Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH

PERKAWINAN ADAT BERAGAM SUKU DI INDONESIA

Disusun Sebagai salah satu syarat menempuh mata kuliah Hukum Adat

Disusun Oleh:
ABID DERMAWAN
NPM. 19810026

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH METRO


FAKULTAS HUKUM
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
TAHUN 2020
KATA PENGANTAR

Puji dan rasa syukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT, karena berkat limpahan
rahmat, hidayah, dan inayah-Nya maka makalah ini dapat diselesaikan dengan baik, dan
tepat waktu Makalah dengan judul “Perkawinan Adat Beragam Suku Di Indonesia” ini
penulis susun sebagai salah satu syarat untuk memenuhi mata kuliah Hukum adat pada
Program studi ilmu hukum. Dengan itu Penulis mengucapkan rasa terima kasih yang
sebesar-besarnya atas semua bantuan yang telah diberikan, baik secara langsung
maupun tidak langsung selama penyusunan makalah ini hingga selesai.
Penulis menyadari bahwa makalah ini belum sempurna baik dari materi maupun
penyajiannya.Untuk itu kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan dalam
penyempurnaan makalah ini.
Terakhir penulis berharap, semoga makalah ini dapat memberikan hal yang
bermanfaat dan menambah wawasan bagi pembaca dan khususnya bagi penulis juga.

Metro, 14 Mei 2020


Penulis,
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...............................................................................................
KATA PENGANTAR............................................................................................
DAFTAR ISI.........................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang........................................................................................
B. Rumusan Masalah..................................................................................
C. Tujuan Penulisan....................................................................................

BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Perkawinan .............................................................................
B. Syarat-Syarat Perkawinan ........................................................................
C. Tujuan Perkawinan Adat............................................................................
D. Bentuk-Bentuk Perkawinan Adat...............................................................
E. Macam-macam Sistem Perkawinan Adat..................................................
F. Contoh Perkawinan Adat Suatu Suku Yang Ada Di Indonesia................

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan.............................................................................................
B. Saran .....................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Indonesia memiliki prosesi yang sangat bermacam – macam. Indonesia bukan


hanya beraneka ragam dalam bahasa, pakaian adat, dan kebiasaan saja, melainkan
tedapat keanekaragaman dalam acara pernikahan. Banyaknya suku di Indonesia
banyak pula keberagaman yang terjadi diantara suku satu dengan yang lainnya dalam
melangsungkan acara pernikahan seperti dari pelaksanaan lamaran, upacara
pernikahan, dan yang lainnya.
Perkawinan merupakan suatu peristiwa penting dalam kehidupan manusia,
karena perkawinan tidak saja menyangkut pribadi kedua calon suami istri, tetapi juga
menyangkut urusan keluarga dan masyarakat. Pada umumnya perkawinan dianggap
sebagai sesuatu yang suci dan karenanya setiap agama selalu menghubungkan
kaedah-kaedah perkawinan dengan kedah-kaedah agama. Manusia dalam menempuh
pergaulan hidup dalam masyarakat ternyata tidak dapat terlepas dari adanya saling
ketergantungan antara manusia dengan yang lainnya. Hal itu dikarenakan sesuai
dengan kedudukan manusia sebagai mahluk sosial yang suka berkelompok atau
berteman dengan manusia lainnya. Hidup bersama merupakan salah satu sarana untuk
memenuhi kebutuhan hidup manusia baik kebutuhan yang bersifat jasmani maupun
yang bersifat rohani.
Demikian pula bagi seorang laki-laki ataupun seorang perempuan yang telah
mencapai usia tertentu maka ia tidak akan lepas dari permasalahan tersebut. Ia ingin
memenuhi kebutuhan hidupnya dengan melaluinya bersama dengan orang lain yang
bisa dijadikan curahan hati, penyejuk jiwa, tempat berbagi suka dan duka. Hidup
bersama antara seorang laki-laki dan perempuan sebagai pasangan suami istri dan
telah memenuhi ketentuan hukumnya, ini yang lazimnya disebut sebagai sebuah
perkawinan.
B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan pengertian perkawinan?


2. Apa saja syarat-syarat perkawinan?
3. Apa tujuan perkawinan adat?
4. Jelaskan bentuk-bentuk perkawinan adat di Indonesia!
5. Apa saja macam-macam sistem perkawinan adat yang ada di Indonesia?
6. Sebutkan contoh perkawinan adat suatu suku yang ada di Indonesia!

  
C. Tujuan

1. Untuk mengetahui pengertian perkawinan.


2. Untuk mengetahui syarat-syarat perkawinan.
3. Untuk mengetahui tujuan perkawinan adat.
4. Untuk mengetahui bentuk-bentuk perkawinan adat di Indonesia.
5. Untuk mengetahui macam-macam sistem perkawinan yang ada di Indonesia.
6. Untuk mengetahui contoh perkawinan adat suatu suku yang ada di Indonesia.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Perkawinan

Perkawinan merupakan suatu momen  yang sangat istimewa yang terjadi pada
diri manusia. Perkawinan sesuatu yang dulu dilarangpun akhirnya bisa bernilai ibadah,
oleh karenanya perkawinan sangat dinanti oleh para muda-mudi yang telah baligh.
Hukum perkawinan dalam Islampun kondisiental artinya hukum  yang berlaku sesuai
dengan keadaan seseorang. Perkawinan akan menjadi sunah apabila seorang pria
telah dewasa dan mampu  memberi nafkah lahir batin, menjadi  wajib manakala jika
tidak segera menikah bahkan hukum menikah bisa  menjadi haram mana kala
tujuannya untuk menyakiti. Perkawinan bukanlah perkara mudah, karena dalam
perkawinan akan ada tanggung jawab besar setelahnya, ketika ijab  qabul perkawinan
telah diselenggarakan sesuai syarat dan rukunnya, maka saat itulah seorang laki-laki
telah mengambil alih tanggung jawab besar seorang anak perempuan dari ayahnya.

Menurut Mulia (2010: 15) perkawinan adalah sebuah akad atau kontrak yang
mengikat dua pihak yang setara laki-laki dan yang masing-masing telah memenuhi
persyaratan berdasarkan hukum yang berlaku atas kerelaan dan kesukaan untuk hidup
bersama.1

Sedangkan menurut menurut Abdhul Ghani Abud sebagaimana yang dikutip oleh
Miharso (2004 :54) perkawinan adalah pertemuan yang teratur antara pria dan wanita
dibawah satu atap untuk memenuhi kebutuhan – kebutuhan tertentu baik yang bersifat
biologis, social, ekonomi dan budaya bagi masing – masing, baik keduanya secara
bersama-sama, dan bagi masyarakat dimana mereka hidup serta bagi kemanusiaan
secaara keseluruhan.2

Dari beberapa definisi tersebut dapat disimpulkan perkawinan adalah “aqad yang
disepakati oleh kedua belah pihak yaitu antara seorang pria dan seorang wanita untuk
sama-sama mengikat diri, bersama dan saling kasih mengasihi demi kebaikan
keduanya dan anak-anak mereka sesuai dengan batas-batas yang ditentuka oleh

1
Siti Musdah Mulia (dkk), Pernikahan Beda Agama dalam Ahmad Nurcholish edisi revisi 2010(Jkt, Komnas HAM-ICRP),hlm 15
2
Miharso, Manteb, Pendidikan Keluarga Qur'ani, (Yogyakarta: Safiria Insania Press dan MSI UII,2004),hlm 54 
hukum. Dalam perkawinan adanya ikatan lahir batin, yang berarti bahwa dalam
perkawinan itu perlu ada ikatan tersebut kedua-duanya. Ikatan lahir adalah ikatan yang
menampak, ikatan formal sesuai dengan peraturan - peraturan yang ada. Oleh karena
itu perkawinan pada umumnya diinformasikan kepada masyarakat luas agar
masyarakat dapat mengetahuinya.

B. Syarat-Syarat Perkawinan

Menurut hukum adat, pada dasarnya syarat-syarat perkawinan dapat


diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Mas Kawin (bride-price)
Mas kawin sebenarnya merupakan pemberian sejumlah harta benda dari
pihak laki-laki kepada pihak perempuan, dengan variasi sebagai berikut.
a. Harta benda tersebut di berikan kepada kerabat wanita, dengan selanjutnya
menyerahkan pembagiannya kepada mereka.
b. Secara tegas menyerahkannya kepada perempuan yang bersangkutan
c. Menyerahkan sebagian kepada perempuan dan sebagian kepada kaum
kerabatnya.
2. Pembalasan jasa berupa tenaga kerja (bride-service)
Bride-service biasanya merupakan syarat didalam keadaan darurat.
Misalnya, suatu keluarga yang berpegangan pada prinsip patrilineal tidak
mempunyai putra, akan tetapi hanya mempunyai anak perempuan saja. Mungkin
saja dalam keadaan demikian, akan diambil seorang menantu yang kurang
mampu untuk memenuhi persyaratan mas kawin, dengan syarat bahwa pemuda
tersebut harus bekerja pada orang tua isterinya (mertua).
3. Pertukaran Gadis (bride-exchange)
Pada bride-exchange, biasanya laki-laki yang melamar seorang gadis
untuk dinikahi, maka baginya diharuskan mengusahakan seorang perempuan lain
atau gadis lain agar bersedia menikah dengan laki-laki kerabat calon isterinya.
Perkawinan adalah sesuatu yang diperbolehkan dan dianjurkan dalam suatu
agama, adat bahkan undang-undang . Syarat sah perkawinan  menurut UU No 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan ada dua macam, syarat materiil dan formal. 3

3
Undang-undang no 1 tahun 1974 tentang syarat perkawinan
Syarat materiil adalah syarat-syarat subjektif yang terbagi menjadi mutlak dan
relatif.
a. Syarat materiil mutlak

Syarat itu harus dipenuhi setiap orang yang akan melangsungkan


perkawinan tanpa memandang dengan siapa ia akan melangsungkan
perkawinan. Syarat .ini berlaku umum, jika salah satu dari syarat tersebut tidak
dipenuhi, maka perkawinan tidak dapat dilangsungkan. Syarat tersebut ada 5,
yaitu:

1) Kedua belah piha masing-masing tidak terikat dengan suatu


perkawinan lain (Pasal 27 KUHPer)
2) Kesepakatan yang bebas dari kedua belah pihak (Pasal 28 KUHPer)
3) Masing-masing pihak harus mencapai umur minimum yang ditentukan
oleh undang-undang (Pasal 29 KUHPer)
4) Seorang wanita tidak diperbolehkan kawin lagi sebelum lewat dari 300
hari terhitung sejak bubarnya perkawinan yang terakhir (Pasal 34
KUHPer)
5) Harus ada izin pihak ketiga (Pasal 35 KUHPer)

b. Syarat materiil relatif

Syarat bagi pihak yang akan dikawini. Seseorang yang telah memenuhi
syarat materiil mutlak dapat melangsungkan perkawinan, namun kendati
demikian ia tidak boleh kawin dengan sembarang orang dan ia pun haris
memenuhi syarat materiil relatif pihak yang dikawininya. Syarat materiil relatif
yaitu:

1) Larangan untuk kawin dengan orang yang sangat dekat dalam


kekeluargaan sedarah atau karena perkawinan
2) Larangan untuk kawin dengan orang, dengan siapa orang itu pernah
melakukan perbuatan zinah.
3) Larangan untuk memperbaharui perkawinan setelah adanya
perceraian jika belum lewat 1 bulan.

Syarat formal adalah tata cara atau prosedur melangsungkan perkawinan


menurut hukum agama dan undang-undang, yang diatur dalam Peraturan
Pemerintah No. 9 tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang
No.1 Tahun 1974. Syarat-syarat yang harus dipenuhi sebelum perkawinan
dilangsungkan adalah:

a) Pemberitahuan tentang maksud perkawinan

Dilakukan kepada pegawai catatan sipil secara lisan atau tertulis


yang kemudian ditulis dalam sutu akta yang dibuat pegawai itu sendiri.

b)  Pengumuman tentang maksud kawin

Maksud dari pengumuman ini untuk memberitahu kepada siapa


saja yang berkepentingan untuk maksud dari perkawinan itu, untuk alasan
tertentu.

Untuk melangsungkan perkawinan undang-undang menetapkan berbagai


syarat yang dibedakan antara syrat-syarat material dan syarat-syarat formal.
Termasuk dalam kategori pertama adalah syarat-syarat yang mengenai orang
yang ingin mengadakan perkawinan. Syarat-syarat tersebut mutlak (absolut) atau
nasbi (relatif), syarat mutlak adalah:
(1) Keadaan tidak kawin (pasal 84)
(2) Kesepakatan untuk bebas (pasal 85)
(3) Umur minimum (pasal 86)
(4) Yang disebut 300 hari (pasal 91)
(5) Persetujuan dari orang ketiga (pasal 92-104)
Dalam Undang-undang Nomer 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
dinyatakan bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut
hukum masing-masing agama dan kepercayaan dan dicatat menurut undang-
undang yang berlaku. Jadi sebuah perkawinan yang sah manakala memnuhi
aturan agama maupun negara.

C. Tujuan Perkawinan Adat

Adapun tujuan perkawinan bagi masyarakat adat yang bersifat kekerabatan


adalah untuk mempertahankan dan meneruskan keturunan menurut garis kebapakan
atau keibuan atau keibu-bapakan, untuk kebahagiaan rumah tangga keluarga/kerabat,
untuk memperoleh nilainilai adat budaya dan kedamaian, dan untuk mempertahankan
kewarasan. Oleh karena sistem keturunan dan kekerabatan antara suku bangsa
Indonesia yang satu dan lain berbeda-beda, maka tujuan perkawinan adat bagi
masyarakat juga berbeda antara suku bangsa yang satu dan daerah yang lain, begitu
juga dengan akibat hukum dan upacara perkawinannya. 4

D. Bentuk-Bentuk Perkawinan Adat

Menurut Hadikusuma (2003:183-190) Secara sederhana di Indonesia dapat


dijumpai tiga bentuk perkawinan, antara lain 5:
1. Bentuk perkawinan jujur (bridge-gift marriage)
Perkawinan jujur merupakan bentuk perkawinan dimana pihak laki-laki
memberikan jujur kepada pihak perempuan. Benda yang dapat dijadikan sebagai
jujur biasanya benda-benda yang memiliki kekuatan magis. Pemberian jujur
diwajibkan untuk mengembalikan keseimbangan magis yang semula menjadi
goyah, oleh karena terjadinya kekosongan pada keluarga perempuan yang telah
pergi karena menikah tersebut. Perkawinan tersebut dapat dijumpai pada
masyarakat patrilineal, baik yang murni maupun yang beralih-alih. Ciri-ciri umum
perkawinan jujur adalah patrilokal, artinya istri wajib bertempat tinggal di
kediaman suami atau keluarga suami.
Disamping itu, perkawinan jenis ini bersifat exogami,yaitu suatu larangan
menikah dengan warga yang se-klan atau se-marga. Masyarakat yang masih
konsekuen menjalankan perkawinan jujur adalah kalangan Tapanuli, dengan
menamba cirri lagi yaitu asimetri konubium yang merupakan larangan
perkawinan timbale balik antara dua keluarga walaupun berlainan marga, apabila
antara kedua keluarga tersebut telah ada perkawinan.
2. Bentuk perkawinan semendo (suitor service marriage)
Perkawinan semendo pada hakikatnya bersifat matrilokal dan exogami.
Matrilokal berarti bahwa istri tidak berkewajiban untuk bertempat tinggal di
kediaman suami. Dalam perkawinan ini, biasanya juga dijumpai dalam keadaan
darurat, dimana perempuan sulit untuk mendapatkan jodoh atau karena laki-laki
tidak mampu untuk memberikan jujur. Bentuk perkawinan ini dijumpai di
kalangan orang-orang minangkabau dan merupakan bentuk perkawinan yang
4
Prasetyo,budi, Perspektif Undang-Undang Perkawinan, dlm Jurnal Ilmiah UNTAG Semarang, 2017 (Semerang : Serat
Acitya), hlm 135
5
Hadikusuma, Hilman, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia,(Bandung : Mandar Maju, 2003) hlm. 183-190
umum di Indonesia. Oleh karena itu dapat dijumpai pada setiap bentuk
masyarakat.

3. Bentuk perkawinan bebas (exchange marriage)


Bentuk kawin bebas tidak menentukan secara tegas dimana suami atau
istri harus tinggal, hal ini tergantung pada keinginan masing-masing pihak,
yang pada akhirnya ditentukan oleh consensus antara pihak-pihak tersebut.
Pada umumnya bentuk kawin bebas bersifat endogami, artinya suatu anjuran
untuk kawin dengan warga kelompok kerabat sendiri. Bentuk ini banyak
dijumpai di Jawa, Kalimantan, dan sebagainya.
4. Bentuk perkawinan mengabdi

Lanjutan dari perkawinan jujur yang tertunda. Pengabdian hingga jujur itu
terlunasi biasanya suami bersama istri akan bekerja pada orangtua istri, anak-
anak mereka masih berada dipengawasan mertua dan masuk dalam marga
(clan) dari mertua laki-laki. Praktik Hukum Adat Perkawinan ini dikenal di Batak
dengan mangdingding, di Bali dengan sebutan nunggonin dan di lampung
dengan istilah erring beli.

5. Bentuk perkawinan meneruskan


Merupakan kelanjutan perkawinan jujur sehingga tidak perlu adanya
pembayaran jujur kembali. Perkawinan ini terjadi karena istri yang pertama
meninggal dikawinkan dengan saudara perempuannya. Di Tapanuli
perkawinan meneruskan ini disebut dengan mangabia sedangkan di jawa
dikenal dengan karang wulu
6. Bentuk Perkawinan mengganti

Merupakan kelanjutan perkawinan jujur dan tidak perlu adanya


pembayaran jujur namun peristiwa yang terjadi pada perkawinan kedua karena
suami yang pertama meninggal, sehingga dikawinkan saudara laki-laki dari
suaminy. Di Tapanuli perkawinan mengganti ini disebut dengan pareakhon, di
Palembang dengan ganti tikar, dan dijawa disebut dengan medun ranjang.
7. Bentuk perkawinan mengambil anak

Perkawinan mengambil anak pada konsep patrilinial ini terjadi karena


hukum adat perkawinan memperkenankan seorang ayah mengambil anak laki-
laki untuk dikawinkan dengan anak perempuannya, dengan maksud agar pria itu
menjadi anaknya sendiri beserta keturunannya mengikuti marga(klan)
menantunya tersebut. Karena adanya pembayaran jujur, maka menantu dan
keterunannya resmi lepas dari klan marganya semula, hal ini banyak terjadi
sumatera selatan.
8. Bentuk perkawinan karang walu
Bentuk perkawinan Bilateral ini terjadi pada masyarakat jawa, atau
tungkat dalam bahasa masyarakat pasemah. Bentuknya adalah perkawinan
duda dengan seorang perempuan dari almarhum istrinya.
9. Perkawinan mangguhkaya

Bentuk perkawinan antara pria kaya dan perempuan miskin, atau


sebaliknya perkawinan ngalindung kagelung antara perempuan kaya dengan
pria miskin

10. Bentuk perkawinan gantung


Bentuk Perkawinan Adat Gantung ini terjadi karena calon istrinya masih
anak dibawah umur sedangkan pria sudah dewasa. Selama waktu tertentu
atau karena belum cukup umur maka istrinya (anak dibawah umur) belum
diperkenankan untuk bercampur dengan suaminy, disisi lain keberadaan
suaminya bagi menantu adalah tenaga gratis bagi keluarganya.

11. Bentuk perkawinan campuran

Bentuk perkawinan campuran pun dikenal dalam hukum perkawinan adat.


Misalnya adanya upacara pengangkatan marga bagi suami/istri yang bukan
berasal dari klan batak, sekarang ini baik setelah mau pun sesudah penikahan
mereka dapat dilangsungkan pengangkatan marga/boru tersebut.

12. Bentuk perkawinan lari


Dalam hukum perkawinan adat, ketika seorang pria diam-diam telah
mengadakan sepakat dengan perempuan untuk kawin lari, atau diam-diam laki-
laki membawa lari perempuan, atau perempuan datang sendiri ketempat laki-
laki. Bentuk perkawinan adat ini di palembang dikenal dengan “belarian”, di bali
dengan “ngeroroat”, di Ambon disebut “lari bini”, di flores disebut “kawin roko”,

E. Macam-macam Sistem Perkawinan Adat

Menurut hukum adat, sistem perkawinan dalam Baharudin (2008:36) ada tiga macam
yaitu:6
1.  Sistem Endogami
Dalam sistem ini orang hanya diperbolehkan kawin dengan seseorang dari
suku keluarganya sendiri. Sistem perkawinan ini kini jarang terjadi di Indonesia.
Menurut van vollen hoven hanya ada satu daerah saja yang secara praktis
mengenal sistem endogami ini, yaitu daerah Toraja. Tetapi sekarang, di daerah ini
pun sistem ini akan lenyap dengan sendirinya kalau hubungan daerah itu dengan
daerah lainya akan menjadi lebih mudah, erat dan meluas. Sebab sistem tersebut
di daerah ini hanya terdapat secara praktis saja. Lagi pula endogami sebetulnya
tidak sesuai dengan sifat susunan kekeluargaan yang ada di daerah itu, yaitu
patrilineal.

2. Sistem exogami
Dalam sistem ini, orang diharuskan menikah dengan suku lain. Menikah
dengan suku sendiri merupakan larangan. Namun demikian, seiring berjalannya
waktu, dan berputarnya zaman lambat laun mengalami proses perlunakan
sedemikian rupa, sehingga larangan perkawinan itu di perlakukan hanya pada
lingkungan kekeluargaan yang sangat kecil saja. Sistem ini dapat dijumpai di
daerah Gayo,Alas, Tapanuli,  Minangkabau, Sumatera Selatan, Buru dan Seram.

3.  Sistem eleutherogami

6
Ahmad, Baharudin, Hukum Perkawinan di Indonesia Studi Historis Metodologi, (Jakarta: Syariah Press IAIN STS,
2008), Hlm. 36
Sistem eleutherogami berbeda dengan kedua sistem di atas yang memiliki
larangan-larangan dan keharusan-keharusan. Eleutherogami tidak mengenal
larangan-larangan maupun keharusan-keharusan tersebut. Larangan-larangan
yang terdapat dalam sistem ini adalah larangan yang berhubungan dengan ikatan
kekeluargaan yang menyangkut nasab (keturunan), seperti kawin dengan ibu,
nenek, anak kandung, cucu, juga dengan saudara kandung, saudara bapak
ataupun saudara ibu. Atau larangan kawin dengan musyahrah (per-ipar), seperti
kawin dengan ibu tiri, mertua, menantu, anak tiri. Sistem ini dapat dijumpai hamper
di seluruh masyarakat Indonesia, termasuk Jawa

F. Contoh Perkawinan Adat Suatu Suku Yang Ada Di Indonesia

Indonesia adalah negara yang begitu kaya akan budaya dan tradisi, termasuk
dalam ritual pernikahan. Dalam rangka perayaan hari kemerdekaan negara kita ini,
tidak ada salahnya kita mengenal lebih dekat berbagai adat dan tradisi pernikahan
khas suku-suku di Indonesia. Dalam Laksono (2016:26) Berikut 45 tradisi
perkawinan beragam suku dari seluruh penjuru Indonesia: 7
1. Minang: lamaran dari mempelai perempuan
Berbeda dengan proses lamaran pada umumnya, dalam adat
Minagkabau, pihak mempelai perempuan yang meminang laki-laki! Calon
pengantin perempuan Minang mengunjungi keluarga calon pengantin laki-laki,
lalu keluarga kedua pihak bertukar buah tangan sebagai simbol pengikat kedua
mempelai.

2. Ogan: Pengadangan

Suku yang mendiami dataran tinggi Sumatra Selatan ini memiliki tradisi
pernikahan yang unik. Pada pernikahan rakyat Ogan, sang pengantin laki-laki
akan diberi rintangan dan dihalangi untuk bertemu dengan pengantin
perempuan menggunakan selendang panjang. Agar dapat bertemu dengan
calon istrinya, ia harus membawakan benda-benda yang diminta oleh penjaga
sang pengantin perempuan.

3. Betawi: Palang pintu


7
Utomo Laksanto, Hukum Adat,(Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,2016). Hlm 26
Dalam pernikahan Betawi, pengantin laki-laki datang ke rumah
pengantin perempuan membawa sekelompok orang. Rombongan mempelai
laki-laki pun akan berusaha memasuki rumah mempelai perempuan. Uniknya
untuk memasuki rumah tersebut, rombongan pengantin laki-laki akan berbalas
pantun dengan keluarga pengantin perempuan yang ada di dalam rumah.

4. Osing: kawin colong

Para pasangan dari suku Osing di Banyuwangi yang belum mendapat


restu dari orangtua, oleh adat diperbolehkan melakukan yang disebut Kawin
Colong. Artinya, sang calon pengantin laki-laki menculik calon pengantin
perempuan selama 24 jam. Lalu, ia akan memilih seorang Colok, yaitu orang
kepercayaan atau tetua yang dihormati untuk bernegosiasi dengan keluarga
calon pengantin perempuan sampai pernikahan mereka diizinkan.

5. Sasak: Kawin Culik

Calon pengantin laki-laki dari suku Sasak harus menculik calon istrinya
sebelum menikah. Meskipun aksi penculikan ini telah disetujui oleh pihak
keluarga perempuan, sang calon pengantin laki-laki tidak boleh tertangkap
atau membuat keributan saat melakukan penculikan. Jika penculikan gagal,
pengantin laki-laki akan dikenai denda!

6. Gunung Kidul: Kromojati

Sejak tahun 2007, para calon pengantin pria di Desa Bohol, Gunung
Kidul diwajibkan menanamkan setidaknya 5 bibit pohon jati. Uniknya, aturan ini
ditetapkan bukan sekedar sebagai mahar tapi juga untuk mewujudkan
kelestarian lingkungan. Inilah artian pernikahan ramah lingkungan yang
sesungguhnya!

7. Suku tidung: Larangan ke toilet

Suku tidung memiliki tradisi yang sangat tidak biasa, yaitu calon
pengantin harus menahan buang air selama 72 jam atau 3 hari! Mungkin hal ini
terlihat sulit bagi masyarakat lain, namun bagi suku yang banyak bermukim di
Kalimantan Utara ini, syarat ini tidak sulit dilakukan demi harapan
mendapatkan kehidupan pernikahan yang harmonis.

8. Jawa Tengah: Adol Dawet

Dalam adat prosesi pernikahan Jawa Tengah, orang tua pengantin


perempuan akan berjualan dawet dan menerima bayaran berupa pecahan
genting dari pembeli-pembelinya. Tradisi unik ini menjadi contoh bagi calon
pasangan untuk saling membantu dalam membangun dan menghidupi rumah
tangga.

9. Cirebon: Pugpugan

Pasangan pengantin dari wilayah Jawa Barat, terutama Cirebon,


biasanya akan melakukan ritual pugpugan setelah seremoni pernikahan
mereka. Pugpugan sendiri merupakan lipatan ilalang atau daun kelapa tua,
yang kemudian akan ditaburkan di kepala kedua mempelai oleh orang tua
pengantin wanita. Ritual ini menggambarkan harapan kedua orang tua untuk
rumah tangga yang penuh kesetiaan dan rukun hingga tua kelak.

10. Cilacap, Banyumas dan Purwokerto: Begalan

Di Cilacap, Banyumas dan Purwokerto, terdapat pula tradisi memberi


petuah bagi calon pengantin. Uniknya, di ketiga daerah ini hal ini disampaikan
melalui tarian dan penampilan komedi. Sekelompok penari akan menari sambil
membawa alat-alat rumah, nasihat dan doa pun kemudian dihantarkan dengan
cara yang humoris dan penuh canda.

11. Batak: Sinamot

Di kultur suku Batak, ada sebuah prosesi bernama Sinamot yang


merupakan perundingan mas kawin oleh kedua belah pihak keluarga. Jumlah
mahar atau mas kawin yang akan diberikan biasanya ditentukan berdasarkan
tingkat edukasi, karier, atau status sosial keluarga gadis tersebut. Semakin
tinggi tingkatannya, semakin besar pula jumlah mas kawin. Namun hal ini tidak
dilihat sebagai materialisme semata, melainkan harapan bagi pasangan ini
untuk menghindari perceraian setelah menikah dengan jumlah mas kawin yang
mahal.

12. Aceh: Mayam

Setiap adat memang memiliki cara-cara unik untuk menentukan mas


kawin. Masyarakat di Aceh menggunakan satuan ukurnya sendiri yaitu mayam.
Di Aceh, mas kawin yang berupa emas akan ditimbang dan dihitung dalam
mayam. Satu mayam setara dengan 3,37 gram emas.

13. Yogyakarta: Nyantri

Pada tradisi yang berasal dari Kraton Yogyakarta ini, pengantin laki-
laki harus bermalam di daerah kediaman calon pengantin perempuan.
Umumnya, sang calon pengantin laki-laki dititipkan ke rumah saudara atau
tetangga pengantin perempuan. Meskipun begitu, ia tidak boleh bertemu
dengan calon istrinya hingga hari pernikahan tiba.

14. Kaili: Nanggeni Balanja

Bagi masyarakat Kaili yang umumnya bermukim di Sulawesi Tengah,


pengantin laki-laki tidak hanya memberi uang pada pengantin perempuan.
Pihak laki-laki juga memberi sejumlah barang-barang keperluan sehari-hari
sebagai tanda penghargaan, tanggung jawab dan penghormatan bagi calon
istrinya.

15. Banjarmasin: Bausung

Dalam proses arak-arakan pengantin di Banjarmasin, kedua mempelai


duduk di bahu sepasang penari. Tentunya, arak-arakan meriah ini dilengkapi
dengan tari-tarian dan musik khas Banjarmasin.

16. Melinting: Sabaian


Pengantin asal Melinting, Lampung, harus melewati proses Sabaian,
yaitu ritual bermaaf-maafan antara kedua belah pihak keluarga. Lalu, kedua
pengantin pun diberi gelar Adok untuk laki-laki dan Inai untuk perempuan.
17. Madura : Nyedek Temo

Para calon pengantin di Madura memiliki cara khusus untuk


menentukan tanggal pernikahan mereka. Pada acara Nyedek Temo, kedua
keluarga bertemu lalu pasangan calon pengantin menyediakan hal-hal simbolik
untuk menetapkan tanggal pernikahan mereka. Misalnya, jika mereka
menginginkan pernikahan mereka dilaksakan segera, maka mereka harus
menyediakan pisang susu dan sirih.

18. Toraja: Urrampan Kapa'

Rupanya rakyat Toraja telah mengenal bentuk perjanjian pra-nikah


sejak zaman nenek moyang. Hal ini disebut Urrampan Kapa' yang merupakan
acara di mana dua keluarga calon pengantin duduk bersama untuk
mendiskusikan aturan pernikahan dan hukuman yang akan diberikan jika sang
istri atau suami melanggar ketentuan komitmen pernikahan mereka kelak.

19. Bali: tradisi jual beli

Pada pernikahan adat Bali, pengantin perempuan membawa bakul


yang nantinya akan dibeli oleh pengantin laki-laki. Tradisi ini merupakan suatu
simbol bahwa dalam kehidupan rumah tangga, sang suami-istri harus saling
melengkapi.

20. Ambon : Maso Minta

Suku Ambon di Maluku juga memiliki suatu tradisi pra-nikah yang


disebut Maso Minta atau Masuk Minta. Calon pengantin pria akan menyatakan
niatnya menikahi calon pengantin wanita. Keluarga kedua pihak akan bertemu
setelah sebelumnya keluarga pihak perempuan menerima sebuah "surat
bertamu". Pada pertemuan ini, kedua keluarga diwakili seorang juru bicara
yang akan mendiskusikan niat kedua calon mempelai untuk menikah, termasuk
mendiskusikan tanggal pernikahan.
21. Aru: Lagu Rora

Masyarakat suku Aru terkenal dengan tradisi merayakan suatu upacara


adat dengan nyanyi-nyanyian. Dalam sebuah acara pernikahan, lagu yang
dinyanyikan disebut lagu Rora. Dalam lagu Rora, terdapat syair-syair yang
menyatakan rasa syukur pada sang pencipta dan leluhur atas keberhasilan
mereka.

22. Jambi: Berusik sirih bergurau pinang

Tradisi ini merupakan bagian dari masa awal perkenalan sang calon
pasangan. Setelah memutuskan untuk menikah, sang calon pengantin pria
berkunjung ke rumah kekasihnya untuk menyampaikan rasa cinta kasih. Agar
pernyataan ini tersampaikan dengan bahasa yang halus dan indah, seringkali
pantun atau seloko dilantunkan.
23. Jambi: Bebalai

Pengantin suku Rimba di Jambi tidak perlu memikirkan pernikahannya


sendiri. Setelah proses lamaran yang disebut beindok semang, orang Rimba
akan beramai-ramai membuat bangunan atau balai yang akan menjadi tempat
berlangsungnya pernikahan.
24. Mandailing: Horja Haroan Boru

Akhir pesta pernikahan Mandailing adalah simbol perginya kedua


pengantin dari kediaman orang tuanya. Sebelum meninggalkan rumah masa
kecilnya, pengantin perempuan yang disebut boru na ni oli akan menari tor-
tor sebagai tanda perpisahan.

25. Minahasa : Upacara Bunga Putih

Sebagai simbol kasih sayang dan penghormatan, pengantin laki-laki


memberi bunga tangan berwarna putih bagi pengantin perempuan. Namun,
bunga yang diberikan harus berjumlah 9 tangkai, dengan 9 buah yang mekar
dan 9 bunga yang kuncup. Karena angka 9 dianggap sebagai angka
keberuntungan.

26. Biak : Wafer


Pemberkatan pernikahan suku Biak dilakukan oleh kepala adat dan
disebut dengan wafer. Upacara ini dimulai dengan pemberian cerutu atau
sebatang rokok yang akan dihisap oleh kedua mempelai. Lalu, mereka akan
saling menyuapi panganan ubi atau talas bakar. Kemudian, pernikahan pun
akan dinyatakan sah.

27. Jawa: Pingitan

Dalam budaya pernikahan Jawa, dikenal adat pingitan di mana calon


pengantin perempuan tidak boleh meninggalkan rumah menjelang hari
pernikahannya. Selain untuk menghalangi kedua calon pengantin untuk
bertemu, momen ini juga menjadi kesempatan bagi pengantin perempuan
untuk merawat diri sebelum acara pernikahan. Dulu, proses pingitan dapat
berlangsung selama 1 hingga 2 bulan

28. Sumbawa: Basai

Bagi masyarakat Sumbawa, hari pernikahan adalah hari di mana


kedua mempelai menjadi sepasang raja dan ratu. Dalam upacara ini, terdapat
pula prosesi Barupa yang berarti para tamu memberikan kedua mempelai
uang-uang logam dan membacakan puisi serta petuah-petuah pada kedua
mempelai.

29. Suku Dani: Maweh

Masyarakat suku Dani kerap mengadakan pernikahan massal yang


bernama Maweh. Hal ini terjadi tiap empat hingga enam tahun sekali. Para
pengantin dikumpulkan dan calon pengantin perempuan dijaga dengan ketat
dan dirias secara bersama-sama oleh masyarakat setempat.

30. NTT: Tokencai

Pada akad pernikahan di Nusa Tenggara Timur, mempelai perempuan


tidak hadir sampai ia dijemput oleh mempelai pria. Sang mempelai wanita akan
disembunyikan di kamar bersama seorang perias pengantin. Sebelum dapat
menjemput sang calon istri, calon pengantin laki-laki harus berbalas pantun
dan menyanggupi syarat yang ditetapkan oleh sang perias pengantin.

31. Minang: Malam Bainai

Ternyata tradisi pesta lajang juga ada di Indonesia, tepatnya dalam


tradisi Minang. Pengantin wanita Minang merayakan malam terakhirnya
sebagai gadis lajang bersama kerabat dan sahabat wanita terdekatnya. Dalam
selebrasi yang disebut Malam Bainai ini, sang calon pengantin akan diberi
pulasan kuku dari tanaman inai yang telah ditumbuk dan memberikan rona
kemerahan pada jemarinya.

32. Dayak Iban : Melah Pinang

Pernikahan adat Dayak Iban disebut dengan Melah Pinang yang


umumnya dilakukan dengan berpindah dari rumah ke rumah. Apabila rumah
tempat pernikahan tersebut berlangsung terletak di pinggiran sungai, maka
sang pengantin laki-laki akan menjemput pengantin perempuan dengan iring-
iringan perahu, musik dan tarian.

33. Nias: Fanu'a bawi

Hewan babi rupanya memiliki arti penting dalam peradaban suku Nias,
maka sebelum hari pernikahan calon pengantin laki-laki harus mempersiapkan
sejumlah ekor babi. Pada tahapan yang bernama Fanu'a Bawi ini, calon
pengantin perempuan akan memilih babi terbaik dari kumpulan yang telah
disiapkan oleh pasangannya. Babi yang lolos seleksi hanya babi yang memiliki
berat lebih dari 100 kilo, tanpa cacat, memiliki ekor panjang dan warna bulu
yang rata.

34. Biak: Ararem


Satu lagi tradisi yang unik dari pernikahan suku Biak, yaitu Ararem
atau tradisi arak-arakan calon mempelai laki-laki. Keluarga mempelai laki-laki
ini akan membawa piring-piring adat, guci, dan berbagai hal lainnya, termasuk
bendera Indonesia!

35. Sunda: Meuleum Harupat

Pada prosesi pernikahan tradisional Sunda, seorang pengantin pria


akan memegang 7 batang lidi, yang kemudian disulut dengan api oleh sang
istri. Pengantin pria itu lalu akan mencelupkan lidi yang terbakar tersebut ke
dalam kendi berisi air untuk memadamkan apinya, tak lupa ia pun akan
mematahkan dan membuang lidi tersebut. Ritual ini menjadi simbol kemarahan
yang berapi-api pun dapat dipadamkan dengan keteduhan dan kelembutan
sang istri.

36. Lampung: Ngurukken Majeu (Ngekuruk)

Dalam pernikahan adat Lampung, calon pengantin perempuan akan


menaiki kereta kuda yang bernama rato atau dengan tandu menuju rumah
mempelai laki-laki. Lalu pengantin pria akan memegang tombak dan berjalan
bersama sang calon istri di belakangnya.

37. Papua: Bakar Batu

Masyarakat Papua dari berbagai suku memiliki kesamaan tradisi yaitu


Bakar Batu yang merupakan cara mengucapkan syukur atas berkat yang
melimpah. Sesuai dengan namanya, acara ini mencakup pembakaran batu
yang telah disusun dari batu berukuran besar hingga kecil yang ditutupi
dengan kayu.

38. Banjar: Badudus

Dalam acara pernikahan khas Banjar, terdapat ritual siraman


pengantin yang disebut Badudus atau Bapapai. Pada proses ini pengantin
akan dimandikan oleh lima atau tujuh wanita lanjut usia, biasanya kerabat
terdekatnya, dengan bermacam-macam bunga, air jeruk, dan air kelapa. Tak
hanya untuk calon pengantin, wanita yang sedang mengandung pun
melakukan ritual ini di bulan ketujuh kehamilan mereka sebagai bentuk
penolak bala dan permohonan untuk persalinan yang lancar.

39. Bugis: Mappasikarawa

Dalam adat suku Bugis, setelah dilangsungkannya akad nikah atau


upacara pernikahan, dan kedua mempelai dinyatakan sah menjadi suami istri,
sang mempelai pria akan diantar ke kamar istrinya. Lalu kedua pasangan ini
akan saling menyentuh atau bersalaman sebagai symbol interaksi fisik
pertama mereka sebagai pasangan suami istri. Proses ini disebut
Mappasikarawa dan konon dapat menentukan kebahagiaan pernikahan
pasangan ini di masa depan.

40. Bajo: Mas kawin kain putih

Memang banyak suku di Indonesia yang mewajibkan mas kawin


bernilai tinggi, namun lain halnya bagi masyarakat Bajo. Dalam tradisi Bajo,
pengantin laki-laki cukup memberi sehelai kain putih bagi calon istrinya.
Tentunya, sebagai suku yang dikenal dekat dengan kehidupan laut, pengantin
laki-laki diantar kepada pengantin perempuan dengan arak-arakan perahu.

41. Riau: Berinai

Sebagai tanda seorang pengantin perempuan telah sah menikah, ia


akan diberi inai. Ini adalah campuran dari tumbukan daun inai dan asam jawa
yang ditumbuk. Proses ini biasanya dilakukan di malam hari. Konon, warna inai
akan lebih merah jika dikenakan di malam hari.
42. Melayu Pontianak: Bebedakan

Calon pengantin Melayu yang tinggal di Pontianak memiliki tradisi


perawatan diri khusus yang disebut Bebedakan. Selama 40 hari menjelang hari
pernikahannya, calon pengantin perempuan akan mengenakan bedak khusus
dan dilarang untuk meninggalkan rumah.
43. Palembang: Menyenggung

Di Palembang, calon pengantin pria mengutus orang kepercayaannya


ke kediaman calon perempuan untuk mendiskusikan tanggal lamaran. Hal ini
ditujukan untuk menunjukkan keseriusan sang calon suami akan pernikahan
ini. Tentunya, ia juga harus membawa buah tangan yaitu tenong dan kain
songket, serta beberapa makanan tradisional.

44. Buton: Bakena Kao

Dalam tradisi Buton, keluarga pengantin akan membagi-bagikan uang


kepada para perempuan yang belum menikah. Uang ini disebut dengan
Bakena Kao. Konon, wanita lajang tersebut akan segera menyusul menikah
jika membelanjakan uang tersebut untuk membeli benda-benda atau makanan
yang manis.

45. Belitung: Berebut Lawang

Ternyata pantun memang merupakan bagian penting bagi budaya


Indonesia, karena di Belitung pun pantun menjadi bagian penting dalam
sebuah momen pernikahan, sama halnya dengan pernikahan masyarakat
Betawi atau Minang. Namun, dalam adat Belitung, proses berbalas pantun
pengantin laki-laki yang disebut Berebut Lawang ini akan melalui 3 pos. Pos
terakhir tentunya adalah kediaman sang calon pengantin perempuan yang
harus dapat ia lewati.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Perkawinan merupakan salah satu bidang permasalahan yang diatur dalam


tatanan hukum di Indonesia. Untuk itu, segala tindakan dan perbuatan yang
dilakukan oleh warga negara, termasuk yang menyangkut urusan perkawinan,
harus taat dan tunduk serta tidak bertentangan atau melanggar peraturan
perundang-undangan.
Banyaknya suku di Indonesia banyak pula keberagaman yang terjadi diantara
suku satu dengan yang lainnya dalam melangsungkan acara pernikahan seperti
dari pelaksanaan lamaran, upacara pernikahan, dan yang lainnya.
Mengenai bentuk-bentuk perkawinan hingga sistem perkawinan tiap daerah
biasanya berbeda dan mempunyai keunikan sendiri-sendiri.

B. Saran
Menyadari bahwa penulis masih jauh dari kata sempurna dan makalah ini tidak
akan jadi tanpa adanya bantuan dari narasumber, sumber referensi, dan teman-teman.
Saya mohon maaf apabila terdapat kesalahan dan kekeliruan dalam penulisan makalah
ini. Maka dari itu, saya mengharapkan adanya kritik membangun untuk melengkapi
makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaat dan digunakan sebaik-baiknya.
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Baharudin.(2008). Hukum Perkawinan di Indonesia Studi Historis


Metodologi, Jakarta: Syariah Press IAIN STS.

Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Mandar Maju, Bandung,
2003, hlm. 183-190.

Miharso, Manteb. 2004. Pendidikan Keluarga Qur'ani. Yogyakarta: Safiria Insania Press


dan MSI UII. 

Prasetyo, budi. 2017. Perspektif Undang-Undang Perkawinan. Semarang : Serat Acitya


– Jurnal Ilmiah UNTAG Semarang ISSN : 2302-2752, Vol. 6 No. 1 (Online)

Siti Musdah Mulia (dkk), Pernikahan Beda Agama: Kesaksian, Argumen Keagamaan
dan Analisis Kebijakan, dalam Ahmad Nurcholish dan Ahmad Baso (ed), Edisi
Revisi, Cetakan Kedua, Jakarta: Komnas HAM-ICRP, 2010.

Utomo Laksanto,(2016). Hukum Adat, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada  

Anda mungkin juga menyukai