Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

SISTEM PERKAWINAN ADAT

diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah


Ilmu Sosial Budaya Dasar

Disusun oleh :
Vineke Vidiyani Soromi
NIM : 2018 10047
Kelas : 1 A

YAYASAN PENDIDIKAN GRAHA HUSADA LESTARI


AKADEMI KEBIDANAN GRAHA ANANDA PALU
TAHUN 2019
KATA PENGANTAR

Puji Syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan limpahan rahmat, dan
hidayah-Nya sehingga kami bisa merampungkan tugas mata Ilmu Sosial Budaya Dasar yang
berupa makalah dengan judul "Sistem Perkawinan Adat" dengan lancar.
Saya berharap makalah ini bisa memberi sedikit tambahan ilmu bagi para pembaca tentang
perkawinan adat. Saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Maka dari
itu, kritik dan saran sangat saya harapkan dari para pembaca. terima kasih.

Palu, 9 januari 2019

Penulis
A. Pengertian Perkawinan Adat
Sudah menjadi kodrat bahwa manusia sejak dilahirkan ke dunia selalu mempunyai
kecenderungan untuk hidup bersama dengan manusia lainnya dalam suatu pergaulan hidup.
Setiap manusia pasti akan mengalami tahap-tahap kehidupan dimulai dari balita, anak-anak,
remaja, dewasa, orang tua sampai ia meninggal. Pada saat dewasa itulah manusia akan mulai
berpikir tentang perkawinan.
Perkawinan merupakan suatu saat yang sangat penting dimana hubungan persaudaraan
berubah dan diperluas. Perkawinan juga merupakan rencana untuk meneruskan keturunan.
Secara umum, perkawinan adalah penggabungan antara seorang pria dan seorang wanita
untuk membentuk sebuah rumah tangga.
Perkawinan merupakan salah satu peristiwa yang sangat penting dalam kehidupan
masyarakat adat. Peristiwa ini bukan hanya suatu periwtiwa yang mengenai mereka yang
bersangkutan (perempuan dan laki-laki), akan tetapi otang tua, saudara-saudara dan
keluarga-keluarganya. Sehingga seringkali kita dengar, bahwa secara umum perkawinan
dalam masyarakat Indonesia yang kawin sesungguhnya keluarga dengan keluarga. Suatu
indikator, bagaimana banyaknhya aturan-aturan yang harus dijalankan, aturan berhubungan
dengan adat istiadat yang mengandung sifat religio-magis.1
Dari pernyataan tersebut dapa disimpulkan bahwa perkawinan menurut adat
hakikatnya merupakan suaru peristiwa yang tidak hanya mengakinatkan suatu hubungan
atau ikatan antara kedua mempelai saja, tetapi juga kedua orang tua dan keluarga masing-
masing.
Menurut pandangan Iman Sudiyat bahwa perkawinan adat bisa merupakan urusan
kerabat, keluarga, persekutuan dan martabat bisa juga merupakan urusan pribadi bergantung
kepada tata susunan masyarakat yang bersangkutan.2
Sedangkan menurut Hilman Hadi Kusuma menyatakan bahwa perkawinan menurut
hukum adat tidka semata-mata suatu ikatan antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami isteri untu mendapatkan keturunan dan membangun serta membina kehidupan
keluarha tetapu juga berarti suatu hubungan hukum yang menhyangkut para anggota kerabat
dari pihak isteri maupun pihak suami. Terjadinya perkawinan, berarti berlakunya ikatan
kekerabatan untuk saling membantu dan menunjang hubungan kekerabatan yang rukun dan
damai.
1
Trianto Dan Titik Triwulan Tutik, Perkawinan Adat Wulugiri Suku Tengger (Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher,
2007), H. 10.
2
Trianto, Perkawinan Adat Wulugiri Suku Tengger, H. 12
Dengan adanya maka diharapkan perkawinan itu untuk mendapatkan keturunan yang
akan menjadi penerus orang tua, dari ayah maupun ibu. Silsilah yang menggambarkan
kedudukan seseorang sebagai anggota kerabat merupakan barometer dari asal-usul
keturunan yang baik dan teratur.
Dari segi kebudayaan masyarakat, suatu perkawinan merupakan prilaku manusia yang
berhubungan dengan kehidupan seksualnya. Dengan demikian, fungsi perkawinan adat
adalah:3
1. Suatu lembaga sosial yang mengatur manusia dalam bidang seks.
2. Suatu sarana untuk memenuhi manusia dalam kebutuhan hidup sebagai kawan
(pendamping) hidup.
3. Lembaga yang berisikan hak-hak dan kewajiban mengenai hubungan suami isteri dan
anak-anak.
Disamping sebagai sarana untuk mendapatkan fungsi diatas, perkawinan adat juga
berfungsi memungkinkan perumbuhan tertib-teratur dari paguyuban hidup kelompok
kebangsaan ke dalam generasi-generasi baru, anak-anak yang dilahirkan dari dan di
dalam perkawinan itu melanjutkan kehidupan kelompok kebangsaan. Perkawinan itu juga
mempertahankan persekutuan setempat atau masyarakat desa dan persekutuan wilayah
selaku tata susunan masyarakat rakyat.

B. Tujuan

Seperti kita ketahui bahwa sesungguhnya dalam kehidupan masyarakat di Indonesia


memiliki kondisi kekeluargaan yang berbeda-beda atau sistem kekerabatan yang berbeda-
beda, selain perbedaan suku bangsa juga adanya perbedaan dari segi agama, dari inilah
keadaan perkawinan masyarakat itu tergantung dari masyarakat tertentu yang ada kaitannya
dengan kondisi kekeluargaan serta membawa dampak pada bentuk perkawinan pada suatu
masyarakat tersebut.

Oleh karena itu diperlukan pembahasan lebih lanjut mengenai perkawinan adat untuj mengetahui
segala sesuatu tentang perkawinan menurut hukum adat yang ada dan berlaku di Indonesia.

C. Macam-Macam Bentuk Perkawinan Adat

3
Trianto, Perkawinan Adat Wulugiri Suku Tengger, H. 13.
Perkawinan mempunyai tujuan utama untu melahirkan keturunan. Karena itu sistem
hukum perkawinan atau sistem perkawinan ditentukan oleh cara menarik garis keturunan.
Cara menarik garis keturunan ada dua macam, yaitu: unilateral dan bilateral.
Sistem perkawinan adat juga ada dua macam:4
1. Perkawinan pada masyarakat unilateral yang sistemnya eksogami.
2. Perkawinan pada masyarakat bilateral sistem perkawinannya tidak terikat pada eksogami.
Perkawinan eksogami adalah perkawinan dimana pihak-pihak yang kawin harus
mempunyai keanggotaan clan yang tidak sama. Jadi, dalam pengertian eksogami terkandung
prinsip larangan untuk kawin dengan sesama anggota clan.
Karena sistem adat yang dianut oleh masyarakat indonesia berbeda-beda, maka bentuk
dan tata cara perkawinan adat pun beraneka ragam. Pada masyarakat unilateral pada
dasarnya ada dua macam yaitu:
1. Patrilineal
2. Matrilineal
Bentuk perkawinan yang dikenal dalam masyarakat adat dapat dibedakan antara lain :

a. Patrilineal

Corak dari perkawinan dalam kekerabatan ini adalah perkawinan jujur. Yang dimaksud
dengan jujur di sini adalah pemberian pihak laki-laki kepada pihak perempuan ini
yaitu sebagai lambang putusnya hubungan kekeluargaan si isteri dengan kerabatnya
dan persekutuannya. Maka isteri masuk dalam kekerabatan suami beserta anak-
anaknya. Sifat kekeluargaan ini dapat kita lihat pada masyarakat lampung, tanah Gayo,
Pasemah, Maluku dan Bali.

b. Matrilineal.

Bentuk perkawinannya adalah perkawinan semenda dalam rangka mempertahankan


garis keturunan pihak ibu. Dalam perkawinan semenda calon mempelai pria dilamar
oleh kerabat calon mempelai wanita. Setelah perkawinan terjadi, maka suami berda di
bawah kekuasaan kerabat istri, hal ini bukan dalam arti laki-laki dimasukkan klen
isterinya, ia tetap merupakan orang luar dari keluarga isterinya. Tidak adanya
perubahan status dalam perkawinan ini, karena suami tetap menjadi keluarga klennya

4
Trianto, Perkawinan Adat Wulugiri Suku Tengger, H. 15.
dan isteri juga tetap menjadi anggota klennya, tidak ada pembayaran jujur pada
perkawinan ini. Kekerabatan ini dapat kita temukan pada masyarakat Minangkabau.

c. Parental

Dalam susunan kekerabatan parental, setelah perkawinan suami menjadi anggota


keluarga isteri begitupun sebaliknya. Artinya susunan kekerabatan ini sangat berbeda
dengan susunan kekerabatan sebelumnya yaitu patrilineal dan matrinial, yang hanya
masuk ke dalam satu klan saja. Tapi dalam susunan kekerabatan parental adanya
hubungan timbal balik dalam susunan kekerabatan. Dimana suami dan isteri dapat
masuk kedalam susunan kekerabatan atau klan masing-masing pasangannya. Susunan
kekerabatan ini dapat kita lihat pada masyarakat Sulawesi selatan, suku Dayak, dan
Minahasa.

Karena itu pada sistem perkawinan adat masyarakat unilateral terbagi menjadi dua
macam :5

1. Pada masyarakat adat yang susunannya patrinial. Pada umumnya dianut bentuk
perkawinan jujur (Mangoli, Batak, Pasemah, Rejang, Palembang Dan Lampung).
2. Di kalangan masyarakat adat yang Patrinial Alternerend (kebapakan beralih-alih) dan
Matrinial. Pada umumnya dianut dalam bentuk perkawinan semenda. Sedangkan
dilingkungan masyarakat aat parental dianut bentuk perkawinan mentas.
Dari ketiga macam bentuk perkawinan itu masih terdapat berbagai variasi yang
bermacam-macam menurut kepentingan kekerabatan yang bersangkutan.

1. Perkawinan Menurut Masyarakat Adat Minang Dipandang Dari Teori


Reception in Complexu Dan Teori Resepsi

Suku Minang atau Minangkabau adalah suku yang berasal dari Sumatera
Barat. Masyarakat Minangkabau pada umunya memeluk agama Islam. Hanya
sebagian kecil dari masyarakat Minangkabau yang tidak memeluk agama Islam.

5
Trianto, Perkawinan Adat Wulugiri Suku Tengger, H. 16.
Pembicaraan mengenai Islam dan Minangkabau adalah mengenai kenapa
masyarakat Minangkabau yang terkenal teguh memegang ajaran Islam terkadang
untuk beberapa hal yang tidak prinsipal memiliki kecenderungan yang berbeda
dengan kecenderungan yang dianjurkan oleh Islam dimana ciri matrilineal dalam
masyarakat adat Minangkabau sangat berpengaruh dalam hal perkawinan.

Dalam sistem kekerabatan matrilineal terdapat tiga unsur yang paling


dominan, yaitu

a. Garis keturunan menurut garis ibu


b. Perkawinan harus dengan kelompok lain, di luar kelompok sendiri yang
sekarang dikenal dengan istilah eksogami matrilineal.
c. Ibu memegang peran sentral dalam pendidikan, pengaman kekayaan, dan
kesejahteraan keluarga.
Dilain pihak perkawinan bagi seorang perjaka Minangkabau berarti pula
langkah awal bagi dirinya meninggalkan kampung halaman, ibu dan bapak
serta seluruh kerabatnya, untuk memulai hidup baru dilingkungan kerabat
istrinya. Hal ini ditandai dengan prosesi turun janjang. Bila terjadi perceraian,
suamilah yang harus pergi dari rumah isterinya. Sedangkan isteri tetap tinggal
dirumah kediamannya bersama anak-anaknya sebagaimana telah diatur hukum
adat.
Sedangkan Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu
akad yang sangat kuat atau miitsaaqon gholiidhan untuk mentaati perintah
Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Tujuan perkawinan menurut
undang-undang dan kompilasi hukum Islam adalah untuk mentaati perintah
Allah serta memperoleh keturunan di dalam masyarakat, dengan mendirikan
rumah tangga yang damai dan teratur.
Dalam hukum Islam anak adalah keturunan dari ayahnya, maka ayah
mempunyai kuasa terhadap anaknya. Hal ini berbeda dengan hukum adat
Minangkabau dimana ayah atau suami dalam suatu keluarga tidak mempunyai
kuasa terhadap anaknya. Dikarenakan anak adalah keturunan dari ibunya atau
klan ibunya. Sedangkan dalam hal garis keturunan ditarik melalui garis ayah
menurut hukum Islam, maka ayah mempunyai kuasa terhadap anaknya. Maka
anak adalah keturunan dari ayahnya. Hal ini berbeda dengan hukum adat
Minangkabau di mana seorang ayah tidak memiliki kuasa terhadap anaknya.
Hukum adat menurut pendapat Mr. Van den Berg yang terkenal dengan
teorinya “reception in complexu” adalah menganggap hukum kebiasaan atau
hukum adat adalah hukum agama. Tegasnya menurut teori ini, kalau suatu
masyarakat itu memeluk suatu agama tertentu, maka hukum Adat masyarakat
yang bersangkutan adalah hukum agama yang dipeluknya itu. Berdasarkan
teori yang dikemukakan oleh Mr. Van den Berg, maka hukum adat yang
berlaku pada masyarakat Minangkabau adalah hukum Islam. Sehingga
perkawinanpun harus berdasarkan hukum Islam, namun pada kenyataanya
tidak demikian.. Hal ini terlihat pada sistem kekerabatan Minangkabau yang
terkenal dengan sistem matrilineal
Sedangkan bila dipandang dari Teori Resepsi yang pertama kali oleh
Christian Snouck Hurgronje ( 1857-1936 ), yang disampaikannya secara
panjang lebar dalam bukunya De Atjehers. Teori ini kemudian dilanjutkan oleh
Cornelis van Vollenhoven ( 1874-1933), seorang sarjana dan ahli di bidang
hukum adat, yang memperkenalkan hukum adat Indonesia ( Indisch
Adatrecht ). Teori resepsi ini dikemukakan oleh Van Vollenhoven dalam
bukunya Het Adatrecht van Nederlandsch Indie.
Secara etimologis, kata resepsi berasal dari bahasa latin reception yang
berarti “ penerimaan”. Secara terminologis, teori resepsi berarti “penerimaan
hukum asing sebagai salah satu unsur hukum asli”. Hukum asing di sini adalah
hukum agama, sedangkan hukum asli adalah hukum adat. Oleh karena itu, teori
resepsi adalah penerimaan hukum Islam oleh hukum adat, atau dengan kata
lain pengaruh hukum Islam baru mempunyai kekuatan hukum kalau telah
diterima oleh hukum adat dan diperlakukan sebagai hukum adat, bukan sebagai
hukum Islam. Oleh karena itu dalam Adat Minang perkawinan dilakukan
berdasarkan hukum adat dengan adanya sistem kekerabatan matrilineal, bukan
menggunakan hukum islam walaupun sebagian besar masyarakatnya memeluk
agama islam.
2. Adapun tata cara adat perkawinan di mingkabau, antara lain :

a) Maresek

Maresek merupakan penjajakan


pertama sebagai permulaan dari
rangkaian tata-cara pelaksanaan
pernikahan. Sesuai dengan sistem
kekerabatan di Minangkabau yaitu
matrilineal, pihak keluarga wanita
mendatangi pihak keluarga pria.
Lazimnya pihak keluarga yang datang membawa buah tangan berupa kue atau
buah-buahan. Pada awalnya beberapa wanita yang berpengalaman diutus untuk
mencari tahu apakah pemuda yang dituju berminat untuk menikah dan cocok
dengan si gadis. Prosesi bisa berlangsung beberapa kali perundingan sampai
tercapai sebuah kesepakatan dari kedua belah pihak keluarga.

b) Maminang/batimbang tando (bertukar tanda)

Keluarga calon
mempelai wanita
mendatangi keluarga
calon mempelai pria
untuk meminang. Bila
pinangan diterima,
maka akan berlanjut ke
proses bertukar tanda
sebagai simbol pengikat perjanjian dan tidak dapat diputuskan secara sepihak.
Acara ini melibatkan orangtua, ninik mamak dan para sesepuh dari kedua belah
pihak. Rombongan keluarga calon mempelai wanita datang membawa sirih
pinang lengkap disusun dalam carano atau kampia (tas yang terbuat dari daun
pandan) yang disuguhkan untuk dicicipi keluarga pihak pria. Selain itu juga
membawa antaran kue-kue dan buah-buahan. Menyuguhkan sirih di awal
pertemuan mengandung makna dan harapan. Bila ada kekurangan atau
kejanggalan tidak akan menjadi gunjingan, serta hal-hal yang manis dalam
pertemuan akan melekat dan diingat selamanya. Kemudian dilanjutkan dengan
acara batimbang tando/batuka tando (bertukar tanda). Benda-benda yang
dipertukarkan biasanya benda-benda pusaka seperti keris, kain adat, atau benda
lain yang bernilai sejarah bagi keluarga. Selanjutnya berembuk soal tata cara
penjemputan calon mempelai pria.

c) Mahanta siriah/minta izin

Calon mempelai pria mengabarkan dan


mohon doa restu tentang rencana pernikahan
kepada mamak-mamak-nya, saudara-saudara
ayahnya, kakak-kakaknya yang telah
berkeluarga dan para sesepuh yang
dihormati. Hal yang sama dilakukan oleh
calon mempelai wanita, diwakili oleh
kerabat wanita yang sudah berkeluarga dengan cara mengantar sirih. Calon mempelai
pria membawa selapah yang berisi daun nipah dan tembakau (sekarang digantikan
dengan rokok). Sementara bagi keluarga calon mempelai wanita, untuk ritual ini mereka
akan menyertakan sirih lengkap. Ritual ini ditujukan untuk memberitahukan dan mohon
doa untuk rencana pernikahannya. Biasanya keluarga yang didatangi akan memberikan
bantuan untuk ikut memikul beban dan biaya pernikahan sesuai kemampuan.

d) Babako-babaki

Pihak keluarga dari ayah calon


mempelai wanita (disebut bako) ingin
memperlihatkan kasih sayangnya
dengan ikut memikul biaya sesuai
kemampuan. Acara ini biasanya
berlangsung beberapa hari sebelum acara akad nikah. Mereka datang membawa
berbagai macam antaran. Perlengkapan yang disertakan biasanya berupa sirih lengkap
(sebagai kepala adat), nasi kuning singgang ayam (makanan adat), barang-barang yang
diperlukan calon mempelai wanita (seperangkat busana, perhiasan emas, lauk-pauk baik
yang sudah dimasak maupun yang masih mentah, kue-kue dan sebagainya). Sesuai
tradisi, calon mempelai wanita dijemput untuk dibawa ke rumah keluarga ayahnya.
Kemudian para tetua memberi nasihat. Keesokan harinya, calon mempelai wanita diarak
kembali ke rumahnya diiringi keluarga pihak ayah dengan membawa berbagai macam
barang bantuan tadi.

e) Malam bainai

Bainai berarti melekatkan tumbukan halus


daun pacar merah atau daun inai ke kuku-
kuku calon pengantin wanita. Lazimnya
berlangsung malam hari sebelum akad
nikah. Tradisi ini sebagai ungkapan kasih
sayang dan doa restu dari para sesepuh
keluarga mempelai wanita. Perlengkapan
lain yang digunakan antara lain air yang
berisi keharuman tujuh macam kembang, daun iani tumbuk, payung kuning, kain jajakan
kuning, kain simpai, dan kursi untuk calon mempelai. Calon mempelai wanita dengan baju
tokah dan bersunting rendah dibawa keluar dari kamar diapit kawan sebayanya. Acara
mandi-mandi secara simbolik dengan memercikkan air harum tujuh jenis kembang oleh para
sesepuh dan kedua orang tua. Selanjutnya, kuku-kuku calon mempelai wanita diberi inai

f) Manjapuik marapulai

Ini adalah acara adat yang paling penting


dalam seluruh rangkaian acara
perkawinan menurut adat Minangkabau.
Calon pengantin pria dijemput dan
dibawa ke rumah calon pengantin wanita
untuk melangsungkan akad nikah.
Prosesi ini juga dibarengi pemberian gelar pusaka kepada calon mempelai pria sebagai tanda
sudah dewasa. Lazimnya pihak keluarga calon pengantin wanita harus membawa sirih
lengkap dalam cerana yang menandakan kehadiran mereka yang penuh tata krama (beradat),
pakaian pengantin pria lengkap, nasi kuning singgang ayam, lauk-pauk, kue-kue serta buah-
buahan. Untuk daerah pesisir Sumatra Barat biasanya juga menyertakan payung kuning,
tombak, pedang serta uang jemputan atau uang hilang. Rombongan utusan dari keluarga
calon mempelai wanita menjemput calon mempelai pria sambil membawa perlengkapan.
Setelah prosesi sambah-mayambah dan mengutarakan maksud kedatangan, barang-barang
diserahkan. Calon pengantin pria beserta rombongan diarak menuju kediaman calon
mempelai wanita.

g) Penyambutan

di rumah anak daro Tradisi


menyambut kedatangan calon
mempelai pria di rumah calon
mempelai wanita lazimnya
merupakan momen meriah dan
besar. Diiringi bunyi musik
tradisional khas Minang yakni talempong dan gandang tabuk, serta barisan Gelombang Adat
timbal balik yang terdiri dari pemuda-pemuda berpakaian silat, serta disambut para dara
berpakaian adat yang menyuguhkan sirih. Sirih dalam carano adat lengkap, payung kuning
keemasan, beras kuning, kain jajakan putih merupakan perlengkapan yang biasanya
digunakan. Keluarga mempelai wanita memayungi calon mempelai pria disambut dengan
tari Gelombang Adat Timbal Balik. Berikutnya, barisan dara menyambut rombongan dengan
persembahan sirih lengkap. Para sesepuh wanita menaburi calon pengantin pria dengan
beras kuning. Sebelum memasuki pintu rumah, kaki calon mempelai pria diperciki air
sebagai lambang mensucikan, lalu berjalan menapaki kain putih menuju ke tempat
berlangsungnya akad.

1. Perkawinan Jujur
Bentuk perkawinan adalah perkawinan yang dilakukan dengan pembayaran
jujur dari pihak laki-laki kepada perempuan. Pada perkawinan ini pihak laki-laki
harus menyerahkan sesuatu yang disebut jujur, kepada pihak keluarga pengantin
perempuan dengan tujuan untuk melepaskan calon pengantin perempuan tersebut
dari keanggotaan clan orang tuanya, untuk dimasukkan ke dalam clan pengantin
laki-laki.6
Fungsi perkawinan jujur adalah:
(1)Secara yuridis untuk mengubah status keanggotaan clan dari pengantin
perempuan.
(2)Secara ekonomis membawa pergeseran dalam kekayaan.
(3)Secara sosial tindakan penyerahan jujur itu mempunyai kedudukan yang
dihormati.
Bentuk perkawinan jujur ini dianut oleh masyarakat patrinial artinya
bentuk perkawinan ini bertujuan untuk secara konsekuen melanjutkan keturunan
dari pihak laki-laki (ayah).
Jujur yang diserahkan oleh pihak laki-laki itu dapat berupa uang atau
barang. Dan istilah-istilah yang digunakan terhadap jujur berbeda-beda,
misalnya: di Jawa (tukon), di Bali (patukun luh), di Maluku (wilin), di Gayo dan
Batak (unjuk), di Nias (beuli niha), di Sanamot (pangolin, boli, tubor), di
Tapanuli Selatan dan Sumatera Selatan (jujur), di Lampung (serroh), di Timor
(belis).
Dalam kerangka bentuk perkawinan jujur terdapat beberapa variasi bentuk,
yaitu:
a. Perkawinan Ganti Suami (Leviraat Huwelijk)
Terjadinya perkawinan ganti suami adalah dikarenakan suami wafat,
maka isteri harus kawin dengan saudara laki-laki dari suami yang wafat. Di
dalam bentuk perkawinan ini tidak diperlukan lagi pembayaran jujur,
pembayaran adat dan lain-lain.
Maksud dan tujuan dari perkawinan ini adalah supayan mempunyai
laki-laki dari janda sebagai turunan dari suami yang pertama.7
b. Perkawinan Ganti Isteri (Vervoolg Huwelijk)
Perkawinan ganti isteri adalah perkwinan yang disebabkan isteri meninggal
dunia, maka suami kawin lagi dengan kakak atau adik perempuan dari isteri

6
Trianto, Perkawinan Adat Wulugiri Suku Tengger, H. 17.
7
Trianto, Perkawinan Adat Wulugiri Suku Tengger, H. 19.
yang telah wafat itu. Di dalam pelaksanaan perkawinan ini tidak perlu lagi
pembayaran uang jujur, karena isteri keduan seakan-akan menduduki isteri
yang pertama.8
c. Perkawinan Mengabdi (Dienhuwelijk)
Terjadinya perkawinan mengabdi adalah dikarenakan ketika diadakan
pembicaraan lamaran, ternyat pihak laki-laki tidak dapat memenuhi syarat-
syarat permintaan dari pihak perempuan sedangkan laki-lakiatau kedua pihak
tidak menghendaki perkawinan semenda lepas, sehingga setelah perkawinan
maka suami akan terus-menerus bertempat tinggal di pihak isteri.9
Dalam perkawinan mengabdi maka pihak laki-laki tidak perlu melunasi
uang jujur, uang permintaan dan lain-lain. Tetapi setelah perkawinan pihak
laki-laki berkediaman ditempat mertuan sampai berakhir pengabdiannya,
dimana hal ini telah dianggap melunasi pembayaran jujur.
Bentuk penganbdian itu misalnya membantu pekerjaan mertua dalam
bidang pertanian atau perdagangan dan lain-lain.
Adakalanya perkawinan ini laki-laki tetap membayar jujur tetapi
ditunda. Dan suami dapat hidup bersama isterinya, tetapi suami bekerja
mengabdi kepada keluarga mertuanya. Hubungan menantu dan keluarga
mertua sebagai buruh dan majikan, oleh karena itu menantu belum dapat
membayar jujur dan harus menganbdi terlebih dahulu. Dalam hal ini suami
tidak termasuk dalam keluarga jujur lunas.
Anak-anak yang lahir selama dalam masa pengabdian adalah masuk
clan isterinya, tetapi apabila jujur sudah lunas dibayar, maka pereka pindah ke
clan suaminya.
d. Perkawinan Ambil Beri atau Bertukar (Huilhuwelijk)
Perkawinan Ambil Beri adalah perkawinan yang terjadi diantara
kerabat yang sifatnya simetris, dimana pada suatu masa kerabat A
mengambil isteri dari kerabat B, maka di masa lain kerabat B mengambil
isteri dari kerabat A.
Dalam perkawinan ini kemungkinan jujur diperhitungkan. Jadi ada
kemungkinanan tidak usah dibayar karena sudah lunas. Oerkawinan ini
hanya terjadi dalam masyarakat itu diperbolehkan kawin timbal balik.

8
Trianto, Perkawinan Adat Wulugiri Suku Tengger, H. 20.
9
Trianto, Perkawinan Adat Wulugiri Suku Tengger, H. 20.
Perkawinan Ambil Beri ini berlaku di Lampung, Ambon, Sulawesi Selatan
dan Irian Jaya.10
e. Perkawinan Ambil Anak (Inlike Huwelijk)
Perkawinan Ambil Anak adalah perkawinan yang terjadi dikarenakan
hanya mempunyai anak perempuan (tuanggal), maka wanita itu mengambil
laki-laki (dari anggota kerabat) untuk menjadi suaminya dan mengikuti
kerabat isteri untuk selama perkawinannya guna menjadi keturunan pihak
isteri.11
Kadangkala perkawinan ini bermaksud mengadopsi si laki-laki secara
formal di dalam gen patrinial isterinya, tetapi si menantu laki-laki (orang
asing ataupun warga persekutuan hukum) diizinkan masuk tanpa suatu
pembayaran jujur.
Perkawinan ini di Lampung disebut perkawinan nyentane dan yang
berkuasa menjadi kepala rumah tangga adalah isteri, oleh karena itu suami
berkedudukan sebagai perempuan yang masuk kerabat isteri.
2. Perkawinan Semenda Pada Masyarakat Matrinial
Perkawinan Semenda adalah bentuk perkawinan tanpa membayar jujur dari
pihak laki-laki kepada pihak perempuan. Dalam perkawinan ini laki-laki tinggal
dalam keluarganya sendiri, akan tetapi dapat bergaul dengan keluarga isterinya
sebagai urang semendo (Minangkabau) atau aangetrouude.12
Namun perkawinan semendo dalam arti sebenarnya adalah perkawinan
dimana suami setelah perkawinan menetap dan berkedudukan di pihak istri dan
melepaskan hak dan kedudukannya dari pihak kerabatnya sendiri. Perkawinan ini
disebut juga dengan bentuk perkawinan yang bertujuan untuk secara konsekuen
melanjutkan keturunan pihak ibu.
Walaupun tidak ada pembayaran jujur, namun pihak laki-laki harus memenuhi
permintaan uang atau barang dari pihak perempuan. Bentuk perkawinan semendo
ini dianut oleh masyarakat matrinial yang bertujuan untuk melanutkan keturunan
pihak ibu, seperti di Minangkabau. Dan berlaku juga di daerah yang susunan
kekerabatannya alternerend atau beralih menurut perkawinan orang tua, seperti di
Rejang Lebong, Bengkulu.
10
Trianto, Perkawinan Adat Wulugiri Suku Tengger, H. 23.
11
Trianto, Perkawinan Adat Wulugiri Suku Tengger, H. 24.
12
Trianto, Perkawinan Adat Wulugiri Suku Tengger, H. 25
Bentuk perkawinan semendo dibagi menjadi dua, yaitu:
a. Perkawinan Semenda Sebagai Suatu Keharusan
Perkawinan ini merupakan kawin semendo yang dijalankan pada
masyarakat matrineal. Perkawinan semenda ini ditemui dalam masyarakat
Minangkabau.13
Dalam perkembangan semenda yang merupakan keharusan dalam tiga
bentuk. Pertama perkawinan semendo bertandang. Pada tingkat perkembangan
jenis ini suami isteri tidak bertempat tinggal dalam rumah yang sama. Kedua,
kawin semendo menetap. Pada tingkat perkembangannya, maka suami istri pada
jenis ini sudah hidup secara bersama menetap dalam satu rumah, yaitu dalam
rumah istrinya. Dalam sudut pandang antropologi, bila terjadi perkawinan suami
bertempat tinggal dalam lingkungan istri, maka hal itu disebut matrilokal.
Ketiga, kawin semendo bebas. Bentuk ini merupakan suatu keadaan dimana
pada tingkat perkembangannya, kesatuan suami istri sudah merupakan satu
kesatuan rumah tangga yang berdiri dalam arti ekonomi, yaitu bebas dari harta
pusaka.
b. Perkawinan Semenda Sebagai Penyimpangan Terhadap Keharusan Yang
Terdapat Pada Masyarakat Unilateral Kebapakan Patrinial
Perkawinan masyarakat patrineal seharusnya perkawinan itu dijalankan
secara kawin jujur, yaitu sebagai bentuk perkawinan untuk melanjutkan pihak
laki-laki (bapak).14
Dalam masyarakat patrineal kemungkinan terdapat keluarga atau rumah
tangga yang tidak mempunyai anak laki-laki. Karena itu pada kesatuan-kesatuan
rumah tangga yang tidak mempunyai anak laki-laki garis keturunannya akan
terputus dan kesatuan rumah tangga yang bersangkutan akan menjadi panah.
Punahnya suatu keturunan adalah keadaan yang tidak dikehendaki. Karena itu
harus dilakukan usaha-usaha untuk mencegah kemungkinan punahnya keturuan.
Cara-cara yang dapat ditempuh adalah:15
1. Laki-laki yang bersangkutan kawin lagi (polygami).
2. Melakukan adopsi (pengangkatan anak).

13
Trianto, Perkawinan Adat Wulugiri Suku Tengger, H. 26.
14
Trianto, Perkawinan Adat Wulugiri Suku Tengger, H. 28.
15
Trianto, Perkawinan Adat Wulugiri Suku Tengger, H. 29.
3. Salah seorang dari anak perempuan dikawinkan menurut cara kawin
semendo.
Bentuk kawin semendo sebagai penyimpangan terhadap keharusan
menjalankan perkawinan jujur.
3. Perkawinan Pada Masyarakat Bilateral
Pada masyarakat bilateral, maka perkawinan melanjutkan keturunan baik dari
pihak bapak maupun pihak ibu. Pada masyarakat bilateral ini tidak dikenal
persoalan tentang eksogami ataupun endogami. Karena itu pula Pada masyarakat
bilateral, pada dasarnya orang bebas untuk kawin dengan siapa saja, yang menjadi
halangan hanyalah ketentuan yang timbul oleh kaidah-kaidah sisilah agama.16
Jadi larangan-larangan perkawinan itu lebih disebabkan oleh keyakinan
sendiri, dari pada penetapan dari luar dirinya sendiri. Pada dasarnya perkawinan
yang dilarang aalah perkawinan antara orang-orang yang mempunyai hubungan
dekat.
Ketentuan tentang hubungan dekat ditentukan oleh silsilah agama. Menurut
hukum Islam yang dimaksud adalah hubungan darah, hubungan ipar, hubungan
sesusuan. Jadi menurut hukum Islam perkawinan antara orang tua dan anak
saudara-saudara kandung atau sepersusuan atau perkawinan Leviraat adalah
dilarang.
Pada masyarakat ke ibu-bapaan tidak ada keharusan untuk eksogami maupun
endogami. Tapi beberapa daerah dianurkan untuk kawin secara endogami seperti di
Kalimanta pada orang dayak. Tujuannya adalah:17
(1)Mempererat hubungan intern keluarga.
(2)Menjaga supaya tidak ada kekayaan yang jatuh keluar lingkungan warisan.
Pada masyarakat Bilateral tidak dikenal jujur, tetapi kadang-kadang pihak
laki-laki juga memberikan barang ataupun uang khusus kepada pihak perempuan
secara pribadi. Misalnya: jinamee di Aceh dan sunrang di Sulawesi Selatan. Dalam
masyarakat Jawa pemberian ini disebut pitukan, yaitu sokongan biaya perkawinan
pihak laki-laki kepada pihak perempuan yang terkadang disamakan dengan mas
kawin (mahar) dalam hukum Islam. Pemberian perkawinan ini kadang-kadang
merupakan sahnya perkawinan. Apabila putus, di beberapa daerah pitukan ini harus
dikembalikan.

16
Trianto, Perkawinan Adat Wulugiri Suku Tengger, H. 33.
17
Trianto, Perkawinan Adat Wulugiri Suku Tengger, H. 34.
REFERENSI

https://www.scribd.com/doc/.../Pengertian-Perkawinan-Adat-doc

Trianto, Perkawinan Adat Wulugiri Suku Tengger, H. 34.

Anda mungkin juga menyukai