Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

KEWARGANEGARAAN

RANCANGAN UNDANG-UNDANG PENGHAPUSAN KEKERASAN SEKSUAL

Penyusun

ANIS NURUL FATAYA MUTTAQIEN (P17410201001)


ALFIRA YANUARTRI KHASANAH (P17410201004)
TITIN RAHMATUL HIDAYAH SURYANDAR (P17410201007)
INNA SYAFAATIN (P17410201010)
DIRGHA BELRANICO (P17410201013)
MELICHA PUTRI MARANIS (P17410201014)
DIVA ARDELIA PUTRI (P17410201018)
INTAN WAHYU ISTIQAMAH (P17410201022)
ADELIA PUTRI SHAKILA (P17410201025)
ANGGI RAVIKA ARIFIN (P17410201028)
FARHAN ISRO' AROBI (P17410201030)
SYAIRA OKTAVIANI PUTRIHADI (P17410201032)
ASMA'UL KHUSNAH (P17410201035)
MARETA EDYA PANGESTRI (P17410201039)
IKA MISBAHATAUN NAFISAH (P17410201042)
RISTIKA ARTI ARISANDI (P17410201046)
SHAFA MAULUDYA AMARSAH (P17410201049)
ASHILA IRKA FAZA (P17410201053)
GIFFARY RAIHAN ADITYA (P17410201054)

D-3 REKAM MEDIS DAN INFORMASI KESEHATAN


JURUSAN KESEHATAN TERAPAN
POLTEKES KEMENKES MALANG
2020
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL …………………………

KATA PENGANTAR………………………

DAFTAR ISI …………………………………

BAB 1 PENDAHULUAN ……………………………

A. Latar Belakang ………………………………………

B. Rumusan Masalah  …………………………………………………

C. Tujuan ………………………………

BAB 2 PEMBAHASAN ……………………

A. Definisi RUU PKS …………………………………

B. Apa yang Salah dari RUU PKS ……………..………

C. Mengapa Penting Bagi Kita Untuk Bersuara ………………………

D. Apa yang Bisa Kita Lakukan Terhadapa Masalah Ini ………………

BAB 3 PENUTUP ………………………………………………

A. Kesimpulan ……………………………………………………

B. Saran ………………………………………………………………

DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………

KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT senantiasa kita ucapkan. Atas karunia-Nya berupa
nikmat iman dan kesehatan ini akhirnya bisa menyelesaikan makalah bertema
Kewarganegaraan. Tidak lupa shawalat serta salam tercurahkan bagi Baginda Agung
Rasulullah SAW yang syafaatnya akan kita nantikan kelak.

Makalah berjudul “Rancangan Undang Undang Penghapusan Kekerasan Seksual” ini


membahas tentang Rancangan Undang Undang Penghapusan Kekeran Seksual yang tak
kunjung disahkan.

Adapun penulisan makalah bertema Kewarganegaraan ini dibuat untuk memenuhi tugas
mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan. Harapannya, semoga makalah ini dapat
memberikan manfaat bagi pembaca sekaligus menumbuhkan rasa cinta tanah air.

Dengan kerendahan hati, kami memohon maaf apabila ada ketidaksesuaian kalimat dan
kesalahan. Meskipun demikian, kami terbuka pada kritik dan saran dari pembaca demi
kesempurnaan makalah.

Penyusun
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia bertujuan antara lain untuk
melindungi segenap bangsa Indonesia. Tujuan ini harus dimaknai sebagai
perlindungan yang komprehensif bagi seluruh warga negara, tak terkecuali
perempuan.Tujuan yang termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) ini selanjutnya dijabarkan
dalam pasal-pasal di dalam batang tubuh UUD 1945. Maka untuk mewujudkan
tujuan tersebut, negara wajib memberikan perlindungan kepada seluruh warga
negara terutama kelompok rentan, perempuan, anak, dan kelompok berkebutuhan
khusus seperti penyandang disabilitas. Tak kurang dari 40 hak warga negara
dijamin oleh negara di dalam UUD 1945, yang dikenal sebagai hak konstitusional.
Hak konstitusional ini dapat dikelompokkan menjadi 14 bagian, yaitu: (i) hak atas
kewarganegaraan; (ii) hak atas hidup;(iii) hak untuk mengembangkan diri; (iv)
hak atas kemerdekaan pikiran dan kebebasan memilih; (v) hak atas informasi; (vi)
hak atas kerja dan penghidupan yang layak; (vii) hak atas kepemilikan dan
perumahan; (viii) hak atas kesehatan dan lingkungan sehat; (ix) hak berkeluarga;
(x) hak atas kepastian hukum dan keadilan; (xi) hak bebas dari ancaman,
diskriminasi, dan kekerasan; (xii) hak atas perlindungan; (xiii) hak
memperjuangkan hak; dan (xiv) hak atas pemerintahan. Salah satu bentuk
perlindungan terhadap warga negara adalah perlindungan atas hak bebas dari
ancaman dan kekerasan. Hanya, walaupun UUD 1945 telah menekankan hak ini
sebagai salah satu hak konstitusional, tidak setiap warga bebas dari kekerasan.
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan)
mencatatjumlah perempuan yang menjadi korban kekerasan setiap tahunnya
meningkat. Kekerasan yang terjadi meliputi kekerasan fisik, psikis, dan seksual.
Kekerasan ini terjadi di ranah domestik (rumah tangga dan dalam relasi intim
lainnya), di wilayah publik dan juga dalam relasi warga dengan negara.Komnas
Perempuan juga mencatat bahwa kekerasan seksual merupakan salah satu dari
bentuk kekerasan yang paling banyak terjadi.Dalam rentang waktu 2001 sampai
dengan 2011, kasus kekerasan seksual rata-rata mencapai seperempat dari kasus
kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan. Kasus kekerasan seksual yang
dilaporkan juga meningkat setiap tahunnya, bahkan pada tahun 2012 meningkat
181% dari tahun sebelumnya. Dalam 3 tahun terakhir (2013 – 2015) kasus
kekerasan seksual berjumlah rata-rata 298.224 per-tahun. Konstruksi sosial
budaya masyarakat yang patriarkhis menyebabkan warga negara yang paling
menjadi korban kekerasan seksual bukan saja perempuan dewasa, tetapi juga
perempuan dalam usia anak. Hak bebas dari ancaman, diskriminasi, dan
kekerasan merupakan hak yang sangat penting untuk diejawantahkan.Pemenuhan
hak ini juga berhubungan dengan hak konstitusional lainnya, yaitu hak atas
perlindungan dan hak atas keadilan. Hak atas perlindungan dan hak atas keadilan
juga sangat penting untuk ditekankan pelaksanaannyaterhadap korban dalam
penanganan kasuskasus kekerasan seksual. Hukum acara pidana yang hanya
menegaskan perlindungan terhadap hak-hak tersangka telah meminggirkan
perlindungan dan rasa keadilan korban. Terbatasnya pengaturan tentang kekerasan
seksual dalam KUHP juga menyebabkan banyak kasus kekerasan seksual yang
tidak dapat diproses hukum, sehingga pelaku tidak dapat dijerat dan kekerasan
seksual terus berulang. Keterbatasan payung hukum yang melindungi perempuan
dan anak dari kekerasan seksual ini memprihatinkan, karena Konstitusi dan
sejumlah peraturan perundang-undangan di Indonesia telah menjamin perlunya
perlakuan khusus terhadap upaya pemajuan, penghormatan, pemenuhan, dan
perlindungan hak-hak perempuan dan anak di Indonesia. Dalam tataran konstruksi
sosial masyarakat Indonesia yang sebagian besar masih menggunakan paradigma
patriarki, perempuan ditempatkan sebagai warga kelas dua. Imbasnya, sering kali
tutur perempuan tidak didengar. Implikasi lebih lanjut bagi perempuan korban
kekerasan seksual justru direviktimisasi oleh masyarakat, dianggap sebagai pihak
yang menyebabkan terjadinya kekerasan. Berdasarkan hasil pemantauan Komnas
Perempuan, viktimisasi berulang terhadap korban terjadi di banyak wilayah di
Indonesia. Kekerasan seksual terjadi secara berulang dan terus menerus, namun
tidak banyak masyarakat yang memahami dan peka tentang persoalan ini.
Kekerasan seksual seringkali dianggap sebagai kejahatan terhadap kesusilaan
semata. Padahal fakta menunjukkan bahwa dampak kekerasan seksual terhadap
korban sangat serius dan traumatik serta mungkin berlangsung seumur hidup.
Bahkan di beberapa kasus, kekerasan seksual dapat mendorong korban melakukan
bunuh diri. Pandangan bahwa kekerasan seksual sebagai kejahatan terhadap
kesusilaan semata bahkan didukung oleh negara melalui muatan dalam Kitab
Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP). Dalam KUHP, kekerasan seksual
seperti perkosaan dianggap sebagai pelanggaran terhadap norma kesusilaan.
Pengkategorian ini tidak saja mengurangi derajat tindak pidana yang dilakukan,
namun juga menciptakan pandangan bahwa kekerasan seksual adalah persoalan
moralitas semata. Hal ini selanjutnya berdampak pada banyak kasus kekerasan
seksual yang tidak ditangani secara hukum, melainkan melalui upaya perdamaian
di luar proses peradilan. Padahal, pengalaman perempuan korban kekerasan
seksual menunjukkan bahwa kekerasan seksual dapat menghancurkan seluruh
integritas hidup korban yang menyebabkan korban merasa tidak mampu
melanjutkan hidupnya lagi. Harus disadari, kekerasan seksual sesungguhnya
mengancam keberlangsungan bangsa dan kualitas generasi yang akan datang.
Aspek khas dari kekerasan seksual yang selalu dikaitkan dengan wacana moralitas
juga menjadi salah satu hambatan terbesar dalam upaya korban memperoleh
haknya atas kebenaran, keadilan, pemulihan, pemenuhan rasa keadilan, dan
jaminan ketidakberulangan. Pengaitan peristiwa kekerasan seksual dengan
persoalan moralitas menyebabkan korban bungkam dan kadang justru disalahkan
atas kekerasan yang dialaminya. Karena apa yang dialami korban dimaknai
sebagai ―aib, tidak saja bagi dirinya tetapi juga bagi keluarga dan komunitasnya.
Ada pula korban yang diusir dari rumah dan kampungnya karena dianggap tidak
mampu menjaga kehormatan dan merusak nama baik keluarga ataupun
masyarakat. Pengucilan dan stigmatisasi atau pelabelan dirinya akibat kekerasan
seksual itu bahkan dapat berlangsung sekalipun pelaku diputus bersalah oleh
pengadilan. Peristiwa kekerasan seksual seringkali juga direkatkan pada penilaian
tentang ―jejak moralitas perempuan korban. Perempuan korban dituduh sebagai
penyebab atau pemberi peluang terjadinya kekerasan seksual karena cara
berpakaiannya, bahasa tubuhnya, cara ia berelasi sosial, status perkawinannya,
pekerjaannya, atau karena keberadaannya pada sebuah waktu atau lokasi tertentu.
Dalam konteks ini pula, korban kerap dituduh membiarkan peristiwa kekerasan
tersebut ketika ia dianggap tidak berupaya untuk melawan pelaku, menempatkan
dirinya terus-menerus gampang direngkuh pelaku, ataupun terbujuk dengan
iming- iming pelaku. Dari aspek yuridis, ada tiga aspek yang harus diperhatikan
dalam memahami hambatan yang dihadapi korban, yaitu aspek substansi, struktur,
dan budaya hukum. Di tingkat substansi, sekalipun ada penegasan pada hak atas
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, berbagai jenis kekerasan seksual
belum dikenali oleh hukum Indonesia. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya,
KUHP hanya mengatur kekerasan seksual dalam konteks perkosaan yang
rumusannya tidak mampu memberikan perlindungan pada perempuan korban
kekerasan. Meski kemudian terdapat UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, UU Nomor 23 Tahun 2002 yang
kemudian diubah dengan UU Nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak,
dan UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang, yang mengenal bentuk kekerasan seksual yang lain (meski
juga masih terbatas), namun ketiga undang-undang tersebut juga hanya bisa
digunakan untuk kekerasan seksual yang terjadi dalam ruang lingkup yang
terbatas: korban adalah korban kekerasan dalam rumah tangga, anak, atau korban
tindak pidana perdagangan orang.Dalam konteks perkosaan, penafsiran hukum di
Indonesia hanya mengakomodasi tindak pemaksaan hubungan seksual yang
berbentuk penetrasi pe*s ke vag*a dan dengan bukti-bukti kekerasan fisik akibat
penetrasi tersebut. Padahal ada banyak keragaman pengalaman perempuan akan
perkosaan. Akibatnya, perempuan tidak dapat menuntut keadilan dengan
menggunakan hukum yang memiliki definisi sempit atas tindak pidana perkosaan
itu. Selain itu, pengalaman perempuan korban menunjukkan, kekerasan seksual
tidak semata pada perkosaan ataupun percabulan, tetapi meliputi juga jenis lain
seperti pelecehan seksual, pemaksaan perkawinan, eksploitasi seksual, pemaksaan
sterilisasi, penyiksaan seksual, dan perbudakan seksual. Berbagai bentuk
kekerasan seksual itu dialami oleh perempuan dewasa, anak perempuan, dan
mereka yang berkebutuhan khusus seperti orang dengan disabilitas. Di tingkat
struktur, lembaga penegak hukum mulai membuat unit dan prosedur khusus untuk
menangani kasus kekerasan terhadap perempuan, termasuk bentuk-bentuk
kekerasan seksual yang sudah diatur dalam undangundang, seperti perkosaan dan
kekerasan dalam rumah tangga. Sayangnya, unit dan prosedur ini belum tersedia
di semua tingkat penyelenggaraan hukum dan belum didukung dengan fasilitas
maupun perspektif penanganan korban yang memadai. Hal tersebut disebabkan
oleh cara berpikir dan perilaku,serta cara pengambil keputusan di berbagai level
lembaga penegak hukum dan pemerintahan yang tidak memahami kekerasan
terhadap perempuan. Hal ini menunjukkan bahwa negara masih belum optimal
menjalankan kewajibannya untuk melindungi perempuan korban. Di tingkat
kultur atau budaya hukum, masih terdapat aparatur penegak hukum yang
mengadopsi cara pandang masyarakat tentang moralitas dan kekerasan seksual.
Akibatnya, penyikapan terhadap kasus tidak menunjukkan empati pada
perempuan korban, bahkan cenderung ikut menyalahkan korban. Pertanyaan
seperti memakai baju apa, sedang berada dimana, dengan siapa jam berapa,
merupakan beberapa pertanyaan yang kerap ditanyakan oleh aparat penegak
hukum ketika menerima laporan kasus perkosaan. Pertanyaan semacam itu tidak
saja menunjukkan ketiadaan perspektif korban,tetapi juga merupakan bentuk
menghakimi korban dan membuat korban mengalami kekerasan kembali
(reviktimisasi). Persoalan lain yang seringkali muncul adalah tidak tersedianya
perlindungan yang baik terhadap korban dan saksi. Pada sejumlah kasus, korban
tidak mau melaporkan kasusnya karena khawatir akan adanya aksi balas dendam
dari pelaku. Selain itu, korban juga tidak melapor karena mereka tidak memahami
prosedurnya. Praktek korupsi dan pungutan liar dalam proses penegakan hukum
juga menjadi hambatan bagi perempuan korban sehingga ia pesimis akan
memperoleh proses hukum yang adil dan terpercaya. Rancangan Undang-Undang
tentang Penghapusan Kekerasan Seksual (selanjutnya disingkat RUU
Penghapusan Kekerasan Seksual) ini merupakan upaya pembaruan hukum untuk
mengatasi berbagai persoalan tersebut.Pembaruan hukum ini memiliki berbagai
tujuan, sebagai berikut: (1) melakukan pencegahan terhadap terjadinya peristiwa
kekerasan seksual; (2) mengembangkan dan melaksanakan mekanisme
penanganan, perlindungan, dan pemulihan yang melibatkan masyarakat dan
berpihak pada korban,agar korban dapat melampaui kekerasan yang ia alami dan
menjadi seorang penyintas; (3) memberikan keadilan bagi korban kejahatan
seksual, melalui pidana dan tindakan yang tegas bagi pelaku kekerasan seksual;
(4) menjamin terlaksananya kewajiban negara, peran keluarga, partisipasi
masyarakat, dan tanggung jawab korporasi dalam mewujudkan lingkungan bebas
kekerasan seksual.Pembaruan hukum tersebut diwujudkan secara
menyeluruh,yang meliputi antara lain: pengaturan tentang pencegahan terjadinya
kekerasan seksual; bentuk- bentuk kekerasan seksual; hak korban, termasuk
pemulihan; hukum acara peradilan pidana kekerasan seksual, termasuk tentang
pembuktian; pemantauan penghapusan kekerasan seksual; dan pemidanaan.
Selain itu yang terpenting dilakukan adalah bagaimana RUU Penghapusan
Kekerasan Seksualini mampu membentuk sistem baru yang lebih melindungi
perempuan dari sisi penegakan hukum dan mendorong peran negara agar lebih
bertanggung jawab terhadap upaya pemulihan korban dan pencegahan kekerasan
seksual di masa datang. Diusulkannya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual
merupakan upaya perombakan sistem hukum untuk mengatasi kekerasan seksual
yang sistemik terhadap perempuan. RUU Penghapusan Kekerasan Seksual
merupakan terobosan agar hukum mengakomodasi kebutuhan dan kepentingan
perempuan korban kekerasan karena RUU ini didasarkan pada kajian terhadap
pengalaman- pengalaman korban kekerasan dan bagaimana mereka menghadapi
proses hukum.

B. Rumusan Masalah
1.Apakah yang dimaksud dengan RUU PK-S?
2.Apakah kaitan RUU KUHP dengan RUU PK-S?
3.Apakah pentingnya menyuarakan RUU PK-S?
4.Siapa sajakah penentang RUU PK-S?
5.Apa upaya yang perlu dan pantas kita lakukan terhadap RUU PK-S?
C. Tujuan
1.Mengetahui pengertian RUU PK-S.
2.Mengetahui keterkaitan antara RUU KUHP dengan RUU PK-S.
3.Mengetahui pentingnya menyuarakan RUU PK-S.
4.Mengetahui penentang terhadap RUU PK-S.
5.Mengetahui hal yang perlu dan pantas dilakukan terhadap RUU PK-S.

BAB 2 PEMBAHASAN
A. Definisi RUU PK-S

Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS)


lahir akibat kasus kekerasan seksual terhadap perempuan yang kian hari kian
meningkat. Gagasan ini juga datang karena banyaknya pengaduan kekerasan
seksual yang tidak tertangani dengan baik dikarenakan tidak adanya payung
hukum yang dapat memahami dan memiliki substansi yang tepat terkait kekerasan
seksual. Tingginya angka kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak dalam
beberapa tahun terakhir ibarat fenomena puncak gunung es. Berdasarkan data
Komnas Perempuan, dalam kurun waktu 10 tahun (2001-2011) sedikitnya
terdapat 35 perempuan dan anak perempuan yang menjadi korban kekerasan
seksual setiap harinya. Tujuan dari pembuatan RUU PKS ini menuntut negara
menunaikan kewajibannya untuk memenuhi hak-hak korban kekerasan seksual.
Hal tersebut berupa penetapan kebijakan di tingkat nasional dan daerah untuk
penanganan, perlindungan dan pemulihan korban dan keluarga yang terintegrasi
dalam pengelolaan internal lembaga negara terkait. Negara juga berkewajiban
untuk mengalokasikan biaya pemenuhan hak-hak korban dalam anggaran
pendapatan dan belanja nasional dan daerah. Selain itu, negara juga berkewajiban
menguatkan peran dan tanggung jawab keluarga, komunitas, masyarakat dan
korporasi dalam penyelenggaraan pemenuhan hak-hak korban. Komnas
Perempuan pada tahun 2012 mengusulkan ide-ide dengan dibuatnya payung
hukum RUU PKS dan berlanjut pada tahun 2014 dengan mulai disusunnya naskah
akademik dan draf RUU PKS bersama dengan Forum Pengada Layanan. Komnas
Perempuan juga mendorong DPR untuk memasukkan RUU PKS ke dalam
Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Berlanjut pada tahun 2016, naskah
akademik dan draf RUU PKS ini diserahkan pada Ketua Komite III Dewan
Perwakilan Daerah RI dan dimasukkan dalam Prolegnas 2015-2019. Kemudian
tahun 2017, telah diadakan diskusi antara Komisi VIII DPR RI dengan
kementerian yang terkait. Tahun 2018 RUU ini kemudian masuk dalam Prolegnas
Prioritas. Berbagai aksi unjuk rasa yang berasal dari berbagai organisasi
masyarakat sipil, organisasi buruh, dan organisasi pendamping korban yang di
gelar di kawasan Sarinah Jakarta sama-sama menyuarakan satu suara yakni
mendorong DPR untuk segera mengesahkan RUU PKS. Tetapi pada tahun 2019,
RUU PKS ini rupanya belum segera disahkan oleh DPR periode 2014-2019. Pada
19 September 2019, Wakil Ketua Komisi VIII Marwan Dasopang mengatakan,
terdapat tiga hal yang membuat RUU PKS ini belum segera disahkan : Pertama,
ada perdebatan dalam penentuan judul RUU PKS. Kedua, mengenai definisi yang
dirasa masih memiliki makna ganda atau ambigu. Ketiga, terkait pidana dan
pemidanaan. Marwan mengatakan bahwa anggota panitia kerja RUU PKS tidak
ingin RUU tersebut bertentangan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP).

B. Apa Yang Salah Dari RUU PK-S

Pada periode DPR yang baru ini, Wakil Ketua Komisi VIII Dewan Perwakilan
Rakyat, Ace Hasan Syadzily mengatakan pada 17 Januari 2020 bahwa ia
menyarankan agar pasal-pasal pemidanaan dalam RUU PKS dilimpahkan ke
Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) saja. Ia beralasan
bahwa RKUHP merupakan induk dari semua hukum tindak pidana. RUU PKS
memuat sembilan jenis kekerasan seksual. Kesembilan jenis tindak pidana
kekerasan seksual itu yakni

1) Pelecehan seksual dalam RUU ini adalah setiap tindakan fisik atau non-
fisik kepada orang lain, yang berhubungan dengan bagian tubuh dan terkait hasrat
seksual, yang mengakibatkan orang lain terintimidasi, terhina, direndahkan, atau
dipermalukan. Artinya, tindakan-tindakan seperti cat calling (komen, siulan,
gestur, atau aksi melecehkan) atau mengirim foto-foto organ intim juga bisa
termasuk ke dalam pelecehan seksual.

2) Eksploitasi seksual. Eksploitasi di sini adalah tindakan-tindakan yang


bermuatan kekerasan, ancaman kekerasan, tipu daya, rangkaian kebohongan,
nama atau identitas atau martabat palsu, atau penyalahgunaan kepercayaan, agar
seseorang melakukan hubungan seksual dengannya atau orang lain. Segala
perbuatan memanfaatkan tubuh orang lain yang terkait hasrat seksual dan dengan
maksud menguntungkan diri sendiri, juga diartikan sebagai eksploitasi seksual.
3) Pemaksaan kontrasepsi. Tindakan memaksa orang lain untuk menggunakan alat
kontrasepsi dianggap sebagai tindak pidana dalam RUU PKS.
4) Pemaksaan aborsi. Setiap orang yang memaksa orang lain menghentikan
kehamilan dengan cara kekerasan, ancaman kekerasan, tipu muslihat,rangkaian
kebohongan atau penyalahgunaan kekuasaan akan diancam pidana pemaksaan
aborsi 5) Perkosaan dalam RUU PKS didefinisikan sebagai segala tindakan
melibatkan kekerasan, ancaman kekerasan atau tipu muslihat, atau menggunakan
kondisi seseorang yang tidak mampu memberikan persetujuan untuk melakukan
hubungan seksual.
6) Pemaksaan perkawinan banyak terjadi pada korban perkosaan, juga pada anak-
anak yang dikawinkan oleh orang tuanya karena alasan ekonomi. Jika RUU PKS
ini disahkan,maka tindakan pemaksaan seperti ini akan diancam pidana.
7) Pemaksaan pelacuran setiap orang dengan kekerasan, ancaman kekerasan,
rangkaian kebohongan, nama, identitas, atau martabat palsu, atau penyalahgunaan
kepercayaan, melacurkan seseorang dengan maksud menguntungkan diri sendiri
dan/atau orang lain, diancam pidana pemaksaan pelacuran.
8) Perbudakan seksual. Setiap bentuk kekerasan seksual digolongkan sebagai
perbudakan jika dilakukan dengan membatasi ruang gerak atau mencabut
kebebasan seseorang, dan dengan tujuan menempatkan orang tersebut untuk
melayani kebutuhan seksual dirinya sendiri atau orang lain.
9) Penyiksaan seksual sebagai penyiksaan jika dilakukan dengan tujuan untuk
memperoleh keterangan dari korban, memaksa korban melakukan sesuatu,
memberikan penghukuman atas suatu perbuatan untuk mempermalukan atau
merendahkan martabatnya; dan atau dengan tujuan lain yang didasarkan pada
diskriminasi. Menurut Komnas Perempuan, tidak ada pengaturan yang
menyeluruh tentang sembilan jenis tindak pidana dalam peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Hal ini berimbas pada tidak adanya jaminan hak keadilan
dan penanganan bagi korban kekerasan seksual. Di sisi lain, Ace Hasan,
pemidanaan kesembilan definisi itu sebaiknya dimuat di RKUHP saja. Sehingga,
RUU PKS akan menitikberatkan pada aspek pencegahan dan rehabilitasi. Di mana
hal ini tentunya sejalan dengan keinginan Komnas Perempuan yang mengusulkan
agar terciptanya suatu payung hukum yang jelas dan peduli pada korban
pelecehan seksual. Dalam RUU PKS itu sendiri juga mengusulkan adanya
tindakan berupa rehabilitasi bagi pelaku pelaku pelecehan seksual non fisik di
bawah 14 tahun. Berkaca dari banyak kasus kekerasan yang terjadi selama ini,
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) dalam
laporannya menyebutkan, pada 2018 ada 7.238 kasus kekerasan seksual terhadap
perempuan. Jika tidak ada regulasi hukum yang memberikan keadilan bagi korban
kekerasan seksual maka yang ada hanyalah peristiwa ketidakadilan. Selain itu
regulasi hukum, penyelesaian kasus yang ada saat ini malah semakin
memberatkan korban. Kasus Baiq Nuril mencari keadilan yang mulai hangat
dibicarakan pada tahun 2018 menjadi salah satu contoh penyelesaian kasus
kekerasan seksual yang malah memberatkan korban. Baiq Nuril merupakan guru
honorer di SMAN 7 Mataram yang dinyatakan bersalah oleh Mahkamah Agung
karena melanggar UU ITE dengan menyebarluaskan konten asusila pada media
elektronik. Pada saat itu, Mahkamah Agung menolak gugatan Peninjauan
Kembali (PK) yang diajukan oleh Baiq Nuril. Padahal sebelumnya, pada tingkat
Pengadilan Negeri Mataram memutuskan bahwa Baiq Nuril tidak bersalah dan
membebaskan dirinya sebagai tahanan kota. Saat itu pada tingkat Pengadilan
Negeri, Baiq dilaporkan pelaku pelecehan seksual verbal pada dirinya dengan
Pasal 27 Ayat (1) Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Pelaku merupakan Kepala Sekolah SMAN 7 Mataram. Hal ini tentunya membuka
jalan ketidakadilan karena Baiq Nuril hanya merekam percakapan telepon yang
diterimanya dari pelaku yang berisi tindakan asusila sebagai upaya untuk
pembelaan diri atas pelecehan seksual verbal yang dialaminya. Pada akhirnya
Baiq Nuril harus mencari keadilan sampai pada Presiden dengan diberikannya
amnesti pada dirinya. Waki Ketua Komnas Perempuan, Budi Wahyuni
mengatakan bahwa pemberian amnesti kepada Baiq Nuril merupakan langkah
khusus yang bersifat sementara atas keterbatasan sistem hukum pidana dalam
melindungi warga negara korban kekerasan seksual. Belum lagi contoh kasus
pelecehan seksual yang dialami oleh mahasiswi di salah satu Perguruan Tinggi
Negeri di Yogyakarta saat mengikuti KKN pada Juli 2017 hanya berakhir dengan
jalan damai. Jika sudah seperti ini perempuan yang menjadi korban akan semakin
dirugikan dan terancam keadilannya karena absennya regulasi hukum yang
memihak keadilan korban kekerasan seksual. Menurut Komnas Perempuan,
peraturan hukum yang berlaku saat ini belum memberikan jaminan tentang
pemenuhan hak korban dan keluarga. Peraturan hukum yang dimaksud seperti
KUHAP yang berlaku tidak memberikan hak-hak korban dalam hukum acara
peradilan pidana. Selain itu, UU Perlindungan Anak hanya dapat melindungi anak
yang menjadi korban dalam kekerasan seksual. Kemudian UU No 13 Tahun 2006
yang diganti menjadi UU No 31 Tahun 2004 tentang Perlindungan Saksi dan
Korban juga hanya mengatur tentang perlindungan korban kekerasan seksual yang
masih dalam usia anak-anak sedangkan korban usia dewasa belum mendapat
jaminan perlindungan. Beberapa peristiwa tersebut harusnya menjadi batu pijakan
bagi pemerintah untuk sadar bahwa Indonesia memerlukan regulasi hukum yang
benar-benar memberikan keadilan bagi para korban kekerasan seksual. Jika kita
membuat kilas balik, induk pemikiran awal dibuatnya RUU PKS ini adalah
melindungi hak-hak korban kekerasan yang selama ini tidak dipedulikan. Mariana
Amiruddin selaku Komisioner-Ketua Subkom Divisi Partisipasi Masyarakat
Komnas Perempuan mengatakan bahwa dengan adanya RUU ini bisa
menegakkan keadilan dan memberikan proses hukum yang tegas bagi kasus
kekerasan terhadap perempuan. Maka dari itu RUU PKS ini diperlukan untuk
masyarakat terutama para korban kekerasan seksual. Seiring berjalannya waktu,
kenyataannya sampai Februari 2020 RUU PKS ini masih belum disahkan oleh
DPR. Melansir dari laman situs resmi DPR RI, perkembangan RUU PKS ini
masih tetap bertengger dalam daftar prolegnas.
C. Mengapa Penting Bagi Kita Untuk Bersuara
Maka dari itu berdasarkan uraian di atas, bertepatan dengan hari perempuan
sedunia yang jatuh pada 8 Maret 2020, Badan Eksekutif Universitas Sanata
Dharma melalui Kementerian Sosial Politik dan Kajian Strategis menyatakan
sikap sebagai berikut: 1. Mendukung penuh pengesahan RUU Penghapusan
Kekerasan Seksual. 2. Menuntut pemerintah khususnya Komisi VIII DPR RI
untuk segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan
Seksual sehingga terdapat kepastian hukum yang menjamin para korban dalam
tindak kekerasan seksual. 3. Mendorong semua pihak agar aktif mengawal
Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual dengan seksama.
Karena setiap tahunnya kasus pelecehan seksual di Indonesia semakin meningkat,
dengan adanya RUU PK-S makanya dapta menjamin kepastian hukum bagi para
korban serta fasilitas lainnya.
D. Apa Yang Bisa Kita Lakukan Terhadap Masalah Ini

RUU PKS sesungguhnya memiliki semangat kesetaraan, perlindungan kepada


korban dan perwujudan kepada cita-cita keadilan gender yang hakiki. Kita sebagai
Rakyat Indonesia dapat melakukan sesuatu untuk RUU PK-S ini dengan tanda
tangani petisi RUU PK-S. Sebarkan terus petisi tersebut agar banyak
masyakarakat akan tergugah.Tingkatkan kesadaran masyarakat tentang RUU PK-
S ini. Ajak teman-temanmu untuk ikut berpartisipasi.

Teruslah menyuarakan pentingnya RUU ini disahkan, terutama karena kasus


kekerasan seksual di Indonesia semakin meningkat.

BAB 3 PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual atau yang
disingkat dengan RUU PK-S merupakan suatu rancangan undang-undang di
Indonesia mengenai kekerasan seksual,yang mana bertujuan untuk dijadikan
sebagai payung pelindung korban kekerasan seksual serta
pencegahanya. RUU PK-S ini mulai muncul keberadaanya karena maraknya
kasus kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia. Dengan kondisi yang
seperti ini,Sekertariat Jendral Kaukus Perempuan Parlemen Republik
Indonesia atau yang sering dikenal dengan KPP-RI mengatakan bahwa
Indonesia sudah berada dalam kondisi darurat dari kekerasan seksual,sehingga
tidak ada alasan bagi DPR untuk menunda pengesahan RUU PK-S
tersebut. Namun alasan yang menjadikan RUU PK-S tidak segera disahkan
adalah RUU KUHP.Yang mana,jika RUU PK-S nanti disahkan maka pasal-
pasalnya akan bergesekan dengan RUU KUHP.

Dalam RUU KUHP ,kekerasan seksual hanya meliputi dua hal yakni


pemerkosaan dan pencabulan. Hal ini justru lebih menopang hukum pidana
dari aspek yang lebih konkrit dan fokus terhadap hak dan perlindungan
korban.

C. Saran

 Tanda tangani petisi RUU PK-S


 Sebarkan petisi tersebut agar banyak masyarakat yang tergugah dan peduli
terhadap kasus tersebut
 Meningkatkan kesadaran masyarakat,dengan menyebarkan berita yang sesuai
dengan fakta.

DAFTAR PUSTAKA

https://kawanhukum.id/ruupks-solusi-bagi-korban-kekerasan-seksual/
https://tirto.id/ruu-pks-bukan-perkara-sulit-tapi-dpr-tak-punya-kemauan-politik-fNwi
https://www.dw.com/id/mendukung-ruu-pks-kesetaraan-perlindungan-korban-dan-cita-cita-
keadilan-gender/a-47387251
https://www.medcom.id/nasional/politik/nN90ZYjK-masyarakat-diminta-dukung-ruu-pks

Anda mungkin juga menyukai