Disusun Sebagai salah satu syarat menempuh mata kuliah Hukum Adat
Disusun Oleh:
ABID DERMAWAN
NPM. 19810026
Puji dan rasa syukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT, karena berkat limpahan
rahmat, hidayah, dan inayah-Nya maka makalah ini dapat diselesaikan dengan baik, dan
tepat waktu Makalah dengan judul “Perkawinan Adat Beragam Suku Di Indonesia” ini
penulis susun sebagai salah satu syarat untuk memenuhi mata kuliah Hukum adat pada
Program studi ilmu hukum. Dengan itu Penulis mengucapkan rasa terima kasih yang
sebesar-besarnya atas semua bantuan yang telah diberikan, baik secara langsung
maupun tidak langsung selama penyusunan makalah ini hingga selesai.
Penulis menyadari bahwa makalah ini belum sempurna baik dari materi maupun
penyajiannya.Untuk itu kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan dalam
penyempurnaan makalah ini.
Terakhir penulis berharap, semoga makalah ini dapat memberikan hal yang
bermanfaat dan menambah wawasan bagi pembaca dan khususnya bagi penulis juga.
HALAMAN JUDUL...............................................................................................
KATA PENGANTAR............................................................................................
DAFTAR ISI.........................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang........................................................................................
B. Rumusan Masalah..................................................................................
C. Tujuan Penulisan....................................................................................
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Perkawinan .............................................................................
B. Syarat-Syarat Perkawinan ........................................................................
C. Tujuan Perkawinan Adat............................................................................
D. Bentuk-Bentuk Perkawinan Adat...............................................................
E. Macam-macam Sistem Perkawinan Adat..................................................
F. Contoh Perkawinan Adat Suatu Suku Yang Ada Di Indonesia................
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
C. Tujuan
PEMBAHASAN
A. Pengertian Perkawinan
Perkawinan merupakan suatu momen yang sangat istimewa yang terjadi pada
diri manusia. Perkawinan sesuatu yang dulu dilarangpun akhirnya bisa bernilai ibadah,
oleh karenanya perkawinan sangat dinanti oleh para muda-mudi yang telah baligh.
Hukum perkawinan dalam Islampun kondisiental artinya hukum yang berlaku sesuai
dengan keadaan seseorang. Perkawinan akan menjadi sunah apabila seorang pria
telah dewasa dan mampu memberi nafkah lahir batin, menjadi wajib manakala jika
tidak segera menikah bahkan hukum menikah bisa menjadi haram mana kala
tujuannya untuk menyakiti. Perkawinan bukanlah perkara mudah, karena dalam
perkawinan akan ada tanggung jawab besar setelahnya, ketika ijab qabul perkawinan
telah diselenggarakan sesuai syarat dan rukunnya, maka saat itulah seorang laki-laki
telah mengambil alih tanggung jawab besar seorang anak perempuan dari ayahnya.
Menurut Mulia (2010: 15) perkawinan adalah sebuah akad atau kontrak yang
mengikat dua pihak yang setara laki-laki dan yang masing-masing telah memenuhi
persyaratan berdasarkan hukum yang berlaku atas kerelaan dan kesukaan untuk hidup
bersama.1
Sedangkan menurut menurut Abdhul Ghani Abud sebagaimana yang dikutip oleh
Miharso (2004 :54) perkawinan adalah pertemuan yang teratur antara pria dan wanita
dibawah satu atap untuk memenuhi kebutuhan – kebutuhan tertentu baik yang bersifat
biologis, social, ekonomi dan budaya bagi masing – masing, baik keduanya secara
bersama-sama, dan bagi masyarakat dimana mereka hidup serta bagi kemanusiaan
secaara keseluruhan.2
Dari beberapa definisi tersebut dapat disimpulkan perkawinan adalah “aqad yang
disepakati oleh kedua belah pihak yaitu antara seorang pria dan seorang wanita untuk
sama-sama mengikat diri, bersama dan saling kasih mengasihi demi kebaikan
keduanya dan anak-anak mereka sesuai dengan batas-batas yang ditentuka oleh
1
Siti Musdah Mulia (dkk), Pernikahan Beda Agama dalam Ahmad Nurcholish edisi revisi 2010(Jkt, Komnas HAM-ICRP),hlm 15
2
Miharso, Manteb, Pendidikan Keluarga Qur'ani, (Yogyakarta: Safiria Insania Press dan MSI UII,2004),hlm 54
hukum. Dalam perkawinan adanya ikatan lahir batin, yang berarti bahwa dalam
perkawinan itu perlu ada ikatan tersebut kedua-duanya. Ikatan lahir adalah ikatan yang
menampak, ikatan formal sesuai dengan peraturan - peraturan yang ada. Oleh karena
itu perkawinan pada umumnya diinformasikan kepada masyarakat luas agar
masyarakat dapat mengetahuinya.
B. Syarat-Syarat Perkawinan
3
Undang-undang no 1 tahun 1974 tentang syarat perkawinan
Syarat materiil adalah syarat-syarat subjektif yang terbagi menjadi mutlak dan
relatif.
a. Syarat materiil mutlak
Syarat bagi pihak yang akan dikawini. Seseorang yang telah memenuhi
syarat materiil mutlak dapat melangsungkan perkawinan, namun kendati
demikian ia tidak boleh kawin dengan sembarang orang dan ia pun haris
memenuhi syarat materiil relatif pihak yang dikawininya. Syarat materiil relatif
yaitu:
Lanjutan dari perkawinan jujur yang tertunda. Pengabdian hingga jujur itu
terlunasi biasanya suami bersama istri akan bekerja pada orangtua istri, anak-
anak mereka masih berada dipengawasan mertua dan masuk dalam marga
(clan) dari mertua laki-laki. Praktik Hukum Adat Perkawinan ini dikenal di Batak
dengan mangdingding, di Bali dengan sebutan nunggonin dan di lampung
dengan istilah erring beli.
Menurut hukum adat, sistem perkawinan dalam Baharudin (2008:36) ada tiga macam
yaitu:6
1. Sistem Endogami
Dalam sistem ini orang hanya diperbolehkan kawin dengan seseorang dari
suku keluarganya sendiri. Sistem perkawinan ini kini jarang terjadi di Indonesia.
Menurut van vollen hoven hanya ada satu daerah saja yang secara praktis
mengenal sistem endogami ini, yaitu daerah Toraja. Tetapi sekarang, di daerah ini
pun sistem ini akan lenyap dengan sendirinya kalau hubungan daerah itu dengan
daerah lainya akan menjadi lebih mudah, erat dan meluas. Sebab sistem tersebut
di daerah ini hanya terdapat secara praktis saja. Lagi pula endogami sebetulnya
tidak sesuai dengan sifat susunan kekeluargaan yang ada di daerah itu, yaitu
patrilineal.
2. Sistem exogami
Dalam sistem ini, orang diharuskan menikah dengan suku lain. Menikah
dengan suku sendiri merupakan larangan. Namun demikian, seiring berjalannya
waktu, dan berputarnya zaman lambat laun mengalami proses perlunakan
sedemikian rupa, sehingga larangan perkawinan itu di perlakukan hanya pada
lingkungan kekeluargaan yang sangat kecil saja. Sistem ini dapat dijumpai di
daerah Gayo,Alas, Tapanuli, Minangkabau, Sumatera Selatan, Buru dan Seram.
3. Sistem eleutherogami
6
Ahmad, Baharudin, Hukum Perkawinan di Indonesia Studi Historis Metodologi, (Jakarta: Syariah Press IAIN STS,
2008), Hlm. 36
Sistem eleutherogami berbeda dengan kedua sistem di atas yang memiliki
larangan-larangan dan keharusan-keharusan. Eleutherogami tidak mengenal
larangan-larangan maupun keharusan-keharusan tersebut. Larangan-larangan
yang terdapat dalam sistem ini adalah larangan yang berhubungan dengan ikatan
kekeluargaan yang menyangkut nasab (keturunan), seperti kawin dengan ibu,
nenek, anak kandung, cucu, juga dengan saudara kandung, saudara bapak
ataupun saudara ibu. Atau larangan kawin dengan musyahrah (per-ipar), seperti
kawin dengan ibu tiri, mertua, menantu, anak tiri. Sistem ini dapat dijumpai hamper
di seluruh masyarakat Indonesia, termasuk Jawa
Indonesia adalah negara yang begitu kaya akan budaya dan tradisi, termasuk
dalam ritual pernikahan. Dalam rangka perayaan hari kemerdekaan negara kita ini,
tidak ada salahnya kita mengenal lebih dekat berbagai adat dan tradisi pernikahan
khas suku-suku di Indonesia. Dalam Laksono (2016:26) Berikut 45 tradisi
perkawinan beragam suku dari seluruh penjuru Indonesia: 7
1. Minang: lamaran dari mempelai perempuan
Berbeda dengan proses lamaran pada umumnya, dalam adat
Minagkabau, pihak mempelai perempuan yang meminang laki-laki! Calon
pengantin perempuan Minang mengunjungi keluarga calon pengantin laki-laki,
lalu keluarga kedua pihak bertukar buah tangan sebagai simbol pengikat kedua
mempelai.
2. Ogan: Pengadangan
Suku yang mendiami dataran tinggi Sumatra Selatan ini memiliki tradisi
pernikahan yang unik. Pada pernikahan rakyat Ogan, sang pengantin laki-laki
akan diberi rintangan dan dihalangi untuk bertemu dengan pengantin
perempuan menggunakan selendang panjang. Agar dapat bertemu dengan
calon istrinya, ia harus membawakan benda-benda yang diminta oleh penjaga
sang pengantin perempuan.
Calon pengantin laki-laki dari suku Sasak harus menculik calon istrinya
sebelum menikah. Meskipun aksi penculikan ini telah disetujui oleh pihak
keluarga perempuan, sang calon pengantin laki-laki tidak boleh tertangkap
atau membuat keributan saat melakukan penculikan. Jika penculikan gagal,
pengantin laki-laki akan dikenai denda!
Sejak tahun 2007, para calon pengantin pria di Desa Bohol, Gunung
Kidul diwajibkan menanamkan setidaknya 5 bibit pohon jati. Uniknya, aturan ini
ditetapkan bukan sekedar sebagai mahar tapi juga untuk mewujudkan
kelestarian lingkungan. Inilah artian pernikahan ramah lingkungan yang
sesungguhnya!
Suku tidung memiliki tradisi yang sangat tidak biasa, yaitu calon
pengantin harus menahan buang air selama 72 jam atau 3 hari! Mungkin hal ini
terlihat sulit bagi masyarakat lain, namun bagi suku yang banyak bermukim di
Kalimantan Utara ini, syarat ini tidak sulit dilakukan demi harapan
mendapatkan kehidupan pernikahan yang harmonis.
9. Cirebon: Pugpugan
Pada tradisi yang berasal dari Kraton Yogyakarta ini, pengantin laki-
laki harus bermalam di daerah kediaman calon pengantin perempuan.
Umumnya, sang calon pengantin laki-laki dititipkan ke rumah saudara atau
tetangga pengantin perempuan. Meskipun begitu, ia tidak boleh bertemu
dengan calon istrinya hingga hari pernikahan tiba.
Tradisi ini merupakan bagian dari masa awal perkenalan sang calon
pasangan. Setelah memutuskan untuk menikah, sang calon pengantin pria
berkunjung ke rumah kekasihnya untuk menyampaikan rasa cinta kasih. Agar
pernyataan ini tersampaikan dengan bahasa yang halus dan indah, seringkali
pantun atau seloko dilantunkan.
23. Jambi: Bebalai
Hewan babi rupanya memiliki arti penting dalam peradaban suku Nias,
maka sebelum hari pernikahan calon pengantin laki-laki harus mempersiapkan
sejumlah ekor babi. Pada tahapan yang bernama Fanu'a Bawi ini, calon
pengantin perempuan akan memilih babi terbaik dari kumpulan yang telah
disiapkan oleh pasangannya. Babi yang lolos seleksi hanya babi yang memiliki
berat lebih dari 100 kilo, tanpa cacat, memiliki ekor panjang dan warna bulu
yang rata.
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
Menyadari bahwa penulis masih jauh dari kata sempurna dan makalah ini tidak
akan jadi tanpa adanya bantuan dari narasumber, sumber referensi, dan teman-teman.
Saya mohon maaf apabila terdapat kesalahan dan kekeliruan dalam penulisan makalah
ini. Maka dari itu, saya mengharapkan adanya kritik membangun untuk melengkapi
makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaat dan digunakan sebaik-baiknya.
DAFTAR PUSTAKA
Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Mandar Maju, Bandung,
2003, hlm. 183-190.
Siti Musdah Mulia (dkk), Pernikahan Beda Agama: Kesaksian, Argumen Keagamaan
dan Analisis Kebijakan, dalam Ahmad Nurcholish dan Ahmad Baso (ed), Edisi
Revisi, Cetakan Kedua, Jakarta: Komnas HAM-ICRP, 2010.