ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
sarana menunjang perkembangan modernisasi dan pembangunan yang
menyeluruh, dilakukan dengan:
a. Meningkatkan dan menyempurnakan pembinaan Hukum Nasional
antara lain dengan mengadakan pembaruan, unifikasi serta unifikasi
hukum di bidang–bidang tertentu dengan jalan memperhatikan
kesadaran hukum masyarakat.
b. Menertibkan fungsi lembaga – lembaga hukum menurut posisinya
masing– masing.
c. Meningkatkan kemampuan dan kewibawaan penegak – penegak
hukum.
Memupuk kesadaran hukum dalam masyarakat dan membina sikap para
penguasa dan para pejabat pemerintah ke arah Penegakkan Hukum,
keadilan serta perlindungan terhadap Harkat dan Martabat Manusia, dan
Ketertiban serta Kepastian Hukum sesuai dengan Undang – Undang
Dasar 1945”.
2
lebih sederhana dan berlegitimasi secara “menyeluruh”, menjadi semangat bangsa
untuk menciptakan pembangunan hukum nasional. Akan tetapi, semangat tersebut
belum menjadi realitas perwujudan cita-cita hingga saat ini. Kehendak politik
hukum masa itu belum dapat terealisasikan, melihat bahwa hukum nasional yang
terkodifikasi di Indonesia saat ini merupakan hukum “warisan” dan merupakan
“gubahan” dari hukum tinggalan Kolonial Belanda. Kondisi ini semakin diperkuat
dengan tidak adanya kejelasan pedoman arah dan tujuan pembangunan hukum
nasional yang menghendaki segera dikodifikasikan serta diunifikasikannya hukum
nasional, di era Reformasi.
3
BAB II
PEMBAHASAN
1
Racmadi Usman, 2003, Perkembangan Hukum Perdata, Pustaka Sinar Harapan,
Jakarta, hlm. 275.
2
Ibid, hlm. 280.
4
penyempurnaan. Maka, kodifikasi dan unifikasi hukum bisa jadi memiliki tujuan
sama, bisa pula berbeda. Sama yakni guna kesatuan hukum bagi kepastian, namun
berbeda jika dilihat dari kodifikasi tidak serta merta menginginkan keseragaman,
sedangkan bisa jadi unifikasi dimaknakan penyeragaman,
Diberlakukannya TAP MPR Nomor IV/MPR/1999 pada tahun 1999,
mengarahkan politik hukum Indonesia berbeda dengan politik hukum
pembangunan hukum nasional pada era sebelumnya (sebagaimana diatur dalam
TAP MPR sebelum tahun 1999). Arah pembangunan hukum nasional berdasarkan
TAP MPR Nomor IV/MPR/1999 sudah tidak mengharuskan adanya
pengkodifikasian maupun unifikasi hukum, melainkan (1) pembentukan sistem
hukum nasional hendaknya bersifat menyeluruh dan terpadu; (2) sistem hukum
nasional yang dibentuk tetap mengakui dan menghormati eksistensi hukum agama
dan hukum adat; (3) melakukan pembaruan terhadap warisan hukum kolonial dan
hukum nasional yang diskriminatif dan tidak sesuai dengan tujuan reformasi.
Kemudian, sebagai pengganti daripada GBHN yang sebelumnya selalu
diatur dalam TAP MPR sebagai arahan pembangunan hukum nasional, para
penyelenggara negara sepakat untuk menetapkan sistem perencanaan
pembangunan nasional melalui Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang
Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) yang didalamnya mengatur
mengenai perencanaan pembangunan jangka panjang (20 tahun), jangka menengah
(5 tahun), dan pembangunan tahunan. Berdasarkan amanat UU SPPN, pengaturan
mengenai rencana pembangunan jangka panjang secara lex spesialis diatur dalam
UndangUndang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Panjang Nasional Tahun 2005-2025.
Dalam lampiran Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025 juga menjelaskan
mengenaiarah pembangunan jangka panjang tahun 2005–2025, salah satunya
adalah reformasi hukum dan birokrasi. Disebutkan bahwa:
“ ….pembangunan hukum dilaksanakan melalui pembaruan materi hukum
dengan tetap memerhatikan kemajemukan tatanan hukum yang berlaku
dan pengaruh globalisasi sebagai upaya untuk meningkatkan kepastian
dan perlindungan hukum, penegakan hukum dan hak-hak asasi manusia
5
(HAM), kesadaran hukum, serta pelayanan hukum yang berintikan
keadilan dan kebenaran, ketertiban dan kesejahteraan dalam rangka
penyelenggaraan negara yang makin tertib, teratur, lancar, serta berdaya
saing global.
Disebutkan pula:
“ Pembangunan hukum diarahkan pada makin terwujudnya sistem hukum
nasional yang mantap bersumber pada Pancasila dan Undang Undang
Dasar Negara Republik Indonesia 1945, yang mencakup pembangunan
materi hukum, struktur hukum termasuk aparat hukum, sarana dan
prasarana hukum; perwujudan masyarakat yang mempunyai kesadaran
dan budaya hukum yang tinggi dalam rangka mewujudkan negara hukum;
serta penciptaan kehidupan masyarakat yang adil dan demokratis.”
6
kebijakan yang diambil sesuai dengan kehendak serta keadaan masyarakat
Nusantara.
Hal ihwal tentang pluralitas ini jelas disadari pula oleh “Founding Father”,
yang kemudian merencanakan untuk membentuk suatu dasar negara yang kuat,
kokoh serta mencerminkan kondisi sosial yang nyata dan sesuai dengan masyarakat
bangsanya. Ia yang dinamakan Pancasila, merupakan dasar negara sekaligus
pandangan hidup bangsa Indonesia yang dijadikan dasar pedoman untuk
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara pada suatu asas kultural yang dimiliki dan
melekat pada bangsa.
Nilai-nilai kenegaraan dan kemasyarakatan yang terkandung dalam silasila
Pancasila bukanlah hanya merupakan suatu hasil konseptual seseorang saja
melainkan merupakan suatu hasil karya besar bangsa Indonesia sendiri, melalui
proses refleksi sosiologis para pendiri negara.3
Rumusan Pancasila yakni tercermin dari kelima sila-nya bersifat hierarkis
dan berbentuk piramidal. Hal ini dimaksud bahwa tiap sila meliputi atau diliputi
serta menjiwai sila yang lain. Dalam kehidupan berbangsa bernegara, termasuk di
dalamnya pembangunan hukum nasional, harus didasarkan pada setiap sila.
Unifikasi hukum nasional harus pula memperhatikan sila-sila Pancasila
1. Berdasarkan sila Pertama Pancasila (Ketuhanan Yang Maha Esa) yang
menjamin keberadaan pluralitas bangsa. Sila Ketuhanan Yang Maha
Esa mengandung nilai bahwa negara yang didirikan adalah sebagai
pengejewantahan tujuan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha
Esa. Oleh karena itu, segala hal yang berkaitan dengan pelaksanaan dan
penyelenggaraan negara bahkan moral negara, moral penyelenggaraan
negara, politik negara, pemerintahan negara, hukum dan peraturan
perundang-undangan negara, kebebasan dan hak asasi warga negara
harus dijiwai nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa.4 (Kaelan, 2010 :
79).
3
Kaelan, 2010, Pendidikan Pancasila, Paradigma, Yogyakarta, hlm. 13.
4
Ibid, hlm. 79.
7
Konsep Ketuhanan Yang Maha Esa, merupakan konsep yang
menunjukkan bahwa negara Indonesia bukanlah negara yang
mendasarkan ideologinya pada agama tertentu. Melihat bahwa kondisi
pluralitas bangsa juga merujuk pada keberagaman agama di Indonesia.
Guna perlindungan terhadap agama-agama yang diijinkan tumbuh di
Indonesia, telah diwadahi dengan ketentuan perundangundangan.
Namun tentunya hal ini menjadi salah satu masalah yang kompleks,
ketika ketentuan hukum agama-agama tertentu, tentunya berpengaruh
pula pada kehidupan tiap umat yang juga merupakan warga negara
Indonesia. Hal ini menjadi pertimbangan untuk membentuk suatu
perundang-undangan nasional sekaligus perundang-undangan yang
dapat mewadahi kepentingan warga negara berkaitan dengan
agamanya. Misalnya saja, ketentuan waris dalam agama Islam, tidak
dapat disamakan dengan ketentuan waris nasional yang berlaku bagi
warga negara Non Islam, begitu pula ketentuan tentang perceraian
sampai dengan Peradilan Agama. Ini menunjukkan bahwa masih ada
permasalahan mendasar ketika harus melakukan unifikasi hukum
dengan tujuan menciptakan kepastian hukum, penyederhanaan dalam
satu kesatuan hukum. Bahkan hal ini didasarkan pada semangat sila
Pertama yang tidak menghendaki adanya pemaksaan suatu hukum
terhadap beragamnya ketentuan agama yang diakui di Indonesia.
2. Berdasarkan sila Kedua Pancasila (Kemanusiaan yang Adil dan
Beradab) yang menjamin keberadaan pluralitas bangsa.
Sila kemanusiaan sebagai dasar fundamental dalam kehidupan
kenegaraan, kebangsaan, dan kemasyarakatan. Nilai-nilai kemanusiaan
ini bersumber pada dasar filosofis antropologis bahwa hakikat manusia
adalah susunan kodrat makhluk pribadi berdiri sendiri dan sebagai
makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Dalam sila kemanusiaan terkandung
nilai-nilai bahwa negara harus menjunjung tinggi harkat dan martabat
manusia sebagai makhluk yang beradab. Oleh karena itu dalam
kehidupan kenegaraan terutama dalam peraturan perundangundnaga
8
negara harus mewujudkan tercapainya tujuan ketinggian harkat dan
martabat manusia, terutama hak-hak kodrat manusia sebagai hak dasar
(hak asasi) yang dijamin dalam peraturan perundang-undangan negara.
Nilai kemanusiaan yang adil mengandung makna bahwa manusia
sebagai makhluk yang berbudaya dan beradab harus adi; dalam
hubungan dengan diri sendiri, manusia lain, masyarakat bangsa dan
negara. Menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia, menghargai atas
kesamaan dan derajat tanpa membedakan suku, ras, keturunan, dan
status sosial maupun agama.5
Penjabaran sila tersebut, sangat mengandung penghormatan terhadap
pluralita bangsa Indonesia. Mengharapkan bahwa setiap peraturan
perundang-undangan negara mewakili penghormatan terhadap
kemanusiaan yang adil bagi seluruh masyarakat tanpa terkecuali, tanpa
dibeda-bedakan.
3. Berdasarkan sila Ketiga Pancasila (Persatuan Indonesia) yang
menjamin keberadaan pluralitas bangsa.
Dalam sila ini terkandung nilai bahwa negara adalah sebagai
penjelmaan sifat kodrat manusia monodualis yaitu sebagai makhluk
individu dan sosial. Negara adalah merupakan suatu persekutuan
berupa suku, ras, kelompok, golongan maupun kelompok agama. Oleh
karena itu perbedaan adalah merupakan bawaan kodrat manusia dan
juga merupakan ciri khas elemen-elemen yang membentuk negara.
Konsekuensinya negara adalah beraneka ragan tetapi satu,
mengikatkan diri dalam suatu persatuan yang dilukiskan dalam suatu
Bhineka Tunggal Ika. Perbedaan bukannya untuk diruncingkan
menjadi konflik dan permusuhan melainkan diarahkan pada suatu
sintesa yang saling menguntungkan yaitu persatuan dalam kehidupan
bersama untuk mewujudkan tujuan bersama.6
5
Darmodiharjo Darji, 1996, Penjabaran Nilai-Nilai Pancasila dalam Sistem Hukum
Indonesia, Rajawali, Jakarta.
6
Kaelan, Op.Cit, hlm 81.
9
Pluralitas diwadahi penuh dalam sila ini, sila kebhinekaan tunggal ika.
Mempersatukan bangsa meskipun kemajemukan beragam dan tak
dapat dihindarkan. Dengan memaksakan bingkai-bingkai kesatuan
politik kenegaraan bersatu dalam konteks, dengan memanifestasikan
semangat nasionalisme kesatuan dalam perkembangan politik, jelas ini
justru tidak sesuai dengan prisip Persatuan sebagaimana diusung oleh
sila ke-empat Pancasila ini. Kesatuan tidak dapat disamakan dengan
prinsip Persatuan.
Memaksakan setiap perbedaan dalam satu kesatuan, dirasa bukan hal
yang tepat melihat kondisi keberagaman masyarakat Indonesia
memang harus diwadahi dengan ketentuan yang sesuai dengan kondisi
masing-masing melihat dari penghormatan terhadap SARA.
Bentuk unifikasi yang mengarah pula pada kesatuan hukum, menjadi
dasar-dasa pertimbangan unifikasi hukum nasional ini diberlakukan,
melihat isi yuridis ketentuan Sila ke-empat Pancasila ini.
4. Alasan berdasarkan sila Keempat Pancasila (Kerakyatan yang
Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan
Perwakilan) yang menjamin keberadaan pluralitas bangsa.
Sila ini mengandung makna bahwa hakikat negara sebagai penjelmaan
sifat kodrat manusia monodualis. Hakikat rakyat adalah merupakan
sekelompok manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa yang
bersatu dalam suatu wilayah negara. Rakyat adalah merupakan subjek
pendukung pokok negara, sedangkan negara adalah dari, oleh, dan
untuk rakyat. Sehingga dalam sila kerakyatan terkandun nilai
demokrasi yang secara mutlak harus dilaksanakan dalam hidup
bernegara.7
Demokrasi yang merupakan pemerintahan dari oleh dan untuk rakyat
ini, tidak hanya diperuntukkan bagi sebagian golongan rakyat saja.
Mewakili kepentingan rakyat Indonesia, berarti mewakili seluruh
7
Kaelan, Op.Cit, hlm. 82.
10
kepentingan masyarakat dari Sabang sampai Merauke. Menyatukan
hukum nasional dalam satu kesatuan, dirasa dapat mencederai
kehendak masyarakat yang beragam.
5. Alasan berdasarkan sila Kelima Pancasila (Keadilan Sosial bagi
Seluruh Rakyat Indonesia) yang menjamin keberadaan pluralitas
bangsa.
Dalam sila kelima terkandung nilai-nilai yang merupakan tujuan
negara sebagai tujuan hidup bersama. Maka dalam sila kelima tersebut
terkandung nilai keadilan yang harus terwujud dalam kehidupan
bersama (keadilan sosial). Keadilan tersebut didasari dan dijiwai oleh
hakikat keadilan kemanusiaan yaitu keadilan dalam hubungan manusia
dengan masyarakat, bangsa dan negaranya serta hubungan manusia
dengan Tuhannya.
Konsekuensinya nilai-nilai keadilan yang harus terwujud dalam hidup
bersama adalah meliputi (1) keadilan distributif, yaitu suatu hubungan
keadilan antara negara terhadap warganya, dalam arti pihak negaralah
yang wajib memenuhi keadilan dalam bentuk keadilan membagi,
dalam bentuk kesejahteraan. (2) keadilan legal (keadilan bertaat),
dalam masalah ini pihak wargalah yang wajib memenuhi keadilan
dalam bentuk menaati peraturan perundang-undangan yang berlaku
dalam negara. (3) keadilan komutatif, yaitu suatu hubungan keadilan
antara warga negara secara timbal balik. Nilai-nilai keadilan tersebut
haruslah merupakan suatu dasar yang harus diwujudkan dalam hidup
bersama untuk mewujudkan tujuan negara.8
Keadilan sosial yang dimaksud dalam sila ini, jelas mengarahkan baik
negara maupun warga negaranya menghormati rasa adil bagi seluruh
rakyat Indonesia, bukan golongan tertentu. Adanya unifikasi hukum
disinyalir justru akan menyatukan kesatuan hukum tanpa memandang
keadilan sosial masyarakat Indonesia yang pluralis.
8
Kaelan, Op.Cit, hlm. 83.
11
Melihat Pancasila sebagai “groundnorm”, norma dasar yuridis ketentuan
perundang-undangan Indonesia, justru sarat menjunjung tinggi nilai pluralitas,
sebagaimana yang terkandung dari tiap makna sila-sila yang dimilikinya, menjadi
rujukan bagi penulis untuk menjadikan Pancasila sebagai alasan yuridis penyebab
negara republik Indonesia sampai dengan saat ini belum memiliki Hukum Nasional
yang terunifikasi. Selain itu, penulis juga merujuk pada tinjauan yuridis Pasal II
Aturan Peralihan yang kemudian diamandemen menjadi Pasal I Aturan Peralihan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sebagai alasan
yuridis tambahan. Dengan bunyi pasal “Segala peraturan perundang-undangan
yang ada masih tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-
Undang Dasar ini”, menunjukkan bahwa segala ketentuan hukum masa kolonial
yang ada sebelum diadakan yang baru akan tetap berlaku. Hal ini kemudian justru
dimaknai tidak hanya mengisi kekosongan hukum semata, namun justru
memperlambat pembangunan hukum nasional, sehingga masih saja berpedoman
hukum pada ketentuan hukum masa kolonial yang justru kurang progresif dan
dinamis, menyesuaikan kondisi Indonesia saat ini.
9
Soetandyo W. 2006. “Masalah Pluralisme dalam Pemikiran dan Kebijakan
Perkembangan Hukum Nasional”. (Makalah). Disampaikan pada Acara Seminar Nasional
Pluralisme Hukum : Perkembangan di Beberapa Negara, Sejarah Pemikirannya dan Pergulatan
dalam Gerakan Pembaharuan Hukum, pada tanggal 21 November 2006 di Universitas Al Azhar,
Jakarta.
12
untuk memadukan antara hukum unifikasi B.W dan W.v.K dengan hukum yang
tumbuh di masyarakat.
Keinginan untuk mengkodifikasi maupun unifikasi hukum nasional di
Indonesia, senyatanya merupakan keinginan politik guna mencipatakan keberadaan
hukum yang matang, serta menciptakan suatu kepastian hukum. Akan tetapi,
melihat pembahasan sebelumnya, proses kodifikasi dan unifikasi hukum ini harus
dilakukan dengan sangat hati-hati dengan memperhatikan konsep kebhinekaan dan
apa yang diusung oleh Pancasila.
Terkhusus mengenai unifikasi hukum, tentunya harus memperhatikan
kemajemukan masyarakat termasuk di dalamnya adalah budaya. Berdasarkan apa
yang ditulis oleh Rachmadi (2003 : 252-253):10
Dalam upaya pembinaan hukum nasional adalah untuk menemukan dasar,
sifat, bentuk dan asas-asas hukum nasional. Unifikasi hukum merupakan
sifat dari hukum nasional yang ingin diwujudkan, sedangkan kodifikasi
berkaitan dengan bentuk dari hukum nasional tersebut. Hal ini berarti
kodifikasi hukum nasional bukanlah sekaligus unifikasi hukum nasional di
dalamnya. Karena ada beberapa sistem hukum yang mempunyai struktur
sosialnya sendiri yang tentunya menggambarkan corak masyarakat yang
bersangkutan, keragaman struktur masyarakat yang bersangkutan yang
terlihat dalam region, religius dan custom yang majemuk, sehingga usaha
unifikasi tidak mudah untuk dilaksanakan. Begitu juga dalam usaha
kodifikasi hukum yang berusaha menghimpun segala ketentuan dalam
suatu kitab undang-undang secara sistematis, lugas, tuntas dan lengkap,
tentu tidak mudah untuk diwujudkan. Mengingat keterbatasan
kemampuan, tenaga, dana, dan waktu, sementara itu kebutuhan hukum
dan perkembangan masyarakat demikian cepat sehingga perlu adanya
kebijakan politik dan program untuk mencapai cita-cita hukum nasional.
10
Racmadi Usman, 2003, Perkembangan Hukum Perdata, Pustaka Sinar Harapan,
Jakarta, hlm. 252-253.
13
terkesan tidak hendak diteruskan pada zaman kemerdekaan. Cita-cita nasional
untuk "menyatukan" Indonesia sebagai satu kesatuan politik dan pemerintahan
telah berkecenderungan untuk mengabaikan fakta kemajemukan hukum rakyat
yang berformat lokal. Alih-alih, yang menguat adalah justru kebijakan kodifikasi
dan unifikasi, dengan efek akan digantikannya hukum rakyat yang beragam itu
dengan hukum nasional yang satu, yang berlaku dari Sabang sampai ke Merauke,
dari Pulau Miangas sampai ke Pulau Rote.11
Kodifikasi dan unifikasi seperti inilah yang tidak dikehendaki, kebijakan
hukum nasional dihadapkan dengan tantangan untuk melakukan kodifikasi dan
unifikasi hukum nasional dengan batasan tetap menyadari pluralitas masyarakat
Indonesia. Peranan politik hukum dalam hal ini sangat dibutuhkan. Politik hukum
sangat memiliki peranan untuk menentukan arah bagaimana aparat yang berwenang
dalam membentuk suatu produk hukum.
Peranan politik hukum suatu negara sangat diharapkan dalam rangka
pembangunan hukum nasional untuk membentuk sistem hukum ideal. Sistem
hukum yang demikian adalah tatanan hukum yang dapat menjamin tercapainya cita
– cita bangsa Indonesia sebagaimana termaktub dalam Pembukaan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu:
“ melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.”
11
Ibid, hlm. 4.
12
Artijo Alkotsar, 1997, Identitas Hukum Nasional, Fak. Hukum UII, Yogyakarta, hlm.
216.
14
memang kebijakan kodifikasi ini dirasa perlu, politik hukum hendaknya menganut
prinsip terbuka dan prinsip kodifikasi parsial.
Kodifikasi maupun unifikasi yang terbuka, kurang lebih dapat
mencerminkan penerapan ideologi bangsa Pancasila yang juga terbuka dalam
mengakomodir dinamika perkembangan masyarakat secara global.
Kodifikasi maupun unifikasi yang terbuka, dapat memungkinkan adanya
pembentukan peraturan hukum baru dengan melihat dinamisasi perkembangan dan
pembangunan hukum nasional.
15
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan diatas, adapun kesimpulan dalam paper ini
yakni sebagai berikut:
1. Perkembangan politik hukum dalam rangka pembangunan hukum
nasional mengarah dari Era Orde Lama yang menghendaki adanya
kodifikasi dan unifikasi hukum, kemudian justru bergeser di era reformasi
dengan lebih menghargai kemajemukan tatanan hukum. Tidak
terlaksananya kodifikasi dan unifikasi hukum nasional ini juga diterangai
pada semangat pluralitas yang dibawa oleh Grundnorm, yakni Pancasila,
yang tidak menghendaki adanya “kesatuan” di tengah persatuan bangsa
yang kebhinekaan. Pisau analisis juga didasarkan pada Pasal 1 Aturan
Peralihan UUD NRI 1945 yang masih memberlakukan aturan hukum yang
terdahulu.
2. Peranan politik hukum menjadi sangat penting dalam rangka kodifikasi
dan unifikasi hukum nasional. Pemahaman pemerintah penyelenggara
negara terhadap kondisi masyarakat dan pembangunan hukum nasional
harus diselaraskan, sehingga apabila terlaksana, kodifikasi dan unifikasi
hukum nasional diarahkan pada kodifikasi dan unifikasi terbuka, yang
masih memberi peluang terhadap kemajemukan tatanan hukum dalam
masyarakat plural.
3.2. Saran
Segera dilaksanakan pembangunan hukum nasional dengan menyusun
hukum baru dan menghapus hukum warisan kolonial, sebab hukum warisan
kolonial tidaklah mendasarkan pada Pancasila sebagai sumber dari segala sumber
hukum. Dalam hal kodifikasi dan unifikasi, perlu dirumuskan suatu sistem yang
terbuka dalam penyusunannya, menyesuaikan kemajemukan tatanan hukum dalam
masyarakat Indonesia yang berbhineka. Hal ini supaya tidak hanya kepastian saja
16
sebagai salah satu tujuan hukum yang dapat tercapai, namun juga keadilan serta
kemanfaatan bagi masyarakat juga terpenuhi.
17
DAFTAR PUSTAKA
Artijo Alkotsar, 1997, Identitas Hukum Nasional, Fak. Hukum UII, Yogyakarta.
18