Anda di halaman 1dari 12

TUGAS

MATA KULIAH
HUKUM DAN KEBUDAYAAN

PENTINGNYA BELAJAR MATA KULIAH HUKUM DAN


KEBUDAYAAN, SERTA MENGKLASIFIKASI PASAL-
PASAL DALAM UU PERKAWINAN DAN UU DESA

Nama : ANAK AGUNG MADE ARYA SAPUTRA


NIM : 0215016019
No. Handphone : 085237196234

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS DWIJENDRA
2022
SOAL TUGAS
HUKUM DAN KEBUDAYAAN

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS DWIJENDRA

1. Pentingnya belajar mata kuliah hukum dan kebudayaan.

2. Mengklasifikasi UU Perkawinan dan UU Desa:


a. Mencerminkan;
b. Kurang mencerminkan;
c. Sama sekali tidak mencerminkan budaya Bali.

1
JAWABAN
HUKUM DAN KEBUDAYAAN

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS DWIJENDRA

1. PENTINGNYA BELAJAR MATA KULIAH HUKUM DAN KEBUDAYAAN

Manfaat pentingnya kuliah hukum dan kebudayaan yakni agar kita sebagai
mahasiswa Fakultas hukum, khususnya Mahasiswa Magister ilmu hukum
Universitas Dwijendra dapat memahami bahwa antara hukum dan kebudayaan
tersebut merupakan bagian yang tak terpisahkan. Kebudayaan adalah suatu
komponen penting dalam kehidupan masyarakat, khususnya struktur sosial. Secara
sederhana kebudayaan dapat diartikan sebagai suatu cara hidup atau dalam bahasa
Inggrisnya disebut ways of life. Keduanya menuntun hidup bermasyarakat dalam
menciptakan ketertiban menuju kedamaian hidup yang dicita-citakan. Tanpa
hukum yang dibudayakan niscaya sangat sulit mewujudkan kehidupan bersama
yang bermanfaat karena dapat saja terjadi ketidakteraturan bahkan dikhawatirkan
muncul situasi homo homini lupus. Hukum sendiri diamati bergerak di antara
tataran nilai dan realita. Hukum dijalankan berpedoman pada nilai yang merupakan
bagian dari budaya itu sendiri dan bagaimana bekerjanya hukum dapat dilihat pada
hidup kemasyarakatan. Jadi hukum dapat dilihat sebagai bagian dari suatu kesatuan
sistem sosial budaya.1

Manusia dalam kehidupan bermasyarakat telah dibekali untuk berlaku dengan


menjujunjung tinggi nilai-nilai budaya tertentu. Nilai-nilai budaya yang dijunjung
tinggi (dianggap bernilai), oleh suatu masyarakat belum tentu dijunjung tinggi oleh
masyarakat lainnya. Nilai budaya tercakup secara lebih konkrit dalam normanorma
sosial, yang diajarkan kepada setiap warga masyarakat supaya dapat menjadi
pedoman berlaku pada waktu melakukan berbagai peranan dalam berbagai situasi
sosial. Norma-norma sosial sebagian tergabung dalam kaitan dengan norma-norma

1
Kata Sambutan Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana, dalam Anak Agung Gede
Oka Parwata, dkk., 2016, Memahami Hukum dan Kebudayaan, Pustaka Ekspresi, Tabanan, hlm. v.

2
sosial lain, dan menjelma sebagai pranata atau lembaga sosial yang kesemuanya
untuk lebih mempermudah manusia dalam mewujudkan perilaku yang sesuai
dengan tuntutan masyarakat atau sesuai dengan gambaran ideal tentang cara hidup
yang dianut dalam kelompoknya.2

Menurut Koentjaraningrat, hubungan hukum dan kebudayaan tergambarkan dalam


sistem tata kelakuan manusia yang berupa norma-norma, hukum, dan aturan-aturan
khusus, semua berpedoman kepada sistem nilai budaya masyarakat. Suatu sistem
nilai budaya terdiri dari konsepsi-konsepsi yang hidup dalam alam pikiran sebagian
besar masyarakat mengenai hal-hal yang harus mereka anggap amat bernilai dalam
hidup. Sistem nilai budaya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan
manusia, termasuk pula sistem hukum.3

Gambaran ideal atau design hidup atau cetak biru (blue print of behavior) yang
merupakan kebudayaan dari masyarakat yang bersangkutan, biasanya dilestarikan
melalui cara hidup warga masyarakat, dan salah satu cara agar masyarakat
melestarikan kebudayaannya adalah hukum.4

Apabila dikaitkan dengan profesi penegak hukum yakni salah satunya Hakim,
terlihat bahwa hakim dalam memutus suatu perkara, selain menggunakan hukum
positif, Hakim juga masih mempertimbangkan nilai-nilai yang tumbuh dalam
masyarakat (kebudayaan). Contohnya saat memutus mengenai perkara hak asuh
anak dalam perceraian warga yang beragama Hindu di Bali, dalam pertimbangan
hukumnya, para hakim di Pengadilan, khususnya Pengadilan yang ada di Bali kerap
memnggunakan suatu pertimbangan mengenai kebudayaan di Bali yang
menempatkan Purusa sebagai pemegang Hak Asuh anak di Bali, hal ini mencirikan
bahwa antara hukum dan kebudayaan memiliki ikat dan kuat serta mempengaruhi
penegakan hukum di Indonesia.

2
Ibid.
3
M Syamsudin, 2012, Budaya Hukum Hakim Berbasis Hukum Progresif, Kencana, Jakarta,
hlm. 27
4
T.O. Ihromi, 1986, Pokok-Pokok Antropologi Budaya, Gramedia, Jakarta, hlm. 4.

3
2. MENGKLASIFIKASI UU PERKAWINAN DAN UU DESA

➢ Review Undang-Undang Tentang Perkawinan (Undang-Undang Republik


Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Jo. Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 1 Tahun T974 Tentang Perkawinan) dan Kaitannya dengan
Kebudayaan Bali

A. Pasal-Pasal dalam UU Perkawinan yang Sejalan/Mencerminkan Kebudayaan


Bali
Adapun pasal-pasal yang menurut penulis sejalan/mencerminkan kebudayaan Bali
dapat penulis rangkum antara lain sebagai berikut:
Pasal Isi Pasal
- Pasal 1 Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria
dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa.

- Pasal 2 (1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut


hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu.
(2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

- Pasal 3 ayat (1) Pada azasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya
boleh mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya
boleh mempunyai seorang suami.

✓ Argumentasi:
Pasal-pasal tersebut diatas sejalan dengan kebudayaan Bali oleh karena di Bali
dalam menjalankan suatu perkawinan sangat menjunjung tinggi nilai-nilai
keagamaan khususnya Agama Hindu, jadi pasal-pasal tersebut yang pada
pokoknya sangat menghormati nilai-nilai kegamaan sangat sesuai dengan
kebudayaan Bali.
Pasal Isi Pasal
- Pasal 6 ayat (1) Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon
mempelai.

- Pasal 8 Perkawinan dilarang antara dua orang yang:

4
a. berhubungan darah dalam garis keturunan lurus
kebawah ataupun keatas;
b. berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping
yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara
orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya;
c. berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri menantu
dan ibu/bapak tiri;
d. berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak
susuan, saudara susuan dan bibi/paman susuan;
e. berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi
atau kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami
beristeri lebih dari seorang;
f. mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau
peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.

- Pasal 9 Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang


lain tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal yang
tersebut pada Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang
ini.
-

✓ Argumentasi:
Pasal-pasal tersebut diatas sejalan dengan kebudayaan bali yang sangat
menjunjung tinggi hukum adat, yang dimana pasal-pasal tersebut pada pokoknya
terlihat sangat sesuai dengan hukum adat yang di Bali.
Pasal Isi Pasal
- Pasal 33 Suami isteri wajib saling cinta-mencintai hormat-
menghormati, setia dan memberi bantuan lahir bathin yang
satu kepada yang lain.

- Pasal 45 (1) Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik


anak-anak mereka sebaik-baiknya.
(2) Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1)
pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat
berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus
meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus.

- Pasal 46 (1) Anak wajib menghormati orang tua dan mentaati


kehendak mereka yang baik.
(2) Jika anak telah dewasa, ia wajib memelihara menurut
kemampuannya, orang tua dan keluarga dalam garis
lurus keatas, bila mereka itu memerlukan bantuannya.

5
✓ Argumentasi:
Pasal-pasal tersebut diatas sejalan dengan kebudayaan bali terutama mengenai
hak dan kewajiban sebagai orang tua dan anak.

B. Pasal-Pasal dalam UU Perkawinan yang Kurang Sejalan/Mencerminkan


Kebudayaan Bali
Adapun pasal-pasal yang menurut penulis kurang sejalan/mencerminkan
kebudayaan Bali dapat penulis rangkum antara lain sebagai berikut:
Pasal Isi Pasal
- Pasal 3 ayat (2) Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami
untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh
fihak-fihak yang bersangkutan.

- Pasal 4 (1) Dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari
seorang, sebagaimana tersebut dalam Pasal 3 ayat (2)
Undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan
permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat
tinggalnya.
(2) Pengadilan dimaksud data ayat (1) pasal ini hanya
memberikan izin kepada seorang suami yang akan
beristeri lebih dari seorang apabila:
a. isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya
sebagai isteri;
b. isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang
tidak dapat disembuhkan;
c. isteri tidak dapat melahirkan keturunan.

- Pasal 5 (1) Untuk dapat mengajukan permohonan kepada


Pengadilan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (1) Undang-undang ini, harus dipenuhi syarat-
syarat sebagai berikut:
a. adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri;
b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin
keperluankeperluan hidup isteri-isteri dan anak-
anak mereka;
c. adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil
terhadap isteriisteri dan anak-anak mereka.
(2) Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal
ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila
isteri/isteri-isterinya tidak mungkin dimintai
persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam
perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari isterinya

6
selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, atau
karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat
penilaian dari Hakim Pengadilan.

✓ Argumentasi:
Pasal-pasal tersebut diatas kurang sejalan dengan kebudayaan Bali oleh karena
dalam kebudayaan Bali sangat menghormati wanita, dan di Bali jarang terjadi
adanya Poligami, jadi pasal-pasal ini kurang mencerminkan kebudayaan Bali.
Pasal Isi Pasal
- Pasal 31 ayat (3) Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga.

✓ Argumentasi:
Pasal ini kurang sesuai karena di Bali juga terdapat sistem nyentana yang dimana
isteri yang menjadi kepala keluarganya, dan juga walaupun tidak nyentana, istri
tidak berarti sebagai ibu rumah tangga, namun bisa bekerja juga.
Pasal Isi Pasal
- Pasal 34 ayat (3) Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya masing-
masing dapat mengajukan gugutan kepada Pengadilan.

✓ Argumentasi:
Pasal ini kurang sejalan dengan kebudayaan bali yang mengedepankan
musyawarah antar keluarga terlebih dahulu sebelum dilakukan gugatan ke
Pengadilan.
Pasal Isi Pasal
- Pasal 55 ayat (1) Asal-usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan
akte kelahiran yang autentik, yang dikeluarkan oleh
Pejabat yang berwenang.

✓ Argumentasi:
Pasal ini kurang sejalan, karena dalam kebudayaan Bali terdapat sistem memeras
secara adat. jadi mengenai status seorang anak tidak hanya dapat
dilihat/berdasarkan dokumen-dokumen sebagaimana disebutkan pasal tersebut.

7
➢ Review Undang-Undang Tentang Desa (Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa) dan Kaitannya Dengan Kebudayaan Bali

A. Pasal-Pasal dalam UU Desa yang Sejalan/Mencerminkan Kebudayaan Bali


Pasal yang menurut penulis sejalan/mencerminkan kebudayaan Bali yakni Pasal 4
UU Desa, adapun penjelasannya sebagai berikut:
Pasal Isi Pasal
- Pasal 4 Pengaturan Desa bertujuan:
a. memberikan pengakuan dan penghormatan atas Desa
yang sudah ada dengan keberagamannya sebelum dan
sesudah terbentuknya Negara Kesatuan Republik
Indonesia;
b. memberikan kejelasan status dan kepastian hukum atas
Desa dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia
demi mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat
Indonesia;
c. melestarikan dan memajukan adat, tradisi, dan budaya
masyarakat Desa;
d. mendorong prakarsa, gerakan, dan partisipasi
masyarakat Desa untuk pengembangan potensi dan
Aset Desa guna kesejahteraan bersama;
e. membentuk Pemerintahan Desa yang profesional,
efisien dan efektif, terbuka, serta bertanggung jawab;
f. meningkatkan pelayanan publik bagi warga masyarakat
Desa guna mempercepat perwujudan kesejahteraan
umum;
g. meningkatkan ketahanan sosial budaya masyarakat
Desa guna mewujudkan masyarakat Desa yang mampu
memelihara kesatuan sosial sebagai bagian dari
ketahanan nasional;
h. memajukan perekonomian masyarakat Desa serta
mengatasi kesenjangan pembangunan nasional; dan
i. memperkuat masyarakat Desa sebagai subjek
pembangunan.

✓ Argumentasi:
Pasal diatas pada pokoknya menyiratkan mengenai tujuan diaturnya Desa dalam
UU Desam yang dimana ketentutan yang disebutkan diatas sesuai dengan
kebudayaan bali yang menjungjung tinggi keharmonisan dan kearifan lokal
berdasarkan Tri Hita Karana.

8
B. Pasal-Pasal dalam UU Desa yang Tidak Sejalan/Mencerminkan Kebudayaan
Bali
Pasal-pasal yang menurut penulis tidak sejalan/mencerminkan kebudayaan Bali
yakni Pasal 6, Pasal 96, Pasal 116 Ayat (2), dan asal 116 Ayat (3), adapun
penjelasannya sebagai berikut:
Pasal Isi Pasal
- Pasal 6 (1) Desa terdiri atas Desa dan Desa Adat.
(2) Penyebutan Desa atau Desa Adat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) disesuaikan dengan
penyebutan yang berlaku di daerah setempat.

- Pasal 96 Pemerintah dan Pemerintah Daerah Provinsi/


Kabupaten/Kota melakukan penataan kesatuan
masyarakat hukum adat dan ditetapkan menjadi Desa
Adat.

- Pasal 116 Ayat (2) Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota menetapkan


(2) dan (3) Peraturan Daerah tentang penetapan Desa dan Desa
Adat di wilayahnya.
(3) Penetapan Desa dan Desa Adat sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) paling lama 1 (satu) tahun
sejak Undang-Undang ini diundangkan.

✓ Argumentasi:
Pasal-Pasal tersebut diatas tidak sejalan dengan kebudayaan bali oleh karena
terdapat ketidakkonsistenan dan ketidakjelasan Pasal 6, Pasal 96, Pasal 116 ayat
(2) dan (3) UU No. 6 tahun 2014 yang pada pokoknya memerintahkan untuk
memilih salah satu jenis desa. Padahal, secara sosiologis di Bali terdapat sistem
pemerintahan desa yang bersifat ganda yang unik, tidak ada duanya di Indonesia
dan terbukti mampu melindungi desa adat (pakraman) dan desa dinas secara
berimbang (harmonis) sejak beradaabad hingga sekarang.5
Pasal 6 ayat (1) menyatakan bahwa “Desa terdiri atas Desa dan Desa Adat”. Ayat
(2): “Penyebutan Desa atau Desa Adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disesuaikan dengan penyebutan yang berlaku di daerah setempat”. Dalam

5
I Gde Parimartha, 2013, Silang Pandang Desa Adat dan Desa Dinas di Bali, Udayana
University Press, Denpasar, hlm. 21.

9
penjelasan Pasal 6 dinyatakan bahwa: “Ketentuan ini mencegah terjadinya
tumpang tindih wilayah, kewenangan, duplikasi kelembagaan antara Desa dan
Desa Adat dalam 1 (satu) wilayah maka dalam 1 (satu) wilayah hanya terdapat
Desa atau Desa Adat. Untuk yang sudah terjadi tumpang tindih Antara Desa dan
Desa Adat dalam 1 (satu) wilayah, harus dipilih salah satu jenis Desa sesuai
dengan ketentuan Undang-Undang ini”.
Eksistensi desa adat di Bali beda dengan desa adat diluar bali karena memiliki
multi dimensi sebagai penjabaran dari ajaran Agama Hindu, merupakan unsur
kebudayaan Bali, bersifat otonom, dibentuk oleh warga desa adat,
menyelenggarakan fungsi pemerintahan komunitas adat dalam konsep Tri Hita
Karana (Dharma Agama). Eksistensi Desa (dinas) sebagai bagian dari struktur
pemerintahan negara, dibentuk pemerintah, menyelenggarakan fungsi
pemerintahan (Dharma Negara). Jadi, Keberadaannya bukan dualisme, tetapi
merupakan dualitas (bersinergi untuk saling mendukung dan menguatkan, bukan
rivalitas) karena mimiliki fungsi masing-masing yang jelas berbeda.6
Hal senada disampaikan Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP) Bali bahwa
Bali sudah satu abad berada dalam titik equilibrium (harmonis) dengan dua desa
yakni Desa Adat (Pakraman dan Desa Dinas, tanpa tumpang tindih karena
tupoksi masing-masing sudah jelas. Desa Adat fokus pada urusan internal (adat),
sedangkan Desa Dinas fokus pada urusan dinas (administrasi). Karena itu,
usulan utama supaya Bali dapat dikhususkan dengan dua desa, sebagaimana
sudah berlangsung dan terbukti berjalan harmonis selama ini.7
Penerapan Pasal 6 UU No. 6 tahun 2014 di Bali mengantarkan pada posisi
“dilema sebuah pilihan” antara desa adat dan desa dinas yang harus didaftarkan
untuk mendapatkan pengakuan sebagai desa adat versi pemerintah sehingga
menjadi subjek hukum.38 Sebagai subjek hukum memiliki implikasi pada

6
Wawancara dengan Bapak Wayan P. Windia, dikutip dalam Mulyanto, Keberlakuan UU
No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa Di Bali Dalam Perspektif Sosiologi Hukum, Penelitian
Pendahuluan Disertasi Program Doktor Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Tahun
2015, Yogyakarta, hlm. 427.
7
Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP) Bali, “Desa Adat dalam UU Desa”, Makalah,
Redite Kliwon, Sungsang, 11 Mei 2014, Bali, hlm. 9

10
kewenangan memperoleh dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN).

11

Anda mungkin juga menyukai