Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH

MATA KULIAH XXXXXXXXXXXXXXXXXXXX

JUDUL

SEJARAH DAN KODIFIKASI HUKUM PERDATA DALAM


PEMBANGUNAN HUKUM NASIONAL

HALAMAN JUDUL

DOSEN:

XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX.

XXXXXXXXXXXX
NIM: XXXXXXXXXXXXXXXXX

PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS 17 AGUSTUS SURABAYA

2021
ii

DAFTAR ISI

HAL
HALAMAN JUDUL i
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar belakang 1
B. Rumusan Masalah 3
C. Tujuan Penulisan 4
D. Manfaat Penulisan 4
BAB II LANDASAN TEORI 5
A. Pembangunan Hukum Nasional 5
B. Pembaharuan Hukum Perdata 9
BAB III SEJARAH DAN KODIFIKASI HUKUM PERDATA DALAM
PEMBANGUNAN HUKUM NASIONAL 11
A. Sejarah dan Perkembangan Hukum Perdata yang berlaku di
Indonesia 11
B. Kodifikasi Hukum Perdata Dalam Pembangunan Hukum
Nasional 16
BAB III PENUTUP 22
A. Kesimpulan 22
B. Saran 23
DAFTAR PUSTAKA 24

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Indonesia merupakan negara yang mempunyai tingkat heterogenitas
sangat tinggi dalam keberagaman, baik dari suku, etnis, adat istiadat dan
agama. Keanekaragaman itu juga mengakibatkan adanya pluralitas dalam
bidang hukum perdata, dimana ada beberapa aturan dalam bidang hukum
perdata yang mengatur kehidupan masyarakat dalam lapangan perdata, hal ini
sebagai suatu realitas yang harus dihadapi secara realistik. Suasana pluralisme
hukum perdata yang berlaku pada masa kolonial masih tetap diwarisi oleh
bangsa Indonesia sampai sekarang ini. Ditinjau dari segi keadaan pluralisme,
hukum perdata di Indonesia belum mengalami perubahan ke arah yang bersifat
unifikasi yang berlaku bagi seluruh masyarakat Indonesia yang berlaku secara
nasional.1

Corak hukum perdata yang diterapkan masih tetap berpegang pada


prinsip pluralistik yang terdiri dari sistem hukum perdata Eropa yang diatur
dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, sistem hukum perdata adat dan
sistem hukum perdata Islam. Ketiga sistem hukum perdata yang bercorak
pluralistik tersebut, sampai sekarang ternyata masih tetap bertahan dan
diterapkan secara formal oleh badan peradilan dalam putusan-putusan yang
dihasilkan. Sehingga upaya untuk kodifikasi dan unifikasi hukum perdata yang
berlaku bagi seluruh masyarakat Indonesia secara nasional mengalami
hambatan, sebagai salah satu akibat dari pluralisme hukum perdata yang secara
kenyataan terjadi di dalam masyarakat saat ini.2

Burgelijk Wetboek atau dalam bahasa Indonesia lebih dikenal dengan


KUH Perdata menurut sejarah adalah berasal dari Belanda yang diberlakukan
di Indonesia berdasarkan azas konkordansi. Walaupun pada awalnya
diberlakukan bagi orang keturunan Belanda (termasuk di dalamnya orang

1
Muhammad Noor, “Unifikasi Hukum Perdata Dalam Pluralitas Sistem Hukum
Indonesia”, MAZAHIB : Vol. XIII, No. 2, Desember 2014, HLM. 115
2
ibid

1
2

Eropa dan Jepang), namun setelah Indonesia merdeka ternyata masyarakat


Indonesia tetap mempergunakannya dalam memecahkan masalah-masalah
perdata. KUH Perdata (BW) yang dibuat pada awal abad 18 dan diberlakukan
di Indonesia pada abad 19 ternyata ada beberapa yang sudah ketinggalan jaman
atau dengan kata lain sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dalam
masyarakat. Dengan demikian diharapkan badan legislatif berupaya
semaksimal mungkin menciptakan hukum perdata nasional atau kalau memang
belum mampu mencipta undang-undang pengganti BW.

Burgelijk Wetboek (KUH Perdata) yang berlaku di Indonesia berdasarkan


asas konkordansi dalam kenyataannya terdapat beberapa hal yang tidak sesuai
nilai-nilai ataupun dengan perkembangan masyarakat. Karenanya hakim
nantinya dalam menafsirkan pasal-pasal yang terdapat dalam BW tersebut
harus mengedepankan keadilan. Selanjutnya dengan harapan semoga badan
legislatif mampu membuat hukum perdata nasional yang mampu diterima oleh
semua kalangan masyarakat, dimana belanda sendiri sudah melakukan
modernisasi terhadap Burgelijk Wetboek lamanya. Namun dalam
pembangunan Hukum yang akan datang diharapkan tidak melupakan sejarah,
artinya asas-asas yang sudah sesuai tidak perlu dibuang, adanya Undang-
undang tentang Fidusia, Undang-undang Perkawinan yang baru, atau undang-
undang tentang Pengelolaan Sumber Daya Alam dan banyak lainnya yang
mengatur masalah perdata maka peran dari KUH Perdata (BW) makin bisa
dikurangi yang pada akhirnya akan hanya menjadi naskah akademik bukan lagi
sebagai sebuah Undang-undang yang harus ditaati oleh rakyat Indonesia

Bentuk perdata yang berlaku jika dilihat dari kenyataan yang ada, maka
sebenarnya hukum perdata di Indonesia terdiri dari: Pertama, hukum perdata
adat yaitu ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur hubungan antar individu
dalam masyarakat adat yang berkaitan dengan kepentingan perseorangan.
Masyarakat yang dimaksud di sini adalah kelompok sosial bangsa Indonesia.
Ketentuan-ketentuan hukum perdata adat ini pada umumnya tidak tertulis dan
berlaku secara turun menurun dalam kehidupan masyarakat adat. Kedua,
3

hukum perdata Eropa yaitu ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur


hubungan hukum yang menyangkut mengenai kepentingan orangorang Eropa
dan orang-orang yang diberlakukan ketentuan itu. Ketiga, bagian hukum
perdata yang bersifat nasional yaitu bidang-bidang hukum perdata sebagai hasil
produk nasional. Bagian hukum perdata nasional yang dibuat itu misalnya
hukum perkawinan yang tertuang dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
dan Hukum Agraria yang tertuang dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun
1960.3

Dalam rangka pembangunan hukum nasional perlu upaya pembaharuan


hukum yang terarah dan terpadu, antara lain dalam bentuk kodifikasi dan
unifikasi bidang-bidang hukum tertentu. Dalam penyusunan perundang-
undangan baru yang sangat dibutuhkan untuk dapat mendukung pembangunan
di berbagai bidang sesuai dengan tuntutan pembangunan, serta tingkat
kesadaran hukum dan dinamika yang berkembang dalam masyarakat. Sehingga
upaya untuk kodifikasi dan unifikasi hukum perdata yang berlaku bagi seluruh
masyarakat Indonesia secara nasional mengalami hambatan, sebagai salah satu
akibat dari pluralisme hukum perdata yang secara kenyataan terjadi di dalam
masyarakat saat ini.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian diatas beberapa rumusan yang dapat diajukan


diantaranya sebagai berikut:
1. Bagaimana Sejarah dan Perkembangan Hukum Perdata yang berlaku
di Indonesia?
2. Bagaimana Kodifikasi Hukum Perdata Dalam Pembangunan Hukum
Nasional?

3
Kartini Muljadi, Perikatan pada Umumnya, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003),
hlm. 2
4

C. Tujuan Penulisan

Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka beberapa tujuan penulisan


diantaranya sebagai berikut:
1. Untuk menganalisa dan mendeskripsikan tentang Sejarah dan
Perkembangan Hukum Perdata yang berlaku di Indonesia?
2. Untuk menganalisa dan mendeskripsikan tentang Kodifikasi
Hukum Perdata Dalam Pembangunan Hukum Nasional

D. Manfaat Penulisan

1. Manfaat Teoritis
Penulisan ini diharapkan dapat memberikan manfaat pengembangan
ilmu hukum, khususnya dalam pengkajian Sejarah dan Perkembangan
Hukum Perdata yang berlaku di Indonesia dan menganalisa tentang
Kodifikasi Hukum Perdata Dalam Pembangunan Hukum Nasional.
2. Manfaat Praktis
Secara praktis bermanfaat bagi penegak hukum untuk membuka atau
memperbaharui paradigma yang legalistik formal kearah hukum yang
progresif dan responsif melalui penerapan asas-asas hukum yang tentunya
mampu mengakomodir nilai keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum.
Bermanfaat juga bagi masyarakat untuk mencapai rasa keadilan masyarakat,
khususnya dalam Sejarah dan Perkembangan Hukum Perdata yang berlaku
di Indonesia dan menganalisa tentang Kodifikasi Hukum Perdata Dalam
Pembangunan Hukum Nasional.
BAB II
LANDASAN TEORI

A. Pembangunan Hukum Nasional

Salah satu teori hukum yang banyak mengundang atensi dari para pakar
dan masyarakat adalah mengenai Teori Hukum Pembangunan dari Mochtar
Kusumaatmaja. Ada beberapa argumentasi krusial mengapa Teori Hukum
Pembangunan tersebut banyak mengundang banyak atensi, yang apabila
dijabarkan aspek tersebut secara global adalah sebagai berikut:4
Pertama, Teori Hukum Pembangunan sampai saat ini adalah teori hukum
yang eksis di Indonesia karena diciptakan oleh orang Indonesia dengan melihat
dimensi dan kultur masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, dengan tolok ukur
dimensi teori hukum pembangunan tersebut lahir, tumbuh dan berkembang
sesuai dengan kondisi Indonesia maka hakikatnya jikalau diterapkan dalam
aplikasinya akan sesuai dengan kondisi dan situasi masyarakat Indonesia yang
pluralistik.5
Kedua, secara dimensional maka Teori Hukum Pembangunan memakai
kerangka acuan pada pandangan hidup (way of live) masyarakat serta bangsa
Indonesia berdasarkan asas Pancasila yang bersifat kekeluargaan maka
terhadap norma, asas, lembaga dan kaidah yang terdapat dalam Teori Hukum
Pembangunan tersebut relatif sudah merupakan dimensi yang meliputi
structure (struktur), culture (kultur) dan substance (substansi) sebagaimana
dikatakan oleh Lawrence W. Friedman6.
Ketiga, pada dasarnya Teori Hukum Pembangunan memberikan dasar
fungsi hukum sebagai “sarana pembaharuan masyarakat”7 (law as a tool social
4
Lilik Mulyadi, “Teori Hukum Pembangunan Prof. DR. Mochtar Kusumaatmadja, S.H.,
LL.M.” Artikel, Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung, hlm. 1 diakses dari
https://badilum.mahkamahagung.go.id/upload_file/img/article/doc/kajian_deskriptif_analitis_te
ori_hukum_pembangunan.pdf
5
Ibid
6
Lawrence W. Friedman, American Law: An invaluable guide to the many faces of the
law, and how it affects our daily our daily lives, W.W. Norton & Company, New York, 1984,
hlm. 1-8.
7
Lihat Romli Atmasasmita, Menata Kembali Masa Depan Pembangunan Hukum
Nasional, Makalah disampaikan dalam “Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII” di
Denpasar, 14-18 Juli 2003, hlm. 7.

5
6

engeneering) dan hukum sebagai suatu sistem sangat diperlukan bagi bangsa
Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang.8
Dikaji dari perspektif sejarahnya maka sekitar tahun tujuh puluhan lahir
Teori Hukum Pembangunan dan elaborasinya bukanlah dimaksudkan
penggagasnya sebagai sebuah “teori” melainkan “konsep” pembinaan hukum
yang dimodifikasi dan diadaptasi dari teori Roscoe Pound “Law as a tool of
social engineering” yang berkembang di Amerika Serikat. Apabila dijabarkan
lebih lanjut maka secara teoritis Teori Hukum Pembangunan dari Prof. Dr.
Mochtar Kusumaatmadja, S.H., LL.M. dipengaruhi cara berpikir dari Herold
D. Laswell dan Myres S. Mc Dougal (Policy Approach) ditambah dengan teori
Hukum dari Roscoe Pound (minus konsepsi mekanisnya). Mochtar mengolah
semua masukan tersebut dan menyesuaikannya pada kondisi Indonesia.9
Tujuan pragmatis (demi pembangunan) sebagaimana masukan dari
Roescoe Pound dan Eugen Ehrlich dimana terlihat korelasi antara pernyataan
Laswell dan Mc Dougal bahwa kerja sama antara penstudi hukum dan
pengemban hukum praktis itu idealnya mampu melahirkan teori hukum (theory
about law), teori yang mempunyai dimensi pragmatis atau kegunaan praktis.
Mochtar Kusumaatmadja secara cemerlang mengubah pengertian hukum
sebagai alat (tool) menjadi hukum sebagai sarana (instrument) untuk
membangunan masyarakat. Pokok-pokok pikiran yang melandasi konsep
tersebut adalah bahwa ketertiban dan keteraturan dalam usaha pembangunan
dan pembaharuan memang diinginkan, bahkan mutlak perlu, dan bahwa hukum
dalam arti norma diharapkan dapat mengarahkan kegiatan manusia kearah
yang dikehendaki oleh pembangunan dan pembaharuan itu.
Oleh karena itu, maka diperlukan sarana berupa peraturan hukum yang
berbentuk tidak tertulis itu harus sesuai dengan hukum yang hidup dalam
masyarakat. Lebih jauh, Mochtar berpendapat bahwa pengertian hukum
sebagai sarana lebih luas dari hukum sebagai alat karena:10
8
Lili Rasjidi dan Ida Bagus Wiyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Penerbit: CV.
Mandar Maju, Bandung, 2003, hlm. 5
9
Shidarta, Karakteristik Penalaran Hukum Dalam Konteks Ke-Indonesiaan,Penerbit CV
Utomo, Jakarta, 2006, hlm. 411
1010
Ibid, hlm. 415
7

1) Di Indonesia peranan perundang-undangan dalam proses


pembaharuan hukum lebih menonjol, misalnya jika dibandingkan
dengan Amerika Serikat yang menempatkan yurisprudensi
(khususnya putusan the Supreme Court) pada tempat lebih penting.
2) Konsep hukkum sebagai “alat” akan mengakibatkan hasil yang tidak
jauh berbeda dengan penerapan “legisme” sebagaimana pernah
diadakan pada zaman Hindia Belanda, dan di Indonesia ada sikap
yang menunjukkan kepekaan masyarakat untuk menolak penerapan
konsep seperti itu.
3) Apabila “hukum” di sini termasuk juga hukum internasional, maka
konsep hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat sudah
diterapkan jauh sebelum konsep ini diterima secara resmi sebagai
landasan kebijakan hukum nasional.
Dalam perkembangan berikutnya, konsep hukum pembangunan ini
akhirnya diberi nama oleh para murid-muridnya dengan "Teori Hukum
Pembangunan"11 atau lebih dikenal dengan Madzhab UNPAD. Ada 2 (dua)
aspek yang melatarbelakangi kemunculan teori hukum ini, yaitu: Pertama, ada
asumsi bahwa hukum tidak dapat berperan bahkan menghambat perubahan
masyarakat. Kedua, dalam kenyataan di masyarakat Indonesia telah terjadi
perubahan alam pemikiran masyarakat ke arah hukum modern. 12 Mochtar
Kusumaatmadja mengemukakan tujuan pokok hukum bila direduksi pada satu
hal saja adalah ketertiban yang menjadi syarat bagi masyarakat yang teratur.13
Tujuan lain hukum adalah tercapainya keadilan yang berbeda-beda isi
dan ukurannya, menurut masyarakat dan jamannya. Selanjutnya untuk
mencapai ketertiban diusahakan adanya kepastian hukum dalam pergaulan
manusia di masyarakat, karena tidak mungkin manusia dapat mengembangkan
bakat dan kemampuan yang diberikan Tuhan kepadanya secara optimal tanpa

11
Lili Rasjidi dan IB. Wyasa Putra, Hukum Sebagai …..Op. Cit, hlm. 182
12
Otje Salman dan Eddy Damian (ed), Konsep-Konsep Hukum dalam Pembangunan
dari Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja,S.H.,LL.M., Penerbit PT.Alumni, Bandung, 2002, hlm.
V.
13
Mochtar Kusumaatmadja, Hukum, Masyarakat, dan Pembinaan Hukum Nasional,
Penerbit Binacipta, Bandung, 1995, hlm. 13
8

adanya kepastian hukum dan ketertiban. Fungsi hukum dalam masyarakat


Indonesia yang sedang membangun tidak cukup untuk menjamin kepastian dan
ketertiban.14
Aksentuasi tolok ukur konteks di atas menunjukkan ada 2 (dua) dimensi
sebagai inti Teori Hukum Pembangunan yang diciptakan oleh Mochtar
Kusumaatmadja, yaitu:15
1) Ketertiban atau keteraturan dalam rangka pembaharuan atau
pembangunan merupakan sesuatu yang diinginkan, bahkan dipandang
mutlak adanya;
2) Hukum dalam arti kaidah atau peraturan hukum memang dapat
berfungsi sebagai alat pengatur atau sarana pembangunan dalam arti
penyalur arah kegiatan manusia yang dikehendaki ke arah
pembaharuan.
Apabila diuraikan secara lebih intens, detail dan terperinci maka alur
pemikiran di atas sejalan dengan asumsi Sjachran Basah yang menyatakan
“fungsi hukum yang diharapkan selain dalam fungsinya yang klasik, juga dapat
berfungsi sebagai pengarah dalam membangun untuk membentuk masyarakat
yang hendak dicapai sesuai dengan tujuan kehidupan bernegara”.16

B. Pembaharuan Hukum Perdata

Yang akan dibahas dalam makalah ini adalah hukum Perdata Eropa atau
disebut dengan Burgelijk Wetboek (BW) yang kalau diterjemahkan ke dalam
Bahasa Indonesia lazim disebut dengan Kitab Undang-undang Hukum Perdata
(selanjutnya disebut KUH Perdata) Dengan diundangkannya KUH Perdata dan
Kitab Undangundang Hukum Dagang pada tahun 1847 untuk golongan Eropa
14
Ibid
15
Lilik Mulyadi, “Teori Hukum Pembangunan Prof. DR. Mochtar Kusumaatmadja,
S.H., LL.M.” Artikel, Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung, hlm. 1 diakses dari
https://badilum.mahkamahagung.go.id/upload_file/img/article/doc/kajian_deskriptif_analitis_te
ori_hukum_pembangunan.pdf
16
Sjachran Basah, Perlindungan Hukum Terhadap Sikap Tindak Administrasi Negara,
Penerbit Alumni, Bandung, 1992, hlm. 13
9

di Hindia Belanda, maka tugas-tugas kerja yang bersangkut paut dengan upaya
kodifikasi yang diprakarsai dan ditata oleh eksponeneksponen bewuste
rechtspolitiek untuk mengukuhkan supremasi hukum di Hindia Belanda.17
Alasan diterapkannya KUH Perdata di Hindia Belanda antara lain di
sebutkan oleh Cowan yaitu: Pertama, hukum adat yang tak tertulis akan
menimbulkan ketidakpastian hokum, dan apabila orang cuman bersandar pada
hukum adat maka sulit untuk memperkirakan apa yang boleh dijangka akan
diputus oleh hakim. Kedua, penerapan berbagai hukum untuk berbagai ragam
golongan-golongan penduduk akan melahirkan situasi yang membingungkan
dan kritis.18
Sudah dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan hukum perdata adalah
rangkaian peraturan yang mengatur hubungan antara warga negara
perseorangan dengan warga negara perseorangan yang lain. Sedangkan hukum
perdata tertulis yang dimaksud dalam makalah ini adalah hukum perdata yang
diatur di dalam KUH Perdata (Burgelijk Wetboek). Sejak awal kemerdekaan
sudah ada usaha untuk mengantikan seluruh hukum kolonial dengan sistem
hukum nasional, namun kegagalan karena adanya perbedaan pandangan dalam
melihat pembangunan hukum, yaitu apakah harus mengunakan hukum nasional
dan membuang sama sekali hukum sisa peninggalan kolonial, di lain pihak
masih banyak yang menghendaki berlaku bersama-sama, selain itu ada
pandangan untuk mengunakan hukum adat sebagai hukum nasional.19
Walaupun KUH Perdata di atas pada awalnya (sebelum negara Indonesia
merdeka) dinyatakan berlaku bagi orang Belanda, namun kenyataannya sampai
sekarang masyarakat Indonesia tetap menggunakan KUH Perdata sebagai salah
satu hukum yang akan menentukan dalam pergaulan masyarakat. Apalagi
sampai saat ini lembaga legislatif kita belum mampu membuat hukum perdata
yang sudah terkodifikasi dan berlaku secara unifikasi.20 Tetapi untuk Indonesia
17
Soetandjo Wingjosoebroto, Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional, (Jakarta:
Rajawali Press, 1995), hlm.56
18
Erie Hariyanto, “BURGELIJK WETBOEK (Menelusuri Sejarah Hukum
Pemberlakuannya di Indonesia)”, Al-Ihkam Vol .IV No. 1 Juni 2009, hlm. 143
19
Ibid
20
Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, cet. XXVII, (Jakarta: Intermasa,1995), hlm.
10
10

mutlak diperlukan undang-undang baru yang khusus mengatur hukum kontrak,


baik yang khusus, maupun yang merupakan bagian dari undang-undang hukum
perdata.21
upaya unifikasi dalam pembaharuan hukum perdata di Indonesia karena
hukum perdata Indonesia merupakan produk warisan kolonial sehingga tidak
sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia. Dan sudah seharusnya diganti
dengan produk hukum perdata yang mencerminkan nilai-nilai dalam
masyarakat Indonesia. Sehingga hukum perdata yang berlaku saat ini tidak
sesuai lagi dengan dinamika perkembangan masyarakat Indonesia yang
mengalami perkembangan yang sangat cepat dan banyak aturan-aturan hukum
perdata itu yang tidak sesuai lagi dengan kondisi saat ini. Jadi hukum perdata
dalam BW semestinya hanya merupakan hukum transisi atau hukum peralihan
saja untuk menuju kepada Hukum Nasional Indonesia, agar tidak terjadi
kevakuman hukum dalam kehidupan masyarakat Indonesia.22

21
Ahmadi Miru, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, (Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2007), hlm.4
22
Muhammad Noor, “Unifikasi Hukum Perdata Dalam Pluralitas Sistem Hukum
Indonesia”, MAZAHIB : Vol. XIII, No. 2, Desember 2014, hlm. 118.
BAB III
SEJARAH DAN KODIFIKASI HUKUM PERDATA DALAM
PEMBANGUNAN HUKUM NASIONAL

A. Sejarah dan Perkembangan Hukum Perdata yang berlaku di Indonesia

Hukum perdata semula berasal dari bangsa Romawi yaitu lebih kurang
50 SM pada masa pemerintahan Yulius Caesar berkuasa di Eropah Barat yang
sejak waktu itu hukum Romawi diberlakukan di Perancis walaupun bercampur
dengan hukum asli yang sudah ada sebelum orang Romawi menguasai Galis
(Perancis). Keadaan seperti ini terus berlangsung sampai pada masa
pemerintahan Louis XV yaitu dengan diawalinya usaha kearah adanya
kesatuan hukum yang kemudian menghasilkan suatu kodifikasi yang diberi
nama “Code Civil Des Francois” pada 21 Maret 1804 yang kemudian pada
1807 diundangkan kembali menjadi “Code Napoleon”.23
Kodifikasi ini sangat berbau Romawi tetapi para penyusunnya banyak
juga memasukkan kedalamnya unsur-unsur hukum asli yaitu hukum adat
Perancis Kuno (hukum Jerman) yang telah berlaku di Eropa Barat sebelum
orang-orang Romawi menguasai Perancis. Sebagai campuran ketiga di dalam
isi Code Civil itu adalah hukum gereja atau hukum Katolik yang didukung oleh
gereja Roma Katolik ketika itu. Pada 1811, Belanda di jajah oleh Perancis dan
seluruh Code Civil yang memuat ketiga unsur yaitu hukum Romawi, Hukum
German dan hukum Gereja diberlakukan di negeri Belanda dan oleh karena
Indonesia pada waktu itu merupakan jajahan Belanda maka hukum perdata
Belanda yang sebagian besar berdasarkan pada Code Civil itu diberlakukan
pula untuk Indonesia sejak 1 Januari 1848 dengan Staatsblad tahun 1847 No.
23. Namun demikian, hukum perdata di Indonesia agak berlainan dengan
hukum perdata yang berlaku di negeri Belanda apalagi jika dibandingkan
dengan Code Civil Perancis, hanya asas-asasnya banyak diambil dari Code
Civil.24
23
Wirjono Projodikoro, Azas-azas Hukum Perdata, Cet. IX, (Bandung: Sumur
Bandung, 1983), hlm. 9.
24
Erie Hariyanto, “BURGELIJK WETBOEK (Menelusuri Sejarah Hukum
Pemberlakuannya di Indonesia)”, Al-Ihkam Vol .IV No. 1 Juni 2009, hlm. 144

11
12

Berlakunya hukum perdata Belanda tersebut di Indonesia bertalian erat


dengan politik hukum pemerintah Hindia Belanda yang membagi penduduk
Hindia Belanda menjadi 3 golongan yaitu:
(1) Golongan Eropa yaitu semua orang Belanda, orang yang berasal dari
Eropa, orang Jepang, orang yang hukum keluarganya berdasarkan
azas-azas yang sama dengan hukum Belanda beserta anak keturunan
mereka;
(2) Golongan Timur Asing Tionghoa dan Timur Asing bukan Tionghoa
misalnya orang Arab, India dan Pakistan;
(3) Mereka yang telah meleburkan diri dan menyesuaikan hidupnya
dengan golongan Bumi Putera.
Penggolongan tersebut diatur dalam pasal 163 IS (Indische
Staatsregeling) yang sampai sekarang masih tetap berlaku berdasarkan
ketentuan pasal 2 Aturan Peralihan Undang-undang Dasar 1945.25
Mengenai hukum apa yang berlaku bagi masing-masing golongan diatur
dalam pasal 131 IS yang menentukan, bahwa:26
Pertama, bagi golongan Eropa berlaku hukum perdata dan hukum
Dagang yang berlaku di Negara Belanda atas dasar azas konkordansi.
Kedua, bagi golongan Timur Asing Tiongha berlaku hukum perdata yang
diatur dalam BW dan Hukum Dagang yang diatur dalam KUHD (WvK )
dengan beberapa pengecuaian dan penambahan sebagaimana diatur dalam
stablad tahun 1917 Nomor 129 jo Stb. Tahun 1925 Nomor 557. Pengecualian
dan penambahan meliputi: (a) Upacara Perkawinan; (b) Pencegahan
Perkawinan; (c) Kantor Pencatatan Sipil (Burgerlijk Stand); (d) Pengangkatan
anak (adopsi); (e) Peraturan tentang kongsi. Bagi golongan timur asing bukan
Tinghoa berlaku hukum perdata Eropa sepanjang mengenai hukum harta
kekayaan sedang mengenai hukum kekeluargaan dan hukum waris tunduk pada
hukum asli mereka sendiri. Hal ini diatur dalam Staatblad tahun 1924 Nomor
556 yang mulai berlaku sejak 1 Maret 1925.

25
Subekti, Pokok-pokok, hlm 34
26
Erie Hariyanto, op. cit. hlm. 145-146
13

Ketiga, dari golongan bumi putra berdasarkan ketentuan pasal 131 ayat 6
IS berlaku hukum perdata adat yaitu keseluruhan peraturan hukum yang tidak
tertulis tetapi hidup dalam tindakan – tindakan rakyat sehari –hari. Dalam pada
itu hukum perdata adat masih belum seragam sesuai dengan banyaknya
lingkungan hukum adat (adat rech skiringen) di Indonesia.
Dengan ditetapkannya Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tanggal 24
September 1960, Stb. tahun 1960 Nomor 104 tentang Undang-Undang Pokok
Agraria (UUPA) mencabut semua ketentuanketentuan mengenai hak-hak
kebendaan yang bertalian dengan tanah dari buku II BW (KUHP) kecuali
mengenai hipotek. Artinya semua ketentuan-ketentuan yang mengenai hak
kebendaan yang bertalian dengan tanah mendapat pengaturannya di dalam
hukum Agraria dan tidak menjadi obyek hukum perdata lagi.27
Dengan adanya Surat Edaran Mahkamah Agung tanggal 5 September
1963 Nomor 3 Tahun 1963, beberapa pasal atau ketentuan dipandang tidak
berlaku lagi, yaitu: (a) Pasal 108 –110 BW tentang ketidakwenangan bertindak
seorang istri; (b) Pasal 284 ayat 3 BW tentang pengakuan anak luar kawin yang
lahir dari seorang wanita Indonesia; (c) Pasal 1682 BW tentang keharusan
dilakukannya hibah dengan akte notaris; (d) Pasal 1579 BW tentang
penghentian sewa menyewa dengan alasan akan memakai sendiri barang itu;
(e) Pasal 1238 BW tentang pengajuan gugat pelaksanaan suatu perjanjian. (f)
Pasal 1460 BW tentang resiko dalam perjanjian jual beli barang; dan (g) Pasal
1603 ayat 1 dan 2 BW diskriminasi orang Eropa dan bukan Eropa dalam
perjanjian perburuhan.28
Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tanggal 2
Januari 1974 Jo. Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 tanggal 1 April
1975 tentang Undang-Undang Pokok Perkawinan yang mengganggap tidak
berlaku lagi semua peraturan-peraturan yang mengatur perkawinan sepanjang
telah diatur dalam Undangundang tersebut yaitu: (1) Ketentuan-ketentuan
perkawinan dalam KUH Perdata (BW); (2) Ordonansi Perkawinan Indonesia
Kristen (Buwelijksor donantio chesten Indonesiers) seperti tercantum dalam
27
Erie Hariyanto, op. cit. hlm. 148
28
Ibid
14

Staatsblad tahun 1933 nomor 74; (3) Peraturan Perkawinan Campuran


(Regeling Opde Gemengde Huwelijkken) seperti tercantum di dalam Burgelijk
Wetboek staatsblad tahun 1898 nomor 158; (4) Peraturan-peraturan lain yang
mengatur tentang perkawinan.29
Undang-undang no. 42 tahun 1999 tentang jaminan fidusia telah
mengantikan pengaturan tentang jaminan fidusia telah digunakan di Indonesia
sejak zaman penjajahan Belanda sebagai suatu bentuk jaminan yang lahir dari
yurisprudensi. Bentuk jaminan ini digunakan secara luas dalam transaksi
pinjam-meminjam karena proses pembebanannya dianggap sederhana, mudah,
dan cepat, tetapi tidak menjamin adanya kepastian hukum. Lembaga Jaminan
Fidusia memungkinkan kepada para pemberi fidusia untuk menguasai benda
yang dijaminkan, untuk melakukan kegiatan usaha yang dibiayai dari pinjaman
dengan menggunakan jaminan fidusia.30
Pada awalnya, Benda yang menjadi objek fidusia terbatas pada kekayaan
benda bergerak yang berwujud dalam bentuk peralatan. Akan tetapi dalam
perkembangan selanjutnya, benda yang menjadi objek fidusia termasuk juga
kekayaan benda bergerak yang tak berwujud, maupun benda tak bergerak.
Dalam perkembangannya selama ini, kegiatan pinjammeminjam dengan
menggunakan hak tanggungan atau hak jaminan telah diatur dalam Undang-
undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang merupakan
pelaksanaan dari Pasal 51 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Undang-undang Pokok Agraria, dan sekaligus sebagai pengganti dari lembaga
hipotek atas tanah dan credietverband. Di samping itu, hak jaminan lainnya
yang banyak digunakan pada dewasa ini adalah gadai, hipotek selain tanah, dan
jaminan fidusia.
Undang-undang yang berkaitan dengan jaminan fidusia adalah Pasal 15
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman,
yang menentukan bahwa rumah-rumah yang dibangun di atas tanah yang
dimiliki oleh pihak lain dapat dibebani dengan jaminan fidusia. Selain itu,
Undang-undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun mengatur
29
Erie Hariyanto, op. cit. hlm. 149
30
Ibid
15

mengenai hak milik atas satuan rumah susun yang dapat dijadikan jaminan
utang dengan dibebani fidusia, jika tanahnya tanah hak pakai atas tanah negara.
Burgelijk Weetbook Baru Belanda (BWBB) telah berhasil diubah,
dirombak, singkatnya dimodernisasi, sehingga dapat mengikuti perkembangan
jaman, khususnya menunjang berbagai kegiatan kegiatan ekonomi dalam arti
luas. Upaya perubahan dan modernisasi diawali dalam tahun 1947 dan baru
berhasil akhir tahun 1992 dengan pengundangan BWBB yang dinyatakan
berlaku mulai 1 januari 1992. buku 1 (orang dan keluarga) dan Buku 2 (Badan
Hukum) sudah dinyatakan berlaku, yaitu berturut –turut tentang jual beli dan
tukar menukar (koop en huur), pemberian kuasa (lestgeving), Penitipan
(bewaargeving), dan penanggungan (borgtocht) 9. Buku 7A akan memuat
kontrak-kontrak khusus yang terdapat di dalam BW lama Belanda di luar BAB
1,7,9 dan 14 buku 7. Buku 8 tentang alat-alat angkut dan pengakutan
(verkeermiddlen en vervoer) berisi Undang-undang pengangkutan yang
dinyatakan berlaku sejak 1 April 1992.31
Dengan demikian, ternyata masih ada yang belum tuntas dalam kegiatan
modernisasi tersebut, walaupun mereka mempunyai banyak tenaga ahli dengan
dukungan dana serta fasilitas yang cukup, masih diperlukan waktu hampir
limapuluh tahun. Bagaimana dengan Indonesia kelihatannya modernisasi hanya
dapat dilakukan dengan membuat aturan hukum perdata secara parsial dalam
undang yang mengatur secara khusus seperti Undang-undang Pokok Agraria,
Undang-undang Perkawinan, Lembaga Hukum Jaminan fidusia dan dalam
bidang hukum perdata yang lain.

B. Kodifikasi Hukum Perdata Dalam Pembangunan Hukum Nasional

Pluralitas hukum perdata berlaku di dalam kehidupan masyarakat sebagai


living law berdasarkan paham partikularisme pada masa pemerintahan kolonial
Hindia Belanda semestinya harus disesuaikan dengan suasana kemerdekaan.
Cita-cita nasional untuk menyatukan Indonesia sebagai satu kesatuan politik

31
Redaksi, Jurnal hukum Ekonomi, New Burgelijk Wetboek Belanda Edisi III (Pebruari
1996), hlm. 12
16

dan pemerintahan ada kecenderung untuk mengabaikan hukum rakyat yang


masih plural dan bersifat lokal untuk diganti dengan hukum nasional yang
dalam bentuk unifikasi dan terkodifikasi. Kebijakan hukum nasional ditantang
untuk merealisasi cita-cita nasional sebagai kekuatan pembaharuan, sehingga
mendorang terjadinya perubahan dari wujud masyarakat-masyarakat lokal yang
berciri agraris ke kehidupan baru yang bercirikan urban dan industrial dalam
format skala nasional.32
Dalam rangka pembangunan hukum nasional perlu upaya pembaharuan
hukum yang terarah dan terpadu, antara lain dalam bentuk kodifikasi dan
unifikasi bidang-bidang hukum tertentu. Dalam penyusunan perundang-
undangan baru yang sangat dibutuhkan untuk dapat mendukung pembangunan
di berbagai bidang sesuai dengan tuntutan pembangunan, serta tingkat
kesadaran hukum dan dinamika yang berkembang dalam masyarakat.
Pemberlakuan hukum perdata Indonesia dalam bentuk perundang-undangan
yang berlaku secara nasional bagi seluruh penduduk Indonesia merupakan
keharusan karena untuk mengurangi atau meniadakan konflik-konflik dalam
bidang hukum perdata selama ini terjadi dalam masyarakat Indonesia. Padahal
aturan-aturan hukum perdata itu sangat fundamental dalam mengatur
hubungan-hubungan hukum antara setiap subjek hukum yang dalam hal ini
adalah setiap orang atau manusia yang berdiam di wilayah Indonesia.33 Oleh
karenanya perlu pembaharuan hukum perdata dalam rangka pembangunan
nasional.
Tatanan sistem hukum perdata Indonesia saat ini masih pluralitas, sebab
masih berlaku beberapa peraturan dan perundangan warisan kolonial di
samping hukum perdata Islam dan hukum perdata adat, yang kemudian
disepakati menjadi bahan baku penyusunan kodifikasi hukum perdata nasional
yang baru, sehingga upaya kearah tersebut sangat urgent dilaksanakan.

32
Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya,
Jakarta, ELSAM & HUMA, 2002, hLM. 306
33
Muhammad Noor, “Unifikasi Hukum Perdata Dalam Pluralitas Sistem Hukum
Indonesia”, MAZAHIB : Vol. XIII, No. 2, Desember 2014, HLM 118.
Walaupun masih dijumpai beberapa kendala berhubung relatif tinggi kadar
kepekaan emosional terhadap subjek dan objek yang akan diatur.34
Dalam upaya pembinaan hukum nasional adalah untuk menemukan
dasar, sifat, bentuk dan asas-asas hukum nasional. Unifikasi hukum merupakan
sifat dari hukum nasional yang ingin diwujudkan, sedangkan kodifikasi
berkaitan dengan bentuk dari hukum nasional tersebut. Hal ini berarti
kodifikasi hukum nasional bukanlah sekaligus unifikasi hukum nasional di
dalamnya. Karena ada beberapa sistem hukum yang mempunyai struktur
sosialnya sendiri yang tentunya menggambarkan corak masyarakat yang
bersangkutan, keragaman struktur masyarakat yang bersangkutan yang terlihat
dalam region, religius dan custom yang majemuk, sehingga usaha unifikasi
tidak mudah untuk dilaksanakan. Begitu juga dalam usaha kodifikasi hukum
yang berusaha menghimpun segala ketentuan dalam suatu kitab undang-
undang secara sistematis, lugas, tuntas dan lengkap, tentu tidak mudah untuk
diwujudkan. Mengingat keterbatasan kemampuan, tenaga, dana, dan waktu,
sementara itu kebutuhan hukum dan perkembangan masyarakat demikian cepat
sehingga perlu adanya kebijakan politik dan program untuk mencapai cita-cita
hukum nasional.35
Menghadapi keadaan yang demikian, politik hukum nasional
menggariskan pembentukan hukum perdata nasional dilaksanakan dengan
‘kodifikasi parsial dan terbuka’ yang mengatur sejumlah peraturan yang lepas
sehingga tidak dalam bentuk ‘Buku yang sistematis dan lengkap’. Dalam
Simposium Pembaharuan Hukum Perdata Nasional yang diselenggarakan atas
kerjasama antara BPHN Depatemen Kehakiman dan Fakultas Hukum UGM
tahun 1981, bahwa untuk menghadapi kesulitan dalam usaha kodifikasi
tersebut diberikan solusi berupa ‘kodifikasi parsial dan terbuka’ yang
dilakukan secara bertahap sesuai dengan kebutuhan dan prioritas di dalam
pembangunan hukum nasional. Berarti kodifikasi terbuka memungkinkan
adanya aturan hukum sejenis yang mengatur berbagai masalah bidang hukum
34
Rachmadi Usman, Perkembangan Hukum Perdata, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan,
2003, hlm. 252
35
Ibid, hlm. 274

17
bersangkutan secara khusus. Sedangkan kodifikasi parsial (bagian) merupakan
cara mempercepat proses kodifikasi berupa kodifikasi dalam lapanganlapangan
hukum yang lebih sempit.36
Kodifikasi merupakan sarana yang tepat untuk meningkatkan kepastian
hukum yang merupakan tujuan dari suatu sistem hukum. Sehingga kodifikasi
merupakan keharusan dan harus berisikan hukum yang dapat memenuhi
kesadaran hukum serta rasa keadilan masyarakat, artinya kodifikasi tersebut
harus mencerminkan hukum yang hidup di dalam masyarakat. Namun dampak
dari sistem hukum tertulis, bahwa kodifikasi bersifat statis sehingga tidak dapat
mengikuti perkembangan yang terjadi dalam masyarakat. Cara yang paling
baik untuk mendayagunakan kodifikasi tersebut adalah dengan menguasahakan
agar kodifikasi tetap bisa dipakai untuk menjadi sandaran bagi pemecahan
problema-problema hukum di belakang hari. Dengan kata lain perundang-
undangan dan kodifikasi itu harus lentur, tidak boleh kaku.37
Tujuan utama dalam kodifikasi hukum adalah untuk mencapai kesatuan
hukum bagi seluruh masyarakat Indonesia dan memberikan kepastian hukum
serta merupakan pembaharuan hukum untuk menyesuaikan dengan
perkembangan yang terjadi dalam masyarakat. Tujuan lainnya dari kodifikasi
adalah pembentukan kumpulan perundang-undangan secara sederhana,
tersusun secara logis, serasi, dan pasti, sehingga mudah dikuasai. 38 Hal ini akan
memberikan kemudahan bagi masyarakat untuk memahami dengan cepat dan
baik berkenaan dengan aturan yang diatur dalam peraturan perundang-
undangan tersebut. Gagasan kodifikasi yang menghimpun peraturan
perundangundangan yang sejenis secara sistematis, logis, serasi, pasti,
menyeluruh, lengkap, dan tuntas tersebut.
Akan tetapi gagasan kodifikasi hukum yang menyeluruh dan tertutup ini
akan ketinggalan zaman dan sangat kaku sehingga tidak mudah dalam
mengikuti perkembangan zaman dan dinamika masyarakat. Oleh karena itu
perlu adanya perubahan orentasi berupa kodifikasi terbuka dan parsial dari
36
Ibid
37
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 1986, hlm. 123
38
Rachamadi Usman, op.cit, hlm. 280

18
berupa kodifikasi tertutup dan menyeluruh. Jadi hukum perdata tidak
dimaksudkan untuk digantikan dalam bentuk buku yang sistematis dan
lengkap, akan tetapi dilaksanakan melalui kodifikasi parsial dan terbuka, yang
diatur melalui sejumlah peraturan yang lepas. Sehingga untuk menggantikan
kodifikasi hukum perdata kolonial akan muncul sejumlah peraturan yang lepas,
yang sedikit demi sedikit akan menggantikan keutuhan Burgerlijk Wetboek
menjadi tidak berlaku lagi sebab telah dicabut secara parsial.
Keuntungan dari kodifikasi parsial terbuka adalah lebih mudah dalam
cara membuat, merubah, dan mencabut serta selalu dinamis untuk
menyeleraskan dengan proses modernisasi yang didukung oleh kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Sedangkan kelemahannya dalam hal sinkronisasi
peraturan dan pengaturan yang dibuat secara vertikal dan horizontal, juga
dalam hal penguasaan materi hukumnya. Untuk itu diperlukan upaya yang
terarah dan terpadu dalam penciptaan sistem hukum perdata nasional dengan
penciptaan kodifikasi-kodifikasi hukum perdata yang parsial dan terbuka agar
dapat berjalan serasi dan searah, sehingga akan tercipta sistem hukum perdata
nasional yang utuh dan terpadu.39
Politik kodifikasi dalam pembaharuan hukum perdata nasional juga harus
memperhatikan eksistensi aturan-aturan hukum yang terdapat dalam hukum
Islam dan hukum adat sebagai sumber-sumber yang dapat dijadikan sebagai
bahan dalam pembaharuan hukum perdata nasional, agar tidak terjadi
kesengjangan antara keabsahan hukum dan efektivitas aturan hukum yang
berlaku dalam dimensi tatanan sistem hukum nasional yang baru. Sifat hukum
perdata itu mempunyai karakteristik netral dan sensitif. Karakteristik netral
mengenai hukum kekayaan yang meliputi hukum harta benda dan hukum
perjanjian, dan termasuk hukum dagang. Sedang yang berkarakteristik sensitif
adalah hukum kekeluargaan seperti hukum perkawinan dan hukum waris.40
Bidang-bidang hukum perdata yang berkarakteristik netral tidak menjadi
kendala untuk diunifikasikan, sedangkan bidang-bidang hukum perdata yang
39
Muhammad Noor, “Unifikasi Hukum Perdata Dalam Pluralitas Sistem Hukum
Indonesia”, MAZAHIB : Vol. XIII, No. 2, Desember 2014, hlm. 121.
40
Sudirman Tebba, Sosiologi Hukum Islam, UII Press, Yogyakarta, 2003, hlm. 101,

19
berkarakteristik sensitif dapat diunifikasikan dalam bentuk kodifikasi parsial
dan terbuka. Dalam penyusunan kodifikasi hukum perdata nasional dilakukan
melalui dengan jalur materi hukum perdata yang netral, berupa materi hukum
perdata yang tidak sensitif, dalam pengertian tidak terlalu erat hubungannya
dengan kehidupan sosial budaya dan spritual keagamaan, seperti hukum harta
kekayaan. Sedangkan jalur materi hukum perdata yang non netral, yakni materi
hukum perdata yang sensitif, dalam pengertian terlalu erat hubungannya
dengan kehidupan sosial budaya dan spritual keagamaan, seperti hukum
kekeluargaan, hukum kewarisan, maka harus tetap mengutamakan hukum
agama dan adat dalam aturan hukumnya.41
Pembagian materi hukum perdata nasional yang netral dan non netral
dilihat dari kadar kepekaan emosional terhadap subjek dan objek yang
diaturnya. Pengkodifikasi dan pengunifikasian materi hukum-hukum yang
netral dapat dimuali, sebab tidak terlalu berbenturan dengan hukum-hukum
yang lainnya, Seedangkan pengkodifikasian materi hukum-hukum yang non
netral sedapat mungkin diarahkan kepada unifikasi hukum dengan tetap
memperhatikan tingkat dinamika dan kesadaran masyarakat yang
bersangkutan.42
Kodifikasi dan unifikasi dalam bidang hukum yang non netral akan
mencakup hal-hal umum, yang berlaku secara umum, sedangkan mengenai hal-
hal yang khusus tetap memperhatikan hal-hal yang khusus tetap
memperhatikan kesadaran hukum yang hidup di lingkungan masin g-masing
masyarakat agar jangan sampai menimbulkan keresahan yang dapat
mengganggu stabiltas masayrtakat. Sebagai sektor hukum yang peka, sehingga
untuk melakukan pembahruan di bidang hukum keluarga, hukum perkawinan
dan hukum kewarisan haruslah berhati-hati dilakukan dengan
mempertimbangkan berbagai faktor yang erat hubungannya dengan hukum
agama dan hukum adat dan hal-hal yang diunifikasikan hanyalah menyangkut
masalah formalitas dan segi adminitrasi yang bersifat netral. Untuk hal-hal
yang tidak memungkinkan disearagamkan tetap dibirakan adanya sekarang
41
Rachamadi Usman, op.cit, hlm. 290
42
Ibid, hlm. 291

20
dengan tetap memperlakukan hukum adat dan hukum agamanya masing-
masing sesuai dengan apa yang telah dilakukan dengan UU No. 1/1974 tentang
perkawinan.43
Dengan demikian pengkodifikasian hukum untuk menuju ke arah
unifikasi hukum perdata nasional dalam rangka pembaharuan dan
pembentukan kodifikasi hukum perdata nasional hendaknya dilakukan secara
bertahap dan berhati-hati serta seberapa mungkin harus diseragamkan,
sedangkan materi yang tidak dimungkinkan diunifikasikan cenderung
memperhatikan dinamika dan kesadaran hukum yang ada di dalam masyarakat
yang bersangkutan, sehingga oleh karenanya tetap akan menunjuk dan
memberlakukan ketentuan-ketentuan hukum agamanya atau kepercayaan
agamanya masing-masing dan hukum lainnya sesuai dengan kebutuhan
hukummya. Aturan-aturan hukum tidak tertulis lainnya termasuk yurisprudensi
tetap baiknya dimanfaatkan sebagai bahan baku penyusunan dan pembentukan
kodifikasi hukum perdata nasional yang baru.44

43
Rachamadi Usman, op.cit, hlm. 292
44
Ibid, hlm. 293

21
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Burgelijk Wetboek (KUH Perdata) yang berlaku di Indonesia berdasarkan


asas konkordansi dalam kenyataannya terdapat beberapa hal yang tidak sesuai
nilai-nilai ataupun dengan perkembangan masyarakat. Karenanya hakim
nantinya dalam menafsirkan pasal-pasal yang terdapat dalam BW tersebut
harus mengedepankan keadilan. Selanjutnya dengan harapan semoga badan
legislatif mampu membuat hukum perdata nasional yang mampu diterima oleh
semua kalangan masyarakat, dimana belanda sendiri sudah melakukan
modernisasi terhadap Burgelijk Wetboek lamanya. Namun dalam
pembangunan Hukum yang akan datang diharapkan tidak melupakan sejarah,
artinya asas-asas yang sudah sesuai tidak perlu dibuang, adanya Undang-
undang tentang Fidusia, Undang-undang Perkawinan yang baru, atau undang-
undang tentang Pengelolaan Sumber Daya Alam dan banyak lainnya yang
mengatur masalah perdata maka peran dari KUH Perdata (BW) makin bisa
dikurangi yang pada akhirnya akan hanya menjadi naskah akademik bukan lagi
sebagai sebuah Undang-undang yang harus ditaati oleh rakyat Indonesia
Pembangunan hukum perdata ke arah kodifikasi dan unifikasi sangat sulit
untuk diwujudkan karena kecenderungan perkembangan masyarakat yang
begitu pesat dan karena interaksi hukum dengan sub sistem di luar hukum
maupun dengan hukum asing. Tetapi upaya kodifikasi dan unifikasi yang
berwawasan Indonesia juga perlu diwujudkan, agar ada keseragaman dalam
bidang hukum perdata Indonesia yang berlandasankan norma dan nilai dalam
pandangan bangsa Indonesia. Untuk saat ini keberadaan hukum perdata
Indonesia masih dalam tahap perkembangan dan pembentukan untuk menjadi
hukum perdata positif yang mempunyai dasar-dasar filosofis berdasarkan
pandangan dan kepribadian bangsa Indonesia dengan mengedepankan prinsip-
prinsip dasar keadilan, kebenaran dan kemashlahatan bagi kepentingan setiap
warga Negara yang selalu mengedepankan etika, moral dan spiritual. Dalam

22
23

pembentukan dan pembinaan hukum nasional Indonesia dalam lapangan


hukum perdata diarahkan dalam bentuk kodifikasi parsial dan terbuka yang
merupakan cara yang cocok dan mungkin diterapkan bagi bangsa Indonesia
yang mempunyai keunikan dan keragaman sistem hukum masyarakatnya.

B. Saran

1. Diperlukan kajian lebih lanjut terkait bidang-bidang dalam hukum perdata


untuk dilakukan kodifiksi hukum secara nasional
2. Kajian hukum perdata nasional selain disesuaikan dengan perkembangan
masyrakat juga harus disesuaikan dengan norma-norma yang ada di
Indonesia seperti norma adat dan agama
24

DAFTAR PUSTAKA

Atmasasmita, Romli. (2003). “Menata Kembali Masa Depan Pembangunan


Hukum Nasional”, Makalah disampaikan dalam “Seminar Pembangunan
Hukum Nasional VIII” di Denpasar, 14-18 Juli 2003, hlm. 7.

Basah, Sjachran. 1992. Perlindungan Hukum Terhadap Sikap Tindak


Administrasi Negara. Bandung: Alumni.

Friedman, Lawrence W. 1984. American Law: An invaluable guide to the many


faces of the law, and how it affects our daily our daily lives, W.W. New
York: Norton & Company.

Hariyanto, Erie. 2009. “BURGELIJK WETBOEK (Menelusuri Sejarah Hukum


Pemberlakuannya di Indonesia)”, Al-Ihkam Vol .IV No. 1 Juni 2009, hlm.
143

Kusumaatmadja, Mochtar. 1995. Hukum, Masyarakat, dan Pembinaan Hukum


Nasional. Bandung: Penerbit Binacipta.

Miru, Ahmadi. 2007. Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, (Jakarta:


RajaGrafindo Persada.

Muljadi, Kartini. 2003. Perikatan pada Umumnya. Jakarta: PT. RajaGrafindo


Persada.

Mulyadi, Lilik. (2019). “Teori Hukum Pembangunan Prof. DR. Mochtar


Kusumaatmadja, S.H., LL.M.” Artikel, Ilmu Hukum Universitas
Padjadjaran, Bandung, hlm. 1 diakses dari
https://badilum.mahkamahagung.go.id/upload_file/img/article/doc/kajian_d
eskriptif_analitis_teori_hukum_pembangunan.pdf

Noor, Muhammad. (2014). “Unifikasi Hukum Perdata Dalam Pluralitas Sistem


Hukum Indonesia”, MAZAHIB : Vol. XIII, No. 2, Desember 2014, hlm.
115

Projodikoro, Wirjono. 1983. Azas-azas Hukum Perdata, Cet. IX. Bandung: Sumur
Bandung.

Rahardjo, Satjipto. 1986. Ilmu Hukum. Bandung: Alumni.

Rasjidi, Lili dan Ida Bagus Wiyasa Putra. 2003. Hukum Sebagai Suatu Sistem, ,
Bandung: CV. Mandar Maju.

Redaksi. (1996). “New Burgelijk Wetboek Belanda” Jurnal hukum EkonomiEdisi


III (Pebruari 1996), hlm. 12
25

Salman, Otje dan Eddy Damian. (ed), 2002. Konsep-Konsep Hukum dalam
Pembangunan dari Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja,S.H.,LL.M.,
Bandung: PT.Alumni

Shidarta. 2006. Karakteristik Penalaran Hukum Dalam Konteks Ke-Indonesiaan.


Jakarta: CV Utomo.

Subekti. 1995. Pokok-pokok Hukum Perdata, cet. XXVII. Jakarta: Intermasa

Tebba, Sudirman. 2003. Sosiologi Hukum Islam. Yogyakarta: UII Press.

Usman, Rachmadi. 2003. Perkembangan Hukum Perdata. Jakarta: Pustaka Sinar


Harapan

Wignjosoebroto, Soetandyo. 2002. Hukum Paradigma, Metode dan Dinamika


Masalahnya. Jakarta: ELSAM & HUMA.

Wingjosoebroto, Soetandjo. 1995. Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional.


Jakarta: Rajawali Press.

Anda mungkin juga menyukai