Anda di halaman 1dari 5

Nama : Sena Arga Waluya

Nim : 11000120140304

Mata Kuliah : Hukum Acara Pidana Khusus (L)

Analisis Pelanggaran HAM Berat Pada Tragedi Trisakti 1998

Setiap manusia selalu memiliki dua keinginan, yaitu keinginan berbuat baik, dan
keinginan berbuat jahat. Keinginan berbuat jahat itulah yang menimbulkan dampak pada
pelanggaran hak asasi manusia, seperti membunuh, merampas harta milik orang lain, menjarah
dan lain-lain. Pelanggaran hak asasi manusia dapat terjadi dalam interaksi antara aparat
pemerintah dengan masyarakat dan antar warga masyarakat. Namun, yang sering terjadi adalah
antara aparat pemerintah dengan masyarakat. Apabila dilihat dari perkembangan sejarah bangsa
Indonesia, ada beberapa peristiiwa besar pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi dan
mendapat perhatian yang tinggi dari pemerintah dan masyarakat Indonesia, seperti pada
pelanggarana berat HAM kasus Tragedi Trisakti 1998.

Pelanggarana berat HAM kasus Tragedi Trisakti 1998 yang di latarbelakangi dengan
protes mahasiswa besar-besaran yang menyerukan pemerintahan yang demokratis dan reformasi
menyeluruh terjadi di hampir setiap wilayah Indonesia sebelum kejatuhan Soeharto. Protes
mahasiswa ditangani dengan cara yang menindas, antara lain dengan membubarkan massa,
menggunakan kekuatan mematikan tanpa perintah pengadilan, dan pelanggaran lainnya. Bencana
terparah terjadi pada 12 Mei 1998, ketika empat mahasiswa Trisakti Elang Mulia Lesmana, Heri
Hartanto, Hendrawan Sie, dan Hafidin Royan ditembak aparat sehingga total korban berjumlah
681 mahasiswa. Kekerasan terhadap mahasiswa kembali terjadi antara 8 Novemberdan 14
November 1998. Mahasiswa memprotes apa yang mereka anggap sebagai sidang khusus yang
melanggar hukum dan menuntut agar presiden ditembak dengan peluru tajam sekali lagi sebagai
tanggapan atas krisis ekonomi. Aksi damai yang dilakukan oleh mahasiswa berujung tragedi
yang dipicu oleh salah satu oknum yang berteriak menggunakan kata-kata kasar dan kotor.
Kemudian Terdengar suara letusan senjata api yang dilakukan oleh TNI-Polri, aparat TNI-Polri
yang membuat para mahasiswa demonstran menjadi panik dan berlarian kesana kemari. Hal
tersebut membuat aparat bergerak memulai pukulan, semprotan gas air mata, dan bentuk
pengamanan lainnya, kemudian mahasiswa melakukan perlawanan.
Akibatnya, 18 mahasiswa tewas dan 109 orang lainnya, termasuk pelajar dan masyarakat
terluka. Ahli kedokteran Forensik, dr. Abdul Mun’in nengungkapkan bahwa hasil visum
memperlihatkan peluru kaliber 5,56 nm di tubuh Heri Hartanto. Hingga 24 Tahun berlalu masih
belum diketahui siapa dalang dibaik tragedi Trisakti Sebab, usai kejadian itu, Pol Dibyo Widodo
selaku ketua Kapolri yang menjabat pada saat peristiwa tersebut membantah jika anak buahnya
telah menggunakan peluru tajam dalam melakukan pengamanan demontrasi. Bersamaan dengan
Kapolda Metro Jaya Hamami Nata juga menyatakan polisi hanya menggunakan kayu/tongkat ,
peluru kosong, peluru karet dan gas air mata. Meskipun akhirnya ada oknum aparat yang
menjadi terdakwa pada beberapa waktu kemudian, tetap saja belum terungkap apa motif dari
penembakan dan siapa yang melakukannya. Terdakwa hanya dijatuhkan tuduhan karena dengan
sengaja tidak menaati perintah atasan

Analisis Kasus

Kasus penghilangan paksa para aktivis pada tahun 1997/1998, secara yuridis normatif
merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana diatur dalam Pasal 9 UU No. 26 Tahun
2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, yaitu: “Kejahatan terhadap kemanusiaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf badalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai
bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut
ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil berupa”:
a) pembunuhan;
b) pemusnahan;
c) perbudakan;
d) pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa
e) perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang
yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional;
f) penyiksaan;
g) perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan,
pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang
setara;
h) penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari
persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau
alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum
internasional;
i) penghilangan orang secara paksa; atau kejahatan apartheid.
Oleh karena kasus penghilangan para aktivis secara paksa ini terjadi sebelum Pengadilan
HAM berdiri, maka mekanisme penyelesaian kasus ini mengikuti Pasal 43 UU Pengadilan
HAM:

1) Pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum diundangkannya
Undang-undang ini, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM ad hoc.
2) Pengadilan HAM ad hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk atas usul
Dewan Perwakilan Rakyat berdasarkan peristiwa tertentu dengan Keputusan Presiden.

Pengadilan HAM ad hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berada dilingkungan
Peradilan Umum. Berdasarkan pasal tersebut penyelesaian kasus ini dilakukan dengan
membentuk Pengadilan HAM ad hoc oleh pemerintah, berlandaskan rekomendasi dari DPR.
Rekomendasi tersebut didasarkan pada hasil penyelidikan yang dilakukan oleh Tim Penyelidik
dari Komnas HAM. Saat ini Pansus DPR telah mengeluarkan keputusan bahwa peristiwa
penghilangan paksa para aktivis tahun 1997/1998 merupakan pelanggaran HAM berat, dalam
bentuk pembunuhan, perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, penyiksaan,
penganiayaan, dan penghilangan secara paksa terhadap penduduk sipil. DPR lalu memberikan
rekomendasi terkait penanganan pembahasan atas hasil penyelidikan penghilangan orang secara
paksa periode 1997-1998. Rekomendasi tersebut adalah:

1) Merekomendasikan kepada Presiden untuk membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc.


2) Merekomendasikan kepada Presiden serta segenap institusi pemerintah serta pihak-pihak
terkait untuk segera melakukan pencarian terhadap 13 orang yang oleh Komnas HAM
masih dinyatakan hilang.
3) Merekomendasikan kepada Pemerintah untuk merehabilitasi dan memberikan
kompensasi terhadap keluarga korban yang hilang.

Merekomendasikan kepada pemerintah agar segera meratifikasi konvensi Anti


Penghilangan Paksa sebagai bentuk komitmen dan dukungan untuk menghentikan praktik
Penghilangan Paksa di Indonesia Dari keempat rekomendasi diatas, yang hanya memiliki progres
hanyalah rekomendasi ke empat. Sekarang pengesahan Konvensi Anti Penghilangan Orang
Secara Paksa telah berada di meja DPR RI Komisi I. Presiden Jokowi mengirim Surat Presiden
kepada DPR pada tanggal 27 April 2022.

Menurut pengamatan penulis, sengketa syarat formil seperti sumpah jabatan, syarat membuat
berita acara, dan pelaksanaan ketentuan UU 26/2000 untuk Pasal 19 ayat (1) huruf g, sedang
ramai diperbincangkan dan menjadi polemik. antara Komnas HAM, Kejaksaan Agung, dan DPR
RI, antara lain undang-undang tersebut telah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Pasal 91 ayat
(1) huruf e UU No. 39 Tahun 1999 dan terkait dengan Pasal 42 ayat (1) huruf b dan Pasal 42 ayat
(2) huruf b UU No. 26/2000. dan persyaratan material; bahwa saksi-saksi, baik dari pihak militer,
polisi, dan lain-lain, serta dokumen-dokumen yang relevan diperiksa.

Dari kasus ini dan penyelesaiannya, kegagalan penyelesaian kasus pelanggaran HAM di
Indonesia selama ini karena sistem perlindungan dan penegakan yang tidak efektif yang
disebabkan oleh beberapa hal faktor, yaitu lemahnya substansi peraturan perundang-undangan,
khususnya UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM; masalah desain kelembagaan
berkaitan dengan kewenangan dan hubungan kelembagaan antar lembaga khususnya yang
menangani pelanggaran HAM, seperti Komnas HAM, Kejaksaan Agung dan Pengadilan HAM,
termasuk ketidakjelasan tentang tahapan pembentukan Pengadilan HAM ad hoc; kekurangan
kemauan politik dari Pemerintah dalam penyelesaian pelanggaran HAM.

Sesuai dengan ketentuan tersebut di atas, penyidik bertanggung jawab untuk membuat
berita acara. bukan detektif. Jaksa Agung adalah penyidik dalam kasus pelanggaran HAM. Baik
KPP HAM maupun Komnas HAM tidak digunakan sebagai penyidik. Kekeliruan Jaksa Agung
jika mempertanyakan Komnas HAM yang hanya penyidik, bagaimana berita acara itu dibuat.
Sumpah jabatan setara dalam hal ini. Menurut KUHAP Pasal 121, “Penyidik atas kekuatan
sumpah jabatannya segera membuat berita acara yang diberi tanggal dan memuat tentang dugaan
tindak pidana, dengan menyebutkan waktu, tempat tinggal tersangka dan atau saksi, keterangan
mereka, catatan-catatan mengenai akta dan atau benda-benda itu, dan segala sesuatu yang
dianggap perlu untuk keperluan penyelesaian perkara.”

Solusi Hukum Menurut Penulis

Ketidakefektifan penyelesaian pelanggaran HAM di Indonesia bisa dibilang karena peraturan


perundang-undangan yang menjadi landasan yuridis dalam penyelesaian pelanggaran HAM yaitu
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Hak Asasi Manusia. Pengadilan HAM yang
masih memiliki sejumlah kelemahan. Dapat diringkas, setidaknya ada tiga kelemahan mendasar
dari Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000: Pertama, adanya kelemahan substansial UU
Pengadilan HAM yang hanyabersifat parsial adaptasi Statuta Roma; Kedua, ketidaksempurnaan
hukum acara Pengadilan HAM; Ketiga, ketidaksesuaian terjemahan Statuta Roma yang
berdampak pada kaburnya substansi pelanggaran HAM yaitu yurisdiksi Pengadilan HAM.

Anda mungkin juga menyukai