Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

PELANGGARAN HAM DI TOLIKARA PAPUA

Disusun oleh :
SARAH TASKIA PRISSYNISA (20190340044)
Mata Kuliah : Pendidikan Kewarganegaraan
Dosen : Dr. H. Tri Pitara M.S.Si.,M.Kes.

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN GIGI


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia adalah negara yang kaya akan sumber daya alam, budaya, dan juga
agama. Ada lima agama yang sejak dulu resmi diakui di Indonesi, yaitu Islam, Kristen,
Kristen Protestan, Hindu, dan Budha. Diakuinya kelima agama ini secara hukum oleh
pemerintah harusnya menjadi jaminan keamanan dan kenyamanan dalam beribadah dan
hidup beragama, serta menjadi modal untuk terciptanya kerukunan antar umat
beragama. Namun kenyataannya dari dulu hingga saat ini konflik dan kerusuhan antar
umat beragama masih sering terjadi, baik itu berupa intimidasi, perusakan rumah
ibadah, hingga bentrok fisik.
Kerusuhan Islam-Kristen serta perusakan rumah ibadah yang banyak terjadi di
Indonesia dipicu oleh banyak hal. Salah satunya karena memang konflik Islam-Kristen
telah memiliki sejarah panjang sejak kedua agama ini bertemu. Sejarah hubungan
kedua agama ini lebih sering diwarnai suasana saling curiga, saling membenci, dan
bermusuhan. Karena alasan itu pula pada akhirnya dicurigai konflik Islam-Kristen
kemungkinan disebabkan campur tangan pihak ketiga atau oknum yang sengaja
mengadu domba umat Islam-Kristen, dengan tujuan menyebarkan keresahan dan
mengacaukan stabilitas untuk mencapai misi-misi lain yang mereka rencanakan. Hal
inilah yang menjadi permasalahan besar bagi masyarakat, karena ketika ada konflik
antar umat beragama masyarakat tidak bisa membedakan mana konflik yang memang
murni ada gesekan antara umat beragama ditempat tersebut dan mana konflik yang
sengaja diciptakan oleh pihak ketiga yang ingin mengambil keuntungan dari konflik
yang ada.
Kerusuhan dan pembakaran Masjid di Tolikara pada 17 Juli 2015 lalu semakin
meningkatkan ketegangan antara umat Islam-Kristen Indonesia. Ketenangan dan
kerukunan Islam-Kristen kembali terusik. Apalagi peristiwa ini terjadi dihari yang
sangat penting bagi umat muslim aitu hari Raya Idul Fitri, dan disaat muslim Tolikara
akan melaksanakan sholat Ied.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan dari latar belakang tersebut diatas, maka rumusan masalah pada
makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Apa sebab dari pelanggaran HAM pada kasus tersebut
2. Jenis-jenis pelanggaran HAM pada kasus tersebut
3. Apa dampak dari pelanggaran HAM pada kasus tersebut
4. Apakah kasus tersebut merupakan kasus yang sama dengan kasus di
Timor-timor
5. Solusi dari kasus tersebut
C. Tujuan
Dari rumusan masalah tersebut dapat disimpulkan tujuan dari makalah, yaitu :
1. Untuk mengetahui apa sebab dari pelanggaran HAM pada kasus tersebut.
2. Untuk mengetahui apa saja jenis pelanggaran HAM pada kasus tersebut.
3. Untuk mengetahuin apa dampak dari pelanggaran HAM tersebut.
4. Untuk mengetahui apakah kasus ini merupakan kasus yang sama dengan
kasus yang terjadi di Timor-timor.
5. Untuk mengetahui solusi dan hikmah yang dapat diambil dari kasus
pelanggaran HAM tersebut.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA MAKALAH

A. Pengertian Hak Asasi Manusia


Hak Asasi Manusia (HAM) adalah bahwa sebagai anugerah dari Tuhan terhadap
makhluknya, hak asasi tidak boleh dijauhkan atau dipisahkan dari dipisahkan dari
eksistensi pribadi individu atau manusia tersebut. Hak asasi tidak bisa dilepas dengan
kekuasaan atau dengan hal-hal lainnya, Bila itu sampai terjadi akan memberikan
dampak kepada manusia yakni manusia akan kehilangan martabat yang sebenarnya
menjadi inti nilai kemanusiaan. Walapun demikian, bukan berarti bahwa perwujudan
hak asasi manusia dapat dilaksanakan secara mutlak karena dapat melanggar hak asasi
orang lain. Memperjuangkan hak sendiri sembari mengabaikan hak orang lain
merupakan tindakan yang tidak manusiawi. Kita wajib menyadari bahwa hak-hak asasi
kita selalu berbatasan dengan hak-hak asasi orang lain, karena itulah ketaan terhadap
aturan menjadi penting.
Berdasarkan ketentuan dalam pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 tahun
1999 tersebut sudah dijelaskan bahwa Hak Asasi Manusia merupakan hak yang paling
hakiki yang dimiliki oleh manusia dan tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun, oleh
karena itu terhadap hak asasi manusia negara sebagai pelindung warganya diharapkan
dapat mengakomodir kepentingan dan hak dari warga negaranya tersebut.
Hak Asasi Manusia (HAM) dipercayai memiliki nilai yang universal. Nilai
universal berarti tidak mengenal batas ruang dan waktu, nilai universal ini yang
kemudian diterjemahkan dalam berbagai produk hukum nasional diberbagai negara
untuk dapat melindungi dan menegakkan nilai-nilai kemanusiaan. Bahkan nilai
universal ini dikukuhkan dalam instrumen internasional, termasuk perjanjian
internasional dibidang HAM. Namun kenyataan menunjukan bahwa nilai-nilai HAM
yang universal ternyata dalam penerapannya tidak memiliki kesamaan yang seragam.
Hak dalam hak asasi manusia mempunyai kedudukan atau derajat utama dan pertama
dalam hidup bermasyarakat karena keberadaan hak asasi hakikatnya telah dimiliki,
disandang dan melekat dalam pribadi manusia sejak saat kelahirannya. Seketika itu
pula muncul kewajiban manusia lain untuk menghormatinya.
B. Ciri khusus Hak Asasi Manusia (HAM)
Hak asasi manusia memiliki ciri-ciri khusus jika dibandingkan dengan hak-hak
yang lain. Ciri khusus hak asasi manusia sebagai berikut :
a) Tidak dapat dicabut, artinya hak asasi manusia tidak dapat dihilangkan atau
diserahkan.
b) Tidak dapat dibagi, artinya semua orang berhak mendapatkan semua hak,
apakah hak sipil atau hak ekonomi, sosial dan budaya.
c) Hakiki, artinya hak asasi manusia adalah hak asasi semua umat manusia yang
sudah ada sejak lahir.
d) Universal, artinya hak asasi manusia berlaku untuk semua orang tanpa
memandang status, suku bangsa, gender, atau perbedaan lainnya. Persamaan
adalah salah satu ide-ide hak asasi manusia yang mendasar.
C. Pelanggaran Hak Asasi Manusia
Dalam UU No.39 tahun 1999, pelanggaran HAM diartikan sebagai setiap
perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja
maupun tidak disengaja, atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi,
menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau
kelompok orang yang dijamin oleh Undang-Undang, dan tidak mendapatkan, atau
dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar,
berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.
BAB III
PEMBAHASAN

A. Sebab dari pelanggaran HAM dari kasus tersebut


Pada Jumat pagi, 17 Juli 2015, ketika umat Islam di seluruh dunia tengah
khusyuk merayakan kemenangan Ramadhan, tiba-tiba dihentakkan oleh berita miris
tentang kekerasan yang menimpa umat Islam yang tengah menunaikan shalat Idul
Fitri di Karubaga, Kabupaten Tolikara, Papua. Sontak, memori kita kembali kepada
peristiwa tragis kemanusiaan sekitar 15 tahun lalu, ketika Ambon dan Poso membara.
Dibantu media, mulai dari media arus utama sampai media sosial, berita tragis
ini menggelegar dan meluas begitu cepat hingga membakar emosi umat Islam di
seluruh Indonesia. Sayangnya, situasi ini tidak cukup membantu memperbaiki
keadaan. Riuhnya berita ini di media justru memicu lahirnya informasi yang bias dan
menjadi semakin liar. Tanpa informasi lengkap melalui investigasi yang mendalam,
kita lantas larut dalam “aksi tuding” kepada salah satu kelompok sebagai yang harus
bertanggung jawab dan pantas disalahkan.
Berbagai informasi yang liar terkait peristiwa Tolikara ini melahirkan
sejumlah reaksi dari seluruh umat Islam di Indonesia. Yang paling destruktif adalah
adanya kabar terkait penyerangan terhadap sejumlah gereja di beberapa daerah di
Indonesia. Sebagian kelompok mengobarkan kebencian dengan menghimpun
kekuatan untuk dikerahkan ke Tolikara.
Pada Sabtu, 11 Juli 2015, Beredar surat yang ditandatangani oleh BPW Toli
GIDI. Isinya adalah melarang umat Islam untuk melaksanakan Shalat Ied di Tolikara.
Umat Islam yang hendak melaksanakan Shalat Ied diperbolehkan untuk
melaksanakannya di luar Tolikara. Hal ini mengingat pada saat yang sama, di
Karubaga, ibukota kabupaten Tolikara sedang berlangsung Seminar dan KKR
Pemuda Internasional GIDI. Kegiatan ini juga dihadiri dari berbagai daerah di
Indonesia, termasuk dari beberapa negara, seperti Belanda dan Israel. Atas dasar surat
edaran tersebut, Kapolres Tolikara, AKBP Suroso menghubungi Bupati Tolikara,
Usman Wanimbo yang juga merupakan Ketua Panitia kegiatan GIDI tersebut.
Kapolres juga menghubungi Presiden GIDI, Pdt. Dorman Wandikbo.
Pada Rabu, 15 Juli 2015, dilaksanakan pertemuan antara Kapolres, Bupati,
Presiden GIDI dan perwakilan kelompok Islam terkait surat edaran BPW Toli GIDI
tersebut. Disepakati bahwa umat Islam tetap diperbolehkan melaksanakan Shalat Ied
di Tolikara, namun tidak dilaksanakan di tempat terbuka dan tidak menggunakan
pengeras suara.
Kemudian pada Kamis, 16 Juli 2015, Presiden GIDI dan Bupati Tolikara
menyerahkan satu ekor sapi kepada kelompok umat Islam di Tolikara. Mereka juga
menyerahkan hal yang sama kepada pemuda GIDI yang sedang melaksanakan
Seminar dan KKR Pemuda Internasional GIDI.
Puncaknya, pada Jumat, 17 Juli 2015, Pukul 07.00, umat Islam hendak
memulai Shalat Ied di lapangan makoramil Karubaga. Lalu pukul 08.30, sekelompok
pemuda GIDI mendatangi lapangan tempat umat Islam melaksanakan Shalat Ied.
Terdapat perbedaan signifikan antara kronologis versi polisi dengan kronologis versi
Presiden GIDI setelah kehadiran pemuda GIDI ini. Pihak polisi menyampaikan bahwa
kelompok pemuda GIDI datang dan melempari batu ke kerumunan umat Islam yang
sedang Shalat Ied. Sikap ini yang kemudian membuat umat Islam kocar-kacir
menyelamatkan diri. Karena itu polisi mengeluarkan tembakan peringatan ke arah
massa yang melakukan pelemparan. Sedangkan versi Presiden GIDI adalah,
kelompok pemuda GIDI yang datang dengan tujuan menyampaikan protes kepada
umat Islam terkait surat edaran tanggal 11 Juli 2015 lalu. Sebelum upaya itu
dilakukan, kelompok pemuda GIDI ini telah dihujani dengan peluru oleh aparat
kepolisian. Karena itu, 11 orang terkena tembakan dan satu orang meninggal dunia,
Edi Wanimbo (15 tahun) setelah terkena tembakan peluru aparat keamanan.
Kemudian pada pukul 14.15, 12 orang yang terkena tembakan dievakuasi ke rumah
sakit di Jayapura dan Wamena.
B. Jenis-jenis pelanggaran HAM
Komnas HAM melalui Keputusan Sidang Paripurna 5 Agustus 2015,
menyatakan 4 (empat) tindak pelanggaran HAM pada Peristiwa Tolikara 17 Juli 2015
dan mendesak kehadiran negara untuk mencegah berulangnya peristiwa serupa di
masa mendatang. Hal ini disampaikan oleh Ketua Tim Penyelidikan Peristiwa
Tolikara Drs. Manager Nasution, MA pada jumpa pers yang di Komnas HAM, Jl.
Latuharhary, Jakarta, Senin, 10 Agustus 2015.
Empat tindak pelanggaran HAM pada peristiwa tersebut antara lain :

1. Pelanggaran terhadap Hak atas Kebebasan Beragama

Kasus Intoleransi, berupa pelanggaran terhadap hak atas kebebasan


beragama seperti dijamin dalam Pasal 22 ayat (1) dan (2) UU 39 Tahun 1999
tentang HAM. Faktanya, (1) Bupati Tolikara, Usman Wanimbo, mengakui sudah
menandatangani bersama dua fraksi DPRD Tolikara (2013) Perda tentang
pelarangan dan pembatasan agama dan pengamalan agama tertentu di Tolikara.
Perda itu dalam perspektif HAM dinilai diskriminatif. Bupati Tolikara berjanji
akan memberikan dokumen Perda 2013 itu ke Komnas HAM. Fakta (2) Adanya
surat dari Gereja Injili Di Indonesia (GIDI) Badan Pekerja Wilayah Toli nomor
90/SP/GIDI-WT/VII/2015 yang ditandatangani oleh Ketua Wilayah Toli, Pdt
Nayus Wenda, S.Th dan Sekretaris, Pdt Marthen Jingga, S.Th, MA.

2. Pelanggaran terhadap Hak untuk Hidup

Pelanggaran terhadap Hak untuk Hidup, sebagaimana dijamin dalam pasal


9 ayat (1) UU Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM. Faktanya ada korban
pemembakan yang menyebabkan seorang meninggal dunia an. Enis Wanimbo
dan 11 orang luka tembak, yaitu Aitelur Yanengga, Endi Wanembo, Emison
Pagawak, Aleri Wenda, Ailes Kogoya, Yulianus Lambe, Amaten Wenda, Perenus
Wanimbo, Erendinus Jokwa, Keratus Kogoya, dan Gaubuli Jikwa.

3. Pelanggaran terhadap Hak atas Rasa Aman

Pelanggaran terhadap Hak atas Rasa Aman, sebagaimana dijamin dalam


pasal 9 ayat (2), 29 ayat (1), 30 dan Pasal 31 ayat (1) dan (2) UU Nomor 39 tahun
1999 tentang HAM. Faktanya, peristiwa Tolikara tersebut telah mengakibatkan
syiar ketakutan yang mengakibatkan hilangnya rasa aman warga negara,
khususnya warga Muslim dan warga pendatang di Tolikara. Kekhawatiran itu
semakin massif terutama dengan kemungkinan akan terjadinya bentrokan
susulan. Apalagi pasca kejadian, warga setempat sempat membuat tulisan dan
simbol-simbol tertentu, salib, agar rumah atau kiosnya tidak dirusak/dibakar.
Bupati Tolikara mengakui itu dan telah memerintahkan untuk menghapusnya
beberapa saat setelah peristiwa.

4. Pelanggaran terhadap Hak atas Kepemilikan

Pelanggaran terhadap Hak atas Kepemilikan, sebagaimana dijamin dalam


Pasal 36 UU 39 tahun 1999 tentang HAM. Faktanya adanya pembakaran yang
menyebabkan terbakarnya kios/sentra ekonomi warga, rumah ibadah Muslim, dan
rumah warga/properti.
C. Dampak pelanggaran HAM pada kasus tersebut.
Di kalangan Islam, banyak pihak memperlihatkan reaksi keras. Ada yang
berbentuk unjuk rasa dengan mengusung poster-poster yang berisi kritikan terhadap
perilaku umat Kristen di Papua, tetapi ada juga yang merupakan kritik terhadap ajaran
agama Kristen, seperti “Ajarannya kasih tetapi bakar Masjid?” Dalam peristiwa lain,
ada tindakan kekerasan yaitu berusaha membakar gedung gereja seperti yang
dilakukan terhadap GKJ Teplok di Jawa Tengah. Front Pembela Islam (FPI)
dikatakan telah menyiapkan tujuh puluh ribu anggotanya dan siap dikirim ke Papua
untuk berperang jika diperlukan. Di sini konflik dengan kekerasan Tolikara berefek
buruk pada kehidupan masyarakat dan negara khususnya relasi antarumat Islam dan
Kristen.
Di pihak lain, kasus Tolikara membuat banyak orang menjadi kritis terhadap
persoalan-persoalan yang berkaitan agama. Kasus-kasus penghambatan, khususnya
yang dialami oleh umat Kristen atau umat agama bukan Islam di daerah-daerah yang
di dominasi oleh umat Islam mulai diungkit dan diberi perhatian serius. Kasus-kasus
seperti GKI Yasmin Bogor dan HKBP Filadelfia Bekasi yang secara rutin melakukan
ibadah di depan Istana karena tempat ibadahnya disegel oleh pemerintah setempat
dengan harapan mendapat perhatian Presiden dan jajarannya, kini mendapat perhatian
lebih dan lebih bersemangat untuk berjuang. Seribuan warga Syiah Islam di Sampang
Madura yang harus mengungsi karena diusir dari kampungnya dan persoalan mereka
belum terselesaikan, kini juga disorot. Demikian juga, kasus penganut Islam
Ahmadiyah yang dihambat untuk melakukan kegiatan dan ibadah, bahkan masjidnya
disegel atau ada yang ditutup dan dibongkar.
Kasus Tolikara membuat perhatian kementerian Dalam Negeri terhadap
Peraturan Daerah atau Perda yang diskriminatif agama menjadi pokok berita media.
Saat ini ada lebih 3000-an Perda yang ditinjau kembali dengan kemungkinan harus
direvisi atau dapat dibatalkan Kementerian Dalam Negeri. Ini termasuk Perda yang
bersifat diskriminatif agama, atau lebih memihak atau merupakan kepentingan satu
agama tertentu, khususnya Perda yang bercorak Islam atau yang dikenal sebagai
Perda “Syariah”. Jadi pemerintah makin serius menangani Perda-Perda yang
mengandung persoalan dalam rangka kehidupan dan hubungan antarumat beragama.
Ahok, Gubernur DKI Jakarta, bahkan sempat menyinggung Peraturan Bersama
(Perber) Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 9 tahun 2006 dan No. 8
tahun 2006 bahwa isinya tidak benar, tetapi, lanjut Ahok, harus ditaati karena sudah
menjadi peraturan negara. Ini menjadi indikasi bahwa Perber dua menteri itu,
terutama syarat-syarat pendirian rumah ibadah perlu ditinjau kembali dan direvisi
karena tidak sesuai dengan kondisi riil peta domisili umat beragama di Indonesia.
Kasus Tolikara memberi peluang lebih besar dan terbuka untuk kelompok-
kelompok agama seperti GKI Yasmin, HKBP Filadelfia, warga Syiah, Ahmadiyah
dan Sunda Wiwitan, yang selama ini “ditindas” untuk mengungkit dan meminta
penyelesaian yang adil dari masyarakat dan pemerintah. Ini menjadi moment yang
tepat untuk memperjuangkan hak keagamaan dan konstitusionalnya di Indonesia
dengan mendesak pemerintah mengkaji ulang peraturan-peraturan yang diskriminatif
agama dan menyelesaikan kasus-kasus penghambatan dari satu umat terhadap umat
lain dalam kegiatan keagamaannya. Namun usaha ini perlu dilakukan dengan
bijaksana, mengedepankan hukum, budaya dan kearifan masyarakat kita dan
menjunjung kerukunan dan perdamaian. Yang diperjuangkan juga adalah pemerintah
bertindak tegas terhadap radikalisme dan kelompok ekstrem yang anarkis.
Kerusuhan di Tolikara, terlepas dari efek negatif dan bahkan positifnya, tentu
merupakan peristiwa yang buruk bagi kehidupan beragama, bermasyarakat dan
bernegara. Citra umat dan agamanya, masyarakat Tolikara-Papua dan Indonesia telah
tercoreng. Semoga konflik atau kerusuhan apalagi karena agama tidak lagi terjadi.
D. Perbandingan dengan kasus Timor-timor.
Insiden pembakaran mushola dan puluhan kios milik Muslim oleh oknum
jemaah GIDI di Karubaga, Tolikara, Papua, pada hakikatnya bukanlah soal SARA.
Ada konspirasi besar yang membawa kepentingan asing di balik insiden tersebut.
Maka, tidak perlulah terpancing, kedua umat Islam dan Kristen di Indonesia, karena
jika keduanya bertengkar, maka ada pihak ketiga yang bertepuk tangan.
Demikian bisa disimpulkan dari pernyataan Kepala Bin Sutiyoso pasca insiden
Tolikara. Demikian pula yang menjadi kekhawtiran banyak tokoh nasional, salah
satunya Mantan Kepala Staf Umum TNI Letjen TNI Letjen (Purn) Johannes Suryo
Prabowo. Bahkan Prabowo meyakini ada konspirasi besar untuk “men-Timor Timur-
kan” Papua, dan insiden Tolikara menjadi awal upaya jahat memecah NKRI itu.
Prabowo mengatakan jika mau mempelajari sejarah, sangat mudah mencium
ada permainan asing dalam insiden Tolikara. Menjelang lepasnya Timor Timur dari
Indonesia, peristiwa serupa pernah muncul. Dalam kurun waktu 1996-1998, lanjut
Prabowo, diawali dengan adanya mushola dibakar di Viqueque, kemudian banyak
gereja dibakar di luar Timtim. Eskalasinya terus membesar hanya gara-gara satu kasus
di pelosok Timtim.

Masih kata Prabowo, satu fakta sejarah lain yang mesti diperhatikan adalah
pada 1996 ribuan prajurit Australia disiagakan di Darwin. Jelas sekali mereka
dipersiapkan untuk bisa beroperasi di daerah tropis. Benar saja, tiga tahun kemudian
pada 1999, prajurit-prajurit Australia itu tiba di Timtim di bawah bendera PBB
sebagai pasukan INTERFET (International Force for East Timor). Tak lama setelah
itu, akibat intervensi global, dilakukanlah referendum dan Timtim lepas. Kini, kata
Prabowo, di Darwin ada lebih dari 20 ribu marinir AS. “Apakah mungkin tiga tahun
lagi Marinir AS itu akan ke Papua sebagai INTERFWEP (International Force for
West Papua)?” sentil Prabowo.
- Perseturuan global
Tak ada perseteruan antaragama (Islam dan Kristen) di Tolikara. Yang ada
adalah perseteruan negara-negara (asing) yang “mencari makan” di Papua. Menurut
Prabowo, setidaknya ada 20 negara yang “mencari makan” di Papua dan kenyamanan
mereka belakangan sedikit terusik.
“Kita harus benar-benar memahami, bahwa peristiwa Tolikara itu bagian dari
agenda dunia yang karena kenyamanannya dalam mencari makan di Indonesia terusik,
lalu mewujudkan kemarahannya dengan menggunakan strategi: ‘kalau gue kagak, elu
pun juga kagak bakalan dapet’. Lihat saja, peristiwa itu terjadi hanya dua bulan
setelah pers asing diijinkan Presiden Jokowi meliput di Papua,” ulas Suryo.
- Harus diredam
Maka adalah sangat penting bagi pemerintahan Jokowi meredam insiden
Tolikara, melakukan lokalisir agar tidak meluas. Pemerintah harus bersati padu
dengan berbagai elemen bangsa untuk merdema gejolak dengan tetap mengedepankan
hukum. Jangan sampai ada aksi balasan atau aksi kekerasan lanjutan.
"Jika terjadi ada aksi balasan, akan ada cerita pada dunia jika ada penganiayan
dan penindasan di Papua," kata Prabowo. Cerita itu mulai dijual oleh kelompok
separatis OPM melalui media sosial dan media online. Ini harus ditandingi. Rakyat
Indonesia yang mencintai keutuhan NKRI harus melawan kampanye jahat kelompok
separatis itu.
E. Solusi dari pelanggaran HAM pada kasus tersebut.
Atas pelanggaran - pelanggaran HAM yang terjadi, Komnas HAM
merekomendasikan hal - hal sebagai berikut :

Pertama, mendesak seluruh elemen Negara, baik Pemerintah Pusat dan


Pemerintah Daerah Papua dan Kabupaten Tolikara, maupun pihak  kepolisian untuk
menjamin ketidakberulangan (guarantees of non-recurrence) peristiwa serupa di
Tolikara pada masa yang akan datang.
Kedua, mendesak Negara khususnya Kementerian Dalam Negeri dan
Kementerian Agama serta pihak keamanan untuk memastikan adanya jaminan
kebebasan beragama di masa yang akan datang di Tolikara sebagaimana dijamin pasal
28 E (1), 28E (2) dan 29 UUD 1945 serta pasal 22 ayat (1) dan (2) UU nomor 39
tahun 1999 tentang HAM serta pasal 18 Komentar Umum 22 ICCPR. Faktanya tidak
ada jaminan tertulis bahwa Pemerintah Kabupaten Tolikara akan memperbaiki Perda
2013 yang diskriminatif itu. Di samping itu, pihak GIDI Tolikara juga masih
berkeyakinan bahwa Tolikara adalah wilayah GIDI.
Ketiga, mendesak Negara khususnya Kementerian Dalam Negeri dan
Pemerintah Daerah (Pemerintah Kabupaten dan DPRD Tolikara) untuk hadir
mengharmonisasi Perda 2013 Tolikara agar sesuai dengan perspektif HAM.
Keempat, mendesak Negara, khususnya Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah (Provinsi Papua dan Kabupaten Tolikara) sebagai penanggung jawab utama
perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan HAM untuk menunaikan
kewajiban konstitusional dan hukumnya sebagaimana ditegaskan dalam pasal 28I ayat
(4) UUD 1945 dan pasal 8 UU nomor 39 tahun 1999 tentang HAM.
Kelima, mendesak Negara khususnya Menkopolhukam untuk memerintahkan
Kapolri untuk penegakan hukum dengan menangkap dan mengadili siapapun
inisiator, provokator dan aktor pelaku dalam peristiwa Tolikara secara adil, terbuka
dan mandiri. Negara harus tunduk kepada konstitusi dan hukum. Negara tidak boleh
tunduk kepada siapapun, apalagi terhadap aktor non-state.
Keenam, mendesak Negara khususnya Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah (Provinsi Papua dan Kabupaten Tolikara) untuk membiayai seluruh
pengobatan korban tembak, membangun kembali rumah ibadah, kios/sentra ekonomi,
rumah warga/properti, recovery fisik dan non fisik pengungsi terutama perempuan
dan anak-anak, dan juga melakukan rekonsiliasi untuk keguyuban sosial masyarakat
Tolikara supaya masyarakat Tolikara bisa hidup hidup rukun dan harmonis sebagai
keluarga besar NKRI.
BAB IV
KESIMPULAN

Hak Asasi Manusia adalah hak-hak dasar yang dimiliki oleh manusia sesuai
dengan kiprahnya. Setiap individu mempunyai keinginan agar HAM-nya terpenuhi,
tapi satu hal yang perlu kita ingat bahwa jangan pernah melanggar atau menindas
HAM orang lain. Dalam kehidupan bernegara HAM diatur dan dilindungi oleh
perundang-undangan RI, dimana setiap bentuk pelanggaran HAM baik yang
dilakukan oleh seseorang, kelompok, atau suatu instansi atau bahkan suatu Negara
akan diadili dalam pelaksanaan peradilan HAM, pengadilan HAM menempuh proses
pengadilan melalui hukum acara peradilan HAM sebagaimana terdapat dalam
Undang-Undang pengadilan HAM.
Pelanggaran HAM adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang
termasuk aparat negara baik disengaja ataupun tidak disengaja atau kelalaian yang
secara hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut HAM
seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-Undang ini, dan tidak
didapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang
berlaku.

Pelanggaran HAM
adalah setiap
perbuatan seseorang
atau kelompok orang
termasuk aparat negara
baik disengaja ataupun
tidak disengaja atau
kelalaian yang
secara hukum
mengurangi,
menghalangi,
membatasi dan atau
mencabut HAM
seseorang atau
kelompok orang yang
dijamin oleh Undang-
Undang ini, dan tidak
didapatkan atau
dikhawatirkan tidak
akan memperoleh
penyelesaian hukum
yang
berlaku. Pelanggaran
HAM dapat
dikelompokan menjadi
2 macam yaitu
pelanggaran HAM berat
dan pelanggaran HAM
ringan. Pelanggaran
HAM dapat
dilakukan oleh pihak
Negara dan bukan
Negara.
Pelanggaran HAM
adalah setiap
perbuatan seseorang
atau kelompok orang
termasuk aparat negara
baik disengaja ataupun
tidak disengaja atau
kelalaian yang
secara hukum
mengurangi,
menghalangi,
membatasi dan atau
mencabut HAM
seseorang atau
kelompok orang yang
dijamin oleh Undang-
Undang ini, dan tidak
didapatkan atau
dikhawatirkan tidak
akan memperoleh
penyelesaian hukum
yang
berlaku. Pelanggaran
HAM dapat
dikelompokan menjadi
2 macam yaitu
pelanggaran HAM berat
dan pelanggaran HAM
ringan. Pelanggaran
HAM dapat
dilakukan oleh pihak
Negara dan bukan
Negara.
Pelanggaran HAM
adalah setiap
perbuatan seseorang
atau kelompok orang
termasuk aparat negara
baik disengaja ataupun
tidak disengaja atau
kelalaian yang
secara hukum
mengurangi,
menghalangi,
membatasi dan atau
mencabut HAM
seseorang atau
kelompok orang yang
dijamin oleh Undang-
Undang ini, dan tidak
didapatkan atau
dikhawatirkan tidak
akan memperoleh
penyelesaian hukum
yang
berlaku. Pelanggaran
HAM dapat
dikelompokan menjadi
2 macam yaitu
pelanggaran HAM berat
dan pelanggaran HAM
ringan. Pelanggaran
HAM dapat
dilakukan oleh pihak
Negara dan bukan
Negara.
BAB V
DAFTAR PUSTAKA

- Mahmudah, Rif’atul. 2016. Framing Pemberitaan Insiden Pembakaran Masjid di Tolikara


Pada SKH Kompas dan Republika. Skripsi. Yogyakarta: Universitas Islam Negeri Sunan
Kalijaga.

- http://repository.untag-sby.ac.id/377/3/BAB%20II.pdf

- http://digilib.uinsgd.ac.id/4964/4/4_bab1.pdf

- wahidinstitute.org. (2015, 30 Juli). Membaca Kasus Tolikara. Diakses pada 9 April 2020,
dari http://wahidinstitute.org/wi-id/indeks-berita/305-membaca-kasus-tolikara.html

- komnasham.go.id. (2015, 10 Agustus). Komnas HAM : Terjadi Pelanggaran HAM Pada


Peristiwa Tolikara. Diakses pada 10 April 2020, dari
https://www.komnasham.go.id/index.php/news/2015/8/10/178/komnas-ham-terjadi-
pelanggaran-ham-pada-peristiwa-tolikara.html.

- satuharapan.com. (2015, 30 Juli). Efek Tolikara. Diakses pada 10 April 2020, dari
http://www.satuharapan.com/read-detail/read/efek-tolikara

- kompasiana.com. (2015, 29 Juli). Insiden Tolikara Papua Hendak di TimTimkan?.


Diakses pada 11 April 2020, dari
https://www.kompasiana.com/wasiat_kumbakarna/55b8776b397b61fb1e93ab30/insiden-
tolikara-papua-hendak-di-timtimkan?page=all

- Aisyah. 2014. Kasus Pelanggaran HAM di Indonesia “Marsinah”. Makalah.


https://www.academia.edu/32848032/Makalah_Kasus_Pelanggaran_HAM_di_Indonesia

- Amiyati, Nurul dkk. 2019. Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Indonesia . Makalah.
https://www.researchgate.net/publication/337485261_MAKALAH_PELANGGARAN_HA
K_ASASI_MANUSIA_DI_INDONESIA

Anda mungkin juga menyukai