Anda di halaman 1dari 4

Isu Pelanggaran Hak Asasi Manusia

Permasalahan terkait Hak Asasi Manusia (“HAM”) adalah isu yang sangat sensitif mengingat hal
tersebut menyangkut permasalahan terkait dengan seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan
keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan dan merupakan anugerah yang wajib dihormati,
dijunjung tinggi serta dilindungi oleh setiap orang termasuk Negara dan Pemerintah melalui perangkat
hukum demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Hak tersebut mencakup
hak untuk hidup, hak untuk bebas dari perbudakan, hak untuk bebas dari penyiksaan dan kekejaman,
hak terhadap persamaan dan bantuan hukum, hak pengadilan yang adil, hak perlindungan urusan
pribadi dan keluarga, hak untuk memasuki dan meninggalkan suatu negara, hak untuk mendapatkan
suaka, hak untuk berwarganegara, hak untuk memiliki harta benda, hak untuk bebas beragama,
berpendapat, berserikat dan berkumpul, serta hak-hak lainnya yang telah tercantum berdasarkan
Deklarasi Universal HAM oleh Majelis Umum PBB yang diumumkan pada 10 Desember 1948 silam.

Hak-hak asasi manusia tersebut telah diadopsi dan diatur pula kedalam perangkat hukum di Indonesia
melalui Konstitusi dalam UUD 1945. Namun dibalik pengaturan tersebut masih terdapat pelanggaran-
pelanggaran yang menyebabkan hak-hak tersebut menjadi sukar untuk didapatkan. Problematika
pelanggaran HAM sendiri juga terbukti dilakukan oleh pemerintah terhadap rakyatnya sendiri, di
Indonesia contohnya pada masa Orde Baru, kebebasan berkumpul, berserikat, dan mengeluarkan
pendapat sangat dibatasi. Terlebih lagi banyak terjadi pula kejahatan terhadap kemanusiaan seperti
penangkapan, penyiksaan dan pembunuhan atas pihak-pihak yang dianggap dapat berpotensi atau
menjadi ancaman terhadap eksistensi kekuasaannya. Adapun kasus-kasus tersebut seperti
Pembantaian PKI (1965), Penembakan Misterius (1982), Kerusuhan Tanjung Priok (1984),
Penembakan Mahasiswa Universitas Trisakti (1998), Tragedi Semanggi (1998), hingga Penculikan
Aktivis (1998) yang hingga kini masih menghantui Negara Indonesia.

Sejatinya, tidak dapat kita pungkiri bahwa rezim tersebut telah berkuasa selama lebih dari 30 tahun,
namun pada era reformasi Negara telah berhasil membentuk dan menyusun beberapa perangkat
hukum guna melakukan penegakkan terhadap isu pelanggaran HAM. Diantaranya adalah
memasukkan HAM kedalam Bab tersendiri pada amandemen UUD ’45, mengeluarkan Ketetapan
MPR RI No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, melakukan ratifikasi beberapa instrument
PBB terkait HAM seperti diundangkannya UU No. 9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan
Menyampaikan Pendapat di Muka Umum dan UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
yang kedudukan Komisi Nasional HAM yang sebelumnya telah dibentuk berdasarkan Keputusan
Presiden No. 50 tahun 1993 tentang Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Selanjutnya, Pemerintah
juga telah memberikan paying hukum sistem peradilan melalui UU No. 26 tahun 2000 tentang
Pengadilan Hak Asasi Manusia serta UU No. 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras
dan Etnis.

Namun instrumen-instrumen hukum tersebut seperti tidak memiliki dampak yang signifikan bagi
masyarakat Indonesia, penilaian penegakan HAM terhadap Pemerintah tidak lain hanyalah sebuah
retorika. Pergantian rezim dari Orde Baru ke Reformasi pun tidak luput dari pengaruh bayang-bayang
sistem dan paradigma lama, sebab pergantian yang berlangsung adalah hanya sekedar memunculkan
sosok-sosok baru yang sejatinya masih termasuk kedalam atau justru bergabung kedalam kelompok
orang-orang lama, hal ini menyebabkan masih didominasinya rezim oleh kelompok lama. Hal ini
kemudian menjadi urgensi bagi Pemerintah Indonesia dalam menyambut ajang pemilihan umum
Presiden dan Wakil Presiden yang seringkali hanya menujukkan lip service dan retorikanya saja
terhadap penegakkan pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia.

Urgensi tersebut menjadi lebih disoroti akibat kegagalan-kegagalan Pemimpin Indonesia terdahulu
dalam mengakhiri impunitas apparat-aparat yang diduga bertanggung jawab atas pelanggaran HAM
yang terjadi dimasa lampau. Pada ajang pemilihan umum, pelanggaran HAM kerap kali menjadi isu
yang diangkat oleh Masyarakat Indonesia, terlebih lagi apabila isu tersebut ternyata melekat pada
sosok yang nyatanya mencalonkan diri untuk menempati bangku kepemimpinan di Indonesia.
Sebagaimana diketahui, sosok Prabowo Subianto yang kerap kali dikaitkan dan tidak pernah lepas
dari isu pelanggaran HAM masa lalu yang diduga dilakukan oleh beliau. Situasi ini sering kali
digunakan oleh lawan politiknya untuk menjegal atau menghalau langkahnya pada saat proses
pemilihan umum. Namun sayangnya isu tersebut ternyata tercatat oleh Lembaga Indonesia Politic
Opinion tidak berdampak signifikan pada elektabilitas Prabowo Subianto.

Pada tahun 1999 dibawah kepemimpinan Panglima TNI Jenderal (Purn) Wiranto, telah dibentuk
Dewan Kehormatan Perwira (“DKP”) yang beranggotakan Jenderal (Purn) Subagyo Hadi Siswoyo,
Letnan Jenderal (Purn) Djamari Chaniago, Letnan Jenderal (Purn) Fachrul Razi, Letnan Jenderal
(Purn) Yusuf Kartanegara, Letnan Jenderal (Purn) Agum Gumelar, Letnan Jenderal (Purn) Arie J.
Kumaat, dan Jenderal (Purn) Susilo Bambang Yudhoyono yang dibentuk berdasarkan Surat
Keputusan Pangab No. Sekp/533/P/VII/1998 tanggal 24 Juli 1998 mengusut dan mengadili Prabowo
Subianto yang kala itu menjabat sebagai Letnan Jenderal Panglima Komando Strategis Angkatan
Darat yang diduga bertanggungjawab atas Kasus Penculikan Aktivis 1997-1998. Pada siding tersebut,
DKP menemukan beberapa kesalahan yang menyebabkan diberhentikannya Prabowo Subianto dari
militer melalui Surat Keputusan Dewan Kehormatan Perwira No. KEP/03/VIII/1998/DKP tanggal 21
Agustus 1998. Pasca pemberhentian tersebut Prabowo Subianto juga sempat melakukan klarifikasi
yang dimuat dalam Majalah Panji (1999) “Saya mendapat Daftar Nama Aktivis yang berpotensi
mengganggu keamanan, sehingga aktivis tersebut menjadi target operasi dan diminta untuk
diamankan. Namun mungkin mereka salah menafsirkan dan terlalu antusias sehingga menjabarkan
perintah saya seperti itu. Atau ada titipan perintah dari yang lain, saya tidak tahu, tetapi saya
mengaku bertanggung jawab.”.

Mantan Komisioner Komnas HAM Natalius Pigai menyebut yang bertanggungjawab terhadap
pelanggaran HAM pada peristiwa kerusuhan tahun 1998 bukanlah Prabowo Subianto. Sesuai dengan
hukum HAM Internasional dan UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, pihak yang
seharusnya bertanggungjawab adalah commander responsibilities yang pada saat itu menjabat yakni
Jenderal TNI (Purn) Wiranto selaku Panglima Angkatan Darat pada masa itu. Mantan Komisioner
Komnas HAM menuturkan alasannya adalah karena peristiwa kerusuhan tahun 1998 adalah peristiwa
nasional sehingga tanggungjawab merupakan beban pimpinan keamanan dan pertahanan nasional
yakni Angkatan Bersenjata RI. Sebagaimana diketahui Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
(“Komnas HAM”) memiliki tujuan untuk mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan
HAM sesuai dengan Pancasila, UUD 1945, dan Piagam PBB, serta Deklarasi Universal HAM, serta
meningkatkan perlindungan dan penegakan HAM. Komnas HAM sendiri memiliki Sub Komisi
Penegakan HAM yang melaksanakan mandat dan fungsi dalam penegakan HAM melalui 3 (tiga)
unsur pendukung utama yaitu Pelayanan Pengaduan, Fungsi Pemantauan dan Penyelidikan, dan
Fungsi Mediasi. Sub Komisi Penegakan HAM selalu melakukan penyusunan laporan aduan yang
telah menyusun Laporan Semester 1 Tahun 2023, yang menguraikan situasi penegakan HAM di
Indonesia. Komnas HAM sejak Januari sampai dengan Juni 2023 telah menerima sebanyak 2.403
berkas pengaduan terkait dengan dugaan pelanggaran HAM dan tercatat sebanyak 1.415 kasus dugaan
pelanggaran HAM dilaporkan dari seluruh Indonesia.

Adapun penyelesaian yang dapat ditempuh adalah melalui mekanisme yudisial dan non yudisial yang
telah diatur secara spesifik pada Pasal 104 ayat (1) UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM dan Pasal 47
UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Terkait dengan perkembangan kasus pelanggaran
HAM berat telah dibentuk Tim Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu melalui Keputusan
Presiden No. 17 tahun 2022 tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak
Asasi Manusia yang Berat Masa Lalu yang kemudian melakukan pelaporan dan menyampaikan
rekomendasi kepada Pemerintah seputar pemulihan bagi korban atau keluarga korban dari tindakan
pelanggaran HAM. Sebagaimana perintah reformasi, penegakkan terhadap pelanggaran HAM
menjadi salah satu kunci komitmen bagi bakal calon presiden dan calon wakil presiden. Dalam
pemulihan hak korban atau keluarga korban, norma dan standar utamanya memperhatikan akses
keadilan yang setara dan efektif, reparasi yang memadai, serta akses terhadap informasi terkait
pelanggaran dan mekanisme reparasi.

Komnas HAM hingga 2023 telah menerbitkan setidaknya 6.300 Surat Keterangan Korban
Pelanggaran HAM (“SKKPHAM”) yang dapat digunakan oleh korban atau keluarga korban untuk
mendapatkan layanan-layanan sosial maupun medis yang dapat diakses dari lembaga-lembaga seperti
LPSK, maupun lembaga lain terkait yang memiliki kewenangan untuk memberikan pelayanan sosial.
Upaya lain yang dapat dilakukan adalah sosialisasi dan verifikasi korban pelanggaran HAM secara
berkala dengan melakukan kunjungan ke titik-titik tempat korban pelanggaran HAM sekaligus
berkonsultasi dengan korban untuk mendapatkan informasi terkait kondisi maupun kebutuhan serta
harapan dari para korban atau keluarga korban.

Anda mungkin juga menyukai