Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH KEWARGANEGARAAN

HAK ASASI MANUSIA DAN RULE OF LAW

Makalah ini Disusun Guna Untuk Melengkapi Mata Kuliah Kewarganegaraan

Dosen Pengampu: Mariyo, M.Pd.

Disusun Oleh :

1. Dwi Ayu Saputri (223151077)


2. Naufalano Hanifah Nugroho (223151084)
3. Fajri Nur Wahid (223151091)
4. Mohammad Agus Hanif (223151094)
5. Anisa Della Saputri (223151105)

PROGRAM STUDI MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM

FAKULTAS ULMU TARBIYAH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN MAS SAID SURAKARTA

2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah SWT karena atas izin, rahmat
dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan makalah maksud dan tujuan ilmu
filsafat dengan baik. Makalah berjudul “Hak Asasi Manusia dan Rule of Law”
ini disusun dengan tujuan untuk menyelesaikan tugas mata kuliah
Kewarganegaraan pada semester ini. Melalui makalah ini, kami berharap agar
kami serta para pembaca mampu mengetahui dan memehmi materi yang telah
disampaikan.

Kami mengucapkan terimakasih pada dosen pengampu mata kuliah


Kewarganegaraan yaitu bapak Mariyo, M.pd. i. Yang telah memberikan tugas ini
sehingga kami dapat belajardan mendapat pengetahuan mengenai “Hak Asasi
Manusia dan Rule of Law”.

Demikian harapan kami bahwa makalah ini dapat bernilai baik, dan dapat
digunakan dengan sebai baiknya. Kami menyadari bahwa makalah yang kami
susun ini belumlah sempurna untuk itu kami mengharapka kritik dan saran dalam
rangka penyempurnaan untuk pembuatan makalah selanjutnya. Sesudah itu dan
sebelumnya kami ucapkan terimakasih.

Surakarta, 18 Oktober 2022

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................
DAFTAR ISI...................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN...............................................................................
A. Latar Belakang...........................................................................................
B. Rumusan Masalah......................................................................................
C. Tujuan Penulisan.......................................................................................
BAB II PEMBAHASAN.................................................................................
A. HAK ASASI MANUSIA.........................................................................
1. Pengertian Hak Asasi Manusia...........................................................
2. Sejarah Hak Asasi Manusia................................................................
3. Tujuan Hak Asasi Manusia.................................................................
4. Perkembangan pemikiran HAM di Duna...........................................
5. The Four Freedoms(empat kebebasan) abad ke-20............................
6. Hal Asasi Manusia di Indonesia.........................................................
7. Lembaga Penegak HAM....................................................................
B. RULE OF LAW.......................................................................................
1. Pengertian Rule Of Law.....................................................................
2. Fumgsi Rule Of Law..........................................................................
3. Lembaga Rule Of Law.......................................................................
4. Dinamika Pelaksanaan Rule Of law...................................................
BAB III PENUTUP.........................................................................................
A. KESIMPULAN.........................................................................................
B. SARAN......................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................
BAB I

PENDAULUAN

A. Latar Belakang
Secara umum Negara dan konstitusi merupakan dua lembaga yang tidak
dapat dipisahkan satu sama lain. Bahkan, setelah abad pertengahan yang
ditandai dengan ide demokrasi dapat dikatakan tanpa konstitusi Negara
tidak mungkin terbentuk. Konstitusi merupakan hukum dasarnya suatu
Negara. Dasar-dasar penyelenggaraaan bernegara didasarkan pada
konstitusi sebagai hukum dasar. Negara yang berlandaskan kepada suatu
konstitusi dinamakan Negara konstitusional. Akan tetapi, untuk dapat
dikatakan secara ideal sebagai Negara konstitusional maka konstitusi
Negara tersebut harus memenuhi sifat-sifat dan ciri-ciri dari
konstitusionalisme. Jadi Negara tersebut harus menganut gagasan tenttang
konstitusionalisme. Konstitusionalisme sendiri merupakan suatu ide,
gagasan, atau paham.
Manusia hidup bersama dalam berbagai kelompok yang beragam latar
belakangnya. Mula-mula manusia hidup dalam sebuah keluarga. Lalu
berdasarkan kepentingan dan wilayah tempat tinggalnya, ia hidup dalam
kestuan sosial yang disebut masyarakat dan pada akhirnya menjadi bangsa.
Bangsa adalah kumpulan masyarakat yang membentuk suatu negara.
Berkaitan dengan tumbuh kembangnya bangsa, terdapat berbagai teori
besar dari para ahli untuk mewujudkan suatu bangsa yang memiliki sifat
dan karakter sendiri. Istilah bangsa memiliki berbagai makna dan
pengertian nya yang berbeda-beda. Bangsa merupakan terjemahan dari
kata “nation” (dalam bahasa inggris). Kata nation bermakna keturunan
atau bangsa.

B. Rumusan Masalah
Brdasarkan latar belakang tersebut, masalah masalah yng dibhas dapat
dirumuskan sebagai berikut:
1. Apakah pengertian hak asasi manusia?
2. Apakah tujuan Hak Asasi Manusia?
3. Bagaimana perkembangan pemikiran HAM didunia dan di
Indonesia?
4. Apasaja lembaga penegak HAM?
5. Pengertian Rule of Law
6. Fungsi Rule of Law
7. Lembaga Rule of Law
8. Dinamika pelaksanaan Rule of Law

C. Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah:
BAB II

PEMBAHASAN

A. HAK ASASI MANUSIA


1. PENGERTIAN HAM
Republik Indonesia mengakui dan menjungjung tinggi HAM dan
kebebasn dasar sebagai hak yang kodrati melekat dan tidak terpisahkan dari
setiap manusia yang harus dilindungi, dihormati, ditegkkan, demi
peningkatan martabat kemanusiaan, kesejahteraan, kebahagiaan, dan
kecerdasan, serta keadilan.
Prof. Mr. Koentjoro Poerbopranoto (1976), mendefinisikan hak
asasi adalah yang bersifat asasi artinya hak hak yang dimiliki manusia
menurut kodratnya yang tidak dapat dipisahkan dari hakikatnya, sehingga
berifat suci. Jadi hak asasi dapat dikataan sebagai hak dasar yang dimiliki
oleh setiap pribadi manusia sehingga hak asasi itu tidak dapat dipisahkan
dari eksistensi pribadi manusia itu sendiri.
Prof.Dr.Maryam Budihardjo (1978),mendefinisikan sebagai hak
yang dimiliki manusia yang telah diperoleh dan dibawanya bersamaan
dengan kelahirannya atau kehadirannya di dalam kehidupan
bermasyarakat.Beberapa hak itu dimilikinya tanpa perbedaan
bangsa,ras,agama,dan jenis kelamin,Oleh karena itu,bersifat asasi dan
universal.Berdasarkan hak asasi manusia harus memperoleh kesempatan
untuk berkembang sesuai dengan bakat dan cita citanya.
John locke,Ham adalah hak hak yang diberikan langsung oleh tuhan
yang maha pencipta sebagai hak yang kodrati.
Penjelasan menurut undang undang nomor 39 tahun 1999 tentang
HAM adalah sebagai berikut:HAM adalah seperangkat hak yang melekat
pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk tuhan YME dan
merupakan anugrahnya yang wajib dihormati,dijunjung tinggi dan
dilindungi oleh negara,hukum,pemerintah dan setiap orang demi
kehormatan serta perlindungan rakyat dan martabat manusia.Kewajiban
Dasar Manusia adalah seperangkat kewajiban yang apabila tidak
dilaksanakan tidak memungkinkan terlaksana dan tegaknya hak asasi
manusia.
Pernyataan sedunia tentang hak hak asasi manusia,pasal 1;”Setiap
orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak hak yang
sama.Mereka dikaruniai akal dan budi dan hendaknya bergaul satu sama
lain dalam persaudaraan”.

Hak asasi manusia yang termaktub didalam UUD 1945 cukup banyak, yaitu
terdapat pada pasal 28A sampai dengan pasal 28J,yang meliputi:

(1) Hak untuk hidup serta mempertahankan hidup dan kehidupan.


(2) Hak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui
perkawinan yang sah.
(3) Hak kelangsungan hidup,tumbuh,dan berkembang serta hak
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi bagi anak
(4) Hak mengembangkan diri melalui melalui pemenuhan kebutuhan
dasarnya,mendapatkan pendidikan dan memperoleh manfaat ilmu
pengetahuan dan teknologi,seni dan budaya
(5) Hak memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif
untuk membangun masyarakat,bangsa dan negaranya.
(6) Hak atas pengakuan,jaminan,perlindungan dan kepastian hukum yang
adil.
Hakikat HAM adalah merupakan upaya menjaga
keselamatan,esksistensi manusia secara utuh melalui aksi keseimbangan
antara kepentingan perseorangan dengan kepentingan umum.
2. SEJARAH HAM
Sejarah hak asasi manusia diwali dari bangkitnya kesadaran manusia bahwa
sebagai akibat dari kesewenang-wenangan penguasa pada masa lalu sudah
tidakbisa dipertahankan lagi,rakyat merasakan kesengsaraan, kepedihan
akibad dari tindakan-tindakan penguasa.

Kesadaran manusia ini sudah terlihat dari semenjak zaman mesir kuno(6000
TH sebelum M) dimana telah terjadi perjuangan pengakuan terhadap hak-
hak asasi manusia.dalam perjuangan tersebut Socrates dan plato(filsuf dan
negarawan) sebagai pelopor dan peletak dasar pengakuan hak hak
pengakuan dasar manusia yang mengajarkan bagaimana
mengkritikpemerintah yang tidak berdasarkan keadilan dan kesejahteraan
rakyat serta kebijaksanaan yang semena-mena. Universal declaration of
human right: menyatakan setiap orang mempunyai :
(1) Hak untuk hidup
(2) Kemerdekaan dan keamanan badan
(3) Hak untuk diakaui kepribadianny menurut hukum
(4) Hak untuk rapat dan berkumpul
(5) Hak untuk mendapatkan jaminan sosial
(6) Hak untuk medapatkan pekerjaan
(7) Hak untuk berdagang
(8) Hak untuk medapatkan pendidikan
(9) Hak untuk turut serta dalam gerakan kebudayaan dalam masyarakat
(10) Hak untuk menikmati kesenian dan turut serta dalam kemajuan
keilmuan
3. Tujuan hak asasi manusia
Tujuan pelaksanaan hak asasi manusia adalah untuk mempertahankan hak-
hak warga negara dari tindakan sewenang-wenang aparat negara, dan
mendorong tumbuh berkembang nya manusia yang multidimensional .
4. Perkembangan pemikiran hak asasi manusia di dunia
Setiap manusia yang ada di seluruh dunia memiliki derajat dan martabat
yang sama. Untuk itu setiap manusia memiliki hak dan kewajiban yang
sama untuk berusaha melindungi hak asasinya dari adanya tindakan
pelanggaran oleh manusia lain yang dapat merugikan kelangsungan hak
asasinya. Dalham kaitan hak asasi diatas,maka adalah yang sangat
wajar ,rasional , serta perlu mendapat dukungan yang nyata bagisetiap
manusia yang berpikir dan perjuang untuk memperoleh pengakuan hak asasi
nya dimana dia berada. Sejarah telah mencatat beberapa monumen yang
berupa piagam sebagai bentuk penghargaan atas pemikiran dalam
memperoleh pengakuan HAM dari pemerintah atau negara.Beberapa
piagam HAM sebagai berikut:
(1) Magna charta(piagam agung rakyat inggris pada tahun 1215)
Dokumen yang mencatat beberapa hak yang diberikan oleh Raja Jhon
dari Inggris kepada bangsawan dan bawahannya atas tuntutan mereka.
Dengan lahirnya naskah ini sekaligus membatasi kekuasaan Raja Jhon.
(2) Bill of rights(UU hak 1689)
Undang-undang yang diterima oleh prlemen Inggris sesudah berhasil
dalam tahun sebelumnya mengadakan perlawanan terhadap Raja James
II,dalam suatu revolusi tak berdarah.
(3) Bill of rights (UU hak virginia 1789)
Suatu naskah yang dusisin oleh rakyat Amerika dalam tahun 1789,dan
yang menjadi bagian dari undang-undang dasar pada tahun 1791.
5. Lahirnya The Four Freedoms(empat kebebasan) abad ke-20
Pada saat terjadinya Perang Dunia II. Nazi-Jerman telah menginjak-
injak hak asasi manusia. Melihat pernyataan ini Presiden Amerika Serikat
Frankin D. Roosevelt menganggap bahwa hak-hak asasi manusia yang telah
lahir pada abad ke-17 dan ke-18 yang hanya mengatur tentang hak politik
saja tidaklah cukup, perlu juga dirumuskan hak-hak lain yang lebih
luas,maka lahirlah The Four Freedoms ( Emmpat Kebebasan),yang
meliputi:
(1)Kebebasan untuk berbcara dan menyatakan pendapat( Freedom Of
speech)
(2)Kebebasan beragama (Freedom Of Religion)
(3)Kebebasan dari kemelaratan (Freedom From Want)
6. Perkembangan Pemikiran HAM di Indonesia
Hak asasi manusia di Indonesia telah mengalami pasang surut. Sesudah
dua periode represi (rezim Soekarno dan rezim Soeharto), reformasi
berusaha lebih memajukan hak asasi. Akan tetapi dalam kenyataannya harus
menghadapi tidak hanya pelanggaran hak secara vertikal, tetapi juga
horisontal. Pelaksanaan hak politik mengalami kemajuan, tetapi pelaksanaan
hak ekonomi masih belum dilaksanakan secara memuaskan.

1) Masa Demokrasi Parlementer


Seperti juga di negara-negara berkembang lain, hak asasi menjadi
topik pem- bicaraan di Indonesia. Diskusi dilakukan menjelang
dirumuskannya Undang- undang Dasar 1945, 1949, 1950, pada sidang
Konstituante (1956−1959), pada masa awal penegakan Orde Baru
menjelang sidang MPRS 1968, dan pada masa Reformasi (sejak
1998).Hak asasi yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945
tidak ter- muat dalam suatu piagam terpisah, tetapi tersebar dalam
beberapa pasal, terutama Pasal 27−31, dan mencakup baik bidang politik
maupun ekonomi, sosial dan budaya, dalam jumlah terbatas dan
dirumuskan secara singkat. Hal ini tidak mengherankan mengingat
bahwa naskah ini disusun pada akhir masa pendudukan Jepang dalam
suasana mendesak.
Tidak cukup waktunya untuk membicarakan masalah hak asasi
secara mendalam, sedangkan kehadiran tentara Jepang di bumi Indonesia
tidak kondusif untuk merumuskan hak asasi secara lengkap. Perlu juga
dicatat bahwa pada saat Undang-Undang Dasar 1945 dirumuskan,
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia belum ada, dan dengan demikian
tidak dapat dijadikan rujukan.
Ternyata bahwa pada waktu rancangan naskah UUD dibicarakan,
ada perbedaan pendapat mengenai peran hak asasi dalam negara
demokratis. Banyak kalangan berpendapat bahwa Declaration des Droits
de l’Homme et du Citoyen (1789) berdasarkan individualisme dan
liberalisme, dan karena itu bertentangan dengan asas kekeluargaan dan
gotong royong. Mengenai hal ini,Ir. Soekarno menyatakan sebagai
berikut: ”Jikalau kita betul-betul hendak mendasarkan negara kita kepada
paham kekeluargaan, paham tolong-menolong, paham gotong-royong,
dan keadilan sosial, enyahkanlah tiap-tiap pikiran, tiap paham
individualisme dan liberalisme daripadanya.”
Di pihak lain Drs. Moh. Hatta mengatakan bahwa walaupun yang
diben- tuk negara kekeluargaan, namun perlu ditetapkan beberapa hak
warga negara agar jangan timbul negara kekuasaan (Machtsstaat).
Karena terdesak waktu, tercapai kompromi bahwa hak asasi
dimasukkan dalam UUD 1945, tetapi dalam jumlah terbatas.Sementara
itu dalam masyarakat cukup banyak kalangan yang berpendapat bahwa
hak asasi tidak merupakan gagasan liberal belaka, sebab dalam
menyusun dua undang-undang dasar berikutnya, yaitu 1949 dan 1950,
ternyata hak asasi ditambah dan diperlengkap. Undang-undang Dasar
1949 merupakan undang-undang dasar yang paling lengkap
perumusannya dibanding dengan dua undang-undang dasar lain. Dalam
hubungan ini perlu disebut pendapat Mohammad Yamin dalam buku
Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia bahwa Konstitusi RIS
1949 dan UUD RI 1950 adalah dua dari beberapa konstitusi yang telah
berhasil memasukkan hak asasi seperti keputusan United Nations
Organization (UNO atau PBB) itu ke dalam Piagam Konstitusi.
Sekalipun jumlahnya terbatas dan perumusannya pendek, kita
boleh bangga bahwa di antara hak yang disebut UUD 1945 terdapat hak
yang bahkan belum disebut dalam Deklarasi Universal Hak Asasi
Manusia (1948) yaitu hak kolektif, seperti hak bangsa untuk menentukan
nasib sendiri. Di samping itu, antara lain juga disebut hak ekonomi
seperti hak atas penghidupan yang layak (Pasal 27), hak sosial/budaya
seperti hak atas pengajaran (Pasal 31). Akan tetapi hak politik seperti
kemerdekaan berserikat dan berkumpul, dan mengeluarkan pikiran
dengan lisan dan tulisan dan sebagainya, ditetapkan dengan undang-
undang (Pasal 28). Jadi, hak asasi itu dibatasi oleh undang- undang.
Masalah hak asasi di masa Perjuangan Kemerdekaan dan awal
Demokrasi Parlementer tidak banyak didiskusikan. Memang ada
beberapa konflik bersenjata, seperti Darul Islam, PRRI/Permesta yang
penyelesaiannya tentu saja membawa korban pelanggaran hak asasi,
tetapi kehidupan masyarakat sipil pada umumnya dianggap cukup
demokratis, malahan sering dianggap terlalu demokratis.
Keadaan ini berakhir dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden Soekarno
(1959) untuk kembali ke UUD 1945. Maka mulailah masa Demokrasi
Terpimpin.
2) Masa Demokrasi Terpimpin
Dengan kembalinya Indonesia ke UUD 1945 dengan sendirinya
hak asasi kembali terbatas jumlahnya. Di bawah Presiden Soekarno
beberapa hak asasi, seperti hak mengeluarkan pendapat, secara
berangsur-angsur mulai dibatasi. Beberapa surat kabar dibreidel, seperti
Pedoman, Indonesia Raya dan beberapa partai dibubarkan, seperti
Masyumi dan PSI dan pemimpinnya, Moh.Natsir dan Syahrir, ditahan.
Sementara itu, pemenuhan hak asasi ekonomi sama sekali diabaikan,
tidak ada garis jelas mengenai kebijakan ekonomi. Biro Perancang
Negara yang telah menyusun Rencana Pembangunan Lima Tahun
1956−1961 dan melaksanakannya selama satu tahun, dibubarkan.
Rencana itu diganti dengan Rencana Delapan Tahun, yang tidak pernah
dilaksanakan. Perekonomian Indonesia mencapai titik terendah.
Akhirnya pada tahun 1966 Demokrasi Terpimpin diganti dengan
Demokrasi Pancasila atau Orde Baru.
3) Masa Demokrasi pancasila
Pada awal Orde Baru ada harapan besar bahwa akan dimulai
suatu proses de- mokratisasi. Banyak kaum cendekiawan menggelar
berbagai seminar untuk mendiskusikan masa depan Indonesia dan hak
asasi. Akan tetapi euphoria demokrasi tidak berlangsung lama, karena
sesudah beberapa tahun golong- an militer berangsur-angsur mengambil
alih pimpinan.
Pada awalnya diupayakan untuk menambah jumlah hak asasi
yang termuat dalam UUD melalui suatu panitia Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) yang kemudian menyusun
”Rancangan Piagam Hak-Hak Asasi Manusia dan Hak-Hak serta
Kewajiban Warga Negara” untuk diperbin- cangkan dalam sidang MPRS
V tahun 1968. Panitia diketuai oleh Jenderal Nasution dan sebagai bahan
acuan ditentukan antara lain hasil Konstituante yang telah selesai
merumuskan hak asasi secara terperinci, tetapi dibubarkan pada tahun
1959,di samping mencakup hak politik dan ekonomi, juga merinci
kewajiban warga negara terhadap negara. Akan tetapi, karena masa
sidang yang telah ditetapkan sebelumnya sudah berakhir,maka
Rancangan Piagam tidak jadi dibicarakan dalam sidang pleno.Dengan
demikian, perumusan dan pengaturan hak asasi seperti yang ditentukan
pada 1945 tidak mengalami perubahan.
Ada usaha untuk menyusun suatu eksekutif yang kuat, dan
menyeleng- garakan stabilitas di seluruh masyarakat. Untuk menunjang
usaha itu pemerintah Orde Baru mencoba menggali kembali beberapa
unsur khazanah kebudayaan nenek moyang yang cenderung membentuk
kepemimpinan yang kuat dan sentralistik. Pemikiran-pemikiran yang
pernah timbul di masa penyusunan UUD 1945 dan dimuat dalam tulisan-
tulisan Prof. Supomo yang tercantum dalam buku Moh, Yamin, Naskah
Persiapan UUD 194523 berkembang kembali, dan konsep-konsep seperti
negara integralis, negara kekeluargaan, gotong royong, musyawarah
mufakat, anti individualisme, kewajiban yang tidak dapat terlepas dari
hak, kepentingan masyarakat lebih penting dari kepentingan individu,
mulai masuk agenda politik.
Akan tetapi, dalam usaha mewujudkan stabilitas politik untuk
menunjang ekonomi,pemenuhan berbagai hak politik, antara lain
kebebasan mengutarakan pendapat, banyak diabaikan dan dilanggar.
Pengekangan terhadap pers mulai lagi, antara lain dengan ditentukannya
bahwa setiap penerbitan harus mempunyai Surat Ijin Terbit (SIT) dan
Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Terjadi pembreidelan
terhadap Sinar Harapan (1984) dan majalah Tempo, Detik, dan Editor
(1994). Konflik di Aceh dihadapkan dengan kekerasan militer melalui
Daerah Operasi Militer (DOM). Banyak kasus kekerasan terjadi, antara
lain Peristiwa Tanjung Priuk (1984) dan Peristiwa Trisakti.
Akhirnya Presiden Soeharto dijatuhkan oleh para mahasiswa
pada bulan Mei tahun 1998, dan masa Reformasi dimulai.Sebenarnya
pada waktu itu ekonomi Indonesia sedikit banyak telah berhasil
ditingkatkan melalui serentetan Rencana Lima Tahun. Hasil lima Pelita
menunjukkan bahwa hak atas kehidupan yang layak yang terumus dalam
Pasal 11 Kovenan Internasional Hak Ekonomi sebagian telah mulai
terpenuhi. Hak atas pangan (hak yang paling mendasar) sebagian telah
berhasil dilaksa- nakan melalui swasembada beras pada tahun 1983,
padahal sepuluh tahun sebelumnya Indonesia merupakan importir beras
terbesar di dunia. Penda- patan per kapita (GNP) yang pada 1967 hanya
$50, pada tahun 90an telah naik menjadi hampir $600. Jumlah orang
miskin yang pada 1970 berjumlah 70 juta atau 60%, pada 1990 turun
menjadi 27 juta atau 15.1%. Lagi pula, menurut pemantauan
Bappenas,kelompok miskin yang pada 1970-an menerima 14% dari
seluruh pendapatan nasional, pada 1988 sudah menerima 21%. Dengan
demikian, tekanan atas pertumbuhan (growth) telah mulai diimbangi
dengan tekanan atas pemerataan (equity). Sekalipun demikian,
kesenjangan sosial masih sangat mencolok dan pemerataan masih sangat
perlu ditingkatkan.
Begitu pula di bidang pendidikan, Indonesia telah mencapai
kemajuan yang berarti melalui program wajib belajar untuk anak usia
7−12 tahun, rasio murid sekolah dasar yang berusia 7−12 terhadap
penduduk kelompok umur 7−12 tahun naik dari 41.4% pada 1968/1969
menjadi sekitar 93.5% pada 1993/1994. Ini berarti bahwa akses pada
pendidikan (Pasal 13 Kovenan Inter- nasional Hak Ekonomi) sebagian
besar telah berhasil diselenggarakan, seka- lipun mutu pendidikan masih
sangat perlu ditingkatkan. Jumlah penduduk buta huruf dari umur 10
tahun ke atas telah turun dari 39.1% pada awal Pelita I menjadi 15.8%
pada 1990; akan tetapi itu berarti hampir 21.5 juta masih memerlukan
uluran tangan. Angka kematian bayi (per 1.000 kelahiran hidup) yang
pada 1967 berjumlah 145 ditekan sampai 58 pada akhir Pelita V. Angka
harapan hidup naik dari usia rata-rata 46.5 tahun pada 1971 menjadi 62.7
tahun pada 1993. Akan tetapi kemajuan ini telah dicapai dengan harga
mahal, antara lain berkembangnya korupsi pada skala besar, dan represi
ter- hadap kalangan yang berani beroposisi terhadap pemerintah.
Menjelang akhir masa Presiden Soeharto ada seruan kuat dari
kalangan masyarakat, terutama civil society, untuk lebih meningkatkan
pelaksanaan hak politik, dan agar stabilitas, yang memang diperlukan
untuk pembangunan yang berkesinambungan, tidak menghambat proses
demokratisasi.
Salah satu masalah ialah tidak adanya persamaan persepsi antara
penguasa dan masyarakat mengenai konsep ”kepentingan umum” dan
”keamanan nasional”. Tidak jelas kapan kepentingan individu berakhir
dan kepentingan umum mulai. Misalnya, jika sejumlah penduduk digusur
untuk mendirikan fasilitas umum seperti rumah sakit, masyarakat tidak
akan mempersoalkannya. Akan tetapi, jika dipaksa menyerahkan
sawahnya untuk didirikan tempat rekreasi, tafsiran mengenai
”kepentingan umum” dapat bertolak belakang dan lebih bersifat
melanggar hak asasi. Begitu pula kapan keamanan (law and order)
terancam dan kapan keresahan yang ada masih dapat ditoleransi sebagai
ungkapan hak mengeluarkan pendapat. Penafsiran mengenai konsep
”kepentingan umum”, ”keamanan umum”, dan ”stabilitas nasional”
seolah-olah merupakan monopoli dari pihak yang memiliki kekuasaan
politik dan kekuasaan ekonomi. Bagaimana sikap masyarakat Indonesia
terhadap gejala ini? Di Indonesia ada dua aliran pemikiran mengenai
hak-hak asasi. Aliran pertama, yang lebih bersifat inward looking,
berpendapat bahwa dalam membahas hak asasi kita hanya memakai
Indonesia sebagai referensi, karena kita sudah kenal hak asasi mulai dari
zaman dulu kala. Lagi pula kesejahteraan rakyat sangat perlu ditangani
secara serius. Pendapat ini secara implisit berarti bahwa Indonesia tidak
perlu terlalu menghiraukan pendapat dari pihak luar serta naskah- naskah
hak asasinya.
Aliran lain adalah kelompok aktivis Hak Asasi Manusia yang, sekalipun
tidak diungkapkan secara eksplisit, cenderung mengacu pada perumusan
persepsi dunia Barat dengan lebih menonjolkan hak-hak politik seperti
kebebasan mengutarakan pendapat. Kelompok ini, yang dapat disebut
outward looking, menerima saja apa yang telah dikonsensuskan dalam
berbagai forum internasional dan memakai perumusan itu sebagai
patokan untuk usaha penegakan hak asasi dalam negeri. Lagi pula,
dikhawatirkan bahwa beberapa nilai tradisional seperti negara
integralistik memberi justifikasi untuk mempertahankan kecenderungan
ke arah strong government yang dengan mudah dapat berkembang
menjadi otoriterisme. Akan tetapi, sesudah diterimanya Deklarasi Wina
(1993) kedua pandangan ini telah mengalami semacam konvergensi.
Bagaimanapun juga, tidak dapat disangkal bahwa citra Indonesia di
luar negeri sangat rendah, baik mengenai pelanggaran hak asasi, maupun
mengenai korupsi yang merajalela, sekalipun penguasa selalu menolak
pan- dangan bahwa hak asasi di Indonesia menjadi masalah besar.
Akumulasi tin- dakan represif akhirnya menjatuhkan Presiden Soeharto.
Menjelang berakhirnya rezim Soeharto beberapa indikasi masa transisi
yang disebut oleh V.W. Ruttan dan Lee Kuan Yew sudah mulai
tampak.26 Berkat suksesnya pembangunan ekonomi, ditambah
keberhasilan di bidang pendidikan, telah timbul suatu kelas menengah
terdidik terutama di daerah perkotaan, dengan sejumlah besar profesional
seperti insinyur, manajer, dan pakar di berbagai bidang. Selain dari itu
telah berkembang kelompok mahasiswa dan civil society yang vokal.
Dengan demikian tuntutan untuk melaksanakan hak asasi politik secara
serius, meningkatkan usaha pembe- rantasan kemiskinan, dan mengatasi
kesenjangan sosial, mengeras. Juga tuntutan akan berkurangnya dominasi
eksekutif, peningkatan transparansi, akuntabilitas, dan demokratisasi
sukar dibendung. Berkat tuntutan-tuntutan itu pada akhir tahun 1993
dibentuk Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dengan
dua puluh lima anggota tokoh masyarakat yang di- anggap tinggi
kredibilitasnya, yang diharapkan dapat meningkatkan pena- nganan
pelanggaran hak asasi. Akhirnya, pada tanggal 21 Mei 1998 Presiden
Soeharto meletakkan jabatan dan menyerahkannya kepada Wakil
Presiden Prof. Dr. Habibie.
4) Masa Reformasi
Pemerintah Habibie (Mei 1998−Oktober 1999) pada awal masa
Reformasi mencanangkan Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia
(RAN-HAM) 1998−2003, yang sayangnya sampai sekarang belum
banyak dilaksanakan. Dalam masa Reformasi pula Indonesia meratifikasi
dua Konvensi Hak Asasi Manusai yang penting yaitu Konvensi
Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman lain yang Kejam,
Tidak Manusiawi, atau Merendahkan, dan Konvensi Internasional
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial.
Terutama dalam melaksanakan hak mengutarakan pendapat,
Reformasi sangat berhasil. Berbagai kalangan masyarakat mengadakan
seminar- seminar di mana pemerintah dengan bebas dikritik, begitu juga
media massa dalam talkshownya dan berbagai LSM. Demonstrasi-
demonstrasi melanda masyarakat, di antaranya ada yang berakhir dengan
kekerasan. Lewat berbagai demonstrasi, baik Presiden Habibie maupun
Presiden Abdurahman Wahid terpaksa meletakkan jabatan masing-
masing pada tahun 1999 dan tahun 2001.Dan Presiden Megawati
Soekarno puteri pun tidak luput dari arus demonstrasi ini.
Tahun-tahun pertama Reformasi ditandai oleh konflik horisontal,
antara lain di Ambon, Poso, dan Kalimantan, di mana pelanggaran hak
asasi dilakukan oleh kelompok-kelompok masyarakat sendiri. Aparat
penegak hukum nampaknya tidak mampu atau tidak bersedia menangani
berbagai sengketa ini. Mungkin juga ada rasa enggan karena tuntutan
masyarakat agar semua pelanggaran hak asasi ditindak menimbulkan
keraguan di kalangan prajurit dan polisi di lapangan mengenai tindakan
mana yang dibolehkan, dan mana yang dilarang.
Akan tetapi dalam masa Reformasi pemenuhan hak asasi ekonomi
telah mengalami kemunduran tajam. Sekalipun banyak faktor
internasional me- mengaruhi ekonomi Indonesia, akan tetapi tidak sedikit
faktor internal yang menyebabkannya. Faktor eksternal adalah
kemerosotan ekonomi di seluruh dunia, dan reaksi dunia atas peristiwa
bom Bali dan gerakan antiterorisme. Faktor internal menyangkut
kegagalan pemberantasan korupsi, manajemen sistem bank dan
pengaturan berbagai aspek kehidupan ekonomi lainnya. Di- tambah
dengan akibat dari berbagai konflik sosial di sejumlah daerah yang
mengakibatkan bengkaknya jumlah pengungsi, terlantarnya pendidikan,
dan kerugian kolateral yang perlu dibangun kembali. Beberapa kemajuan
yang telah dicapai di bidang pertumbuhan ekonomi, pemberantasan
peng- angguran, dan pendapatan perkapita mengalami kemunduran.
B. RULE OF LAW
1. Pengertian Rule Of Law
Penegakan hukum atau rule of law merupakan suatu doktrin hukum yang
mulai muncul pada abad ke-19, bersamaan dengan kelahiran negqra
berdasarkan hukum (konstitusi) dan demokrasi. Kehadiran rule of law boleh
disebut sebagai reaksi dan koreksi terhadap negara absolut (kekuasaan di
tangan penguasa) yang telah berkembang sebelumnya.
Berdasarkan pengertiannya, Friedman (1959) membedakan rule of law
menjadi dua, yaitu pengertian secara formal (in formal sense) dan
pengertian secara hakiki/materiil (ideological sense). Secara formal, rule of
law diartikan sebagai kekuasaan umum yang terorganisasi, hal ini dapat
diartikan bahwa setiap negara mempunyai aparat penegak hukum.
Sedangkan secara hakiki, rule of law terkait dengan penegakan hukum yang
menyangkut ukuran hukum yaitu: baik dan buruk (just and unjust law).
Rule of law tidak saja memiliki sistem peradilan yang sempurna diatas
kertas belaka, akan tetapi ada tidaknya rule of law dalam suatu negara
ditentukan oleh “kenyataan”, apakah rakyatnya benar benar dapat
menikmati keadilan, dalam arti perlakuan yang adil dan baik dari sesama
warga negaranya, maupun dari pemerintahannya, sehingga inti dari rule of
law adanya jaminan keadilan yang dirasakan oleh masyarakat. Rule of law
merupakan suatu legalisme yang mengandung gagasan bahwa keadilan
dapat dilayani melalui pembuatan sistem peraturan dan prosedur yang
bersifat obyektif, tidak memihak, tidak personal, dan otonom
Rule of law adalah doktrin hukum yang mulai muncul pada abad ke-19,
bersamaan dengan kelahiran negara konstitusi dan demokrasi. Ia lahir pada
sejalan dengan tumbuh suburnya demokrasi dan meningkatnya peran
parlemen dalam penyelenggaraan negara dan sebagai reaksi terhadap negara
absolut yang berkembang sebelumnya. Rule of law merupakan konsep
tentang common law, dimana segenap lapisan masyarakat dan negara
beserta seluruh kelembagaannya menjunjung tinggi supermasi hukum yang
dibangun di atas prinsip keadilan egalitarian. Ruke of law adalah Rule by
the law dan bukan rule by the man. Ia lahir mengambil alih dominasi yang
dimiliki kaum gereja, ningrat, dan kerajaan, menggeser negara kerajaan dan
memunculkan negara konstitusi yang pada gilirannya melahirkan doktrin
Rule of law.
Paham rule of law di Inggris diletakan pada hubungan antara hukum dan
keadilan, di Amerika diletakkan pada hak hak asasi manusia, dan di Belanda
paham rule of law lahir dari paham kedaulatan negara, melalui paham
kedaulatan hukum untuk mengawasi pelaksanaan tugas kekuatan
pemerintah.
Pembukaan UUD 1945 memuat prinsip-prinsip rule of law yang pada
hakikatnya merupakan jaminan secara formal terhadap “rasa keadilan” bagi
rakyat Indonesia. Dengan kata lain, pembukaan UUD 1945 memberi
jaminan adanya rule of law dan sekaligus Rule no justice. Prinsip-prinsip
rule of law dalam pembukaan UUD 1945 bersifat tetap dan instruktif bagi
penyelenggara negara, karena pembukaan UUD 1945 merupakan pokok
kaidah fundamental Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2. Fungsi Rule Of Law
Fungsi rule of law pada hakikatnya merupakan jaminan secara formal
terhadap rasa keadilan bagi rakyat Indonesia dan juga keadilan sosial
sehingga diatur pada UUD 1945, bersifat tetap dan instruktif bagi
penyelenggara negara. Dengan demikian, inti dari Rule of law adalah
jaminan adanya keadilan bagi masyarakat, terutama keadilan sosial. Prinsip-
prinsip diatas merupakan dasar hukum pengambilan kebijakan
penyelenggara Negara/Pemerintahan, baik di tingkat pusat maupun daerah,
yang berkaitan dengan jaminan atas rasa keadilan, terutama keadilan sosial.
Penjabaran Prinsip-orinsip rule of law secara formal termuat didalam
pasal-pasaL UUD, yaitu:
1) Negara indonesia adalah negara hukum (Pasal 1 ayat 3)
2) Kekuasan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum keadilan (pasal
24 ayat 1)
3) Segenap warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan
pemerintahan wajib menuunjung hukum dan pemerintahan itu dengan
tidak ada kecualinya (pasal 27 ayat 1)
4) Dalam bab X A tentang hak Asasi Manusia, memuat 10 pasal, diantara
lain bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan,
dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan
hukum (pasal 28 D ayat 1)
5) Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapan imbalan dan
perlakuan yang layak dalam hubungan kerja (pasal 28 D ayat 2)

Anda mungkin juga menyukai