Anda di halaman 1dari 22

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga kita semua dalam keadaan sehat walafiat dalam menjalankan aktivitas sehari-hari.
Kami juga memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT, karena hanya dengan rahmat-Nya
makalah dengan judul “Hak Asasi Manusia di Indonesia” ini dapat diselesaikan.

Makalah ini dibuat dengan tujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Hak Asasi
Manusia semester dua dari Bapak Muklis, S.H., M.H. Selain itu, penyusunan makalah ini juga
bertujuan untuk menambah wawasan pembaca tentang Hak Asasi Manusia di Indonesia.

Kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Muklis, S.H., M.H. selaku dosen Hukum
Hak Asasi Manusia. Berkat tugas ini, kami dapat menambah wawasan terkait topik yang
diberikan. Kami juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak
yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.

Kami menyadari bahwa dalam penyusunan dan penulisan ini masih banyak terdapat
kesalahan. Oleh karena itu, kami mohon maaf atas kesalahan dan ketidak sempurnaan yang
pembaca temukan dalam makalah ini. Kami juga mengharapkan kritik dan saran dari pembaca
jika menemukan kesalahan dalam makalah ini.

Medan, Juni 2023

Kelompok 1

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................................................................i
DAFTAR ISI...............................................................................................................................................ii
BAB I..........................................................................................................................................................1
PENDAHULUAN.......................................................................................................................................1
A. LATAR BELAKANG........................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah...............................................................................................................................3
C. Tujuan Penulisan.................................................................................................................................3
BAB II.........................................................................................................................................................4
PEMBAHASAN.........................................................................................................................................4
A. Perkembangan Hak Asasi Manusia di Indonesia................................................................................4
1. Perdebatan Awal tentang Hak Asasi Manusia.................................................................................5
2. Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Baru......................................................................................9
B. Undang-Undang Hak Asasi Manusia di Indonesia............................................................................11
C. Ratifikasi Perjanjian Internasional Hak Asasi Manusia di Indonesia................................................13
BAB III......................................................................................................................................................16
PENUTUP.................................................................................................................................................16
A. KESIMPULAN................................................................................................................................16
B. SARAN.............................................................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................................19

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Hak Asasi Manusia merupakan hak yang melekat pada hakekat dan keberadaan
manusia sebagai makhluk Tuhan yang Maha Esa, dan merupakan anugerahNya yang
wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan
setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. 1 Istilah
Hak Asasi Manusia pertama kali diperkenalkan oleh Roosevelt ketika Universal
Declaration of Human Rights dirumuskan pada tahun 1948, sebagai pengganti istilah the
Rights of Man. Dalam konstitusi Indonesia (UUD 1945) digunakan istilah hak warga
negara yang oleh the Founding Father di maksudkan sebagai pemenuhan hak asasi
manusia. Namun kedua istilah ini (Ham dan hak serta kewajiban warga negara)
dipergunakan secara resmi oleh MPR sebagaimana tercantum dalam Amandemen kedua
UUD 1945 (Bab X dan Bab X A) maupun dalam ketetapan MPR RI Nomor: XVII/1998.

Hak asasi manusia sejatinya menjadi begitu populer di berbagai penjuru dunia,
bahkan yang sering meneriakan akan Hak Asasi Manusia adalah negara-negara barat.
Karena Hak Asasi Manusia merupakan hak yang melekat pada diri manusia dan tidak bisa
dikurangi sedikpun.

Pada abad ke 17 seorang filsuf inggris yang bernama John Locke yang merumuskan
Hak Asasi Manusia sebagai hak alam yang melekat pada manusia. Maka pada saat
beraakhirnya Perang Dunia II di buatlah Universal Declaration of Human Right oleh
Perserikatan Bangsa-bangsa.2

Negara Indonesia merumuskan Hak Asasi Manusia pada saat sidang Konstitusi pada
tahun 1956-1959 dan dirumuskan di UUD 1945 yang mencakup dalam bidang politik,
sosial, ekonomi, dan juga budaya.

Dalam waktu yang singkat saat akhir-akhir kependudukan Jepang di Indonesia,


bangsa Indonesia secara diam-siam memmbicarakan dan merumuskan Hak Asasi Manusia
1
UU HAM No. 39 tahun 1999 pasal 1
2
Miriam Budiardjo, Menggapai Kedaulatan Untuk Rakyat, (Bandung:MIZAN, 1998), hlm. 40

1
seacra mendalam. Karena pada saat itu kesempatan negara Indonesia selagi Jepang sedang
dalam kondisi kritis karena di bom bardir sekutu kota Hirosima dan juga Nagasaki.
Walaupun mempunyai waktu yang sedikit dan juga sangat terdesak tapi negara Indonesia
berhasil merumuskan UUD 1945.3

Di Indonesia, seperti juga di negaranegara yang lain, juga telah mencantumkan


beberapa hak asasi di dalam undang-undang dasarnya baik dalam Undang-Undang Dasar
1945, Konstitusi RIS, maupun Undang-Undangdasar Sementara 1950. Hak-hak asasi yang
tercantum dalam Undang-Undang Dasar 195 (sebelum amandemen) tidak termuat
dalamsuatu piagam yang terpisah tetapi tersebardalam beberapa pasal, terutama Pasal
27sampai Pasal 34.4

Perkembangan sejarah ketatanegaraan menghendaki, bahwa dengan tumbangnya rezim


pemerintahan Orde Baru yang cenderung otoriter telah mengakibatkan perubahan hampir
seluruh tatanan bernegara. Perubahan yang sangat penting diantaranya adalah terhadap materi
muatan atau substansi Undang-Undang Dasar 1945, baik materi yang dihapus, direvisi,
maupun ditambah materi yang betul-betul baru. Materi muatan Undang-Undang Dasar 1945
hasil amandemen yang merupakan materi baru, diantaranya adalah tentang Pemilihan Umum,
Mahkamah Konstitusi, Dewan Perwakilan Daerah, Pertahanan dan Keamanan, serta Hak
Asasi Manusia.

Menjamin dan menghormati hak-hak asasi manusia terhadap rakyatnya sendiri, dilihat
dari segi internasional sesungguhnya tidak hanya kepentingan negara, namun kepentingan
yang terletak dalam tata internasional menurut sifatnya dan dalam hormat untuk individu dan
kemanusiaan dalam keseluruhan, berdasar standar minimum pada hak dan kebebasan yang
dituntut oleh manusia untuk dirinya.

Ratifikasi terhadap perjanjian internasional melalui peraturan perundang-undangan


nasional di bidang hak asasi manusia merupakan upaya hukum untuk memberikan kepastian
hukum melalui peraturan perundang-undangan nasional agar perjanjian internasional dapat
berlaku mengikat bagi negara-negara yang telah melakukan ratifikasi atau pengesahan
khususnya di bidang hak asasi manusia. Hal-hal yang telah dikemukakan diatas, yang akan
menjadi pembahasan makalah ini.

3
Ibid., Hlm. 70
4
Safroedin Bahar, 1996, Hak Asasi Manusia, Analisis
Komnas HAM dan Jajaran Hankam/ABRI, Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, hlm.2

2
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah pekembangan hak asasi manusia di Indonesia?

2. Bagaimanakah undang-undang hak asasi manusia di indonesia?

3. Bagaimanakah ratifikasi perjanjian internasional hak asasi manusia di Indonesia?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pekembangan hak asasi manusia di Indonesia.

2. Untuk mengetahui undang-undang hak asasi manusia di indonesia.

3. Untuk mengetahui ratifikasi perjanjian internasional hak asasi manusia di


Indonesia.

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Perkembangan Hak Asasi Manusia di Indonesia


Wacana hak asasi manusia bukanlah wacana yang asing dalam diskursus politik dan
ketatanegaraan di Indonesia. Kita bisa menemuinya dengan gamblang dalam perjalanan
sejarah pembentukkan bangsa ini, dimana perbincangan mengenai hak asasi manusia
menjadi bagian daripadanya. Jauh sebelum kemerdekaan, para perintis bangsa ini telah
memercikkan pikiran-pikiran untuk memperjuangkan harkat dan martabat manusia yang
lebih baik. Pecikan pikiran tersebut dapat dibaca dalam surat-surat R.A. Kartini yang
berjudul “Habis Gelap Terbitlah Terang”, karangan-karangan politik yang ditulis oleh
H.O.S. Cokroaminoto, Agus Salim, Douwes Dekker, Soewardi Soeryaningrat, petisi yang
dibuat oleh Sutardjo di Volksraad atau pledoi Soekarno yang berjudul ”Indonesia
Menggugat” dan Hatta dengan judul ”Indonesia Merdeka” yang dibacakan di depan
pengadilan Hindia Belanda. Percikan-percikan pemikiran pada masa pergerakan
kemerdekaan itu, yang terkristalisasi dengan kemerdekaan Indonesia, menjadi sumber
inspirasi ketika konstitusi mulai diperdebatkan di Badan Penyelidik Usaha-usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Disinilah terlihat bahwa para pendiri
bangsa ini sudah menyadari pentingnya hak asasi manusia sebagai fondasi bagi negara.

Sub-bab ini berusaha menelusuri perkembangan wacana hak asasi manusia dalam
diskursus politik dan ketatanegaraan di Indonesia, paling tidak dalam kurun waktu setelah
kemerdekaan. Diskursus mengenai hak asasi manusia ditandai dengan perdebatan yang
sangat intensif dalam tiga periode sejarah ketatanegaraan, yaitu mulai dari tahun 1945,
sebagai periode awal perdebatan hak asasi manusia, diikuti dengan periode Konstituante
(tahun 1957-1959) dan periode awal bangkitnya Orde Baru (tahun 1966-1968). 5 Dalam
ketiga periode inilah perjuangan untuk menjadikan hak asasi manusia sebagai sentral dari
kehidupan berbangsa dan bernegara berlangsung dengan sangat serius. Tetapi sayang
sekali, pada periode-periode emas tersebut wacana hak asasi manusia gagal dituangkan ke
dalam hukum dasar negara atau konstitusi.

5
T. Mulya Lubis, In Search of Human Rights: Legal-Political Dilemmas of Indonesia’s New Order,
1966-1990, Gramedia Pustaka Utama Jakarta, 1993, khususnya bab 2.

4
Perjuangan itu memerlukan waktu lama untuk berhasil, yaitu sampai datangnya
periode reformasi (tahun 1998-2000). Periode ini diawali dengan pelengseran Soeharto
dari kursi Presiden Indonesia oleh gerakan reformasi. Inilah periode yang sangat
“friendly” terhadap hak asasi manusia, ditandai dengan diterimanya hak asasi manusia ke
dalam konstitusi dan lahirnya peraturan perundang-undangan di bidang hak asasi manusia.

1. Perdebatan Awal tentang Hak Asasi Manusia


Sesuai dengan pembabakan di atas, pemaparan berikut akan dimulai dengan
pembahasan periode pertama. Pada waktu menyusun konstitusi, Undang-Undang Dasar
1945, terjadi perdebatan mengenai apakah hak warga negara perlu dicantumkan dalam
pasal-pasal Undang-Undang Dasar? Soekarno dan Supomo mengajukan pendapat bahwa
hak-hak warga negara tidak perlu dicantumkan dalam pasal-pasal konstitusi. Sebaliknya,
Mohammad Hatta dan Muhammad Yamin tegas berpendapat perlunya mencantumkan
pasal mengenai kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pikiran dengan
lisan maupun tulisan di dalam Undang-Undang Dasar. Perdebatan dalam sidang-sidang
BPUPKI tersebut merupakan tonggak penting dalam diskursus hak asasi manusia di
Indonesia, yang memberi pijakan bagi perkembangan wacana hak asasi manusia periode-
periode selanjutnya.

Karena itu, menarik apabila kita menyimak sedikit perdebatan tersebut. Mengapa
Soekarno dan Supomo menolak pencantuman pasal-pasal hak warga negara dalam
Konstitusi Indonesia? Penolakan Soekarno dan Supomo tersebut didasarkan pada
pandangan mereka mengenai dasar negara yang dalam istilah Soekarno disebut dengan
“Philosofische grondslag” atau dalam istilah Supomo disebut “Staatsidee”-- yang tidak
berlandaskan pada faham liberalisme dan kapitalisme. Menurut pandangan Soekarno,
jaminan perlindungan hak warga negara itu yang berasal dari revolusi Prancis, merupakan
basis dari faham liberalisme dan individualisme yang telah menyebabkan lahirnya
imperialisme dan peperangan antara manusia dengan manusia. Soekarno menginginkan
negara yang mau didirikan itu didasarkan pada asas kekeluargaan atau gotongroyong, dan
karena itu tidak perlu dijamin hak warga negara di dalamnya.

Kutipan di bawah ini akan menunjukkan argumen Soekarno yang menolak


mencantumkan hak-hak warga negara:6

6
Dikutip dari pidato Soekarno tanggal 15-7-1945 di BPUPKI, berdasarkan naskah yang dihimpun
oleh RM. A.B. Kusuma, Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945, Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, Jakarta , 2004, hlm. 352.

5
“... saya minta dan menangis kepada tuan-tuan dan nyonya-nyonya, buanglah sama
sekali faham individualisme itu, janganlah dimasukkan dalam Undang-Undang
Dasar kita yang dinamakan “rights of the citizens” yang sebagai dianjurkan oleh
Republik Prancis itu adanya”. “... Buat apa kita membikin grondwet, apa gunanya
grondwet itu kalau ia tak dapat mengisi perutnya orang yang hendak mati kelaparan.
Grondwet yang berisi “droits de I’ homme et du citoyen” itu, tidak bisa
menghilangkan kelaparannya orang yang miskin yang hendak mati kelaparan. Maka
oleh karena itu, jikalau kita betul-betul hendak mendasarkan negara kita kepada
paham kekeluargaan, faham tolongmenolong, faham gotong-royong dan keadilan
sosial, enyahkanlah tiap-tiap pikiran, tiap-tiap faham individualisme dan liberalisme
dari padanya”.

Sedangkan Supomo menolak dicantumkannya hak warga negara dalam pasal-pasal


Undang-Undang Dasar dengan alasan yang berbeda. Penolakan Supomo didasarkan pada
pandangannya mengenai ide negara integralistik (staatsidee integralistik), yang
menurutnya cocok dengan sifat dan corak masyarakat Indonesia. Menurut faham tersebut
negara harus bersatu dengan seluruh rakyatnya, yang mengatasi seluruh golongan-
golongannya dalam lapangan apapun. Dalam negara yang demikian itu, tidak ada
pertentangan antara susunan hukum staat dan susunan hukum individu, karena individu
tidak lain ialah suatu bagian organik dari Staat. 7 Makanya hak individu menjadi tidak
relevan dalam paham negara integralistik, yang justru relevan adalah kewajiban asasi
kepada negara. Paham inilah yang mendasari argumen Supomo.

Sebaliknya, mengapa Hatta dan Yamin bersikeras menuntut dicantumkannya hak


warga negara dalam pasal-pasal Konstitusi? Hatta setuju dengan penolakan terhadap
liberalisme dan individualisme, tetapi ia kuatir dengan keinginan untuk memberikan
kekuasaan yang seluas-luasnya kepada negara, bisa menyebabkan negara yang ingin
didirikan itu terjebak dalam otoritarianisme. Berikut argumen Hatta: 8

“Tetapi satu hal yang saya kuatirkan kalau tidak ada satu keyakinan atau satu
pertanggungan kepada rakyat dalam hukum dasar yang mengenai haknya untuk
mengeluarkan suara, saya kuatir menghianati di atas Undang-Undang Dasar yang

7
Disarikan dari pidato Supomo tanggal 31 Mei 1945 di BPUPKI, berdasarkan naskah yang
dihimpun oleh RM. A.B. Kusuma, ibid.
8
Dikutip dari pidato Hatta tanggal 15 Juli 1945 di BPUPKI, berdasarkan naskah yang dihimpun
oleh RM A.B. Kusuma, ibid, hlm. 345-355.

6
kita susun sekarang ini, mungkin terjadi satu bentukan negara yang tidak kita
setujui”.

“Sebab itu ada baiknya dalam satu fasal, misalnya fasal yang mengenai warga
negara disebutkan di sebelah hak yang sudah diberikan juga kepada misalnya tiap-
tiap warga negara rakyat Indonesia, supaya tiaptiap warga negara itu jangan takut
mengeluarkan suaranynya. Yang perlu disebut disini hak buat berkumpul dan
bersidang atau menyurat dan lain-lain. Tanggungan ini perlu untuk menjaga supaya
negara kita tidak menjadi negara kekuasaan, sebab kita dasarkan negara kita kepada
kedaulatan rakyat”.

Begitu juga dengan Yamin. Sarjana hukum lulusan Belanda itu menolak dengan keras
argumen-argumen yang membela tidak dicantumkannya hak warga negara dalam Undang-
Undang Dasar. “Supaya aturan kemerdekaan warga negara dimasukkan dalam Undang-
Undang Dasar seluas-luasnya. Saya menolak segala alasan-alasan yang dimajukan untuk
tidak memasukkannya. Aturan dasar tidaklah berhubungan dengan liberalisme, melainkan
semata-mata satu kesemestian perlindungan kemerdekaan, yang harus diakui dalam
Undang-Undang Dasar” Yamin mengucapkan pidatonya pada sidang BPUPKI. 9 Pendapat
kedua pendiri bangsa ini didukung oleh anggota BPUPKI lainnya, Liem Koen Hian, yang
mengusulkan perlunya dimasukkan hak kemerdekaan buat drukpers, onschendbaarheid
van woorden (pers cetak, kebebasan mengeluarkan pikiran dengan lisan). 10 Mereka sangat
menyadari bahaya otoritarianisme, sebagaimana yang mereka lihat terjadi di Jerman
menjelang Perang Dunia II, apabila dalam negara yang mau didirikan itu tidak diberikan
jaminan terhadap hak warga negara.

Percikan perdebatan yang dipaparkan di atas berakhir dengan suatu kompromi. Hak
warga negara yang diajukan oleh Hatta, Yamin dan Liem Koen Hian diterima untuk
dicantumkan dalam Undang-Undang Dasar, tetapi dengan terbatas. Keterbatasan itu bukan
hanya dalam arti bahwa hak-hak tersebut lebih lanjut akan diatur oleh undang-undang,
tetapi juga dalam arti konseptual.11 Konsep yang digunakan adalah “Hak Warga Negara”
(“rights of the citizens”) bukan “Hak Asasi Manusia” (human rights). Penggunaan konsep

9
Dikutip dari pidato Muhammad Yamin tanggal 15 Juli 1945 di BPUPKI, berdasarkan naskah
yang dihimpun oleh RM A.B. Kusuma, ibid, hlm. 380.
10
Lihat RM A.B. Kusuma, ibid, hlm. 392.
11
T. Mulya Lubis, op. cit.

7
“Hak Warga Negara” itu berarti bahwa secara implisit tidak diakui paham natural rights
yang menyatakan bahwa hak asasi manusia adalah hak yang dimiliki oleh manusia karena
ia lahir sebagai manusia. Sebagai konsekuensi dari konsep itu, maka negara ditempatkan
sebagai “regulator of rights”, bukan sebagai “guardian of human rights” sebagaimana
ditempatkan oleh sistem Perlindungan Internasional Hak Asasi Manusia.

Perdebatan tersebut tidak berakhir begitu saja. Diskursus mengenai hak asasi manusia
muncul kembali sebagai usaha untuk mengoreksi kelemahan dalam Undang-Undang
Dasar 1945 pada sidang Konstituante (1957-1959).Sebagaimana terekam dalam Risalah
Konstituente, khususnya dari Komisi Hak Asasi Manusia, perdebatan disini jauh lebih
sengit dibanding dengan perdebatan di BPUPKI. “Diskusi ini merupakan pernyataan
paling jelas, paling bebas dan paling baik mengenai kesadaran tentang hak asasi manusia
di kalangan rakyat Indonesia,” rekam Buyung Nasution yang melakukan studi mendalam
tentang periode ini.12 Berbeda dengan perdebatan awal di BPUPKI, diskusi di Konstituante
relatif lebih menerima hak asasi manusia dalam pengertian natural rights,13 dan
menganggapnya sebagai substansi Undang-Undang Dasar. Meskipun ada yang melihat
dari perspektif agama atau budaya, perdebatan di Konstituante sebetulnya telah berhasil
menyepakati 24 hak asasi manusia yang akan disusun dalam satu bab pada konstitusi.
Sayang, Konstituante dibubarkan oleh Soekarno, akibatnya kesepakatan-kesepakatan yang
telah dicapai dalam Konstituante ikut dikesampingkan, termasuk kesepakatan mengenai
hak asasi manusia.

Pembubaran Konstituante tersebut diikuti oleh tindakan Soekarno mengeluarkan


dekrit yang isinya adalah pernyataan untuk kembali ke Undang-Undang Dasar 1945 yang
kemudian dikenal dengan “Dekrit 5 Juli 1959”. Dengan kembali ke Undang-Undang
Dasar 1945, maka status konstitusional hak asasi manusia yang telah diakui dalam
Konstitusi RIS dan Undang-Undang Dasar “Sementara” 1950 menjadi mundur kembali.
Makanya setelah rezim Demokrasi Terpimpin Soekarno digulingkan oleh gerakan
mahasiswa 1966, yang melahirkan rezim Orde Baru, perdebatan mengenai perlindungan
konstitusionalitas hak asasi manusia muncul kembali. Perdebatan itu muncul pada Sidang

12
2Lihat Adnan Buyung Nasution, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia: Studi
Sosio-Legal atas Konstituante 1956-1959, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1995, hlm. 132.
13
Konstituante sangat menghargai keabsahan universalitas Hak Asasi Manusia sebagai hak yang
menjadi bagian inti dari kodrat manusia dan terdapat pada setiap peradaban manusia.

8
Umum MPRS tahun 1968 di awal Orde Baru. MPRS ketika itu telah membentuk Panitia
Ad Hoc Penyusunan HakHak Asasi Manusia.14 Hasilnya adalah sebuah “Rancangan
Keputusan MPRS tentang Piagam Hak-Hak Asasi Manusia dan Hak-Hak serta Kewajiban
Warga Negara”. Tetapi sayang sekali rancangan tersebut tidak berhasil diajukan ke Sidang
Umum MPRS untuk disahkan sebagai ketetapan MPRS. Alasannya terutama diajukan oleh
fraksi Karya Pembangunan dan ABRI, akan lebih tepat jika Piagam yang penting itu
disiapkan oleh MPR hasil pemilu, bukan oleh MPR(S) yang bersifat “sementara”.

Kenyataannya, setelah MPR hasil pemilu (1971) terbentuk, Rancangan Piagam Hak
Asasi Manusia itu tidak pernah diajukan lagi. Fraksi Karya Pembangunan dan fraksi ABRI
tidak pernah mengingat lagi apa yang pernah mereka putuskan pada Sidang Umum MPRS
tahun 1968 tersebut.15 Sampai akhirnya datang gelombang besar “Reformasi”, yang
melengserkan Soeharto dari kursi Presiden Indonesia (Mei, 1998) dan membuka babak
baru wacana hak asasi manusia di Indonesia.

2. Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Baru


Presiden BJ. Habibie yang ditunjuk Soeharto sebagai penggantinya mengumumkan
kabinetnya sebagai “Kabinet Reformasi”. Presiden yang baru ini tidak punya pilihan lain
selain memenuhi tuntutan reformasi, yaitu membuka sistem politik yang selama ini
tertutup, menjamin perlindungan hak asasi manusia, menghentikan korupsi, kolusi dan
nepotisme, menghapus dwi-fungsi ABRI, mengadakan pemilu, membebaskan narapidana
politik, dan sebagainya. Perhatian pokok buku ini adalah yang berkaitan dengan wacana
hak asasi manusia pada periode reformasi.

Pada periode reformasi ini muncul kembali perdebatan mengenai konstitusionalitas


perlindungan hak asasi manusia. Perdebatkan bukan lagi soal-soal konseptual berkenaan
dengan teori hak asasi manusia, tetapi pada soal basis hukumnya, apakah ditetapkan
melalui TAP MPR atau dimasukkan dalam UUD? Gagasan mengenai Piagam Hak Asasi
Manusia yang pernah muncul di awal Orde Baru itu muncul kembali. Begitu pula gagasan
untuk mencatumkannya ke dalam pasal-pasal Undang-Undang Dasar juga muncul kembali
ke dalam wacana perdebatan hak asasi manusia ketika itu. Karena kuatnya tuntutan dari
kelompok-kelompok reformasi ketika itu, maka perdebatan bermuara pada lahirnya
14
Panitia Ad Hoc ini dibantu oleh satu Tim Asistensi ilmiah, yang antara lain, melibatkan Prof.
Hazairin SH, Dr. Soekiman Wirjosardjojo, A.G. Pringgodigdo SH, Prof. Notonogoro, SH, Achmad Subardja
SH, Prof. Sunario SH, dan Prof. SJ. N. Drijarkara. Lihat M. Dawam Rahardjo, Hak Asasi Manusia: Tantangan
Abad ke-21, makalah tidak diterbitkan, 1997.
15
Lihat T. Mulya Lubis, op cit.

9
Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia. Isinya bukan hanya
memuat Piagam Hak Asasi Manusia, tetapi juga memuat amanat kepada presiden dan
lembaga-lembaga tinggi negara untuk memajukan perlindungan hak asasi manusia,
termasuk mengamanatkan untuk meratifikasi instrumen-instrumen internasional hak asasi
manusia.16

Hasil Pemilu 1999 merubah peta kekuatan politik di MPR/DPR. Kekuatan politik pro-
reformasi mulai memasuki gelanggang politik formal, yakni MPR/DPR. Selain berhasil
mengangkat K.H. Abdurrachman Wahid sebagai presiden, mereka juga berhasil
menggulirkan terus isu amandemen Undang-Undang Dasar 1945. Pada Sidang Tahunan
MPR tahun 2000, perjuangan untuk memasukkan perlindungan hak asasi manusia ke
dalam Undang-Undang Dasar akhirnya berhasil dicapai. Majelis Permusyawaratan Rakyat
sepakat memasukan hak asasi manusia ke dalam Bab XA, yang berisi 10 Pasal Hak Asasi
Manusia (dari pasal 28A-28J) pada Amandemen Kedua Undang-Undang Dasar 1945 yang
ditetapkan pada 18 Agustus 2000. Hakhak yang tercakup di dalamnya mulai dari kategori
hak-hak sipil politik hingga pada kategori hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Selain itu,
dalam bab ini juga dicantumkan pasal tentang tanggung jawab negara terutama pemerintah
dalam perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia. Di
samping itu ditegaskan bahwa untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia
sesuai prinsip negara hukum yang demokratis maka pelaksanaan hak asasi manusia
dijamin, diatur dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.

Salah satu isu yang menjadi riak-perdebatan dalam proses amandemen itu adalah
masuknya pasal mengenai hak bebas dari pemberlakuan undang-undang yang berlaku
surut (non-retroactivity principle) yakni pasal 28I. Masuknya ketentuan ini dipandang oleh
kalangan aktifis hak asasi manusia dan aktivis pro-reformasi yang tergabung dalam
Koalisi untuk Konstitusi Baru sebagai “sabotase” terhadap upaya mengungkapkan
pelanggaran berat hak asasi manusia di masa lalu, khsususnya di masa Orde Baru.
Alasannya pasal itu dapat digunakan oleh para pelaku pelanggaran hak asasi di masa lalu
untuk menghindari tuntutan hukum. Undang-Undang Pengadilan Hak Asasi Manusia dan
Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, yang lahir setelah Amandemen
Kedua menjadi senjata yang tak dapat digunakan untuk pelanggaran hak asasi manusia di
masa lalu. Sementara anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat beralasan bahwa adanya
16
6Presiden Habibie membuat Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RAN-HAM) 1998-
2003, yang memuat agenda pemerintahannya dalam penegakan hak asasi manusia, meliputi pendidikan
dan sosialisasi hak asasi manusia serta program ratifikasi instrumen internasional hak asasi manusia.

10
pasal itu sudah lazim dalam instrumen internasional hak asasi manusia, khususnya dalam
Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (KIHSP). Selain itu, menurut anggota
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Pasal 28I itu harus dibaca pula dalam kaitannya dengan
Pasal 28J ayat (2).

Terlepas dari kontroversi yang dipaparkan di atas, Amandemen Kedua tentang Hak
Asasi Manusia merupakan prestasi gemilang yang dicapai Majelis Permusyawaratan
Rakyat pasca Orde Baru. Amandemen Kedua itu telah mengakhiri perjalanan panjang
bangsa ini dalam memperjuangkan perlindungan konstitusionalitas hak asasi manusia di
dalam Undang-Undang Dasar. Mulai dari awal penyusunan Undang-Undang Dasar pada
tahun 1945, Konstituante (1957-1959), awal Orde Baru (1968) dan berakhir pada masa
reformasi saat ini merupakan perjalanan panjang diskursus hak asasi manusia dalam
sejarah politik-hukum Indonesia sekaligus menjadi bukti bahwa betapa menyesatkan
pandangan yang menyatakan hak asasi manusia tidak dikenal dalam budaya Indonesia.

B. Undang-Undang Hak Asasi Manusia di Indonesia


Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, periode reformasi merupakan periode yang
sangat “friendly” terhadap hak asasi manusia. Berbeda halnya dengan periode Orde Baru
yang melancarkan “black-campaign” terhadap isu hak asasi manusia. Presiden B.J.
Habibie dan DPR sangat terbuka dengan tuntutan reformasi, maka sebelum proses
amandemen konstitusi bergulir, presiden lebih dulu mengajukan Rancangan Undang-
Undang Hak Asasi Manusia ke Dewan Perwakilan Rakyat untuk dibahas. Pembahasan di
Dewan Perwakilan Rakyat juga tidak memakan waktu yang lama dan pada 23 September
1999 telah dicapailah konsensus untuk mengesahkan undangundang tersebut yakni
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Undang-Undang
tersebut dilahirkan sebagai turunan dari Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak
Asasi Manusia.

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia memuat


pengakuan yang luas terhadap hak asasi manusia. Hak-hak yang dijamin di dalamnya
mencakup mulai dari pengakuan terhadap hak-hak sipil dan politik, hak-hak ekonomi,
sosial dan budaya, hingga pada pengakuan terhadap hak-hak kelompok seperti anak,
perempuan dan masyarakat adat (indigenous people). Undang-Undang tersebut dengan
gamblang mengakui paham ‘natural rights’, melihat hak asasi manusia sebagai hak kodrati
yang melekat pada manusia. Begitu juga dengan kategorisasi hak-hak di dalamnya tampak

11
merujuk pada instrumen-instrumen internasional hak asasi manusia, seperti Universal
Declaration of Human Rights, International Covenan on Civil and Political Rights,
International Covenan on Economic, Social and Cultural Rights, International
Convention on the Rights of Child, dan seterusnya. Dengan demikian boleh dikatakan
Undang-Undang ini telah mengadopsi normanorma hak yang terdapat di dalam berbagai
instrumen hak asasi manusia internasional tersebut.

Di samping memuat norma-norma hak, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999


tentang Hak Asasi Manusia juga memuat aturan mengenai Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia (bab VII). Mulai Pasal 75 sampai Pasal 99 mengatur tentang kewenangan dan
fungsi, keanggotaan, serta struktur kelembagaan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.
Jadi kalau sebelumnya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia berdiri berdasarkan
Keputusan Presiden No. 50 Tahun 1993, maka setelah disahkan Undang-Undang Nomor
39 Tahun 1999 landasan hukumnya diperkuat dengan Undang-Undang. Hal yang menarik
dalam Undang-Undang ini adalah adanya aturan tentang partisipasi masyarakat (bab VIII),
mulai dari Pasal 100 sampai Pasal 103. Aturan ini jelas memberikan pengakuan legal
terhadap keabsahan advokasi hak asasi manusia yang dilakukan oleh organisasi-organisasi
pembela hak asasi manusia atau “human rights defenders”. Selain itu, Undang-Undang ini
juga mengamanatkan pembentukan Pengadilan Hak Asasi Manusia yang harus dibentuk
paling lama dalam jangka waktu empat tahun setelah berlakunya Undang-Undang tersebut
(Bab IX).

Pertanyaannya kemudian adalah, bagaimana status Undang-Undang Nomor 39 Tahun


1999 ini setelah keluarnya Amandemen Kedua tentang Hak Asasi Manusia? Apakah tetap
berlaku atau tidak? Kaidah “ketentuan yang baru menghapus ketentuan yang lama” jelas
tidak dapat diterapkan di sini. Kaidah tersebut hanya berlaku untuk norma yang setingkat.
Karena kedudukan kedua ketentuan tersebut tidak setingkat, dan sejalan dengan
“stuffenbau theorie des rechts” (hierarchy of norm theory), norma konstitusi lebih tinggi
daripada undang-undang. Maka Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 itu tetap berlaku
dan dapat dipandang sebagai ketentuan organik dari ketentuan hak asasi manusia yang
terdapat pada amandemen kedua.

C. Ratifikasi Perjanjian Internasional Hak Asasi Manusia di Indonesia


Pembahasan selanjutnya terkait dengan penerapan instrumen internasional hak asasi
manusia ke dalam hukum nasional. Perbincangan mengenai isu ini biasanya diletakkan

12
dalam konteks dua ajaran berikut, yakni ajaran dualis (dualistic school) dan ajaran monis
(monistic school). Ajaran yang pertama melihat hukum internasional dan nasional sebagai
dua sistem hukum yang terpisah dan berdiri sendiri-sendiri. Sedangkan ajaran yang kedua
melihat hukum internasional dan nasional sebagai bagian integral dari sistem yang sama.
Meskipun kedua ajaran tersebut dalam prakteknya tumpang-tindih, biasanya negara yang
dirujuk menganut ajaran monis adalah Inggris dan Amerika Serikat. Tetapi hanya Amerika
Serikat yang menyatakan dengan gamblang dalam konstitusinya bahwa “all treaties made
or which shall be made, under the Authority of the United States, shall be the supreme
Law of the Land; and the judges in every State shall be bound thereby”.17 Inilah bedanya
dengan Indonesia, yang boleh dikatakan lebih dekat dengan ajaran yang pertama. Hal ini
terlihat dari ketentuan Pasal 11 ayat (2) Undang Undang Dasar 1945.18

Sebagai bagian dari masyarakat internasional, Indonesia juga tidak bisa menafikan
hukum internasional, tetapi penerapannya harus sesuai dengan ketentuan hukum
Indonesia. Seperti dikatakan di atas, Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Dasar
mensyaratkan dalam proses pemberlakuan hukum internasional ke dalam hukum nasional
terlebih dahulu mengambil langkah transformasi melalui proses perundang-undangan
domestik. Proses ini dikenal dengan ratifikasi atau aksesi. Jadi meskipun Indonesia telah
memiliki basis hukum perlindungan hak asasi manusia yang kuat di dalam negeri seperti
dipaparkan di muka, tetap dipandang perlu untuk mengikatkan diri dengan sistem
perlindungan internasional hak asasi manusia. Sebab dengan pengikatan itu, selain
menjadikan hukum internasional sebagai bagian dari hukum nasional (supreme law of the
land), juga memberikan landasan legal kepada warga negaranya untuk menggunakan
mekanisme perlindungan hak asasi manusia internasional, apabila ia (warga negara)
merasa mekanisme domestik telah mengalam “exshausted” alias menthok.19

Penegakan hukum pemerintah melalui program Rencana Aksi Nasional Hak Asasi
Manusia (RAN HAM) merupakan komitmen pemerintah Indonesia terhadap

17
Dikutip dari Oscar Schachter, “The Charter and the Constitution: The Human Rights Provisions
in American Law”, Vand. L. Rev, 643 Vil 4, hal 643, 1951.
18
Ketentuan itu berbunyi, “Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang
menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan
negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan
Dewan Perwakilan Rakyat”
19
Landasan legal ini diperkuat oleh Pasal 17 (1) UU No.39/1999 yang menyatakan “Setiap orang
berhak untuk menggunakan semua upaya hukum nasional dan forum internasional atas semua pelanggaran
Hak Asasi Manusia yang dijamin oleh hukum Indonesia dan hukum internasional mengenai Hak Asasi
Manusia yang telah diterima oleh negara Republik Indonesia”.

13
penghormatan, perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan HAM baik di pusat
maupun daerah di seluruh indonesia dengan memperhatikan aspek pluralisme dan
multikulturalisme. Oleh karena itu, mandat tersebut harus dipahami, dijadikan acuan dan
dilaksanakan oleh semua penyelenggara kekuasaan negara secara akuntabel. RAN HAM
merupakan politik HAM negara untuk memberikan perlindungan dan pemenuhan HAM
bagi setiap orang yang ada di Indonesia oleh para penyelenggara kekuasaan negara untuk
menjalankan tugas mereka mengabdi kepada masyarakat dengan berorientasi pada HAM,
serta dengan membangun kerjasama yang sinergistik antar lembaga pemerintah dengan
masyarakat madani. Penegakan hukum tersebut perlu ditopang oleh budaya hukum
masyarakat yang ada, yakni pemahaman masyarakat tentang arti pentingnya HAM,
pengakomodasian hak ekonomi, sosial dan budaya masyarakat dalam setiap pengambilan
keputusan. Pelaksanaan RAN HAM tahun 2004-2009 disadari belum sepenuhnya tercapai
sesuai dengan rencana yang ditetapkan, meskipun telah terbentuk 456 (empat ratus lima
puluh enam) panitia RAN HAM di provinsi dan kabupaten/kota. Keadaan tersebut karena
pemahaman HAM anggota panitia RAN HAM masih belum memadai, belum optimalnya
koordinasi dan konsultasi baik antar lembaga / unit yang diwakili dalam panitia RAN
HAM maupun dengan lembaga di luar panitia RAN HAM semata-mata menjadi tanggung
jawab kementerian hukum dan HAM. tidak semua program utama RAN HAM
dilaksanakan sebagaimana mestinya baik di tingkat pusat maupun daerah karena tidak
adanya petunjuk yang konkret sebagai panduan, sehingga berakibat kegiatan bertumpu
pada sosialisasi dan diseminasi.20

Ratifikasi perjanjian internasional melalui peraturan perundang-undangan nasional hak


asasi manusia terdiri dari:

1. Ketetapan MPR Republik Indonesia Nomor XVII/MPR/1998 Tentang Hak Asasi


Manusia yang menerima pemberlakuan Deklarasi Universal HAM 1948;

2. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 Tentang Pengesahan International Covenant


on Economic, Social and Cultural Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak
Ekonomi dan Sosial Budaya);

3. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan International Covenant


on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan
Politik);
20
Ibid. hlm. 1050-1051.

14
4. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1999 Tentang International Convention on The
Elimination of All Forms of Racial Discrimination 1965 (Konvensi Internasional
Tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial 1965);

5. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 Tentang Pengesahan Convention Against


Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment
(Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan Atau Penghukuman Lain Yang
Kejam, Tidak Manusiawi, Atau Merendahkan Martabat Manusia);

6. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 Tentang Pengesahan Konvensi Mengenai


Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (Convention on The
Elimination of All Forms of Discrimination Against Women) 1979;

7. Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 Tentang Pengesahan Convention on The


Rights of The Child (Konvensi Tentang Hak-Hak Anak) 1989.

15
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
1. Hak warga negara yang diajukan oleh Hatta, Yamin dan Liem Koen Hian
diterima untuk dicantumkan dalam Undang-Undang Dasar, tetapi dengan
terbatas. Keterbatasan itu bukan hanya dalam arti bahwa hak-hak tersebut lebih
lanjut akan diatur oleh undang-undang, tetapi juga dalam arti konseptual.
Konsep yang digunakan adalah “Hak Warga Negara” (“rights of the citizens”)
bukan “Hak Asasi Manusia” (human rights). Penggunaan konsep “Hak Warga
Negara” itu berarti bahwa secara implisit tidak diakui paham natural rights yang
menyatakan bahwa hak asasi manusia adalah hak yang dimiliki oleh manusia
karena ia lahir sebagai manusia. Sebagai konsekuensi dari konsep itu, maka
negara ditempatkan sebagai “regulator of rights”, bukan sebagai “guardian of
human rights” sebagaimana ditempatkan oleh sistem Perlindungan Internasional
Hak Asasi Manusia. Konstituante dibubarkan oleh Soekarno, akibatnya
kesepakatan-kesepakatan yang telah dicapai dalam Konstituante ikut
dikesampingkan, termasuk kesepakatan mengenai hak asasi manusia.
Pembubaran Konstituante tersebut diikuti oleh tindakan Soekarno mengeluarkan
dekrit yang isinya adalah pernyataan untuk kembali ke Undang-Undang Dasar
1945 yang kemudian dikenal dengan “Dekrit 5 Juli 1959”. Pada Sidang
Tahunan MPR tahun 2000, perjuangan untuk memasukkan perlindungan hak
asasi manusia ke dalam Undang-Undang Dasar akhirnya berhasil dicapai.
Majelis Permusyawaratan Rakyat sepakat memasukan hak asasi manusia ke
dalam Bab XA, yang berisi 10 Pasal Hak Asasi Manusia (dari pasal 28A-28J)
pada Amandemen Kedua Undang-Undang Dasar 1945 yang ditetapkan pada 18
Agustus 2000.

2. Presiden B.J. Habibie dan DPR sangat terbuka dengan tuntutan reformasi, maka
sebelum proses amandemen konstitusi bergulir, presiden lebih dulu mengajukan
Rancangan Undang-Undang Hak Asasi Manusia ke Dewan Perwakilan Rakyat
untuk dibahas. Pembahasan di Dewan Perwakilan Rakyat juga tidak memakan
waktu yang lama dan pada 23 September 1999 telah dicapailah konsensus untuk
mengesahkan undang undang tersebut yakni Undang-Undang Nomor 39 Tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia. Undang-Undang tersebut dilahirkan sebagai
turunan dari Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia.

3. Penegakan hukum pemerintah melalui program Rencana Aksi Nasional Hak


Asasi Manusia (RAN HAM) merupakan komitmen pemerintah Indonesia
terhadap penghormatan, perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan

16
HAM baik di pusat maupun daerah di seluruh indonesia dengan memperhatikan
aspek pluralisme dan multikulturalisme. Ratifikasi perjanjian internasional
melalui peraturan perundang-undangan nasional hak asasi manusia terdiri dari
1). Ketetapan MPR Republik Indonesia Nomor XVII/MPR/1998 Tentang Hak
Asasi Manusia yang menerima pemberlakuan Deklarasi Universal HAM 1948,
2). Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 Tentang Pengesahan International
Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (Kovenan Internasional
Tentang Hak-Hak Ekonomi dan Sosial Budaya), 3). Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2005 Tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political
Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik), 4). Undang-
Undang Nomor 29 Tahun 1999 Tentang International Convention on The
Elimination of All Forms of Racial Discrimination 1965 (Konvensi
Internasional Tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial 1965),
5). Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 Tentang Pengesahan Convention
Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or
Punishment (Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan Atau
Penghukuman Lain Yang Kejam, Tidak Manusiawi, Atau Merendahkan
Martabat Manusia), 6). Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 Tentang
Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
Terhadap Wanita (Convention on The Elimination of All Forms of
Discrimination Against Women) 1979, dan 7). Keputusan Presiden Nomor 36
Tahun 1990 Tentang Pengesahan Convention on The Rights of The Child
(Konvensi Tentang Hak-Hak Anak) 1989.

B. SARAN
1. Hak warga negara yang diajukan oleh Hatta, Yamin dan Liem Koen Hian
diterima untuk dicantumkan dalam Undang-Undang Dasar, tetapi dengan
terbatas dan Pembubaran Konstituante diikuti oleh tindakan Soekarno
mengeluarkan dekrit yang isinya adalah pernyataan untuk kembali ke Undang-
Undang Dasar 1945 yang kemudian dikenal dengan “Dekrit 5 Juli 1959” akan
tetapi Pada Sidang Tahunan MPR tahun 2000, perjuangan untuk memasukkan
perlindungan hak asasi manusia ke dalam Undang-Undang Dasar akhirnya
berhasil dicapai. Untuk itu sebagai warga negara yang baik, masyarakat
semestinya mentaati setiap aturan atau hukum yang telah dibuat. Aturan yang
dibuat bertujuan agar dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Bangsa yang baik
adalah bangsa yang taat kepada hukum.

2. Dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia


negara Indonesia sangat menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia, maka kita
sebagai warga negara harus menghormati dan menghargai Hak Asasi Manusia
setiap orang. Negara juga harus menghargai dan menghormati Hak Asasi
Manusia itu dengan adil. Serta menjamin dan melindungi Hak Asasi Manusia
setiap orang, menindak tegas para pelaku pelanggaran Hak Asasi Manusia tanpa

17
membedakan agama, ras, suku bangsa, miskin atau kaya, pejabat atau rakyat
biasa. Sehingga keadilan dan kepastian hukum bisa dirasakan oleh setiap warga
negara.

3. Ratifikasi perjanjian internasional melalui peraturan perundang-undangan


nasional hak asasi manusia, perlu memperhatikan bahwa pengesahan perjanjian
internasional dilakukan dengan undang-undang apabila berkenaan dengan
masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara, perubahan
wilayah atau penetapan batas wilayah negara Republik Indonesia, kedaulatan
atau hak berdaulat negara, hak asasi manusia dan lingkungan hidup,
pembentukan kaidah hukum baru; pinjaman dan/atau hibah luar negeri. perlu
diperhatikan setiap undang-undang atau keputusan presiden tentang pengesahan
perjanjian internasional ditempatkan dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.Penempatan peraturan perundang-undangan pengesahan suatu
perjanjian internasional di dalam lembaran negara dimaksudkan agar setiap
orang dapat mengetahui perjanjian yang dibuat pemerintah dan mengikat
seluruh warga negara Indonesia.

18
DAFTAR PUSTAKA

Haryanto, Tenang, et al. "Pengaturan tentang Hak Asasi Manusia Berdasarkan Undang-
Undang Dasar 1945 Sebelum dan Setelah Amandemen." Jurnal Dinamika Hukum
8.2 (2013): 136-144.

Hidayat, Eko. "Perlindungan hak asasi manusia dalam negara hukum indonesia." ASAS
8.2 (2016).

Ramaida Hamada, Gita. "DINAMIKA PERKEMBANGAN HAK ASASI MANUSIA DI


INDONESIA." (2019).

Rampen, Yesaya. "RATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL MELALUI


PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN NASIONAL DI BIDANG HAK
ASASI MANUSIA." LEX PRIVATUM 10.4 (2022).

Universitas Islam Indonesia (Yogyakarta). Pusat Studi Hak Asasi Manusia (PUSHAM), et
al. Hukum hak asasi manusia. Pusat Studi Hak Asasi Manusia, Universitas Islam
Indonesia (PUSHAM UII), 2008.

19
HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA

Makalah ini Disusun untuk Memenuhi Tugas Kelompok


Mata Kuliah: Hukum Hak Asasi Manusia

DOSEN PENGAMPU:
Muklis, S.H., M.H.
BOBBY RAHMAN (2206200004)
MHD DEDEN ALFARIJI SIMOBOLON (2206200008)
M. NUR HASAN (2206200002)
M. LUTHFI PANGESTU (2206200005)
RAKHA DWI PUTRA (2206200009)

FAKULTAS HUKUM
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SUMATERA UTARA
2022/2023

Anda mungkin juga menyukai