Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH PERUBAHAN RUU KUHP

DISUSUN OLEH :

 M. Abdurrahman Fadhil (P17440203038)


 Zahra Lailatul Afifah (P17440203039)
 Adif Iqbal Restyawan (P17440203040)
 M. Bima Saiful Jihad (P17440203042)
 Dea Septhia (P17440203043)
 Titania Auril Fandina (P17440203044)
 Miranda Yunitasari (P17440203045)
 Safinah Maqsuroh (P17440203046)
 Intan Herma Yuanita (P17440203047)
 Ghirotul Ilmi El Gani (P17440203048)
 Arifatul Rafifa A. P. (P17440203049)
 Damai Ayu Lestari (P17440203050)
 Alfina Damayanti (P17440203051)
 Azizatun Nadhifah (P17440203052)

D-III TEKNOLOGI BANK DARAH

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MALANG
2020
KATA PENGANTAR

            Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang senantiasa selalu
memberikan rahmat, taufik, hidayah, serta inayah-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah ini setelah melalui berbagai rintangan dan hambatan.
            Makalah ini penulis beri judul “RUU KUHP”. Adapun tujuan disusunnya
makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah Kewarganegaraan semester 1.
Selain itu, makalah disusun guna memberikan informasi dan pengetahuan tentang RUU
KUHP.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Hal ini
disebabkan keterbatasan pengetahuan dan waktu yang dimiliki penulis. Oleh karena itu,
penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun guna
menyempurnakan makalah ini di masa yang akan datang agar lebih baik.
Semoga makalah yang sederhana ini bermanfaat bagi pembaca.
                                                                                                                           
                                                                                   

Malang, 8 Oktober 2020

                                                                    
   Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i

DAFTAR ISI ii

BAB I PENDAHULUAN 1

A. Latar Belakang 1

B. Rumusan Masalah 2

C. Tujuan 2

D. Manfaat 2

BAB II PEMBAHASAN 3

A. RUU KUHP Sebelum Ada Perubahan 3

B. RUU KUHP Sesudah Ada Perubahan 5

C. Pro-Kontra RUU KUHP 9

BAB III PENUTUP 12

A. Kesimpulan 12

B. Saran 13

DAFTAR PUSTAKA 14

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu negara yang berbentuk republik yang
memiliki pemimpin negara yaitu presiden, sedangkan sistem pemerintahan yang
dianut Indonesia adalah sistem pemerintahan demokrasi dimana rakyat yang
memerintah (dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat). Dengan total 72 juta
masyarakat yang berdomisili di Indonesia, maka agar dapat menata setiap
masyarakat yang ada pemerintah mengeluarkan suatu perundang-undangan.
Dimana setiap undang-undang yang ada di Indonesia dibuat dalam berbagai
macam dengan tujuan tertentu telah sesuai dengan apa yang diatur. Undang-
undang yang ada di Indonesia antara lain yaitu, UU KUHP Perdata dan UU
KPK, dll.
Di Indonesia kehadiran hukum dalam masyarakat diantaranya adalah
untuk mengintegrasikan dan mengkoordinasikan kepentingan-kepentingan yang
bertolak belakang dan mengakibatkan tindakan kriminal, namun sebagian
masyarakat pedesaan mempercayai aktualisasi dari nafsu amarah 2 termasuk
ingin mencelakai, menyakiti, menyiksa dan membinasakan bisa diupayakan
dalam bentuk magis, sehingga magis banyak berlaku di lapisan masyarakat
pedesaan karena dinilai dapat mempersulit jejak-jejak kriminal terhadap pelaku.
Manifestasi dari norma-norma hukum pidana di Indonesia berupa undang-
undang, menurut prof. sacipto Rahardjo undangundang itu merupakan sumber
yang bersifat hukum paling utama, hukum yang dihasilkan oleh perundangan
(enacted law, statute law)sedangkan santet termasuk hukum yang tidak
diundangundangkan (unenacted law common law2 ) maka secara empiris santet
sulit dibuktikan, namun secara teoritis dengan tiga acuan pertama menurut prof.
R. Subekti adalah persangkaan (pasal 1866 Kitab Undang-undang Hukum
Perdata atau pasal 164 RIB (pasal 283 RDS)3 kedua keterangan ahli, yang
terdapat dalam KUHAP pasal 184 ayat 1 point b, ketiga petunjuk yang juga
terdapat dalam KUHAP pasal 184 point d (relevansi dari pasal 75 KUHAP
tentang berita acara yang terdapat pada point I yaitu pemeriksaan ditempat
kejadian).

1
Dari kajian inilah para pakar hukum pidana menyumbangkan pemikiran
mengenai pembaharuan hukum pidana tentang materi dan sumber dasar KUHP.
Materi konsep KUHP (sistem hukum pidana materil) ingin disusun dengan
bertolak pada berbagai pokok pemikiran yang secara garis besar dapat disebut
“ide keseimbangan” yang mencakup monodualistik, faktor objectivitas dan
subjectivitas, formal dan materil, kepastian hukum, elastisitas dan keadilan.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaiman isi RUU KHUP sebelum dan setelah diamandemen?
2. Apa Pro dan kontra RUU KHUP?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui lebih dalam mengenai isi RUU KHUP sebelum dan
setelah amandemen
2. Untuk mengetahui pro dan kontra RUU KHUP

D. Manfaat
Hasil dari makalah ini dapat digunakan bagi mahasiswa maupun dosen
untuk bahan pembelajaran dan pengetahuan mengenai definisi, isi, dan pro
kontra RUU KHUP

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. RUU KUHP Sebelum Ada Perubahan


Bangsa Indonesia mengalami perjalanan sejarah yang sangat panjang
hingga sampai pada saat ini. Beberapa kali periode mengalami masa penjajahan
dari bangsa asing. Hal ini kemudian mempengaruhi hukum yang berlaku di
Indonesia, khususnya hukum pidana. Hukum pidana sebagai bagian dari hukum
publik mempunyai peranan penting dalam tata hukum dan bernegara. Aturan-
aturan hukum pidana menciptakan sebuah tata sosial yang damai dan sesuai
dengan keinginan masyarakat.
Secara umum sejarah hukum pidana di Indonesia dibagi menjadi
beberapa periode, yaitu:
1. Masa sebelum penjajahan belanda
Sebelum kedatangan bangsa Belanda yang dimulai oleh Vasco da
Gamma pada tahun 1596, orang Indonesia telah mengenal dan memberlakukan
hukum pidana adat. Hukum pidana adat yang mayoritas tidak tertulis ini bersifat
lokal, dalam arti hanya diberlakukan di wilayah adat tertentu. Hukum adat tidak
mengenal adanya pemisahan yang tajam antara hukum pidana dengan hukum
perdata (privaat). Pemisahan yang tegas antara hukum perdata yang bersifat
privat dan hukum pidana yang bersifat publik bersumber dari sistem Eropa yang
kemudian berkembang di Indonesia. Dalam ketentuannya, persoalan dalam
kehidupan sehari-hari masyarakat adat ditentukan oleh aturan-aturan yang
diwariskan secara turun-temurun dan bercampur menjadi satu.
Di samping hukum pidana adat mengalami persentuhan dengan agama
yang dipeluk oleh mayoritas penduduk, karakteristik lainnya adalah bahwa pada
umumnya hukum pidana adat tidak berwujud dalam sebuah peraturan yang
tertulis. Aturan-aturan mengenai hukum pidana ini dijaga secara turun-temurun
melalui cerita, perbincangan, dan kadang-kadang pelaksanaan hukum pidana di
wilayah yang bersangkutan. Namun, di beberapa wilayah adat di Nusantara,
hukum adat yang terjaga ini telah diwujudkan dalam bentuk tulisan, sehingga
dapat dibaca oleh khalayak umum. Sebagai contoh dikenal adanya Kitab

3
Kuntara Raja Niti yang berisi hukum adat Lampung, Simbur Tjahaja yang berisi
hukum pidana adat Sumatera Selatan,5 dan Kitab Adigama yang berisi hukum
pidana adat Bali.
2. Masa setelah kemerdekaan
Masa pemberlakukan hukum pidana di Indonesia setelah proklamasi
kemerdekaan 17 Agustus 1945, dibagi menjadi empat masa sebagaimana dalam
sejarah tata hukum Indonesia yang didasarkan pada berlakunya empat konstitusi
Indonesia, yaitu pertama masa pasca kemeredekaan dengan konstitusi UUD
1945, kedua masa setelah Indonesia menggunakan konstitusi negara serikat
(Konstitusi Republik Indonesia Serikat), ketiga masa Indonesia menggunakan
konstitusi sementara (UUDS 1950), dan keempat masa Indonesia kembali
kepada UUD 1945.
Tahun 1945-1949 Dengan diproklamirkannya negara Indonesia sebagai
negara yang merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia menjadi
bangsa yang bebas dan berdaulat. Bangsa Indonesia bebas dalam menentukan
nasibnya, mengatur negaranya, dan menetapkan tata hukumnya. Konstitusi yang
menjadi dasar dalam penyelenggaraan negara kemudian ditetapkan pada tanggal
18 Agustus 1945. Konstitusi itu adalah Undang Undang Dasar 1945. UUD 1945
mengamanatkan dalam Pasal II Aturan Peralihan agar segala badan negara dan
peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru
menurut Undang Undang Dasar ini. Ketentuan ini menjelaskan bahwa hukum
yang dikehendaki untuk mengatur penyelenggaraan negara adalah peraturan-
peraturan yang telah ada dan berlaku sejak masa Indonesia belum merdeka.
Sambil menunggu adanya tata hukum nasional yang baru, segala peraturan
hukum yang telah diterapkan di Indonesia sebelum kemerdekaan diberlakukan
sementara.
Hal ini juga berarti mengamanatkan kepada generasi penerusnya untuk
memperbaharui tata hokum colonial menjadi tata hukum nasional. residen
Sukarno selaku presiden pertama kali mengeluarkan kembaliPera
turan Presiden Nomor 2 Tahun 1945 tangal 10 Oktober 1945 yang terdiri dari
dua pasal, yaitu:

4
Pasal 1 : Segala badan-badan negara dan peraturan-peraturan yang ada sampai
berdirinya negara Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, sebelum
diadakan yang baru menurut Undang Undang Dasar, masih tetap berlaku asal saja
tidak bertentangan dengan dengan Undang Undang Dasar tersebut.
Pasal 2 : Peraturan ini mulai berlaku tanggal 17 Agustus 1945. Sekilas ini Penpres
ini hampir sama dengan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, namun dalam
Penpres ini dengan tegas dinyatakan tanggal pembatasan yaitu 17 Agustus 1945.
Sebagai dasar yuridis pemberlakuan hukum pidana warisan colonial sebagai hukum
pidana positif di Indonesia, keluarlah UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan
Hukum Pidana. Pasal 1 undang-undang tersebut secara tegas menyatakan: Dengan
menyimpang seperlunya dari Peraturan Presiden Republik Indonesia tertanggal 10
Oktober 1945 Nomor 2 menetapkan bahwa peraturan-peraturan hukum pidana yang
berlaku sekarang adalah peraturan-peraturan hukum pidana yang ada pada tanggal 8
Maret 1942.

Pemerintah menyampaikan rancangan pasal isu krusial dalam Revisi Kitab


Undang – Undang Hukum Pidana (RKUHP) ke komisi III dalam rapat Panitia
Kerja (Panja). Usulan itu termasuk pasal penghinaan presiden, pasal pencabulan,
pasal perzinaan, dan pasal pidana mati.

Pertama, mengenai pasal 238 tentang penghinaan presiden pasal itu diubah
menjadi pasal Penyerangan Kehormatan dan Harkat Martabat Presiden dan Wakil
Presiden. Kemudian pasal 451 tentang pencabulan yang hanya bertujuan untuk
lawan jenis menjadi sesama jenis. Dalam pasal 451 tersangka akan dijerat pidana
paling sedikit 1 tahun dan paling lama 6 tahundengan kekerasan yang mencapai 9
tahun. Sedangkan pasal 484 tentang perzinaan, yang awalnya dipidana paling lama
5 tahun sekarang hanya 2 tahun. Namun, penuntutan tersebut berlaku jika aduan
keluarga inti pasangan, istri, anak atau orang tua.

B. RUU KUHP Setelah Ada Perubahan


Permasalahan yang sedang terjadi di Indonesia saat ini adalah masalah
tentang pembaharuan/pergantian Undang-undang KUHPerdata dan Undang-
undang KPK yang diduga memiliki pasal-pasal yang menyeleweng dari dasar

5
negara kita yaitu Pancasila. Terdapat banyak pasal-pasal yang tdak masuk akal
yang dimasukkan ke dalam Rancangan Undang-Undang ataupun sebagai
pengganti dari Undang-undang yang lama.

Beberapa pasal yang memiliki kontroversi di masyarakat:

1. Pasal Penghinaan Presiden dan Wakil Presiden


Yakni terkait pasal-pasal penyerangan kehormatan atau harkat dan
martabat presiden dan wakil presiden yang diatur dalam pasal 218 sampai
220. Salah satu pasalnya yang menjadi sorotan adalah pasal 219 yang
berbunyi:
“Setia orang yang menyiarkan, mempertunjukan, atau menempelkan tulisan
atau gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman
sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana
teknologi informasi yang berisi penyerangan kehormatan atau harkat dan
martabat terhadap presiden dan wakil presiden dengan maksud agar isinya
diketahui atau lebih diketahui umum dipidana dengan pidana penjara paling
lama 4 (empat) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak
kategori IV.
2. Pasal Perzinaan
Dimana dalam pasal 417 ayat 1 setiap orang yang melakukan
persetubuhan dengan orang lain yang bukan suami atau istri dipidana karena
perzinaan dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau dengan
pidana berupa denda kategori II.
Pada ayat 2 tindak pidana perzinaan tidak dilakukan penuntutan
kecuali atas pengaduan suami, istri, orang tua, atau anaknya. Pada pasal 418
ayat 1 laki-laki yang bersetubuh dengan seorang perempuan yang bukan
istrinya dengan persetujuan perempuan tersebut karena janji akan dikawini,
kemudian mengingkari janji tersebut dapat dipidana penjara paling lama 4
(empat) tahun atau denda paling banyak kategori III.
Pada pasal 418 ayat 2 dalam hal tindak pidana sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kehamilan dan laki-laki tersebut
tidak bersedia mengawini atau ada halangan untuk kawin yang diketahuinya

6
menurut peraturan perundang-undangan di bidang perkawinan dipidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak kategori IV.
Proses hukum hanya bisa dilakukan atas pengaduan yang dijanjikan akan
dikawini.
Pada pasal 419 ayat 1 setiap orang yang melakukan hidup bersama
sebagai suami istri diluar perkawinan dipidana dengan pidana penjara paling
lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori II.
Pada pasal 419 ayat 2 tindak pidana sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan suami, istri,
orangtua, atau anaknya. Ayat 3 pengaduan dapat juga diajukan oleh kepala
desa atau dengan sebutan lainnya sepanjang tidak terdapatkeberatan dari
suami,istri, orang tua, atau anaknya.
3. Pasal tentang Menujukan Alat Kontrasepsi
Pasal 414 tentang mempertunjukkan alat pencegah kehamilan dan
alat pengguguran kandungan. Bunyi pasal 414 “Setiap orang yang secara
terang-terangan mempertunjukkan, menawarkan, menyiarkan tulisan, atau
menunjukkan untuk dapat memperoleh alat pencegah kehamilan kepada
anak dapat dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori I.
4. Pasal Pembiaran Unggas
Pasal 278 terkait gangguan terhadap tanah, benih, tanaman, dan
pekarangan. Pasal tersebut berbunyi:
“Barang siapa tanpa wewenang membiarkan ungags ternaknya berjalan di
kebun, ditanah yang sudah ditaburi, digali, atau ditanami, diancam dengan
pidana denda paling banyak da ratus dua puluh lima rupiah. Setiap orang
yang membiarkan ungags yang diternaknya berjalan di kebun atau tanah
yang telah ditaburi benih atau tanaman milik orang lain dipidana dengan
denda paling banyak kategori II.
5. Pasal Tentang Gelandangan
Pada pasal 431 tertulis:
“Setiap orang yang bergelandangan di jalan atau di tempat umum yang
mengganggu ketertiban umum dipidana dengan pidana denda paling banyak
kategori I.

7
6. Pasal Tentang Arbosi
Pada pasal 471 tentang pengguguran kandungan, yang berbunyi:
(1) Setiap orang yang menggugurkan atau mematikan kandungan
seorang perempuan dengan persetujuan dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun. Pasal tindak
7. Pasal Tentang Korupsi Pasal tindak pidana korupsi
Diatur dalam RUU KUHP diatur dalam pasal yang berbunyi:
“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan
pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 2 (dua)
tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit
kategori II dan paling banyak kategori VI”.
Pasal tersebut menuai kontroversi bagi masyarakat dikarenakan
hukuman bagi para koruptor turun menjadi 2 tahun paling sedikit. Hukuman
tersebut lebih ringan daripada KUHP yang lama, yakni hukuman bagi para
koruptor paling sedikit adalah 6 tahun penjara.
8. Pasal Tentang Santet
Tindakan santet bagi orang yang menawarkan jasa praktik ilmu
hitam bisa diancam pidana. Hal itu tertuang dalam pasal RUU KUHP 252.
Bunyi dari pasal 252 ayat 1: “Setiap orang yang menyatakan dirinya
mempunyai kekuatan gaib, memberitahuakn, memberikan harapan,
menawarkan, atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain bahwa
karena perbuatannya dapat menimbulkan penyakit, kematian, atau
penderitaan mental atau fisik seseorang dapat dipidana dengan pidana
penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori
IV”.
9. Pasal Penistaan Agama
Dalam pasal RUU KUHP 304 tantang penodaan agama seseorang
bisa dipidana selama 5 (lima) tahun lamanya. Hal tersebut berlaku bagi
orang yang menyiarkan, menunjukkan, menempelkan tulisan, gambar, atau
rekaman, serta menyebarluaskannya melalui kanal elektronik. Bunyi dari

8
RUU KUHP pasal 304: “Setiap orang di muka umum yang menyatakan
perasaan atau melakukan perbuatan bersifat permusuhan atau penodaan
terhadap agama yang dianut di Indonesia dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak kategori V”.
10. Pasal Tentang Kebebasan Pers dan Berpendapat
Kebebasan pers dan berpendapat mendapat ancaman dikarenakan ada
beberapa pasal yang seperti pasal karet.
11. Hukum Adat
Hukum adat menjadi salah satu pasal RUU KUHP yang kontroversi
karena pelanggaran hukum adat di masyarakat bisa mendapatkan hukuman
pidana.

C. Pro-Kontra Perubahan RUU KUHP

1. Kontra RUU KUHP


Undang-undang yang seharusnya dibuat untuk tujuan negara yaitu untuk
menciptakan sebuah keadilan bagi masyarakat suatu negara malah terbalik
menjadi kontra di masyarakat. Keadilan ini menjadi poin utama dalam
pembangunan negara. Negara yang bisa menciptakan keadilan bagi
masyarakatnya adalah negara yang mampu mengorganisir seluruh tata hidup
negara.
RUU KUHP dan RUU KPK yang telah dirumuskan oleh para anggota
DPR RI menuai kontra di masyarakat. Banyak pasal-pasal yang dinilai tidak
masuk akal, salah satu contohnya pasal yang mengatur tentang unggas. Di
dalam pasal tersebut apabila ada unggas yang berkeliaran di
halaman/pekarangan maka pemilik unggas akan dikenai
denda. Hal ini justru menuai kontroversi bagi masyarakat di daerah
perdesaan ataupun perkampungan. Rata-rata masyarakat di daerah
perkampungan memiliki hewan ternak dan hewan tersebut dilepas liarkan di
pekarangan. Apabila pasal ini disahkan nanti tentu saja akan menimbulkan
kegaduhan di masyarakat perkampungkan karena tidak terima harus

9
membayar denda karena hewan ternaknya berjalan-jalan di pekarangan
tetangga.
Pasal lainnya yang menuai kontroversi adalah pasal tentang koruptor.
Pasal ini menuai kontroversi disebabkan karena hukuman pidana yang
diterima pelaku koruptor yang tidak sesuai. Hukuman pada RUU lebih
ringan daripada UU sebelumnya, dimana pada UU KUHP yang lama
hukuman bagi para pelaku korupsi minimal adalah 6 tahun sedangkan
hukuman pada RUU KUHP yang baru adalah 2 tahun. Menurut masyarakat
dan para mahasiswa hukuman ini terlalu ringan bagi orang yang melakukan
pemalsuan dan mencuri uang negara bagi kepentingan pribadi atau suatu
korporasi.

2. Pro Perubahan RUU KUHP


Ketentuan hukuman mati dalam rancangan revisi KUHP mengalami
perubahan, dari ketentuan selama ini. Dalam rancangan itu diperkenalkan
pidana mati bersyarat. Ide pembaruan pidana dalam Konsep revisi KUHP
tersebut mendapat tanggapan positif dari masyarakat.
Konsep ini dipandang telah melakukan semacam “pengendoran”
penerapan pidana mati. Di mana narapidana yang dijatuhi hukuman mati
tidak perlu menjalani pidananya, jikalau dalam waktu 10 tahun sejak dijatuhi
pidana berdasarkan putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang
tetap, yang bersangkutan menunjukkan penyesalan dan perbaikan.
Sebagai gantinya, yang bersangkutan akan dijatuhi pidana seumur hidup,
atau pidana penjara dalam jangka waktu tertentu, yakni 20 tahun. Menurut
Mompang, pola pikir baru ini perlu dihargai. Dengan ditempatkannya pidana
mati di luar stelsel pidana pokok, dan menjadikannya sebagai pidana yang
bersifat khusus atau eksepsional merupakan the golden middle way dari
pandangan retensionis dan abolisionis.
Selain itu, hakim juga diberikan kewenangan untuk mempertimbangkan
secara seksama kapan harus menjatuhkan pidana mati. Konsep KUHP Baru
itu juga menjelaskan, apabila dalam hal putusan hakim yang menjatuhkan
pidana mati telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan permohonan

10
grasinya ditolak, namun pelaksanaan pidana mati tersebut tertunda selama 10
tahun bukan karena terpidana melarikan diri, maka Menkum dan HAM
berwenang mengubah pidana mati menjadi penjara seumur hidup.

11
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Terkait kebijakan hukum pidana dalam memasukkan rumusan tindak
pidana korupsi ke dalam RUU KUHP terdapat 3 hal penting yang perlu
diperhatikan yaitu pertama, terkait kebijakan perumusan tindak pidana korupsi
dalam RUU KUHP yang mana kebijakan tersebut memasukkan tindak pidana di
luar KUHP salah satunya tindak pidana korupsi sebagai langkah upaya unifikasi
dan konsolidasi kedalam satu buku. Namun kebijakan tersebut perlu
diperhatikan, karena dapat menimbulkan kemunduran dalam pemberantasan
korupsi. Kedua, mengenai Arah kebijakan kodifikasi RUU KUHP. Pada saat ini
arah dari kebijakan kodifikasi RUU KUHP cenderung menginginkan kodifikasi
secara total/menyeluruh. Kodifikasi total/menyeluruh tersebut berpotensi
menyulitkan dalam melakukan perubahan/perbaikan dalam menghadapi
perkembangan tindak pidana kedepan. Dan ketiga, formulasi tindak korupsi
dalam RUU KUHP. Terkait formulasi tindak pidana korupsi dalam RUU KUHP
sekarang merupakan hasil salinan dari ketentuan dalam UU No. 31 Tahun 1999
jo UU No. 20 Tahun 2001
Perumusan Tindak Pidana Korupsi yang penempatannya dalam RUU
KUHP jika diberlakukan akan berpotensi menimbulkan permasalahan (problem)
dimasa yang akan datang. Problem tersebut dapat memberikan implikasi
terhadap eksistensi UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang terancam bisa dihapus karena
mengambil seluruh ketentuan tindak pidana korupsi dari undang- undang
tersebut. Di sisi lain, dengan merumuskan tindak pidana korupsi ke dalam RUU
KUHP juga berpotensi menimbulkan implikasi terhadap lembaga yang
berwenang menangani korupsi terutama KPK dan Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi sebagai lembaga khusus serta Lembaga Kejaksaan. Implikasi terhadap
KPK adalah terkait kewenangan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan
berimplikasi hilang dan diserahkan kepada pihak Kepolisian sebagai penyidik
tunggal sebagaimana disebut dalam KUHAP. Selain itu, implikasi juga
berdampak pada pengadilan tindak pidana korupsi yang mana diduga tidak dapat

12
berwenang lagi dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara tindak
pidana korupsi. Kemudian terhadap Kejaksaan terimplikasi tidak dapat lagi
melakukan kewenangannya melakukan penyidikan tindak pidana korupsi yang
selama ini seperti yang diatur dalam UU Kejaksaan dan UU Tipikor.

B. Saran
Berdasarkan uraian sebelumnya, ada beberapa saran yang penulis
sampaikan dan dijadikan bahan pertimbangan untuk kedepannya, yakni:
 Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia sangat dibutuhkan mengingat KUHP
yang berlaku sekarang dirasa juga tidak memadai lagi dalam mengikuti
perkembangan zaman. Terkait dengan melakukan upaya kodifikasi dan unifikasi
terhadap semua tindak pidana yang diatur di dalam KUHP dan di luar KUHP,
serta perumusan tindak pidana baru menjadi satu buku. Berkaitan dengan yang
demikian, pertama, hendaknya dilakukan secara selektif terkait tindak pidana
apa yang pantas masuk dalam RUU KUHP. Kemudian kedua, apabila dalam
memilih tindak pidana yang akan dimasukkan dalam RUU KUHP hendaknya
juga memperhatikan situasi dan kondisi masyarakat pada saat ini.
 Penulis tentunya masih menyadari jika makalah diatas masih terdapat banyak
kesalahan dan jauh dari kesempurnaan. Penulis akan memperbaiki makalah
tersebut dengan berpedoman pada banyak sumber serta kritik yang membangun
dari para pembaca.

13
DAFTAR PUSTAKA
1. https://reformasikuhp.org/revisi-kuhp-dapat-respons-positif/
2. http://scholar.unand.ac.id/16358/3/BAB%20IV.pdf
3. http://dwarditty.blogspot.com/2012/12/contoh-makalah-sejarah-kuhp.html
4. https://publikasiilmiah.ums.ac.id/bitstream/handle/11617/11285/Ebook
%20HUKUM%20PIDANA_Revisi.pdf?sequence=2
5. https://www.merdeka.com/peristiwa/ini-pasal-pasal-yang-diusulkan-pemerintah-
untuk-diubah-di-revisi-kuhp.html

14

Anda mungkin juga menyukai