TENTANG
Disusun Oleh:
Kelas A2 / Semester 6
FAKULTAS HUKUM
BANDUNG
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat dan
anugerah-Nya kepada Kami semua, sehingga Kami dapat menyelesaikan tugas
ini dalam bentuk makalah dengan sedaya mampu Kami. Kami juga berterima
kasih kepada Dosen Pengampu Mata Kuliah Hak Asasi Manusia yaitu Dewi Asri
Puannandini, S.H., M.H. yang telah memberikan Kami inspirasi atau motivasi
sehingga Kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini.
Dalam pembuatan tugas makalah ini, akan membahas sebuah makalah yang
berjudul tentang “MASALAH HUKUMAN MATI TERHADAP HAK ASASI
MANUSIA” sebagai persyaratan pemenuhan Mata Kuliah Hak Asasi Manusia.
Sebagai penulis, Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan dan
kelemahan dalam pembuatan makalah ini, untuk itu Kami mengaharapkan kritik
dan saran yang sifatnya membangun dari saudara/saudari, demi
mengembangkan dan menyempurnakan isi makalah ini di masa yang akan
datang.
Demikianlah yang dapat kami sampaikan, akhir kata kami ucapkan terima kasih.
Penyusun
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...................................................................................................i
DAFTAR ISI................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
BAB III
3.1 KESIMPULAN.............................................................................................8
3.2 SARAN.........................................................................................................8
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................10
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Hak asasi manusia menjadi bahasan penting setelah Perang Dunia II dan pada
waktu pembentukan Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1945. Istilah HAM
menggantikan istilah Natural Rights. Hal ini karena konsep hukum alam yang
berkaitan dengan hak-hak alam menjadi suatu kontroversial. Hak asasi manusia yang
dipahami sebagai natural rights merupakan suatu kebutuhan dari realitas sosial yang
bersifat universal. Dalam perkembangannya telah mengalami perubahan-perubahan
mendasar sejalan dengan keyakinan dan praktek-praktek sosial di lingkungan
kehidupan masyarakat luas Semula HAM berada di negara-negara maju. Sesuai
dengan per- kembangan kemajuan transportasi dan komunikasi secara meluas, maka
negara berkembang seperti Indonesia, mau tidak mau sebagai anggota PBB, harus
menerimanya untuk melakukan ratifikasi instrumen HAM internasional sesuai
dengan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, serta kebudayaan bangsa
Indonesia. Perkembangan HAM di Indonesia, sebenarnya dalam UUD 1945 telah
tersurat, namun belum tercantum secara transparan. Setelah dilakukan Amandemen I
s/d IV Undang-Undang Dasar 1945, ketentuan tentang HAM tercantum pada Pasal
28 A s/d 28). Sebenarnya pada UUDS 1950 yang pernah berlaku dari tahun 1949-
1950, telah memuat pusal-pasal tentang HAM yang lebih banyak dan lengkap
dibandingkan UUD 1945. Namun Konstituante yang terbentuk melalui pemilihan
umum tahun 1955 dibubarkan berdasarkan Keppres Nomor 150 tahun 1959, tanggal
5 Juli 1959. Secara otomatis hal ini mengakibatkan kita kembali lagi pada UUD 1945
Kemudian berbagai pihak untuk melengkapi UUD 1945 yang berkaitan dengan
HAM, melalui MPRS dalam sidang-sidangnya awal orde baru telah menyusun
Piagam Hak-hak Asasi Manusia dan Hak-hak serta kewajiban warga Negara. MPRS
telah menyampaikan Nota MPRS kepada Presiden dan DPR tentang pelaksanaan
hak-hak asasi. Karena berbagai kepentingan politik pada saat itu, akhimya tidak jadi
diberlakukan. Dapat dilihat ban dan beranggapan bahwa masalah HAM sudah diatur
dalam beban peraturan perundang-undangan. Untuk menghapus kekecewaan kepada
bangsa Indonesia terhadap Piagam HAM, maka MPR pada Sidang Istimewanya
tanggal 11 Nopember 1998 mensahkan Ketetapan MPR Nomor XVIUMPR/1998
yang menugaskan kepada Lembaga-lembaga Tinggi Negara dan seluruh Aparatur
Pemerintah, untuk menghormati, menegakkan, dan menyebarluaskan pemahaman
mengenai HAM kepada seluruh masyarakat. pemerintahan orde baru pada saat itu
bersikap anti terhadap Piagam HAM.
1
HAM di Indonesia Proses globalisasi yang bergulir pada tahun 80-an, bukan saja
masalah kehidupan ekonomi, tetapi telah melanda dalam kehidupan politik, hankam
iptek, pendidikan, sosial budaya, dan hukum. Globalisasi di bidang politik. tidak
terlepas dari pergerakan tentang HAM, transparansi, dan demokratisasi Adanya
globalisasi dalam pergerakan HAM, maka Indonesia harus. menggabungkan
instrumen-instrumen HAM internasional yang diakui oleh negara-negara anggota
PBB, ke dalam hukum positif nasional sesuai dengan kebudayaan bangsa Indonesia
dengan memperkuat lembaga masyarakat, lembaga studi, mempromosikan dan
melindungi HAM terhadap kehidupan masyarakat bangsa Indonesia.
2
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana nilai-nilai hak asasi manusia untuk hidup diatur dalam sistem hukum
di Indonesia?
3
BAB II
PEMBAHASAN
Mengacu pada istilah non-derogable rights, sebagai asal dari frasa “hak asasi
manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaana apapun” yang terdapat dalam
Pasal 28I ayat (1), maka kita juga akan sampai kepada kesimpulan yang sama, bahwa
sebagai hukum, hukuman mati harusnya gugur sejak perubahan kedua UUD 1945 di
tahun 2000. Pengaturan Hak Asasi Manusia dalam Undang Undang Nomor 39 Tahun
1999 dan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 serta Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenan on Civil and Political Rights
(Kovenan Internasional tentang hak-hak Sipil dan Politik).
4
Indonesia juga telah meratifikasi Internatoinal Covenant on Civil and Political Right
(ICCPR) atau perjanjian internasional tentang hak-hak sipil dan politik yang
kemudian telah disahkan melalui Undang-Undang No 12 Tahun 2005 tentang
pengesahan Internasional Covenant on Civil and Political Rights. Pasal 6
undangundang tersebut menyebutkan :
1. setiap manusia berhak atas hak untuk hidup yang melekat pada dirinya. Hak ini
wajib dilindungi oleh hukum. tidak seorang pun dapat dirampas hak hidupnya secara
sewenang-wenang.
5. Hukuman mati tidak boleh dijatuhkan atas kejahatan yang dilakukan oleh
seseorang dibawah usia delapan belas tahun dan tidak boleh dilaksanakan terhadap
perempuan yang tengah mengandung.
6. Tidak ada satu pun dalam pasal ini yang boleh dipakai untuk menunda atau
mencegah pengapusan hukuman mati oleh negara yang menjadi pihak dalam
konvenan ini.
Pidana mati adalah salah satu bentuk pemidanaan yang paling tua, setua peradaban
umat manusia. Alasan yang popular untuk membenarkan hukuman mati sebagai
hukuman efektif, antara lain, hukuman mati paling tepat dijatuhkan terhadap
terpidana yang kesalahannya sudah tidak dapat diperbaiki lagi. Dari segi ekonomi,
hukuman mati membutuhan biaya yang lebih kecil daripada hukuman seumur hidup.
5
Hukuman mati juga digunakan sebagai alat untuk menakutnakuti agar tidak
melakukan kejahatan serupa.Pidana mati juga merupakan bentuk hukuman yang
paling menarik untuk dikaji semua negara, termasuk Indonesia. Pidana mati menjadi
sorotan Internasional karena kurang lebih 154 negara telah menghapuskan
keberadaan pidana mati. Di Indonesia Pidana mati sudah merupakan suatu ketentuan
hukum positif. Di Belanda sebagai negara penjajah, pidana mati sudah dihapuskan
sejak 1870. Di Indonesia (Hindia Belanda) pidana mati dipertahankan dengan
pertimbangan kolonial. Kini bergantung pada kemandirian para hakim dengan
kebebasan yang dibatasi undang-undang dan denganberpedoman pada hati nurani
untuk mementukan akan menjatuhkan pidana mati atau tidak. Penelitian secara
kriminologis menunjukan bahwa efek menakutkan dari pidana mati tidak ada. Sekali
lagi ditekankan bahwa dari aspek kriminologi, pidana mati, baik sebagai sarana
sretributif maupun sebagai sarana “deterrent” tidak akan menyelesaikan persoalan.
Lagi pula badan-badan internasional pada umunya menolak diterapkannya pidana
mati.Salah satu contoh penjatuhan hukuman mati yaitu Muhammad Hafeez (32
tahun), warga negara Pakistan, telah dijatuhi hukuman mati pada Rabu 28 November
oleh majelis hakim yang diketahui oleh Soleh Mokoginta di Pengadilan Negeri
Tangerang. Hafeez dinyatakan terbukti bersalah menyeludupkan heroin seberat 1.050
gram melalui Bandara Soekarno Hatta, pada 26 Juni 2001. Putusan ini sesuai dengan
tuntutan hukuman mati dari Jaksa Penuntut Umum Ferry Silalahi berdasarkan
tuntutan Pasal 82 Ayet 1 (a) No. 22/1999 tentang narkotika.
Penerapan hukuman mati sama sekali tidak bertentangan dengan UUD 1945, tidak ada
satu pun ketentuan dalam UUD 1945 hasil amandemen yang meniadakan hukuman
mati. Kalau seseorang sudah membunuh , sudah mengedarkan narkotika, dan itu
berakibat yang lebih banyak kepada orang lain, apakah dia layak di dalam negara yang
sesuai dengan Pancasila? Jadi, batasan itu tetap, walaupun di sini hak untuk tidak
disiksa dan sebagainya. Tapi, hak ini bisa dibatasi kalau itu (diatur) dalam undang-
undang.
6
Sebagian kalangan yang menyatakan menolak hukuman mati telah mengutip dan
menafsirkan Pasal 28I UUD 1945 secara terpenggal-penggal. Dalam mengutip Pasal 28I
UUD 1945, kelompok tersebut hanya berkutat pada ayat (1). Padahal, ayat tersebut
masih terkait erat dengan ayat selanjutnya yakni ayat (5). Hal demikian dikenal sebagai
penafsiran sistematis terhadap UU.
Misalnya Pasal 28I ayat (1), hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, kemerdekaan
pikiran dan hati nurani, bergama, hak untuk tidak diperbudak, hak-hak ini tidak dapat
dikurangi dengan alasan apapun. Tapi, kemudian di sini dalam Pasal 28I ayat (5) untuk
menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum
yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur dan dituangkan
dalam peraturan perundang-undangan. Selain itu, tidak adanya pertentangan antara
Pasal 28I dan Pasal 28J UUD 1945. "Pasal 28J menyebutkan dalam menjalankan hak
dan kebebasannya setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan
dengan undang-undang. berarti haknya itu bukan haknya orang yang dihukum mati
saja, tapi haknya orang lain yang juga takut hal itu akan terjadi kembali.
Melindungi masyarakat
penjatuhan hukuman mati atas diri seseorang terjadi karena dalam menjalankan hak
asasinya orang yang bersangkutan telah melanggar hak asasi orang lain di
lingkungannya. Dengan demikian, penerapan hukuman mati bertujuan untuk
melindungi masyarakat yang takut tidak pidana tertentu terulang kembali baik oleh
pelaku yang sama maupun orang lain.
Kita tentu sering mendengar di masyarakat bahwa para pelaku pembunuhan ataupun
pengedar narkotika yang telah menjalani hukuman atau para residivis seringkali
mengulangi perbuatannya begitu kembali ke masyarakat. Tentu saja, tanpa menafikan
sebagian residivis yang kemudian berprilaku baik selepas dari penjara.
masalah sangat penting yang harus diperhatikan pemerintah terkait dengan hukuman
mati adalah memberikan kepastian kepada para terpidana mati mengenai pelaksanaan
eksekusi. seharusnya para terpidana mati tidak dibiarkan terlalu lama menunggu
turunnya keputusan Presiden tentang diterima atau ditolaknya permohonan grasi yang
mereka ajukan. Jadi, itu mestinya cepat. Begitu ada putusan, maka grasinya itu segera
ditetapkan ditolak atau diterima. Eksekusinya cepat. Kalau tidak di situ menimbulkan
keraguan seseorang dan juga menimbulkan suatu perasaan yang tidak enak bagi
terpidana sendiri.
7
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Hak Asasi Manusia adalah hak pokok atau hak dasar yang dibawa orang sejak lahir
yang secara kodrat melekat pada setiap manusia dan tidak dapat di gugat karena
merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Pemerintah, dan setiap orang demi
kehormatan serta perlindungan dan martabat manusia. Berdasarkan hal tersebut di atas
dapat dikatakan bahwa hak asasi manusia pokok bersifat universal. Buktinya adalah
bahwa hak dasar ini dimiliki manusia dan tidak dapat dipisahkan dari pribadi siapapun
dari mana manusia berada itu berada. Sejarah perkembangan HAM tidak terlepas
dengan sejarah Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB). Ketika menandatangani Piagam
PBB 1945, timbul pemikiran tentang perlu adanya hak-hak manusia yang perlu tinggi
sebagai hak asasi yang menjadi tanggung jawab internasional. Maka 1946, PBB
membentuk Komisi Hak Asasi Manusia dengan tugas untuk membuat rancangan
ketentuan internasional tentang hak-hak asasi manusia.
Nilai-Nilai Hak Asasi Manusia di Indonesia bersumber dan bermuara pada Pancasila.
Hak Asasi Manusia mendapat jaminan yang kuat dari falsafah bangsa, yaitu Pancasila.
Selain itu Konstitusi yang ada di Indonesia pada dasarnya mengatur hak asasi manusia
yang bersumber pada Pancasila dan perkembangan pengaturan secara umum.
Penerapan Hukuman Mati dalam sistem hukum di Indonesia bertentangan dengan hak
asasi manusia yaitu hak untuk hidup yang tercantum dalam nilainilai pancasila dan
dijamin oleh UndangUndang Dasar 1945.
3.2 SARAN
Hukuman Mati sebaiknya diganti dengan penjara seumur hidup yang lebih relevan
dengan penghormatan terhadap hak asasi manusia dan lebih memposisikan manusia itu
sendiri sebagai makluk yang mulia.
8
DAFTAR PUSTAKA
Sahetapy, J.E.2007. Pidana Mati Dalam Negara Pancasila. Bandung: PT Citra Aditya
Bakti.