lain sebagainya. Orang Batak walau-
kebutuhan dan sifat-sifat pribadi. pun di perantauan mempunyai ikatan keke-
Kedua, teori berantai, pendekatan antro- luargaan yang kental. Guna menjaga kontak
pologis dalam migrasi mengacu pada suatu sosial sesama orang Batak, mereka membentuk
hubungan kekerabatan. Proses migrasi tersebut perkumpulan yang berfungsi sebagai wadah
tidak terlepas dari kaitannya dengan eksistensi untuk mempersatukan orang-orang Batak
keluarga atau teman yang telah lebih dahulu yang ada di Yogyakarta dan juga untuk men-
tinggal di daerah tujuan. Migran pemula seba- jalin komunikasi dan kekeluargaan antar sesa-
gai pionir ini akan menarik penduduk dari dae- ma orang Batak di perantauan. Orang Man-
rah asal yang mengakibatkan timbulnya pola dailing di Yogyakarta terdapat lima kabupaten
migrasi berantai.12 Migrasi berantai ini banyak yakni, Kabupaten Tapanuli Selatan, Padang
terdapat di Indonesia terutama migrasi pendu- Lawas, Padang Lawas Utara, Mandailing
duk pada suku Batak Mandailing misalnya, Natal, dan Kota Padangsidempuan.13
mereka bermigrasi ke Yogyakarta dengan ber- Kemajemukan budaya di Yogyakarta tidak
bagai faktor, di antaranya faktor yang dominan membuat masyarakat Batak Mandailing asing
adalah faktor pendidikan. Disisi lain secara dengan budaya yang ada. Mereka mampu
umum seseorang bermigrasi erat kaitannya untuk berbaur serta berinteraksi sosial secara
dengan faktor pendidikan. Penduduk yang baik dengan masyarakat Yogyakarta tanpa
meninggalkan daerah asalnya pernah duduk memandang status sosial dan profesi di antara
di bangku sekolah. Hal demikian juga diru- mereka. Sejalan dengan itu, sosiolog Newell
muskan penelitian Sahota di Brasilia bahwa Leroy Sims (1962), menyatakan bahwa “social
tingkat pendidikan berkorelasi positif dan equilibrium is A state of socio-cultural integration
signifikan dengan migrasi keluar. in which all parts are functioning harmoniusly”
Dari uraian di atas jelas bahwa keadaan (keadaan sosio-kultural yang terintegrasi pada
sosial ekonomi, pendidikan dan keluarga pada komponen masyarakat berfungsi secara har-
suatu daerah berpengaruh terhadap migrasi. monis).14 Pada umumnya tujuan orang pindah
Perubahan terhadap keadaan sosial dalam ma- dari daerah asal ke tempat perantaun tidak
syarakat akan berpengaruh terhadap migrasi. hanya motif keagamaan tetapi juga, karena
Namun, migrasi juga dapat berpengaruh pada daya tarik suatu kota yang dapat memberikan
penghasilan dan gaya hidup seseorang di pe- hidup yang lebih baik.
rantauan, sehingga banyak orang berdatangan
berbondong-bondong ke tempat provinsi ter- D. Perkawinan dan Sistem Kekerabatan
sebut atau daerah yang dituju. Masyarakat Batak
Masyarakat Batak Mandailing yang ada di Perkawinan adalah penyatuan antara
Yogyakarta berasimilasi dengan masyarakat seorang laki-laki dengan seorang perempuan

12
Sunarto Hs, Penduduk Indonesia dalam Dinamika Migrasi 1971-198, hlm. 32.
13
Buku Besar Pengajian Parsadaan Marga Siregar dohot Anakboruna “Data Keanggotaan” 2011-2015. (Pengajian Parsadaan
Marga Siregar Dohot Anakboruna adalah sebuah perkumpulan masyarakat Batak Mandailing di D.I.Yogyakarta.
Perkumpulan ini dilaksanakan sekali dua bulan dengan tujuan untuk mempererat silaturrahmi).
14
Basyral Hamidy Harahap, Siala Sampagul, hlm. 24.

138 Al-Ah}wa>l, Vol. 10, No. 2, Desember 2017 M/1439 H


Perkawinan Semarga Masyarakat Migran Batak Mandailing di Yogyakarta

untuk saling setia satu sama lainnya untuk Adapun tujuan perkawinan bagi masya-
hidup bersama secara suka rela.15 Dalam pasal rakat hukum adat yang bersifat kekerabatan
1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah untuk mempertahankan dan menerus-
tentang perkawinan adalah “ikatan lahir batin kan keturunan menurut garis kebapakan atau
antara seorang laki-laki dengan seorang perem- keibuan atau keibu-bapakan, untuk kebahagia-
puan sebagai suami istri dengan tujuan untuk an rumah tangga keluarga/kerabat, untuk mem-
membentuk keluarga yang bahagia dan kekal peroleh nilai-nilai adat budaya, kedamaian,
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. 16 dan untuk mempertahankan kewarasan. Ka-
Perkawinan dalam masyarakat Batak merupa- rena sistem keturunan dan kekerabatan antara
kan suatu pranata yang tidak hanya mengikat suku bangsa Indonesia yang satu dan lain
seorang laki-laki dengan seorang perempuan berbeda-beda, termasuk lingkungan hidup dan
tetapi, juga mengikat dalam suatu hubungan agama yang dianut berbeda-beda, maka tujuan
tertentu, kaum kerabat dari laki-laki dengan perkawinan adat bagi masyarakat adat juga
kaum kerabat perempuan. Oleh karena itu, berbeda antara suku bangsa yang satu dan
menurut adat, seorang laki-laki tidak bebas daerah yang lain, begitu juga dengan akibat
memilih jodohnya.17 hukum dan upacara perkawinannya.19
Perkawinan, menurut Dj. Gultom Rajamar- Dalam masyarakat patrilinial, perkawinan
podang, adalah sakral, bukan hanya sekedar bertujuan untuk mempertahankan garis
membentuk rumah tangga dan keluarga. keturunan bapak, sehingga anak lelaki harus
Masyarakat Batak memandang perkawinan itu melaksanakan bentuk perkawinan ambil isteri
suci, perpaduan hakikat kehidupan antara laki- (dengan pembayaran uang jujur), perkawinan
laki dengan perempuan menjadi satu. Karena isteri ikut dalam kekerabatan suami dan me-
itu, tokoh adat masyarakat Batak sering mem- lepaskan kedudukan adatnya dalam susunan
beri nasehat kepada pengantin bahwa satu kekerabatan bapaknya. Sebaliknya, dalam
tambah satu adalah dua, tetapi dalam perka- masyarakat matrilineal, perkawinan bertujuan
winan satu tambah satu adalah satu yaitu, dua untuk mempertahankan garis keturunan ibu,
insan manusia yang menjadi suami istri harus sehingga anak perempuan harus melaksanakan
menjadi satu pada arti yang sebenarnya dari bentuk perkawinan ambil suami (semanda),
hakikat kehidupan.18 perkawinan suami ikut dalam kekerabatan
Perkawinan dapat juga terjadi atas mufa- isteri dan melepaskan kedudukan adatnya
kat orang tua yang berkenalan tanpa ada hu- dalam susunan kekerabatan orang tuanya.
bungan dekat diantara mereka. Biasanya ter- Dalam masyarakat adat di Indonesia di-
jadi apabila ada dua keluarga yang bersahabat. kenal 3 (tiga) macam prinsip garis keturunan
Mereka mufakat agar persahabatan dilancar- utama, yaitu:
kan melalui perkawinan anak-anak mereka. a. Sistem Kekerabatan Matrilineal
Pemufakatan itu terjadi pastilah disebabkan Sistem kekerabatan matrilineal adalah
oleh pengalaman mereka masing-masing yang merupakan kebalikan dari sistem keke-
diikat oleh rasa kasih sayang.

15
Sri Wahyuni, Perkawinan Beda Agama di Luar Negeri: Kajian Filosofis, Yuridis, Prosedural, dan Sosiologis (Yogyakarta:
SUKA Press, 2014), hlm. 110.
16
Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
17
Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia (Jakarta: Djambatan, Cet.ke-20, 2004), hlm. 102.
18
Dj. Gultom Rajamarpodang, Dalihan Na Tolu: Nilai Budaya Suku Batak, hlm. 303.
19
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama (Bandung:
Mandar Maju, 1990), hlm. 23.

Al-Ah}wa>l, Vol. 10, No. 2, Desember 2017 M/1439 H 139


Muslim Pohan

rabatan patrilineal. Sistem kekerabatan laki-laki sebagai saluran darah yakni,


matrilineal adalah sistem kekerabatan setiap orang hanya menghubungkan
yang didasarkan oleh garis keturunan ibu. dirinya kepada ayahnya saja dan dari
Sebagai konsekuensinya dari sistem keke- ayahnya kepada ayah dari ayahnnya yaitu
datuknya dan begitu seterusnya meng-
rabatan ini adalah mengutamakan anak-
hubungkan dirinya ke atas selalu menurut
anak dari perempuan dari pada laki-laki.20 saluran atau penghubung yang laki-laki.
b. Sistem Kekerabatan Parental Ditinjau dari atas maka setiap orang Batak
Sistem kekerabatan parental adalah sistem itu jika ia laki-laki hanya mempunyai
kekerabatan yang didasarkan atas garis keturunan yang terdiri dari semua anak-
keturunan bapak dan ibu. Dalam sistem anaknya, laki-laki dan perempuan hanya-
kekerabatan ini, antara anak laki-laki dan lah lahir dari anaknya yang laki-laki saja
dan begitu seterusnya.22
anak perempuan tidak dibedakan dalam
pewarisan.
Sistem kekerabatan masyarakat Batak be-
c. Sistem Kekerabatan Patrilineal
rupa sistem patrilineal. Melalui sistem Keke-
Sistem kekerabatan patrilineal berarti
rabatan ini, masyarakat adat Batak akan me-
pertalian kekerabatan yang didasarkan
ngetahui silsilahnya dan yang paling penting
atas garis keturunan bapak. Sebagai kon-
lagi setiap orang akan mengetahui dengan
sekuensinya anak laki-laki lebih utama dari-
siapa dia boleh kawin. Perkawinan yang ideal
pada anak perempuan, sehingga apabila
dalam masyarakat Batak adalah perkawinan
suatu keluarga tidak mempunyai anak laki-
antara orang rumpal (marpariban) yaitu seorang
laki akan melakukan pengangkatan anak
laki-laki dengan anak perempuan saudara laki-
laki-laki.21 Pada sistem kekerabatan patri-
laki ibunya. Dengan demikian seorang laki-laki
lineal ini, pada umumnya berlaku adat per-
Batak pantang kawin dengan seorang perem-
kawinan dengan pembayaran uang jujur.
puan dari marganya sendiri dan juga dengan
Sistem ini digunakan di daerah Gayo, Alas,
anak dari saudara perempuan ayahnya. 23
Batak, Lampung, Bengkulu, Seram, Nusa
Setiap anak laki-laki maupun perempuan
Tenggara, Bali dan Irian.
hanya menarik garis keturunannya ke atas
melalui bapak sebagai saluran satu darah, dari
Mengenai prinsip garis keturunan patri- bapaknya ke kakeknya dan seterusnya meng-
lineal tersebut, Soerjono Soekanto memberikan hubungkan keturunannya ke laki-laki.
penjelasan, hubungan kekerabatan melalui
laki-laki saja, dan karena itu mengakibatkan
E. Marga dan Perkawinan Semarga dalam
bahwa bagi setiap individu dalam masyarakat
Masyarakat Batak
semua kaum kerabat ayahnya masuk ke dalam
batas hubungan kekerabatannya, sedangkan Marga pada hakikatnya adalah nama cikal
semua kaum kerabat ibunya jatuh di luar batas bakal suatu kelompok kerabat Batak menurut
itu. Hazairin juga menjelaskan tentang prinsip garis keturunan bapak. Marga diwarisi secara
garis keturunan patrilineal, sebagai berikut: turun-temurun oleh seluruh garis keturunan
Masyarakat Batak menarik garis keturun- laki-laki. Dalam perkembangan selanjutnya,
annya ke atas hanya melalui penghubung seluruh keturunan anak-anak laki-laki yang

20
Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia (Bandar Lampung: CV. Mondar Maju,1992), hlm. 24-25.
21
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat (Jakarta: PT. Citra Aditya Bakti, Cetakan Kelima, 1995), Hlm. 23.
22
Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia (Jakarta: Rajawali, 1990), hlm. 59-60.
23
Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia (Jakarta: Djambatan, Cet.ke-20, 2004), hlm. 103.

140 Al-Ah}wa>l, Vol. 10, No. 2, Desember 2017 M/1439 H


Perkawinan Semarga Masyarakat Migran Batak Mandailing di Yogyakarta

bermarga membentuk lagi marga-marga yang perkawinan semarga antara seorang laki-laki
diturunkan pula kepada keturunan mereka. dengan seorang perempuan untuk bersuami
Kemudian marga-marga cabang yang seasal istri jika mereka mempunyai hubungan ke-
tersebut tetap berprilaku seperti saudara kan- turunan darah dari bapak.
dung menurut garis keturunan dari bapak. 24 Perkawinan semarga sebenarnya tidak
Marga merupakan identitas orang-orang yang masalah, namun alangkah lebih baiknya kita
mempunyai garis keturunan yang sama menu- mengikuti langkah-langkah yang sesuai de-
rut ayah atau Patrilineal. Contohnya, jika sese- ngan budaya atau adat. Ketika kita meman-
orang memiliki marga Nasution, maka anak- dang dari sisi adat maka akan dibenarkan jika
anaknya baik laki-laki maupun perempuan adat itu mengatakan salah. Secara sosial adat
akan bermarga Nasution. Sistem marga ini itu akan menjadi pilihan atau belakangan,
sudah ada sejak dulu sampai sekarang. karena zaman modern sekarang orang lebih
Dalam masyarakat Batak Karo, perkawin- kepada cinta atau kasih sayang. 27 Menurut
an semarga tidak dibenarkan karena tidak ada Riswandi Lubis menyatakan, bahwa perka-
jalur adat yang dapat menyelesaikannya. Tidak winan semarga dalam adat Batak Toba dan
ada rumah tangga pada masyarakat Karo yang Batak Mandailing dilarang tetapi, kalau orang
suami istri satu marga.25 Semarga adalah se- Mandailing tidak terlalu memikirkan masalah
darah atau satu keturunan dengan garis dari marga, kalau adat belakangan.28 Berikut ada-
bapak. Secara keseluruhan larangan perka- lah saudara semarga yang disebut satu ketu-
winan semarga yaitu ketidakbolehan seorang runan dalam masyarakat Batak, untuk lebih
laki-laki dan seorang perempuan kawin de- jelasnya dapat dilihat pada kerangka dibawah
ngan yang semarga atau marganya sama ini:
dengan garis keturunan bapak.
AB
Sementara itu, masyarakat Batak Sima-
lungun memandang perkawinan semarga
merupakan perkawinan yang tidak dibenarkan
dalam adat Batak dan tidak ada orang tua yang C D
melaksanakan dan mau menerima keluarga
F G
yang melaksanakan perkawinan semarga.
Masyarakat yang kawin semarga dikucilkan E H
dari lingkungan adat karena berdampak pada
tutur dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, I J K L
orang yang kawin semarga itu menyebutkan
tulang (mertua) kepada orang yang sebenarnya Perkawinan antara F dan G, J dan K, tidak
adalah bapaknya atau saudara-saudara ba- dibolehkan melakukan perkawinan karena
paknya.26 Jadi, secara keseluruhan perkawinan mereka saudara sesuku dari keturunan seorang
semarga yaitu ketidakbolehan melaksanakan Bapak atau exogamis. Ini berlaku seterusnya ke

24
Parsadaan Marga Harahap dohot Anakboruna, Horja: Adat Istiadat Dalihan Na Tolu (Jakarta: Persadaan Marga Harahap
dohot Anakboruna, 1993), hlm. 125.
25
Dj. Gultom Rajamarpodang, Dalihan Na Tolu: Nilai Budaya Suku Batak, hlm. 80.
26
Dj. Gultom Rajamarpodang, Dalihan Na Tolu: Nilai Budaya Suku Batak, hlm. 91.
27
Wawancara dengan Sukron Jamal Harahap, masyarakat migran Batak Mandailing di Gowok, Karangbendo,
Banguntapan, Bantul, tanggal 4 Juni 2015.
28
Wawancara dengan Riswandi Lubis, pelaku perkawinan Semarga Batak Mandailing Papringan, Caturtunggal, Sleman,
tanggal 19 mei 2015.

Al-Ah}wa>l, Vol. 10, No. 2, Desember 2017 M/1439 H 141


Muslim Pohan

bawah. Hasil dan tujuan dari kerangka ini Perkawinan tanpa cinta mungkin hambar
berfungsi untuk membatasi pilihan kawin dan dan tidak ada gunanya hidup tanpa cinta.
kebebasan seksual. Perkawinan ini dilarang Karena dengan cinta manusia dapat hidup ba-
karena dahulunya masyarakat masih sedikit. hagia. Tidak ada yang bisa mendefinisikan arti
Supaya keturunan mereka berkembang, maka cinta, tapi cinta dapat diekspresikan oleh ma-
diharuskan menikah dengan orang yang di luar nusia. Faktor cinta akan menyebabkan dorong-
suku atau keturunan mereka. Tetapi, saat ini an suka sama suka antara kedua pasangan laki-
masyarakat sudah banyak berkembang sehing- laki dan perempuan, sehingga akan terbentuk
ga masyarakat Batak terutama Mandailing kasih sayang dalam kehidupan berkeluarga.
yang tidak saling mengenal dan tidak menge- Berkenaan dengan hal tersebut, berlaku bagi
tahui antara sukunya dengan keturunannya. mereka dalam istilah perkawinan, yaitu:
Salak-salak namata
F. Faktor-Faktor Penyebab terjadinya Ima salak natonggina
Perkawinan Semarga Anggodung disolong mata
Lemahnya kepercayaan terhadap larangan Ima halak najogina
perkawinan semarga membuat perkawinan Buah salak yang mentah
semarga mengalami perubahan yang dimotori Itulah salak yang paling enak
oleh para keturunannya sendiri. Adapun apabila sesuai dengan pandangan mata
faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya
Itulah orang yang paling cantik
perkawinan semarga dalam masyarakat Batak
Mandailing adalah sebagai berikut:
Istilah kasih sayang, menurut Nurcholis
1. Faktor Cinta Madjid, mengakar kuat dalam bumi namun,
Manusia diciptakan membutuhkan pa- juga menerabas dan menembus langit. Kasih
sangan hidup di dalam proses perkembang- sayang bukanlah barang murahan yang bisa
annya untuk meneruskan keturunan-keturun- diterjemahkan dalam bahasa seksualitas-
annya. Allah swt berfirman (Q.S. ar-Rum [ 30]: erotik.30 Pasangan tersebut tidak memperduli-
21) sebagai berikut: kan pantangan atas sanksi dalam adat Batak
walaupun masyarakat menganggapnya biasa-
biasa saja. Pelaku perkawinan semarga mema-
hami kalau perkawinan yang mereka lakukan
sangat bertentangan dengan hukum adat,
29
tetapi sebaliknya tidak bertentangan dengan
hukum Islam. Mereka tetap melanjutkan
kehidupan berkeluarga sebagaimana keluarga-
“Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya keluarga yang lain hidup dengan harmonis.
ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan Berikut penjelasan dari salah satu pelaku ke-
untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu luarga perkawinan semarga:
cenderung dan merasa tenteram kepadanya,
Kami memilih perkawinan semarga kare-
dan Dia menjadikan diantaramu rasa kasih
na tidak terlalu memikirkan masalah mar-
dan sayang. Sesungguh, pada yang demikian
ga. Masyarakat Mandailing pun ketika
itu benar-benar terdapat tanda-tanda (ke-
kami menikah tidak terlalu memikirkan
besaran Allah) bagi kaum yang berpikir”.
masalah marga, marga hanya belakangan,

29
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Bandung: Syaamil Quran, 2009), hlm. 406.
30
Gugun El-Guyanie, Islam Mazhab Cinta (Yogyakarta: Kutub Wacana, 2008), hlm. 4.

142 Al-Ah}wa>l, Vol. 10, No. 2, Desember 2017 M/1439 H


Perkawinan Semarga Masyarakat Migran Batak Mandailing di Yogyakarta

lebih mementingkan cinta, suka atau tidak, yang hendak pergi merantau. Nasihat pertama
kalau adat belakangan. Pokoknya kalau berada pada agama, yaitu, jangan tinggalkan
sudah cinta laksanakan. Orang tua pun salat lima waktu. Ungkapan tradisional yang
tidak melarang dengan pilihan sendiri. disampaikan dalam berbagai upacara kelahir-
Selain itu faktor yang mempengaruhi
an, pernikahan dan memberangkatkan kerabat
perkawinan semarga adalah kebanyakan
penduduk masyarakat disana adalah ber- hendak pergi merantau, senantiasa memakai
marga Lubis. jadi, perkawinan semarga kata-kata kunci religi purba yang sudah di-
tidak ada masalah.31 islamisasi, misalnya, tondi, horas, pasupasu, dan
lain-lain. Pengetahuan mereka terhadap ayat-
Pelaku perkawinan semarga menyatakan ayat suci al-Qur’an dan Sunnah mendominasi
bahwa perkawinannya didasari karena cinta. kata-kata mereka. Setiap ada acara adat mere-
Artinya, tidak ada kawin paksa dari pihak ma- ka selalu mengawali dan mengakhiri pembica-
napun. Pasangan yang melakukan perkawinan raan dengan mengucapkan “Assalamu’alaikum
semarga karena faktor ekonomis landasannya wa Rahmatullahi wa Barakatuh.”32
juga karena cinta. Hal demikian terlihat dari Pengaruh Islam dalam kehidupan sehari-
hasil pengamatan penulis terhadap kehidupan hari masyarakat Batak Mandailing sangat kuat.
mereka yang harmonis dan bahagia. Dapat Agama tradisional atau agama purba, ani-
dikatakan bahwa perkawinan semarga masya- misme dan dinamisme sebelum kedatangan
rakat Batak Mandailing tidak menjadi beban Islam ke daerah Batak Mandailing telah ter-
sosial pada masyarakat, karena keluarga dan sisihkan oleh agama Islam. Yang tinggal adalah
masyarakat tidak mempermasalahkan marga, sebagian ajaran agama purba yang tidak ber-
perkawinan semarga yang dilaksanakan terjadi tentangan dengan agama Islam antara lain
atas kemauan sendiri. dengan islamisasi istilah-istilah, acara adat
dalam kehidupan sehari-hari dan pemberian
2. Faktor Agama makna Islam pada istilah-istilah itu.
Agama merupakan pemicu terbesar pe- Ch. A. Van Ophuysen, salah satu ahli di
nyebab terjadinya perkawinan semarga dalam bidang bahasa, sastra Melayu dan Mandailing,
masyarakat Batak Mandailing. Pendidikan pada tahun 1886, mengungkapan bahwa
agama Islam telah diperkenalkan kepada anak- tradisiMandailing di kalangan muda-mudi,
anak secara teratur sejak usia kanak-kanak. diucapkan ketika pemuda menggoda gadis ke-
Dibesarkan di dalam suasana keagamaan yang sayangannya (haholongan) yang menggambar-
mantap, antara lain belajar membaca al-Qur’an, kan identitas Islam, yaitu:
mengaji, libur sekolah pada bulan ramadan, Huboto do pangirmu
salat jum’at, memperingati hari-hari besar besar Unte na di julu i
Islam dan acara-acara penting tahap-tahap Hu boto do parmanisonmu
kehidupan manusia dari kelahiran, kematian
Talokung nadi ulumi
dan pernikahan, semuanya diselenggarakan
dalam suasana keislaman. Hal ini juga dise-
Saya mengetahui pangirmu
babkan adanya madrasah yang didirikan di
setiap desa. Seperti jeruk yang dibelah
Basyral Hamidy Harahap menemukan ada Saya mengetahui kecantikanmu
20 nasehat orangtua kepada anak-anak mereka Seperti mukenah yang kamu pakai

31
Wawancara dengan Nur Habibah Lubis, Pelaku Perkawinan Semarga di Papringan, Caturtunggal, Sleman, 15 Mei
2015.
32
Basyral Hamidy Harahap, Siala Sampagul: Nilai-nilai Luhur Budaya Masyarakat Kota Padangsidimpuan, hlm. 40-42.

Al-Ah}wa>l, Vol. 10, No. 2, Desember 2017 M/1439 H 143


Muslim Pohan

Kuatnya pengaruh Islam pada masyarakat yang berupaya menafsirkan sebuah masyara-
Batak Mandailing mempengaruhi mereka bebas kat sebagai sebuah struktur yang saling ber-
dalam memilih jodoh, karena dalam proses per- interaksi, terutama dalam norma, adat, tradisi
kawinan adat Batak dibatasi untuk menentu- dan institusi. Teori fungsionalisme struktural
kan jodoh. Pengaruh Islam yang kuat tampak mengasumsikan bahwa keluarga merupakan
sangat jelas pada masyarakat Batak Mandai- sebuah sistem yang dipergunakan unutuk men-
ling dalam acara-acara keagamaan serta sosial. jawab fungsional apa saja yang harus dipenuhi
Pada upacara perkawinan pemilihan jodoh ada agar sistem sosial dapat bertahan, dan bagai-
perbedaan yang tegas antara aturan adat dan mana fungsi ini dapat dipertahankan.
aturan yang terdapat dalam ajaran Islam. Ajar- Setiap sistem tindakan dan sistem sosial
an adat melarang keras perkawinan semarga tersebut berlangsung secara simultan, artinya
karena perkawinan tersebut dianggap sebagai ada proses terjadinya suatu perubahan yang
incest. Sementara ajaran Islam tidak melarang secara fungsional terintegrasi ke dalam suatu
perkawinan semarga. Dalam kenyataan sehari- bentuk. Ketika hukum adat tersebut dilanggar,
hari telah banyak orang yang melakukan per- maka hukum akan berfungsi mengembalikan
kawinan semarga. Perkawinan semarga sudah keberaturan dari kehidupan masyarakat ter-
tidak lagi dipandang sebagai perkawinan sebut. Hukum dari masyarakat adat bukanlah
terkutuk, orang yang melakukan perkawinan sesuatu yang tidak berubah melainkan berkem-
semarga sudah tidak lagi percaya kutukan, bang sejalan dengan keinginan dan perubahan
karena keturunannya tidak ditemukan cacat waktu dan keadaan masyarakat berada.34
bahkan keluarga mereka sama dengan keluar- Teori fungsionalisme struktural yang dike-
ga yang lainnya. Dari Abu Hurairah r.a. bahwa mukakan oleh Talcott Parsons tersebut sesuai
Nabi Muhammad saw. bersabda: dengan realita-realita yang ada dalam kehi-
dupan sosial masyarakat migran asal Batak
Mandailing di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Sistem tindakan sosial yang dibangun masya-
rakat migran Batak Mandailing mengubah pola
pikir, perilaku dan nilai-nilai yang ada dalam
adat budaya Batak menjadi lebih rasional.
Sehingga larangan perkawinan semarga dalam
masyarakat Batak Mandailing tercapai dan
boleh dilaksanakan. Dalam keadaan seperti itu,
“Nikahilah seorang perempuan karena empat
maka tidak dapat dipungkiri bahwa tugas uta-
perkara, yaitu: karena harta, karena keturun-
an, karena kecantikan, dan agamanya. Pilihlah ma dari adat adalah untuk menyelesaikan ke-
yang beragama, maka kamu akan beruntung, seimbangan kehidupan sosial dan individu.
(jika tidak, semoga kamu) menjadi miskin”. Ketika dilanggar, maka hukum akan berfungsi
untuk mengembalikan peraturan dari kehidup-
Perkawinan semarga yang dilakukan ma- an masyarakat tersebut, yang dengannya kon-
syarakat Batak Mandailing tersebut sesuai disi keseimbangan akan tercapai kembali. Se-
dengan teori fungsionalisme struktural dari bagaimana yang diadopsi oleh Burn bahwa
Talcot Parsons, teori ini mengacu pada sosiologi penyesuaian, fungsi utama dari hukum adat

33
Ibn Hajar Al-Asqalani, Bulughul Maram (Bandung: Mizan, 2013), hlm. 399. Hadits Riwayat Al-Bukhari dan Muslim,
beserta Imam yang tujuh lainnya, Kitab Bulughul Maram, Bab Nikah, No. 995.
34
George Ritzer, Teori Sosiologi dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir Postmodern, hlm. 409.

144 Al-Ah}wa>l, Vol. 10, No. 2, Desember 2017 M/1439 H


Perkawinan Semarga Masyarakat Migran Batak Mandailing di Yogyakarta

adalah untuk mengintervensi, menciptakan, an tersebut masih duduk di bangku sekolah,


penyesuaian, ketika kondisi seimbang antara sehingga perkawinan semarga yang dilarang
yang material, spritual, kehidupan sosial dan dalam adat Batak tidak menjadi beban dan
individual dari masyarakat.35 tidak masalah dalam masyarakat setempat.
Dari pihak anak perempuan pun tidak ada
3. Faktor Ekonomi penolakan ketika disuruh untuk menikah, ka-
Perkawinan semarga terjadi disebabkan rena bagi mereka mematuhi orangtua merupa-
karena kondisi ekonomi seorang laki-laki pe- kan suatu wujud baktinya mereka terhadap
laku perkawinan semarga dalam hal kemam- orangtua. Abd Muluk Hasibuan, salah satu
puan megelola ekonomi kebutuhan keluarga. pelaku perkawinan semarga menjelaskan:
Menilik dari latar belakang keluarga tidak men- Saya dari keluarga orang miskin, dari kon-
dukung untuk menikahi seorang perempuan disi ekonomi pun pada saat akan menikah
yang dijadikan sebagai calon istri. Orang mis- tidak mendukung tapi, karena kemam-
kin, dari kondisi ekonomi pun tidak mendu- puan saya dalam mengelola keuangan di
kung tetapi, karena kemampuan dalam menge- jogja. Akhirnya sejak tahun 1982, 1983,
lola dunia globalisasi dan perputaran pema- 1984 sudah menjadi orang kaya.36
saran di perantauan orang, akhirnya tercapai
cita-cita yang diinginkan. Perkawinan semarga memiliki tujuan yang
Berbicara faktor ekonomi tentu masalah berbeda-beda, seperti yang terjadi pada keluar-
yang terkait adalah masalah uang. Jadi, masa- ga Ibu Erliani Juliyah Hasibuan, perkawinan
lah uang yang lebih banyak dimiliki seseorang semarga dilakukan karena melihat status se-
baik dari pihak laki-laki maupun pihak perem- orang laki-laki memiliki kemampuan mengelola
puan. Meskipun keduanya masih satu marga ekonomi.
pihak keluarga atau kerabat menganggap baik-
4. Faktor Pendidikan
baik saja perkawinan diantara dua insan yang
Faktor pendidikan juga berperan sebagai
satu marga. Apabila salah satu pihak laki-laki
salah satu terjadinya perkawinan semarga
ternyata lebih kaya, maka keluarga pihak pe-
pada masyarakat Batak Mandailing. Semakin
rempuan tidak peduli lagi pada larangan
tinggi tingkat pendidikan akan membuat
perkawinan semarga.
seorang lebih berpikir ke arah yang lebih maju,
Faktor ekonomi ini dalam perkawinan se-
dari tradisional menjadi rasional. Ini terbukti
marga relatif kecil karena kemampuan ekonomi
dari pelaku perkawinan semarga tingkat yang
mereka rata-rata cukup baik dan mapan.
dilakukan oleh orang-orang berpendidikan
Orang tua yang menikahkan anaknya meng-
tinggi. Dengan demikian faktor pendidikan sa-
anggap bahwa dengan menikahkan anaknya
ngat berperan penyebab terjadinya perkawinan
beban ekonomi keluarga akan berkurang. Hal
semarga. Apalagi tingkat pendidikan yang di-
ini disebabkan karena jika sudah menikah,
tempuh mereka sangat baik dan juga mendu-
tanggung jawab beralih pada suami. Kemam-
kung proses cara berpikir yang rasional. Masya-
puan yang dimilikinya membuat keluarga si
rakat Batak Mandailing berpendapat bahwa
perempuan tertarik untuk menjadi bagian hi-
tingkat pendidikan turut andil dalam hal ini.37
dup dari keluarga mereka walaupun perempu-

35
Ratno Lukito, Tradisi Hukum Indonesia (Yogyakarta: Teras, 2008), hlm. 31.
36
Wawancara dengan Bapak Abd Muluk Hasibuan, S.Ag, pelaku perkawinan semarga di Imogiri Timur, Bantul,
tanggal 27 Mei 2015.
37
Wawancara dengan Ibu Erliani Hasibuan, S.Ag, pelaku perkawinan semarga di Imogiri Timur, Bantul, tanggal 30
Mei 2015.

Al-Ah}wa>l, Vol. 10, No. 2, Desember 2017 M/1439 H 145


Muslim Pohan

Pendidikan memberi nilai-nilai tertentu Hal tersebut terbukti tidak benar. Pasangan
bagi manusia terutama dalam membuka pi- perkawinan semarga (sumbang) menunjukkan
kiran serta menerima hal-hal baru dan juga bahwa keturunan dari mereka tetap sehat dan
bagaimana cara berpikir secara ilmiah. Pendi- dapat berkembang dengan baik seperti anak-
dikan mengajarkan manusia untuk dapat ber- anak dari pasangan perkawinan normal.
pikir secara objektif bagaimana akan memberi-
kan kemampuan untuk menilai apakah kebu- G. Penutup
dayaan masyarakatnya akan dapat memenuhi
Masyarakat Batak yang sistem kekera-
kebutuhan-kebutuhan zaman atau tidak.
batannya patrilineal dengan sistem perkawin-
Semarga sudah tidak mungkin memiliki an exogami memiliki ketentuan adat istiadat
hubungan darah karena melihat begitu ba- yang masih satu marga dilarang melangsung-
nyaknya keturunan penduduk masyarakat kan perkawinan, karena keyakinan yang mela-
Batak sekarang telah melewati banyak gene- kukan perkawinan semarga masih memiliki
rasi-generasi, bahkan kadang-kadang berpuluh hubungan darah. Masyarakat Batak yang
ribu anggota dari suatu kelompok kekerabatan menikah akan mengetahui marga apa saja yang
yang sama itu tentu sudah tidak saling menge- boleh dinikahi, serta menganggap semarga itu
tahui akan hubungan darah masing-masing bersaudara.
dan juga tidak saling kenal dengan yang lain-
Pada dasarnya, dalam adat perkawinan se-
nya. 38
marga dilarang dalam masyarakat Batak Man-
Najolo oppung niba, ise oppung nia, ise dailing karena dianggap sedarah dan masih
oppngku, madung dao do jarakna yang berarti
mempertahankannya namun, di pihak lain
dulu nenekku, siapa neneknnya, siapa
nenekku kan sudah jauh jarak keturun- terdapat masyarakat Batak Mandailing yang
annya dari yang dahulu sampai sekarang.39 cenderung mengubah larangan perkawinan
semarga. Masyarakat Batak Mandailing meng-
anggap perkawinan semarga itu sah saja asal-
Banyak orang mengatakan dalam adat
kan saling mencintai. Selain faktor cinta, per-
Batak bahwa perkawinan yang satu marga
kawinan semarga juga dipengaruhi oleh faktor
akan membawa malapetaka terhadap keluar-
agama, ekonomi, pendidikan, perkembangan
ga, misalnya anak yang dilahirkan akan meng-
zaman dan kurangnya pengetahuan budaya
alami keturunan yang cacat fisik/mental atau
Batak. Masyarakat Batak yang melakukan per-
bahkan tidak bisa menghasilkan keturunan
kawinan semarga menganggap perkembangan
dan sebagainya.
penduduk yang semakin bertambah sehingga
Kami pikir itu hanya sebuah takhayul yang
tidak terbukti secara akal pikiran, karena tidak mungkin lagi semarga itu sedarah, dan
itu merupakan sebuah mitos yang tidak orang yang memiliki marga yang sama tidak
perlu ditakuti oleh semua orang Batak, berarti mereka adalah saudara.
buktinya kami sudah mempunyai anak Faktor yang paling menonjol dalam perka-
dan tidak mengalami cacat fisik atau winan semarga adalah faktor agama, larangan
mental.40 perkawinan semarga tidak ada dalam hukum
Islam, karena saudara semarga tidak termasuk

38
Koentjaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial (Jakarta: Dian Rakyat, 1965), hlm. 121.
39
Wawancara dengan Bapak Abd Muluk Hasibuan, S.Ag, pelaku perkawinan semarga di Imogiri Timur, Bantul,
tanggal 30 Mei 2015.
40
Wawancara dengan Bapak Ghozali Harahap, S.Ag, pelaku perkawinan semarga di Pringwulung, Sleman, tanggal 20
Mei 2015.

146 Al-Ah}wa>l, Vol. 10, No. 2, Desember 2017 M/1439 H


Perkawinan Semarga Masyarakat Migran Batak Mandailing di Yogyakarta

dalam orang-orang yang haram dinikahi me- Hs, Sunarto, Penduduk Indonesia dalam Dinamika
nurut al-Qur’an dan Sunnah. Dengan demi- Migrasi 1971-198. Yogyakarta: Dua
kian dapat dikatakan perkawinan semarga Dimensi, 1985.
berhukum mubah asalkan bukan saudara Koentjaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi
dekat. Perkawinan semarga merupakan suatu Sosial. Jakarta: Dian Rakyat, 1965.
perubahan sosial keluarga dalam masyarakat Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di
Batak Mandailing. Perubahan sosial dalam Indonesia. Jakarta: Djambatan, Cet.ke-20,
perkawinan semarga Batak Mandailing yang 2004.
sekarang ini mengubah sistem perkawinan Lubis, M. Dolok dan Harisdani, D. Devriza,
exogami menjadi sistem perkawinan eleuthe- Mandailing: Sejarah,Adat dan Arsitektur.
rogami yang tidak mengenal adanya larangan Medan: Karya Ilmiah Program Studi Ar-
atau keharusan sebagaimana halnya dalam sitektur Fakultas Teknik Universitas
sistem perkawinan exogami atau sistem per- Sumatera Utara, 1999.
kawinan endogami.
Lukito, Ratno, Tradisi Hukum Indonesia. Yogya-
karta: Teras, 2008.
Daftar Pustaka Nuraini, Cut, Permukiman Suku Batak Mandailing.
Abidin, Slamet dan Aminuddin H, Fiqih Yogyakarta: Gajah Mada University Press,
Munakahat I. Bandung: Pustaka Setia, 1999. 2004.
Al-Asqalani, Ibn Hajar, Bulughul Maram. Parsadaan Marga Harahap Dohot Anakboruna,
Bandung: Mizan, 2013. Hadits Riwayat Al- Horja: Adat Istiadat Dalihan Na Tolu. Jakarta:
Bukhari dan Muslim, beserta Imam yang Persadaan Marga Harahap dohot Anak-
tujuh lainnya, Kitab Bulughul Maram, Bab boruna, 1993.
Nikah, No. 995. Rajamarpodang, Dj. Gultom, Dalihan Na Tolu:
Departemen Agama Republik Indonesia, Al- Nilai Budaya Suku Batak. Medan: CV.
Qur’an dan Terjemahnya. Bandung: Syaamil Armada Medan, 1992.
Quran, 2009. Ritzer, George, Teori Sosiologi dari Sosiologi Klasik
El-Guyanie, Gugun, Islam Mazhab Cinta. Yogya- Sampai Perkembangan Terakhir Postmodern.
karta: Kutub Wacana, 2008. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012.
Harahap, Basyral Hamidy, Siala Sampagul. Soekanto, Soerjono, Hukum Adat Indonesia.
Bandung: PUSTAKA, 2004. Jakarta: Rajawali, 1986.
Harahap, Basyral Hamidy, Siala Sampagul: Nilai- Wahyuni, Sri, Perkawinan Beda Agama di Luar
nilai Luhur Budaya Masyarakat Kota Padang- Negeri: Kajian Filosofis, Yuridis, Prosedural,
sidimpuan. Padangsidimpuan: Pemerintah dan Sosiologis. Yogyakarta: SUKA Press,
Kota Padangsidimpuan, 2004. 2014.
Hadikusuma, Hilman, Hukum Perkawinan Adat. Wignjodipuro, Surojo. Pengantar dan Asas-asas
Bandung: Citra Aditya Bakti, 1990. Hukum Adat. Alumni Bandung: 1979.
Hadikusuma, Hilman, Pengantar Ilmu Hukum Vergouwen, J.C., Masyarakat dan Hukum Adat
Adat Indonesia. Bandar Lampung: CV. Batak Toba. Yogyakarta: Lkis Yogyakarta,
Mondar Maju,1992. 1986.
Hadikusuma, Hilman, Hukum Perkawinan Indo-
nesia, Menurut Perundangan, Hukum Adat,
Hukum Agama. Bandung: Mandar Maju,
1990.

Al-Ah}wa>l, Vol. 10, No. 2, Desember 2017 M/1439 H 147

Anda mungkin juga menyukai