Anda di halaman 1dari 18

Makalah

HUKUM ADAT PERNIKAHAN MINANGKABAU

Diajukan untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Hukum Bisnis

Dosen : Yth,Bpk M.Faizal

Disusun Oleh :

Novi Ramayanti

NIM : 1902035210

fakultas/jurusan : Ekonomi / Pepajakan 19 A

UNIVESITAS RIAU

PEKANBAU 2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karunia-
Nya kepada saya sehingga saya berhasil menyelesaikan makalah inidengan baik.Adapun makalah
yang saya buat ini mengenai keunikan budaya di Nusantara khususnya Budaya dan Adat
Minangkabau.Adapun isi dari makalah ini adalah tentang Adat Minangkabau, yang meliputi asal usul
suku minangkabau, system kekerabatan,kepercayaan,religi,ekonomi,dan adat istiadat upacara dalam
suku minangkabau.Makalah ini diajukan guna memenuhi tugas mata kuliah Hukum Bisnis.
Semoga makalah ini membeikan informasi bagi pembaca dan bermanfaat untuk pengembangan
wawasan dan peningkatan ilmu pengetahuan bagi kita semua.khususnya di bidang kebudayaan,
sehingga kita terpanggil dan tergerak untuk lebih melestarikan kebudayaan yang telah ada. Amin
i

DAFTAR ISI

Kata pengantar....................................................................................................................i

Daftar isi..............................................................................................................................ii

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang................................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah..........................................................................................2

1.3 Fungsi Pekawinan...........................................................................................2

BAB 2 PEMBAHASAN

2.1 Pekawinan adat minangkabau........................................................................3

2.2 Pekawinan Eksogami.....................................................................................5

2.3 Urutan acara...................................................................................................7

BAB 3 PENUTUP

3.1 Kesimpulan...................................................................................................14

DAFTAR PUATAKA..........................................................................................................15

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perkawinan dalam adat Minangkabau merupakan salah satu hal yang penting karena
berhubungan erat dengan sistem kekerabatan matrilineal dan garis keturunan. Menurut alam pikiran
orang Minangkabau, perkawinan yang ideal ialah perkawinan antara keluarga terdekat seperti dikenal
dengan istilah pulang ka mamak atau pulang ka bako (Navis,1984:194-195). Dengan kata lain dikenal
dengan istilah perkawinan “awak samo awak” yang artinya perkawinan yang terdekat. Dengan tujuan
akan lebih kukuh perkawinan yang dibentuk dan tidak akan merusak struktur adat yang dianut.Pada
dasarnya sebuah perkawinan berguna secara biologis antara dua lawan jenis sehingga dapat
melanjutkan keturunan mereka, perkawinan juga untuk mempererat dan memperluas hubungan
kekerabatan.Di Minangkabau banyak dijumpai berbagai permasalahan dalam perkawinan ideal
diantaranya perkawinan larangan dan pantang. Larangan mengandung arti perkawinan tidak dapat
dilakukan, sedangkan pantangan yakni perkawinan yang dapat dilakukan dengan sanksi hukum.
Perkawinan yang dilarang ialah perkawinan yang terlarang menurut hukum perkawinan yang telah
umum seperti mengawini ibu, ayah, anak saudara seibu dan sebapak, saudara ibu dan bapak, anak
adik dan kakak, merua dan menantu, anak tiri dan ibu tiri atau bapak tiri, saudara kandung istri atau
suami dan anak saudara laki-laki ayah. Perkawinan pantang ialah perkawinan yang akan merusak
sistem adat mereka, yaitu perkawinan orang yang setali darah menurut matrilineal, sekaum dan juga
sesuku meskipun tidak ada hubungan kekerabatan dan tidak sekampung halaman. Dua perkawinan
diatas perkawinan larangan dan perkawinan pantangan sering juga disebut dengan perkawinan
sumbang di Minangkabau. Dalam KBBI (2007:519) sumbang dalam perkawinan adalah suatu
perkawinan antara kerabat terdekat yang tidak diizinkan oleh hukum adat. Sementara menurut Navis,
perkawinan sumbang akan merusak kerukunan sosial lebih bertolak pada menjaga harga diri orang
tidak tersinggung atau merasa direndahkan. Adapun sanksi dari perkawinan sumbang tersebut yang
akan ditimpakan oleh pelanggar akan diputuskan dalam musyawarah (Navis, 1998:196-197).
Permasalan perkawinan ini sering diangkat dalam kesusasteraan Indonesia yang mana banyak
melahirkan karya sastra dengan mengangkat permasalahan kedaerahaan termasuk juga yang ada di
Minangkabau seperti permasalahan perkawinan di Minangkabau.

1
1.2 Rumusan masalah

Pada kesempatan kali ini,permasalahan yang akan dibahas alam makalah ini adalah sebagai
berikut :

1. Bagaimana perkawinan di adat minangkabau ?

2. Bagaimana bentuk pekawinan eksogami ?

3. Bagaimana urutan acara pekawinan di adat minangkabau ?

1.3 Fungsi perkawinan

Manusia dalam perjalanan hidupnya melalui tingkat dan masa-masa tertentu yang dapat kita
sebut dengan daur-hidup. Daur hidup ini dapat dibagi menjadi masa balita (bawah usia lima tahun),
masa kanak-kanak, masa remaja, masa pancaroba, masa perkawinan, masa berkeluarga, masa
usia senja dan masa tua. Tiap peralihan dari satu masa ke masa berikutnya merupakan saat kritis
dalam kehidupan manusia itu sendiri. Salah satu masa peralihan yang sangat penting dalam Adat
Minangkabau adalah pada saat menginjak masa perkawinan.

Masa perkawinan merupakan masa permulaan bagi seseorang melepaskan dirinya dari
lingkungan kelompok keluarganya, dan mulai membentuk kelompok kecil miliknya sendiri, yang secara
rohaniah tidak lepas dari pengaruh kelompok hidupnya semula. Dengan demikian perkawinan dapat
juga disebut sebagai titik awal dari proses pemekaran kelompok. Pada umumnya perkawinan
mempunyai aneka fungsi sebagai berikut :

1.Sebagai sarana legalisasi hubungan seksual antara pria dengan wanita dipandang dari sudut
adat dan agama serta undang-undang negara.

2.Penentuan hak dan kewajiban serta perlindungan atas suami istri dan anak-anak.

3.Memenuhi kebutuhan manusia akan teman hidup status sosial dan terutama untuk
memperoleh ketentraman batin.

Memelihara· kelangsungan hidup “kekerabatan” dan menghindari kepunahan. (Sumber : Adat


Minangkabau, Pola & Tujuan Hidup Orang Minang)

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Perkawinan Adat Minangkabau

Dalam tiap masyarakat dengan susunan kekerabatan bagaimanapun, perkawinan memerlukan


penyesuaian dalam banyak hal. Perkawinan menimbulkan hubungan baru tidak saja antara pribadi
yang bersangkutan, antara marapulai dan anak dara tetapi juga antara kedua keluarga. Latar belakang
antara kedua keluarga bisa sangat berbeda baik asal-usul, kebiasaan hidup, pendidikan, tingkat sosial,
tatakrama, bahasa dan lain sebagainya. Karena itu syarat utama yang harus dipenuhi dalam
perkawinan, kesediaan dan kemampuan untuk menyesuaikan diri dari masing-masing pihak.
Pengenalan dan pendekatan untuk dapat mengenal watak masing-masing pribadi dan keluarganya
penting sekali untuk memperoleh keserasian atau keharmonisan dalam pergaulan antara keluarga
kelak kemudian. Perkawinan juga menuntut suatu tanggungjawab, antaranya menyangkut nafkah lahir
dan batin, jaminan hidup dan tanggungjawab pendidikan anak-anak yang akan dilahirkan. Berpilin
duanya antara adat dan agama Islam di Minangkabau membawa konsekwensi sendiri. Baik ketentuan
adat, maupun ketentuan agama dalam mengatur hidup dan kehidupan masyarakat Minang, tidak dapat
diabaikan khususnya dalam pelaksanaan perkawinan. Kedua aturan itu harus dipelajari dan
dilaksanakan dengan cara serasi, seiring dan sejalan. Pelanggaran apalagi pendobrakan terhadap
salah satu ketentuan adat maupun ketentuan agama Islam dalam masalah perkawinan, akan
membawa konsekwensi yang pahit sepanjang hayat dan bahkan berkelanjutan dengan keturunan.
Hukuman yang dijatuhkan masyarakat adat dan agama, walau tak pernah diundangkan sangat berat
dan kadangkala jauh lebih berat dari pada hukuman yang dijatuhkan Pengadilan Agama maupun
Pengadilan Negara. Hukuman itu tidak kentara dalam bentuk pengucilan dan pengasingan dari
pergaulan masyarakat Minang. Karena itu dalam perkawinan orang Minang selalu berusaha memenuhi
semua syarat perkawinan yang lazim di Minangkabau.

3
Syarat-syarat itu menurut Fiony Sukmasari dalam bukunya Perkawinan Adat Minangkabau
adalah sebagai berikut :

1. Kedua calon mempelai harus beragama Islam.

2. Kedua calon mempelai tidak sedarah atau tidak berasal dari suku yang sama, kecuali pesukuan itu
berasal dari nagari atau luhak yang lain.

3. Kedua calon mempelai dapat saling menghormati dan menghargai orang tua dan keluarga kedua
belah pihak.

c. Calon suami (marapulai) harus sudah mempunyai sumber penghasilan untuk dapat
menjamin kehidupan keluarganya.

Perkawinan yang dilakukan tanpa memenuhi semua syarat diatas dianggap perkawinan sumbang, atau
perkawinan yang tidak memenuhi syarat menurut adat Minang.Selain dari itu masih ada tatakrama dan
upacara adat dan ketentuan agama Islam yang harus dipenuhi seperti tatakrama jopuik
manjopuik,pinang meminang,batuka tando,akad nikah,baralek gadang,jalang manjalang dan
sebagainya.

Tatakrama dan upacara adat perkawinan inipun tak mungkin diremehkan karena semua orang Minang
menganggap bahwa “Perkawinan itu sesuatu yang agung”, yang kini diyakini hanya “sekali” seumur
hidup. (Sumber : Adat Minangkabau, Pola & Tujuan Hidup Orang Minang) .

4
2.2  Perkawinan Eksogami

Menurut ajaran Islam sebagai agama satu-satunya yang dianut orang Minang dikatakan bahwa ada 3
hal yang mutlak hanya diketahui dan ditentukan Tuhan untuk masing-masing kita. Pertama adalah
umur kita sebagai manusia. Tidak seorangpun tahu kapan dia akan mati. Kedua adalah rezeki.
Sebagai manusia kita hanya dituntut berikhtiar dan berusaha namun berapa rezeki yang akan diberikan
kepada kita secara mutlak ditentukan oleh Tuhan. Ketiga adalah jodoh. Apapun upaya yang dilakukan
oleh anak manusia, bagaimanapun cintanya dia kepada seseorang, kalau Tuhan tidak mengizinkan,
perkawinan tidak akan terlaksana. Sebaliknya kalau memang jodohnya, kenal dua minggupun,
perkawinan dapat terjadi. Karena itu sebagai orang Islam kita hanya senantiasa berdoa semoga
dipanjangkan umurnya, diberi rezeki yang banyak dan dientengkan jodohnya, disamping tetap
berusaha mencari pasangan hidupnya. Sekalipun demikian masyarakatpun mempunyai peranan yang
besar dalam penetapan jodoh. Dalam masyarakat Jawa misalnya, pemilihan jodoh hampir tidak ada
pembatasan. Namun perkawinan antara saudara sekandung tetap tidak diperbolehkan. Pada tiap
masyarakat, orang memang harus kawin diluar batas suatu lingkungan tertentu. Perkawinan diluar
batas tertentu ini disebut dengan istilah “eksogami”. Istilah eksogami ini mempunyai pengertian yang
sangat nisbi (relatif). Pengertian diluar batas lingkungan bisa diartikan luas namun bisa pula sangat
sempit.

Menurut Prof. Dr. Koentjaraningrat kalau orang dilarang kawin dengan saudara-saudara
kandungnya, maka kita sebut “eksogami keluarga batih”. Kalau orang dilarang kawin dengan semua
orang yang mempunyai marga “marga” yang sama, disebut “eksogami marga”. Kalau orang dilarang
kawin dengan orang yang berasal dari “nagari” yang sama, kita sebut dengan “eksogami nagari”.

 Adat Minang menentukan bahwa orang Minang dilarang kawin dengan orang dari suku yang
serumpun. Oleh karena garis keturunan di Minangkabau ditentukan menurut garis ibu, maka suku
serumpun disini dimaksudkan “serumpun menurut garis ibu”, maka disebut “eksogami matrilokal
atau eksogami matrilinial”. 

Dalam hal ini para ninik-mamak, alim ulama, cendekiawan, para pakar adat dan pecinta adat
Minang dituntut untuk memberikan kata sepakat mengenai rumusan (definisi) pengertian kata
serumpun ini yang akan diperlakukan dalam perkawinan di Minang kabau.

5
Apakah “serumpun” itu sama dengan “samande”, “saparuik”,
“sajurai”,“sasuku”, ataukah “sasuduik”. Pengamatan kami membuktikan bahwa
pengertian “serumpun” ini tidak sama di Minangkabau. Bahkan dalam satu nagari saja, pengertian ini
tidak sama, sehingga sangat membingungkan masyarakat awam, apalagi generasi muda
Minangkabau. Di nagari kubang di Luhak 50-Kota misalnya, pengetian serumpun disamakan
dengan “sasuduik”. Yang dimaksudkan dengan “sasuduik” adalah satu kelompok
dari beberapa “suku”. Misalnya “Suduik nan 5″, terdiri dari 5 (lima) buah suku yaitu suku Jambak, suku
Pitopang, suku Kutianyir, suku Salo dan suku Banuhampu. Kelima buah suku ini dianggap serumpun,
sehingga antara kelima buah suku itu tidak boleh dilakukan perkawinan. Kalau sampai terjadi
bisa “dibuang sepanjang adat” karena dianggap perkawinan “endogami” atau perkawinan didalam
rumpun sendiri, yang berlawanan dengan prinsip “eksogami” yang dianut di Minangkabau. Tapi
pengertian “sarumpun” sama dengan “sasuduik” ini tidak konsisten pula, sebab ternyata perkawinan
sesama anggota dari “suduik nan 6″ dan sama-sama berasal dari suku “Caniago” dan dalam
nagari yang sama, malah diperbolehkan. Pengertian “serumpun” yang tidak konsisten semacam ini,
jelas akan sangat membingungkan anak kemenakan di Minangkabau dalam memahami adat
perkawinan di Minangkabau. Pengertian serumpun yang tidak sama ini juga merupakan penghalang
dalam mencari jodoh. Semakin luas atau semakin banyak suku yang terhimpun
dalam “serumpun” semakin “sempit” arena perburuan mencari jodoh. Hal ini berakibat makin lama,
makin sulit bagi muda-mudi mencari pasangan dalam lingkungan masyarakatnya sendiri. Misalnya bagi
muda-mudi dari sudut nan 5 diatas, sangat musykil mencari jodoh di nagari Kubang itu. Ini adalah
suatu realita yang dapat dibuktikan. Akibatnya banyak yang kawin ke luar “nagari”, bahkan sudah ada
yang sampai ke luar negeri. Kami tidak mengatakan bahwa hal ini menunjukkan gejala yang baik, atau
tidak baik, tetapi sekedar menunjukkan bahwa prinsip “eksogami matrilinial” akan mandek sendiri, bila
pengertian serumpun tidak segera direvisi dan diperkecil dari pengertian umum yang ada sekarang.
Hal ini perlu segera dilakukan bila kita ingin melestarikan prinsip-prinsip pokok adat perkawinan
Minangkabau khususnya. (Sumber : Adat Minangkabau, Pola & Tujuan Hidup Orang Minang).

2.3 Urutan Acara


Pembicaraan dalam acara maminang dan batuka tando ini berlangsung antara mamak atau wakil dari
pihak keluarga si gadis dengan mamak atau wakil dari pihak keluarga pemuda. Bertolak dari
penjajakan-penjajakan yang telah dilakukan sebelumnya ada empat hal secara simultan yang dapat
dibicarakan, dimufakati dan diputuskan oleh kedua belah pihak saat ini.

1. Melamar => menyampaikan secara resmi lamaran dari pihak keluarga si gadis kepada pihak
keluarga si pemuda

2. Batuka tando => Mempertukarkan tanda ikatan masing-masing

3. Baretong => Memperembukkan tata cara yang akan dilaksanakan nanti dalam penjemputan calon
pengantin pria waktu akan dinikahkan

4. Manakuak hari => Menentukan waktu kapan niat itu akan dilaksanakan

Namun menurut yang lazim dikampung, jika acara maminang itu bukan sesuatu yang sudah
direkayasa oleh kedua keluarga sebelumnya, maka acara ini akan berlangsung berkali-kali sebelum
urutan ketentuan diatas dapat dilaksanakan. Karena pihak keluarga pemuda pasti tidak dapat
memberikan jawaban langsung pada pertemuan pertama itu. Orang tuanya atau ninik mamaknya akan
meminta waktu terlebih dahulu untuk memperembukkan lamaran itu dengan keluarga-keluarganya
yang patut-patut lainnya. Paling-paling pada pertemuan tersebut, pihak keluarga pemuda menentukan
waktu kapan mereka memberikan jawaban atas lamaran itu. Acara maminang yang berlangsung
dikota-kota umumnya sudah dibuat dengan skenario yang praktis berdasarkan persetujuan kedua
keluarga, sehingga urutan-urutan seperti yang dicantumkan diatas dapat dilaksanakan secara simultan
dan diselesaikan dalam satu kali pertemuan. (Sumber : Tata Cara Perkawinan Adat Istiadat
Minangkabau).

A. Minta Izin / Mahanta Siriah


Bila seseorang pemuda telah ditentukan jodoh dan hari perkawinannya, maka kewajiban yang
pertama menurut adat yang terpikul langsung ke diri orang yang bersangkutan, ialah memberi tahu dan
mohon doa restu kepada mamak-mamaknya, kepada saudara-saudara ayahnya; kepada kakak-
kakaknya yang telah berkeluarga dan kepada orang-orang tua lainnya yang dihormati dalam
keluarganya. Acara ini pada beberapa daerah di Sumatera Barat disebut minta izin. Bagi pihak calon
pengantin wanita, kewajiban ini tidaklah terpikul langsung kepada calon anak daro, tetapi dilaksanakan
oleh kaum keluarganya yang wanita yang telah berkeluarga. Acaranya bukan disebut minta izin tapi
mahanta siriah atau menghantar sirih. Namun maksud dan tujuannya sama. Tugas ini dilaksanakan
beberapa hari atau paling lambat dua hari sebelum akad nikah dilangsungkan.

B. Tata Cara

Pada hari yang telah ditentukan calon mempelai pria dengan membawa seorang kawan
(biasanya teman dekatnya yang telah atau baru berkeluarga) pergi mendatangi langsung rumah isteri
dari keluarga-keluarga yang patutu dihormati seperti disebutkan diatas. Setelah menyuguhkan rokok
(menurut cara lama menyuguhkan salapah yang berisi daun nipah dan tembakau) sebagai pembuka
kata, kemudian secara langsung pula memberitahu kepada keluarga yang didatangi itu bahwa ia kalau
diizinkan Allah, akan melaksanakan akad nikah. Kemudian menjelaskan segala rencana perhelatan
yang akan diadakan oleh orang tuanya. Lalu minta izin (mohon doa) restu dan kalau perlu minta sifat
dan petunjuk yang diperlukan dalam rencana perkawinan itu. Terakhir tentu memohon kehadiran orang
bersangkutan serta seluruh keluarganya pada hari-hari perhelatan tersebut. Biasanya keluarga-
keluarga yang didatangi tidaklah melepas pulang begitu saja keluarganya yang datang minta izin
secara akrab seperti itu. Dengan dihormati begitu oleh anak kemenakannya, mereka juga merasa
terpanggil untuk ikut memikul beban (ringan sama dijinjing, berat sama dipikul) dengan memberikan
bingkisan-bingkisan yang berguna bagi orang yang akan pesta. Walaupun misalnya hanya satu
kilogram gula pasir saja, sesuai dengan kemampuannya.

C. Tata Busananya
Untuk melaksanakan acara ini calon pengantin pria diharuskan untuk mengenakan busana khusus.
Ada dua pilihan untuk itu yang lazim berlaku sampai sekarang dibeberapa daerah di Sumatera Barat :

1.Mengenakan celana batik dengan baju gunting cina berkopiah hitam dan menyandang kain sarung
palekat (atau sarung Bugis)

2.Mengenakan celana batik dengan kemeja putih yang diluarnya dilapisi dengan jas, kerah kemeja
keluar menjepit leher jas. Tetap memakai kopiah dengan kain sarung pelekat yang disandang di bahu
atau dilingkarkan di leher.

Dahulu si calon mempelai juga diharuskan untuk membawa salapah (semacam tempat untuk
rokok daun nipah dengan tembakaunya). Tapi sekarang anak-anak muda telah menukarnya dengan
rokok biasa. Sebab tujuan membawa barang tersebut hanyalah sebagai suguhan pertama sebelum
membuka kata. Bagi keluarga calon pengantin wanita yang bertugas melaksanakan acara ini yang
disebut mahanta siriah, peralatan yang dibawa sesuai dengan namanya yaitu seperangkat daun sirih
lengkap bersadah pindang yang telah tersusun rapi baik diletakkan diatas carano maupun didalam
kampia (tas yang terbuat dari daun pandan). Sebelum maksud kedatangan disampaikan maka sirih ini
terlebih dahulu yang disuguhkan kepada orang yang didatangi. (Sumber : Tata Cara Perkawinan Adat
Istiadat Minangkabau).

4. Malam Bainai

Secara harfiah bainai artinya melekatkan tumbukan halus daun pacar merah yang dalam istilah
Sumatera Barat disebut daun inai ke kuku-kuku jari calon pengantin wanita. Tumbukan halus daun inai
ini kalau dibiarkan lekat semalam, akan meninggalkan bekas warna merah yang cemerlang pada kuku.
Lazimnya dan seharusnya acara ini dilangsungkan malam hari sebelum besok paginya calon anak
daro melangsungkan akad nikah. Apa sebab demikian ? Pekerjaan mengawinkan seorang anak gadis
untuk pertama kalinya di Minangkabau bukan saja dianggap sebagai suatu yang sangat sakral tetapi
juga kesempatan bagi semua keluarga dan tetangga untuk saling menunjukkan partisipasi dan kasih
sayangnya kepada keluarga yang akan berhelat

9
Karena itu jauh-jauh hari dan terutama malam hari sebelum akad nikah dilangsungkan semua
keluarga dan tetangga terdekat tentu akan berkumpul di rumah yang punya hajat. Sesuai dengan
keakraban masyarakat agraris mereka akan ikut membantu menyelesaikan berbagai macam
pekerjaan, baik dalam persiapan di dapur maupun dalam menghias ruangan-ruangan dalam rumah.
Pada kesempatan inilah acara malam bainai itu diselenggarakan, dimana seluruh keluarga dan
tetangga terdekat mendapat kesempatan untuk menunjukkan kasih sayang dan memberikan doa
restunya melepas dara yang besok pagi akan dinikahkan. Selain dari tujuan, menurut kepercayaan
orang-orang tua dulu pekerjaan memerahkan kuku-kuku jari calon pengantin wanita ini juga
mengandung arti magis. Menurut mereka ujung-ujung jari yang dimerahkan dengan daun inai dan
dibalut daun sirih, mempunyai kekuatan yang bisa melindungi si calon pengantin dari hal-hal buruk
yang mungkin didatangkan manusia yang dengki kepadanya. Maka selama kuku-kukunya masih
merah yang berarti juga selama ia berada dalam kesibukan menghadapi berbagai macam perhelatan
perkawinannya itu ia akan tetap terlindung dari segala mara bahaya. Setelah selesai melakukan pesta-
pesta pun warna merah pada kuku-kukunya menjadi tanda kepada orang-orang lain bahwa ia sudah
berumah tangga sehingga bebas dari gunjingan kalau ia pergi berdua dengan suaminya kemana saja.
Kepercayaan kuno yang tak sesuai dengan tauhid Islam ini, sekarang Cuma merupakan bagian dari
perawatan dan usaha untuk meningkatkan kecantikan mempelai perempuan saja. Tidak lebih dari itu.
Memerahkan kuku jari tidak punya kekuatan menolak mara bahaya apa pun, karena semua kekuatan
adalah milik Allah semata-mata. Dibeberapa nagari di Sum Bar acara malam bainai ini sering juga
diawali lebih dahulu dengan acara mandi-mandi yang dilaksanakan khusus oleh wanita-wanita disiang
hari atau sore harinya. Maksudnya kira-kira sama dengan acara siraman dalam tradisi Jawa. Calon
anak daro dibawa dalam arak-arakan menuju ke tepian atau ke pincuran tempat mandi umum yang
tersedia dikampungnya. Kemudian perempuan-perempuan tua yang mengiringkan termasuk ibu dan
neneknya, setelah membacakan doa, secara bergantian memandikan anak gadis yang besok akan
dinobatkan jadi pegantin itu.

10
Jika kita simpulkan maka hakikat dari kedua acara ini untuk zaman kini mempunyai tujuan dan
makna sbb:

a. Untuk mengungkapkan kasih sayang keluarga kepada sang dara yang akan meninggalkan masa
remajanya,

b. Untuk memberikan doa restu kepada calon pengantin yang segera akan membina kehidupan baru
berumahtangga,

c. Untuk menyucikan diri calon pengantin lahir dan batin sebelum ia melaksanakan acara yang sakral,
yaitu akad nikah,

d. Untuk membuat anak gadis kelihatan lebih cantik, segar dan cemerlang selama ia berdandan
sebagai anak daro dalam perhelatan-perhelatannya.

Bagi orang-orang Minang yang mengawinkan anak gadisnya di Jakarta, acara-acara ini juga
sudah lazim dilaksanakan. Tetapi untuk efisiensi waktu dan pertimbangan-pertimbangan lain seringkali
kedua acara tersebut pelaksanaannya digabung menjadi satu. Acara mandi-mandipun dibuat praktis
tanpa harus benar-benar mengguyur si calon pengantin, tapi cukup dengan memercikkan saja air yang
berisi haruman tujuh kembang itu di beberapa tempat ditubuhnya.

A. Tata busana

Untuk melaksanakan acara ini calon pengantin wanita didandani dengan busana khusus yang
disebut baju tokah dan bersunting rendah. Tokah adalah semacam selendang yang dibalutkan
menyilang di dada sehingga bagian-bagian bahu dan lengan nampak terbuka. Untuk serasi dengan
suasana, maka orang-orang yang hadir biasanya juga mengenakan baju-baju khusus. Teluk belanga
bagi pria dan baju kurung ringan bagi wanita, begitu juga ayah bunda dari calon anak daro. Disamping
itu biasanya juga disiapkan beberapa orang teman-teman sebaya anak daro yang sengaja diberi
berpakaian adat Minang untuk lebih menyemarakkan suasana.

11
B. Tata cara

Jika acara mandi-mandi dilaksanakan secara simbolis maka di salah satu ruangan di atas
rumah ditempatkan sebuah kursi dengan payung kuning terkembang melindunginya. Sesudah
sembahyang Magrib kalau tamu-tamu sudah cukup hadir, maka calon anak daro yang telah didandani
dibawa keluar dari kamarnya, diapit oleh gadis-gadis kawan sebayanya yang berpakaian adat. Untuk
memberikan warna Islami, keluarnya calon anak daro dari kamarnya ini disambut oleh kelompok
kesenian yang mendendangkan salawat Nabi yang mengiringkannya sampai duduk di kursi yang telah
disediakan. Seorang dari saudaranya yang laki-laki, apakah kakaknya atau adiknya, berdiri
dibelakangnya memegang payung kuning. Ini maknanya ialah bahwa saudara laki-laki yang kelak akan
menjadi mamak bagi anak-anak yang akan dilahirkan oleh calon pengantin merupakan tungganai
rumah yang bertanggung jawab untuk melindungi dan menjaga kehormatan saudara-saudaranya dan
kemenakan-kemenakannya yang wanita. Setelah itu dua wanita saudara-saudara ibunya berdiri
mengapit dikiri kanan sambil memegang kain simpai. Ini maknanya : menurut sistem kekerabatan
matrilinial, saudara-saudara ibu yang wanita adalah pewaris pusako yang berkedudukan sama dengan
ibu anak daro. Karena itu dia juga berkewajiban untuk melindungi anak daro dari segala aib yang bisa
menimbulkan gunjingan yang dapat merusak integritas kaum seperinduan. Walaupun acara mandi-
mandi dilaksanakan secara simbolik, kecuali ayah kandungnya maka orang-orang yang diminta untuk
memandikan dengan cara memercikkan air haruman tujuh macam bunga kepada calon pengantin
wanita ini hanya ditentukan untuk perempuan-perempuan tua dari keluarga terdekat anak daro dan dari
pihak bakonya. Jumlahnya harus ganjil. Umpamanya lima, tujuh atau sembilan orang. Dan yang
terakhir melakukannya adalah ayah ibunya. Jumlah ganjilnya ini ditetapkan sesuai dengan
kepercayaan nenek moyang dahulu yang mungkin mengambil pedoman dari kekuasaan Tuhan dan
peristiwa alam, atau karena angka-angka ganjil selalu berhubungan dengan peristiwa-peristiwa sakral.
Seperti sembahyang lima waktu, langit berlapis tujuh, sorga yang paling diidamkan oleh seorang
Muslim juga sorga ketujuh. Tawaf keliling Ka’bah dan Sa’i pulang balik antara Safa dan Marwa
dilaksanakan juga tujuh kali. Pada beberapa kenagarian calon anak daro yang akan dimandikan itu
selain disiram dengan air yang berisi racikan tujuh kembang, maka tubuhnya juga dibaluti dengan tujuh
lapis kain basahan yang berbeda-beda warnanya. Setiap kali satu orang tua selesai menyiramkan air
ketubuhnya, maka satu balutan kain dibuka, dst.’ Jika acara mandi-mandi ini dilaksanakan secara
simbolik, maka air haruman tujuh bunga itu dipercikkan ketubuh calon anak daro dengan
mempergunakan daun sitawa sidingin.

12
Tumbukan daun ini dikampung-kampung sering dipakai diluar maupun diminum, ia berkhasiat
untuk menurunkan panas badan. Karena itu disebut daun sitawa sidingin. Acara memandikan calon
anak daro ini diakhiri oleh ibu bapaknya. Setelah itu kedua orang tuanya itu akan langsung
membimbing puterinya melangkah menuju ke pelaminan ditempat mana acara bainai akan
dilangsungkan. Perjalanan ini akan ditempuh melewati kain jajakan kuning yang terbentang dari kursi
tempat mandi-mandi ke tempat pelaminan. Langkah diatur sangat pelan-pelan sekali karena kedua
orang tua harus menghayati betul acara itu yang mengandung nilai-nilai simbolik yang sangat berarti.
Setelah sekian tahun ia membesarkan dan membimbing puterinya dengan penuh kehormatan dan
kasih sayang, maka malam itu adalah kesempatan terakhir ia dapat melakukan tugasnya sebagai ibu
bapa, karena besok setelah akad nikah maka yang membimbingnya lagi adalah suaminya. Kain
jajakan kuning ini setelah diinjak dan ditempuh oleh calon anak daro, segera digulung oleh saudara
kali-lakinya yang tadi waktu acara mandi-mandi memegang payung kuning. Tindak penggulungan kain
kuning itu mengandung harapan-harapan, bahwa si calon anak daro benar-benar melakukan
perkawinan itu cukuplah satu kali itu saja seumur hidupnya. Kalaupun akan berulang, maka itu karena
maut yang memisahkan mereka.

13
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Acara pokok akad nikah dan ijab kabul berlangsung sesuai dengan peraturan baku Hukum
Islam dan Undang-Undang Negara R.I. Semua ini dipimpin langsung oleh penghulu yang biasanya
dipegang oleh Kepala Urusan Agama setempat.

Setelah selesai semua acara yang bersifat wajib Islami, maka barulah diadakan lagi beberapa
acara sesuai dengan adat istiadat Minang. Diantaranya yaitu :

1.Acara Mamulangkan Tando

2.Malewakan Gala Marapulai

3.Balantuang Kaniang

4.Mangaruak Nasi Kuniang

5.Bamain Coki

14
DAFTAR PUSTAKA

Amir M.S Adat Minangkabau : Pola dan Tujuan Hidup Orang Minang. PT. Mutiara Sumber Widya 2001
Cetakan ke 3.

Soepomo, R. Prof, Dr, SH. Bab-Bab Tentang Hukum Adat,  Pradnya Paramith,Cet 12, 1989

Datuk Usman, SH. Diktat Kuliah Hukum Adat I,  Usu Press

Subekti, R, SH, Prof. Kitab Unudang-Undang Perdata

Imam Sudyat, SH, Prof. Hukum Adat  Sketsa Asas, Liberty Yogyakarta, Cet 2,1981

http://www.google.com, http://search.yahoo.com

http://cua.vv.cc/makalah/hukum-adat-pernikahan-minangkabau.doc

15

Anda mungkin juga menyukai