Anda di halaman 1dari 13

KONSEP PERKAAWINAN DALAM HUKUM ADAT

OLEH

1. VINSENSIUS JENIKU HERIN


2. ADI MARSEANO BOIK
3. YUSTI TNUNAI
4. ODA CELINA WAE

PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN

FAKULTAS KEGURUAN DA ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS NUSA CENDANA

2022

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atar berkat dan rahmat-
Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini guna memenuhi tugas kelompok untuk
mata kuliah Hukum Adat, dengan judul “Konsep Perkawinan Dalam Hukum Adat”. Kami
menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini tidak terlepas dari bantuan teman-teman yang
dengan tulus memberikan saran dan kritik sehingga makalah ini dapat terselesaikan.

Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna
dikarenakan terbatasnya pengalaman dan pengetahuan yang kami miliki. Oleh karena itu
kami mengharapkan segala bentuk saran serta masukan bahkan kritik yang membangun dari
berbagai pihak. Akhirnya kami berharap semoga makalah ini dapat menyempurnakan
manfaat bagi perkembangan dunia Pendidikan.

Kupang, 24 september 2022

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR. ..............................................................................................................


DAFTAR ISI .............................................................................................................................II

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang.....................................................................................................................1


1.2 Tujuan Pembahasan ...........................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Perkawinan Menurut Hukum Adat ..................................................................................2


2.2 Syarat Perkawinan Menurut Hokum Adat.......................................................................2
2.3 Sistem Perkawian Hukum Adat.........................................................................................4
2.4 Bentuk Perkawinan Hukum Adat......................................................................................6

BABA III PENUTUP

3.1 Kesimpulan...........................................................................................................................6
3.2 Saran ....................................................................................................................................8

DAFTAR PUSTAKA

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Perkawinan dalam masyarakat Indonesia mutlak adanya dan merupakan hak asasi
bagi setiap orang, oleh karena itu bagi suatu Negara dan Bangsa seperti Indonesia maka
perkawinan itu mutlak harus diatur dalam undang undang perkawinan nasional yang
sekaligus menampung prinsip-prinsip dan memberikan landasan hukum perkawinan yang
selama ini menjadi pegangan dan telah berlaku bagi berbagai golongan dalam masyarakat
Indonesia. Perkawinan begitu penting dan bertujuan membentuk suatu keluarga yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Untuk itu suami isteri perlu
saling membantu dan melengkapi, agar masing-masing dapat mengembangkan
kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan materil.
Perkawinan dapat dinyatakan sah apabila dalam pelaksanaannya di lakukan menurut
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan serta perkawinan itu harus dicatatkan
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Perkawinan begitu pentingnya
sehingga dalam pelaksanaannya harus diatur dalam norma hukum sehingga prinsip-
prinsip atau asas-asas mengenai 2 perkawinan dari segala sesuatu yang berhubungan
dengan perkawinan yang telah disesuaikan dengan perkembangan dan tuntutan jaman
harus di muat dalam suatu undang-undang perkawinan yang sah dan berlaku bagi seluruh
masyarakat Indonesia.
1.2 RUMUSAN MASLAH
1. Bagaimana Perkawiana Menurut Hukum Adat
2. Apa Saja Syarat Perkawinan Dalam Hukum Adat
3. Bagaoman Sistem Perkawinan Dalam Hukum Adat
4. Bagaimana Bentuk Perkawinan Menurut Ukum Adat
5. Bagaimana Dengan Undang-Undang Perkawinan Di Indonesia
1.3 MANFAAT
1. Menganalisis Bagaimana Perkawiana Menurut Hukum Adat
2. Mendeskripsikan syarat perkawinan dalam hukum adat
3. Menganalisis sistem perkawinan dalam hukum adat
4. Menganalisis bentuk perkawinan menuruthukum adat
5. Mendefenisikan undang-undang berkaitan dengan perkawinan hukum adat

BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Perkawinan Menurut Hukum Adat


Menurut hukum Adat perkawian merupakan hubungan kelamin antara laki-laki dan
perempuan, yang membawa hubungan luas, yaitu kelompok kerabat laki-laki dan
perempuan, bahkan antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lainnya.
Hubungan yang terjadi ini ditentukan dan diawasi oleh sistem norma-norma yang berlaku
di dalam masyarakat itu. Hubungan mereka setelah terjadinya perkawinan menjadi
hubungan perikatan dalam suatu paguyuban atau organisasi.
Tujuan perkawinan bagi masyarakat adat bersifat kekerabatan, pertama adalah untuk
mempertahankan dan meneruskan keturunan garis kebapakan atau keibuan dan atau
kebapakan-keibuan (bilateral/parental). Kedua adalah untuk membahagiakan rumah
tangga, keluarga, ataupun kerabat.
Menurut hukum Adat, perkawinan bukan hanya ikatan seorang laki-laki dengan
seorang perempuan sebagai pasangan suami istri dalam rangka mendapatkan keturunan,
membangun, dan membina kehidupan keluarga dalam rumah tangga, tetapi perkawinan
juga merupakan suatu hubungan hukum yang menyangkut para anggota kerabar baik dari
pihak keluarga perempuan maupun pihak keluarga laki-laki, agar kedua keluarga besar itu
menjadi ikatan yang dapat saling membantu dan juga menunjang hubungan kekerabatan
yang rukun dan damai.
Sedangkan berdasarkan Undang-Undang No 1 tahun 1974 tentang perkawinan,
masyarakat Indonesia harus sadar hukum, sehingga dapat menjalankan hukum adat, dan
perundang-undangan yang berlaku seiring tanpa berbenturan.
2.2. Syarat Perkawinan Hukum Adat
Sahnya perkawinan menurut hukum adat bagi masyarakat hukum adat di Indonesia
pada umumnya bagi penganut agama tergantung pada agama yang dianut masyarakat adat
bersangkutan. Maksudnya, jika telah dilaksanakan menurut tata tertib hukum agamanya,
maka perkawianan itu sudah sah menurut hukum adat. Kecuali bagi mereka yang belum
menganut agama yang diakui pemerintah, seperti halnya mereka yang masih menganut
kepercayaan agama lama (kuno) seperti „sipelebegu‟ (pemuja roh) di kalangan orang
Batak atau atau agama Kaharingan di kalangan orang-orang Dayak Kalimantan Tengah,
dan lainnya, maka perkawinan yang dilakukan menurut tata tertib adat/agama mereka itu
adalah sah menurut hukum adat setempat.
Menurut hukum adat setiap pribadi walaupun sudah dewasa tidak bebas menyatakan
kehendaknya untuk melakukan perkawinan, tanpa persetujuan orang tua/kerabatnya.
Dalam rasan sanak persetujuan untuk kawin diputuskan oleh mereka sendiri, lalu
disampaikan kepada orang tua untuk melakukan peminangan (pelamaran dalam rasan
orang tua). Dari rukun dan syarat perkawinan menurut hukum adat, bagi masyarakat yang
hendak melangsungkan perkawinan, harus mengetahui lebih dahulu siapa pasangan yang
akan dinikahinya. Hal ini dimaksudkan agar nantinya setelah menjalani kehidupan rumah
tangga tidak terjadi halhal yang tidak diinginkan. Dengan mengetahui siapa pasangan
kita, maka akan terjaga dan terpelihara status perkawinannya. Adapun perempuan yang
boleh dinikahi menurut hukum adat:
1. Dalam sistem patrilineal, yang ada dikalangan orang batak, perempuan yang boleh
dinikahi adalah perempuan yang bukan semarga, perempuan yang tidak melakukan
perkawinan dengan laki- laki dari tulang, perempuan yang tidak menikah dengan
laki-laki tulang dari ibu si wanita, perempuan yang tidak melakukan perkawinan
dengan laki-laki dari saudara perempuan wanita tersebut, dan perempuan yang
tidak mempunyai penyakit turun temurun.
2. Prinsip matrilineal pada orang minagkabau membolehkan perempuan untuk
dinikahi, asalkan perempuan tersebut tidak sesuku.
3. Pada orang jawa yang bilateral, perempuan yang boleh dinikahi diantaranya
perempuan yang bukan saudara sepupu ayahnya, perempuan yang bukan saudara
ayah atau ibunya, dan perempuan yang bukan kakak dari isteri kakak kandungnya
(yang lebih tua).
Mas kawin atau mahar merupakan pemberian pria kepada wanita yang akan
dinikahinya. Bentuknya bisa berupa harta atau bentuk lainnya sebagai salah satu syarat
dalam pernikahan. Mas kawin menjadi sebuah simbol penghormatan kepada istri dan
keluarganya. Dalam budaya tertentu, orang tua ikut serta dalam menetapkan jumlah mas
kawin yang dianggap sesuai untuk putrinya. Tidak jarang jumlah yang diinginkan
membuat pria kesulitan untuk menyanggupi.
Sedangkan yang dimaksud dengan syarat-syarat perkawinan di sini, adalah syarat-
syarat demi kelangsungan perkawinan tersebut. Menurut hukum adat, pada dasarnya
syarat-syarat perkawinan dapat diklasifikasikan ke dalam hal-hal sebagai berikut:

a. Mas kawin (bride-price)


Mas kawin sebenarnya merupakan pemberian sejumlah harta benda dari pihak
laki-laki kepada pihak perempuan, dengan variasi sebagai berikut:
1. Harta benda tersebut diberikan kepada kerabat wanita, dengan selanjutnya
menyerahkan pembagiannya kepada mereka.
2. Secara tegas menyerahkannya kepada perempuan yang bersangkutan.
3. Menyerahkan sebagian kepada perempuan dan sebagian kepada kaum kerabatnya.
b. Pembalasan jasa berupa tenaga kerja (bride-service)
Bride-service biasanya merupakan syarat di dalam keadaan darurat, misalnya,
apabila suatu keluarga yang berpegang pada prinsip patrilineal tidak mempunyai
putra, akan tetapi hanya mempunyai anak perempuan saja. Mungkin saja dalam
keadaan demikian, akan diambil seorang menantu yang kurang mampu untuk
memenuhi persyaratanmas kawin, dengan syarat bahwa pemuda tersebut harus
bekerja pada orang tua istrinya (mertua).
c. Pertukaran gadis (bride-exchange)
Pada bride-exchange, biasanya laki-laki yang melamar seorang gadis untuk
dinikahi, maka baginya diharuskan mengusahakan seorang perempuan lain atau gadis
lain dari kerabat gadis yang dilamarnya agar bersedia menikah dengan laki-laki
kerabat calon isterinya.
Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan, ada dua macam syaratsyarat perkawinan
yaitu syarat materiil adalah syarat yang melekat pada diri masing-masing pihak disebut
juga syarat subjektif, dan syarat formal yaitu mengenai tata cara atau prosedur
melangsungkan perkawinan menurut hukum agama dan undang-undang disebut juga
syarat objektif. Syarat perkawinan (syarat materiil) diatur dalam Pasal 6 sampai dengan
Pasal 12 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan adalah sebagai
berikut:
1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai (Pasal 6 ayat 1)
2. Pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah
mencapai umur 16 (enam belas) tahun (Pasal 7 ayat 1)
3. Harus mendapat izin masing-masing dari kedua orang tua, kecuali dalam hal-hal
tertentu dan calon pengantin telah berusia 21 tahun atau lebih, atau mendapat
dispensasi dari Pengadilan Agama apabila umur para calon kurang dari 19 dan 16
tahun (Pasal 6 ayat 2 dan Pasal 7 ayat 2)
4. Tidak melanggar larangan perkawinan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 8 yaitu
perkawinan antara dua orang yang:
a. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah ataupun keatas.
b. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara,
antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara
neneknya.
c. Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak tiri.
d. Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan
bibi/paman susuan.
e. Berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri,
dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang.
f. Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku,
dilarang kawin.
5. Seseorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin
lagi, kecuali dalam hal yang tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-
undang ini (Pasal 9)
6. Suami isteri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi untuk
kedua kalinya, maka di antara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi,
sepanjang hukum masing-masingagama dan kepercayaannya itu dari yang
bersangkutan tidak menentukan lain (Pasal 10)
7. Seorang wanita yang perkawinannya terputus untuk kawin lagi telah lampau tenggang
waktu tunggu. (Pasal 11)
2.3. Sistem Perkawinan Hukum Adat
Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai
suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa. Di dalam hukum perkawinan adat dikenal adanya
beberapa sistem perkawinan yaitu.
1. Perkawinan monogami adalah perkawinan antara seorang pria dan seorang wanita.
Bentuk perkawinan ini paling ideal dan sesuai dengan ajaran agama serta Undang-
Undang perkawinan.
2. Perkawinan poligami adalah perkawinan antara seorang pria dengan lebih dari
satu wanita ataupun perkawinan antara seorang wanita dengan lebih dari satu pria.
Berkaitan dengan poligami ini kita mengenal juga perkawinan poliandri yaitu
perkawinan antara seorang wanita dengan lebih dari satu pria.
3. Perkawinan eksogami adalah perkawinan antara pria dan wanita yang berlainan
suku dan ras.
4. Perkawinan endogamy adalah perkawinan antara pria dan wanita yang berasal dari
suku dan ras yang sama.
5. Perkawinan homogami adalah perkawinan antara pria dan wanita dari lapisan
sosial yang sama. Contohnya, pada zaman dulu anak bangsawan cenderung kawin
dengan anak orang bangsawan juga.
6. Perkawinan heterogami adalah perkawinan antara pria dan wanita dari lapisan
sosial yang berlainan.
7. Perkawinan cross cousin adalah perkawinan antara saudara sepupu, yakni anak
saudara laki-laki ibu (anak paman) atau anak dari saudara perempuan ayah.
8. Perkawinan parallel cousin adalah perkawinan antara anak-anak dari ayah mereka
bersaudara atau ibu mereka bersaudara.
9. Perkawinan Eleutherogami adalah seseorang bebas untuk memilih jodohnya
dalam perkawinan, baik itu dari klen sendiri maupun dari klen lainnya.
2.4. Bentuk Perkawinan Hukum Adat
1. Bentuk perkawinan menurut susunan kekerabatan Perkawinan pada susunan
kekerabatan patrilineal, si wanita berpindah ke dalam kekerabatan suaminya dan
melepaskan diri dari kerabat asal. Perkawinan pada susunan kekerabatan matrilineal,
meskipun telah terjadi perkawinan, namun suami istri masing-masing tetap berada
pada kelompok kerabatnya sendiri, sedangkan anak-anak masuk ke kelompok
kekerabatan ibunya. Perkawinan pada susunan kekerabatan parental, setelah
perkawinan suami istri masuk ke dalam kerabat suami dan kerabat istri. Anak-anak
juga masuk dalam kerabat bapaknya dan kerabat ibunya.
2. Bentuk perkawinan anak-anak Perkawinan ini dilakukan terhadap calon suami dan
istri yang belum dewasa, yang biasanya dilaksanakan menurut ketentuan hukum
islam, sedang pesta dan upacara menurut hukum adat ditangguhkan. Sebelum
upacara perkawinan, suami belum boleh melakukan hubungan suami istri,
ditangguhkan sampai mereka dewasa dan dilangsungkan pesta dan upacara menurut
hukum adat.
3. Bentuk perkawinan permaduan
Permaduan adalah ikatan perkawinan antara seorang pria dengan dua atau lebih
wanita dalam waktu bersamaan. Pada daerah yang mengenal lapisan masyarakat,
wanita yang dari lapisan tinggi (sama) dijadikan istri pertama dan wanita yang dari
lapisan bawah dijadikan istri (kedua dan seterusnya). Para istri yang dimadu (selir),
masing-masing beserta anaknya berdiam dan membentuk rumah berpisah satu sama
lain.
4. Bentuk perkawinan ambil anak
Perkawinan ini terjadi pada kekerabatan patrilineal, yaitu pihak laki-laki tidak
perlu membayar jujur, dengan maksud mengambil si laki-laki (menantunya) itu ke
dalam keluarganya agar keturunannya nanti menjadi penerus silsilah kakeknya.
5. Bentuk perkawinan mengabdi
Perkawinan ini terjadi sebagai akibat adanya pembayaran perkawinan yang
cukup besar, sehingga pihak laki-laki tidak mampu membayarnya. Dalam bentuk ini
suami istri sudah mulai berkumpul, sedang pembayaran perkawinan ditunda dengan
cara bekerja untuk kepentingan kerabat mertuanya sampai jumlah pembayaran
perkawinan terbayar lunas.
6. Bentuk perkawinan meneruskan (sororat)
Adalah suatu perkawinan seorang duda (balu) dengan saudara perempuan
mendiang istrinya. Perempuan tersebut meneruskan fungsi istri pertama tanpa suatu
pembayaran (jujur). Perkawinan ini disebut kawin turun ranjang atau ngarang wulu
(Jawa).
7. Bentuk perkawinan mengganti (leverat)
Adalah perkawinan yang terjadi apabila seorang janda yang menetap di
lingkungan kerabat suaminya, kawin dengan laki-laki adik mendiang suaminya.
Perkawinan ini sebagai sarana perkawinan jujur, yang di Palembang dan Bengkulu
dikenal dengan kawin anggau.
2.5. Undang-Undang Perkawinan Di Indonesia
Dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan pasal 2 ayat (1) disebutkan: "Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan
menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu". 
Dalam rumusan ini diketahui bahwa tidak ada perkawinan di luar hukum masing-
masing agama dan kepercayaan. Hal senada diterangkan beberapa pasal dalam Instruksi
Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.
Jadi, menurut hukum positif yang berlaku yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawian tidak mengenal perkawinan beda agama, sehingga pernikahan
beda agama belum bisa diresmikan di Indonesia. Pernikahan pasangan beragama Islam
dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA) dan pernikahan pasangan beragama selain
Islam dicatatkan di Kantor Catatan Sipil (KCS).
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Perkawiana hukum adat merupakan hubungan kelamin antara laki-laki dan
perempuan, yang membawa hubungan luas, yaitu kelompok kerabat laki-laki dan
perempuan, bahkan antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lainnya.
Hubungan yang terjadi ini ditentukan dan diawasi oleh sistem norma-norma yang
berlaku di dalam masyarakat itu. Hubungan mereka setelah terjadinya perkawinan
menjadi hubungan perikatan dalam suatu paguyuban atau organisasi. Perkawinan
menurut hukum adat bagi masyarakat hukum adat di Indonesia pada umumnya bagi
penganut agama tergantung pada agama yang dianut masyarakat adat bersangkutan.
Dari rukun dan syarat perkawinan menurut hukum adat, bagi masyarakat yang
hendak melangsungkan perkawinan, harus mengetahui lebih dahulu siapa pasangan yang
akan dinikahinya. Hal ini dimaksudkan agar nantinya setelah menjalani kehidupan rumah
tangga tidak terjadi hal hal yang tidak diinginkan. Dengan mengetahui siapa pasangan
kita, maka akan terjaga dan terpelihara status perkawinan ini dilakukan terhadap calon
suami dan istri yang belum dewasa, yang biasanya dilaksanakan menurut ketentuan
hukum islam, sedang pesta dan upacara menurut hukum adat ditangguhkan. Sebelum
upacara perkawinan, suami belum boleh melakukan hubungan suami istri, ditangguhkan
sampai mereka dewasa dan dilangsungkan pesta dan upacara menurut hukum adat.
3.2 Saran
Adapun wawasa berfikir membangun sebuah rumah tangga melakukan saing
percaya dan menghargai sesama pasangan. Marah cemburu, berdebat, menjadi manis
pahit dalam pernikahan. namun ini menjadi tidak baik jika terlampau berlebihan bahkan
bisa menghancurkan batrah rumah tangga.
Jika suami istri mengingginkan sebuah kebahagiaan ada beberapa prisip yang
menjadi pegangan untuk menjadi kehidupan rumah tangga.
DAFTARPUSTAKA

file:///C:/Users/YC2%20Flores%2002/Downloads/Buku%20Ajar%20Hukum%20Perkawinan
%20(Nanda%20Amalia)%20(z-lib.org).pdf

file:///C:/Users/YC2%20Flores%2002/Downloads/Hukum%20Adat%20Perkawinan
%20dalam%20Masyarakat%20Aceh%20Tinjauan%20Antropologi%20dan%20Sosiologi
%20Hukum%20(Muhammad%20Siddiq%20Armia,%20MH.,%20PhD.)%20(z-lib.org).pdf

http://repository.umy.ac.id/bitstream/handle/123456789/10725/f.%20BAB%20II.pdf?
sequence=6&isAllowed=y

http://ejournal.ust.ac.id/index.php/FIAT/article/view/1426

https://www.kajianpustaka.com/2013/11/sistem-dan-bentuk-perkawinan-adat.html

Anda mungkin juga menyukai