Di susun Oleh:
Rabibah A1A213046
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN
BANJARMASIN
2015
PENGADILAN HAM
A. Sejarah Pembentukan Pengadilan HAM
Selanjutnya pasca orde baru terutama pada masa transisi antara tahun 1998 –
2000 banyak kasus kekerasan yang terjadi di Indonesia menelan ratusan bahkan
ribuan orang apalagi kasus timor timur pasca jajak pendapat menambah rentetan
panjang pelanggaran HAM di Indonesia. Berbagai kasus pelanggaran HAM yang
terjadi belum pernah terselesaikan secara tuntas antara lain kasus Tanjung Priok,
DOM Aceh, Papua dan kasus pelanggaran HAM berat di Timor-timur selama pra dan
pasca jajak pendapat belum ada yang terselesaikan. Atas kondisi ini sorotan dunia
internasional terhadap Indonesia sehubungan dengan maraknya pelanggaran HAM
yang terjadi kian menguat terlebih sorotan atas pertanggungjawaban pelanggaran
HAM yang terjadi di Timor-timur selama proses jajak pendapat.
a. Ada dugaan telah terjadi pelanggaran hak asasi manusia yang berat di
berbagai tempat yang seringkali cenderung berupa tindakan yang bersifat
serperti pembunuhan massal (genocide), pembunuhan sewenang-wenang atau
di luar putusan pengadilan (arbitrary/extra judicial killing), penyiksaan,
penghilangan orang secara paksa, atau yang dilakukan secara sistematis
(systematic discrimination), yang menimbulkan kerugian baik materiil
maupun imateriil serta mengakibatkan perasaan tidak aman baik terhadap
perorangan maupun masyarakat;
b. Kondisi sebagaimana dimaksud dalam angka 1 mempunyai dampak sangat
luas baik nasional maupun internasional, antara lain mengakibatkan
menurunnya kepercayaan terhadap Pemerintah Republik Indonesia akibat
banyaknya pelanggaran terhadap hak asasi manusia, yang perlu segera diatasi;
c. Tuntutan sebagian reformasi baik yang bersifat nasional maupun internasional
yang sangat mengganggu jalannya pemerintahan sehingga harus segera diatasi
dan diciptakan suasana kondusif berupa ketertiban, ketentraman, dan
keamanan harus memperhatikan prinsip-prinsip hak asasi manusia yang
diakui oleh bangsa yang beradab.
Perpu ini telah menjadi landasan yuridis untuk adanya penyelidikan kasus
pelanggaran HAM berat di Timor-timur oleh Komnas HAM. Karena berbagai alasan
Perpu No. 1 Tahun 1999 ini yang kemudian ditolak oleh DPR untuk menjadi undang-
undang. Alasan mengenai ditolaknya Perpu tersebut adalah sebagai berikut :
a. Secara konstitusional pembentukan perpu tentang pengadilan HAM dengan
mendasarkan pada Pasal 22 ayat 1 Undang-undang Dasar 1945 yang berbunyi
“dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa”, yang dijadikan dasar untuk
mengkualifikasikan adanya kegentingan yang memaksa dianggap tidak tepat;
b. Subtansi yang diatur dalam Perpu tentang Pengadilan HAM masih terdapat
kekurangan atau kelemahan antara lain, sebagai berikut: Kurang
mencerminkan rasa keadilan karena ketentuan dalam perpu tersebut tidak
berlaku surut (retroaktif), sehingga pelanggaran HAM yang berat yang
dilakukan sebelum Perpu ini disahkan menjadi undang-undang tidak tercakup
pengaturannya.
c. Masih terdapat ketentuan yang dinilai menyimpang dari ketentuan yang diatur
dalam konvensi tentang pencegahan dan penghukuman kejahatan genosida
tahun 1948 dan tidak sesuai dengan asas-asas hukum yang berlaku. Masih
menggunakan standar konvensional, yakni dengan mendasarkan pada KUHP
yang hanya membatasi tuntutan pada personal sehingga tidak mampu
menjangkau tuntutan secara lembaga.
d. Masih terdapat subtansi yang kontradiktif dan berpotensi untuk berbenturan
atau overlapping dengan hukum positif.
Setelah adanya penolakan Perpu tersebut diatas oleh DPR maka pemerintah
mengajukan rancangan undang-undang tentang Pengadilan HAM. Dalam
penjelasannya, pengajuan RUU tentang Pengadilan HAM adalah : Pertama,
merupakan perwujudan tanggung jawab bangsa Indonesia sebagai salah satu anggota
PBB. Dengan demikian merupakan salah satu misi yang mengembangkan tanggung
jawab moral dan hukum dalam menjunjung tinggi dan melaksanakan deklarasi HAM
yang ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-bangsa, serta yang terdapat dalam berbagai
instrumen hukum lainnya yang mengatur mengenai HAM yang telah dan atau
diterima oleh negara Indonesia. Kedua, dalam rangka melaksanakan Tap MPR No.
XVII/MPR/1998 tentang HAM dan sebagai tindak lanjut dari Pasal 104 ayat 1
Undang-undang No. 39 Tahun 1999. Ketiga, untuk mengatasi keadaan yang tidak
menentu di bidang keamanan dan ketertiban umum, termasuk perekonomian nasional.
Keberadaan pengadilan HAM ini sekaligus diharapkan dapat mengembalikan
kepercayaan masyarakat dan dunia internasional terhadap penegakan hukum dan
jaminan kepastian hukum mengenai penegakan HAM di Indonesia. Dari ketiga alasan
di atas, landasan hukum bahwa perlu adanya pengadilan HAM untuk mengadili
pelanggaran HAM berat adalah alasan yang ketiga dimana terbentuknya pengadilan
HAM ini adalah pelaksanaan dari TAP MPR No. XVII/MPR/1998 tentang HAM dan
sebagai tindak lanjut dari Pasal 104 ayat 1 Undang-undang No. 39 Tahun 1999. Pasal
104 ayat 1 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Komnas HAM
menyatakan bahwa untuk mengadili pelanggaran HAM yang berat dibentuk
pengadilan HAM di lingkungan peradilan umum. Ayat 2 menyatakan pengadilan
sebagaimana dimaksud ayat dalam ayat 1 dibentuk dengan undang-undang dalam
jangka waktu paling lama 4 tahun. Tidak sampai 4 tahun, undang-undang yang
khusus mengatur tentang Pengadilan HAM adalah Undang-undang Nomor 26 Tahun
2000.
1. Jakarta Pusat meliputi wilayah Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten,
Sumsel, Lampung, Bengkulu, Kalbar dan Kalteng;
2. Surabaya meliputi wilayah Provinsi Jatim, Jateng, Yogyakarta, bali, Kalsel,
Kaltim, NTB dan NTT;
3. Medan meliputi wilayah Provinsi Sumut, Aceh, Riau, Jambi dan Sumbar;
4. Makasar meliputi wilayah Provinsi Sulsel, Sultra, Sulteng, Sulut, Maluku,
Maluku Utara dan Papua.
Dalam pasal 1 ayat 2, yang dikatakan dengan pengadilan ham adalah suatu
pengadilan khusus terhadap pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang berat. Ada
dua bentuk pengadilan ham di Indonesia, yaitu: pengadilan ham yang bersifat
permanent dan pengadilan ham yang bersifat ad hoc. Beda diantara keduanya adalah
dalam hal pemberlakuannya, jika pengadilan ham permanent itu menyidangkan atau
mengusut kasus-kasus ham pada masa lampau artinya pelanggaran yang dilakukan
sesudah undang-undang tentang ham disahkan. Sedangkan pengadilan ham yang
bersifat ad hoc adalah sebaliknya, yaitu: menyelesaikan atau mengusut setiap
pelanggaran ham yang dilakukan pada masa sebelum undang-undang tentang ham
disahkan. Dalam permasalahan ham berlaku azas retroaktif, yang dimaksudkan agar
tidak ada permasalahan ham yang pernah terjadi tidak lolos begitu saja tanpa ada
upaya yang pasti untuk menyelesaikannya.
Pengaturan tentang Pengadilan HAM sesuai dengan UU No. 26 Tahun 2000 adalah
sebagai berikut:
Jenis kejahatan yang dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat yang dapat
diperiksa atau diputus dan merupakan yurisdiksi pengadilan Ham adalah:
1) Kejahatan genoseda,
2) Kejahatan terhadap kemanusiaan,
D. Hukum Acara Pengadilan HAM
Hukum acara yang digunakan adalah hukum acara yang berdasarkan hukum
acara pidana kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini. Hal ini berarti hukum
acara yang akan digunakan untuk proses pemeriksaan di pengadilan menggunakan
hukum acara dengan mekanisme sesuai dengan Kitab Undang-undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP).
UU No. 26 Tahun 2000 juga mengatur Kekhususan pengadilan HAM di luar
ketentuan KUHAP untuk pelanggaran HAM yang berat. Kekhususan dalam
penanganan pelanggaran HAM yang berat dalam UU No. 26 Tahun 2000 adalah :
a. Diperlukan penyelidik dengan membentuk tim ad hoc, proses penyelidikan
dilakukan oleh komnas ham dan melibatkan unsure masyarakat, berbeda
dengan penyelidikan pidana biasa yang hanya dilakukan oleh polisi. penyidik
ad hoc, proses penyidikan di lakukan oleh jaksa agung dengan melibatkan
unsur pemerintah dan masyarakat. Berbeda dengan KUHAP yang melakukan
penyidikan adalah polisi dan pengawai sipil lainnya yag diberi kewenangan.
penuntut ad hoc, penuntutan dilakukan oleh jaksa agung yang
menggabungkan pemerintah dengan masyarakat. dan hakim ad hoc,
pemeriksaan perkara dilakukan oleh majelis hakim yang berjumlah 5 orang,
terdiri dari 2 hakim pengadilan ham dan 3 hakim ad hoc.
b. Diperlukan ketentuan mengenai tenggang waktu tertentu untuk melakukan
penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan.
Jangka waktu penahanan untuk penyidikan dapat dilakukan paling lama 90
hari dan dapat diperpanjang selama 90 hari oleh ketua pengadilan HAM dan
jika waktu penahanan telah selesai tapi penyidikan belum dapat diselesaikan
makan dapat diperpanjang selama 60 hari oleh ketua pengadilan HAM yang
bersangkutan. Jangka waktu penahanan untuk penuntutan paling lama 30 hari
dan dapat diperpanjang 20 hari, tetapi jika belum selesai maka dapat
diperpanjang selama 20 hari lagi oleh ketua pengadilan sesuai dengan daerah
hukumnya. Ketentuan mengenai lamanya penahanan ini tidak disertai dengan
konsekuensi mengenai hak tersangka untuk dikeluarkan dari tahanan jika
selama waktu penahanan itu proses penyidikan dan penuntutan belum dapat
diselesaikan.
KUHAP disamping mengatur tentang lamanya panahanan juga mengatur
tentang hak tersangka untuk dikeluarkan dari tahanan jika tidak telah selesai
masa penahanannya tetapi proses penyidikan dan penuntutan belum selesai.
Penahanan untuk kepentingan pemeriksaan disidang pengadilan dapat
dilakukan selama 90 hari dan dapat diperpanjang oleh ketua pengadilan HAM
selama 30 hari. Dalam pemeriksaan tingkat banding di pengadilan tinggi dapat
dilakukan paling lama 60 hari dan dapat diperpanjang paling lama 30 hari
oleh ketua pengadilan tinggi.Sedangkan untuk tingkat kasasi di Mahkamah
Agung penahanan dapat dilakukan selama 60 hari dan dapat diperpanjang
selama 30 hari oleh ketua MA. Selama total 60 hari tersebut, tersangka atau
terdakwa harus sudah dikeluarkan demi hukum meskipun perkaranya belum
selesai diperiksa maupun belum diputus.
c. Diperlukan ketentuan mengenai perlindungan korban dan saksi.
1. Sejarah Pembentukan
Untuk itu maka pada 1998 dilatar belakangi oleh peristiwa kerusuhan dan
kekerasan seksual terhadap kelompok-kelompok cina, kelompok-kelompok maupun
organisasi-organisasi sosial dalam masyarakat telah membuat berbagai pernyataan
yang meminta Pemerintah untuk mengutuk kerusuhan termasuk terjadinya kekerasan
terhadap perempuan. Presiden sebagai Kepala Negara menyetujui dibentuknya suatu
Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan pada 1998 telah dikukuhkan
dengan suatu Surat Keputusan Presiden No. 181 tahun 1998 . Kemudian keputusan
presiden ini diperbaharui dengan peraturan presiden No 65 tahun 2005 TENTANG
KOMISI NASIONAL ANTI KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN. Komnas
Perempuan lahir dari tuntutan masyarakat sipil, terutama kaum perempuan, kepada
pemerintah untuk mewujudkan tanggung jawab negara dalam menangapi dan
menangani persoalan kekerasan terhadap perempuan. Tuntutan tersebut berakar dari
tragedi kekerasan seksual yang dialami terutama perempuan etnis Tionghoa dalam
kerusuhan Mei 1998 di berbagai kota besar di Indonesia. Pada pertengahan bulan Mei
1998, terjadi kerusuhan di Jakarta dan beberapa kota lain. Di tengah penjarahan,
pembakaran serta pembunuhan, perempuan etnik Tionghoa dijadikan sasaran
perkosaan dalam penyerangan massal pada komunitas Tionghoa secara umum.
Tim Relawan Untuk Kemanusiaan, sebuah organisasi masyarakat yang memberi
bantuan pada korban kerusuhan, mencatat adanya 152 perempuan yang menjadi
korban perkosaan, 20 diantaranya kemudian dibunuh. Tim Gabungan Pencari Fakta,
yang didirikan pada tahun yang sama oleh pemerintahan Habibie untuk melakukan
investigasi terhadap kerusuhan ini, menghasilkan verifikasi terhadap 76 kasus
perkosaan dan 14 kasus pelecehan seksual. Atas tuntutan para pejuang hak
perempuan akan pertanggungjawaban negara atas kejadian ini, tercapai kesepakatan
dengan Presiden RI untuk mendirikan sebuah komisi independen di tingkat nasional
yang bertugas menciptakan kondisi yang kondusif bagi penghapusan segala bentuk
kekerasan terhadap perempuan dan penegakan HAM perempuan di Indonesia.
Komnas Perempuan memaknai ‘Kekerasan terhadap Perempuan’ sesuai dengan
definisi pada deklarasi yang dikeluarkan pada Konperensi HAM di Wina pada tahun
1993 dan sudah merupakan hasil sebuah konsensus internasional. Definisi ini
mencakup kekerasan yang dialami perempuan di dalam keluarga, dalam komunitas
maupun kekerasan negara. Pada konferensi internasional ini juga ditegaskan bahwa
kekerasan terhadap perempuan adalah pelanggaran HAM, dan bahwa pemenuhan
hak-hak perempuan adalah pemenuhan hak-hak asasi manusia. Fokus perhatian
Komnas Perempuan pada saat ini adalah perempuan korban kekerasan dalam rumah
tangga; perempuan pekerja rumah tangga yang bekerja di dalam negeri maupun di
luar negeri sebagai buruh migran; perempuan korban kekerasan seksual yang
menjalankan proses peradilan; perempuan yang hidup di daerah konflik bersenjata;
dan, perempuan kepala keluarga yang hidup di tengah kemiskinan di daerah
pedesaan.
Pada saat ini, Komnas Perempuan mempunyai 17 komisioner yang berasal dari latar
belakang yang beragam, baik dari segi agama dan suku, umur dan jenis kelamin,
maupun dari segi disiplin ilmu dan profesi. Mereka dipilih melalui proses nominasi
oleh para komisioner periode terdahulu yang kemudian diseleksi berdasarkan kriteria
yang telah disepakati bersama atas fasilitas dari sebuah tim independen.
Ide pembentukan komnas Perempuan yang salah satu tugasnya antara lain
menyebarluaskan pemahaman atas segala bentuk kekerasan terhadap perempuan
Indonesia dan upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan serta penghapusan
segala bentuk kekerasan terhadap perempuan telah disuarakan oleh kelompok-
kelompok maupun organisasi-organisasi sosial independen dalam masyarakat yang
prihatin dengan para nasib perempuan yang semakin hari terpinggirkan. Tuntutan
tersebut berakar dari tragedi kekerasan seksual yang dialami terutama perempuan
etnis Tionghoa dalam kerusuhan Mei 1998 di berbagai kota besar di Indonesia.
Kelompok-kelompok maupun organisasi-organisasi sosial dalam masyarakat dalam
melakukan tutntutab tersebut telah membuat berbagai pernyataan yang meminta
Pemerintah untuk mengutuk kerusuhan termasuk terjadinya kekerasan terhadap
perempuan. Presiden sebagai Kepala Negara menyetujui dibentuknya suatu Komisi
Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan pada 1998 telah dikukuhkan dengan
suatu Surat Keputusan Presiden No. 181 tahun 1998. Kemudian keputusan presiden
ini diperbaharui dengan peraturan presiden No 65 tahun 2005.
Kalau kita kaji keberadaan Komnas Perempaun Dari sisi tujuan dan asas,
komisi cukup jelasa mengenai tujuan dan asasnya, yaitu Komisi Nasional Anti
Kekerasan Terhadap Perempuan bertujuan :
mengembangkan kondisi yang kondusif bagi penghapusan segala bentuk
kekerasan terhadap perempuan dan penegakan hak-hak asasi manusia
perempuan di Indonesia;
meningkatkan upaya pencegahan dan penanggulangan segala bentuk
kekerasan terhadap perempuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia
perempuan.
c. Tugas
Dalam menjalankan fungsinya komisi ini memiliki beberapa tugas antara lain
yakni sebagai berikut:
a. Pemantau dan pelapor tentang pelanggaran HAM berbasis gender dan kondisi
pemenuhan hak perempuan korban;
b. Pusat pengetahuan (resource center) tentang hak asasi perempuan;
c. Pemicu perubahan serta perumusan kebijakan;
d. Negosiator dan mediator antara pemerintah dengan komunitas korban dan
komunitas pejuang hak asasi perempuan, dengan menitikberatkan pada
pemenuhan tanggungjawab negara pada penegakan hak asasi manusia dan
pada pemulihan hak-hak korban;
e. Fasilitator pengembangan dan penguatan jaringan di tingkat lokal, nasional,
regional dan internasional untuk kepentingan pencegahan, peningkatan
kapasitas penanganan dan penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap
perempuan.
Hak-Hak Perempuan
Hak asasi perempuan, adalah hak yang dimiliki oleh seorang perempuan, baik
karena ia seorang manusia maupun sebagai seorang perempuan, dalam khasanah
hukum hak asasi manusia dapat ditemui pengaturannya dalam berbagai sistem hukum
tentang hak asasi manusia. Dalam pengertian tersebut dijelaskan bahwa pengaturan
mengenai pengakuan atas hak seorang perempuan terdapat dalam berbagai sistem
hukum tentang hak asasi manusia. Sistem hukum tentang hak asasi manusia yang
dimaksud adalah sistem hukum hak asasi manusia baik yang terdapat dalam ranah
internasional maupun nasional. Khusus mengenai hak-hak perempuan yang terdapat
dalam sistem hukum tentang hak asasi manusia dapat ditemukan baik secara eksplisit
maupun implisit. Dengan penggunaan kata-kata yang umum terkadang membuat
pengaturan tersebut menjadi berlaku pula untuk kepentingan perempuan. Dalam hal
ini dapat dijadikan dasar sebagai perlindungan dan pengakuan atas hak-hak
perempuan.
Dari seluruh sistem hukum tentang hak asasi manusia, kita dapat menemukan
jenis-jenis hak-hak perempuan yang terdapat dalam sistem hukum tersebut. Jenis hak-
hak perempuan yang ada, antara lain:
1. Hak-Hak Perempuan di Bidang Politik
Sama halnya dengan seorang pria, seorang perempuan juga mempunyai hak yang
sama untuk turut serta dalam pemerintahan. Hak-hak perempuan yang diakui dan
dilakukan perlindungan terhadapnya terkait dengan hak-hak perempuan di bidang
politik, antara lain :
a. Hak untuk berpartisipasi dalam pemerintahan dengan ikut serta dalam perumusan
kebijakan pemerintah dan pelaksanaan kebijakan.
b. Hak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan berkala yang bebas untuk
menentukan wakil rakyat di pemerintahan
c. Hak untuk ambil bagian dalam organisasi-organisasi pemerintah dan non-
pemerintah dan himpunan-himpunan yang berkaitan dengan kehidupan
pemerintah dan politik negara tersebut.
Dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dapat
ditemukan dalam Pasal 46 yang berbunyi sebagai berikut : “sistem pemilihan umum,
kepartaian, pemilihan anggota badan legislatif, dan sistem pengangkatan di bidang
eksekutif, yudikatif, harus menjamin keterwakilan wanita sesuai persyaratan yang
ditentukan”.
Setiap manusia yang hidup dalam suatu negara mempunyai hak untuk mendapatkan
kewarganegaraan yang sesuai dengan negara dimana dia tinggal. Misalnya seseorang
yang hidup dan tinggal di negara Indonesia, sesuai dengan Undang-Undang
Kewarganegaraan maka terdapat syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi seseorang
untuk mendapatkan kewarganegaraan Indonesia. Apabila syarat-syarat tersebut dapat
dipenuhi maka setiap orang tersebut mempunyai hak untuk mendapatkan
kewarganegaraannya. Hal inilah yang menjai salah satu hak yang harus dipenuhi
terhadap perempuan. Setiap perempuan mempunyai hak yang sama untuk
mendapatkan kewarganegaraan suatu negara ketika mereka dapat memenuhi syarat-
syarat yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan di negara terkait.
Dasar hukum atas hak-hak perempuan di bidang kewarganegaraan tersebut dapat
ditemukan dalam instrumen internasional. Dimana hak-hak tersebut dapat ditemukan
dalam bahasa yang umum dalam Pasal 15 DUHAM yang berbunyi :
1. “Setiap orang berhak atas sesuatu kewarganegaraan
2. Tidak seorangpun dengan semena-mena dapat dikeluarkan dari
kewarganegaraannya atau ditolak haknya untuk mengganti
kewarganegaraannya”.
Saat mendapat pekerjaan, seorang perempuan juga mempunyai hak-hak yang harus
dipenuhi, yaitu mendapatkan upah sesuai dengan pekerjaannya, mendapatkan kondisi
kerja yang aman dan sehat, kesempatan yang sama untuk dapat meningkatkan
pekerjaannya ke tingkat yang lebih tinggi, termasuk juga hak untuk mendapatkan
pelatihan untuk meningkatkan kualitas pekerjaannya. Setelah mendapat pekerjaan,
tentunya ada saatnya ketika perempuan harus berhenti dan meninggalkan
pekerjaannya. Maka ketika pekerjaan itu berakhir, seorang perempuan juga
mempunyai hak untuk mendapatkan pesangon yang adil dan sesuai dengan kinerja
dan kualitas pekerjaan yang dilakukannya. Dalam instrumen nasional mengenai hal
ini dapat ditemukan dalam Pasal 76 Undang-Undang Nomor 76 tentang
Ketenagakerjaan dan Pasal 49 (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang
HAM. Dalam Pasal 49 (1) UU HAM disebutkan bahwa ”Wanita berhak untuk
memilih, dipilih, diangkat dalam pekerjaan, jabatan, dan profesi sesuai dengan
persyaratan dan peraturan perundang-undangan”.
Dalam sebuah perkawinan adakalanya dimana pasangan suami istri terpaksa harus
melakukan perceraian atau yang disebut dengan putusnya perkawinan. Atas putusnya
perkawinan ini setiap pihak dari perkawinan mempunyai hak dan kewajiban yang
sama terutama jika atas perkawinannya menghasilkan anak-anak. Selain itu kedua
belah pihak juga mempunyai hak yang sama untuk mendapat bagian harta bersama
dengan persentase yang adil. Dalam instrumen nasional dapat ditemukan dalam Pasal
51 ayat (1) dan (2) UU HAM yang berbunyi sebagai berikut :
(3) “Setelah putusnya perkawinan, seorang wanita mempunyai hak yang sama
dengan mantan suaminya atas semua hal yang berkenaan dengan harta
bersama tanpa mengurangi hak anak sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan”.
Dalam Pasal 76 UU Perlindungan Anak, dijelaskan tugas pokok KPAI yang berbunyi
sebagai berikut :
Berdasarkan pasal tersebut di atas, mandat KPAI adalah mengawal dan mengawasi
pelaksanaan perlindungan anak yang dilakukan oleh para pemangku kewajiban
perlindungan anak sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 20 yakni : “Negara,
Pemerintah, Masyarakat, Keluarga, dan Orangtua” di semua strata, baik pusat
maupun daerah, dalam ranah domestik maupun publik, yang meliputi pemenuhan
hak-hak dasar dan perlindungan khusus. KPAI bukan institusi teknis yang
menyelenggarakan perlindungan anak.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Komnas Perlindungan Anak Indonesia
memiliki tugas pokok dan fungsi melakukan sosialisasi seluruh ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak, mengumpulkan data
dan informasi, menerima pengaduan masyarakat, melakukan penelaahan,
pemantauan, evaluasi dan pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan anak.
KPAI juga memberikan laporan saran, masukan, dan pertimbangan kepada Presiden
dalam rangka perlindungan anak
C. Dasar Hukum
Dasar hukum perlindungan anak adalah sebagai berikut:
a. Undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
b. Undang-undang nomor 35 tahun 2014 tentang perubahan atas undang-
undang nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak.
c. Kepres No. 77 tahun 2003
d. Undang-Undang Kesejahteraan Anak Nomor 4 Tahun 1979
e. Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990
f. UUPA (Undang-Undang Perlindungan Anak)
D. TUGAS DAN WEWENANG
a. Melakukan pemantauan dan pengembangan perlindungan anak
b. Melakukan advokasi dan pendampingan pelaksanaan hak-hak anak.
c. Menerima pengaduan pelanggaran hak-hak anak.
d. Melakukan kajian strategis terhadap berbagai kebijakan yang menyangkut
kepentingan terbaik bagi anak.
e. Melakukan koordinasi antar lembaga, baik tingkat regional, nasional
maupun international.
f. Memberikan pelayanan bantuan hukum untuk beracara di pengadilan
mewakili kepentingan anak
g. Melakukan rujukan untuk pemulihan dan penyatuan kembali anak.
h. Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan, pengenalan dan
penyebarluasan informasi tentang hak anak.
i. Melakukan pengumpulan data, informasi dan investigasi terhadap
pelanggaran hak anak.
j. Melakukan kajian hukum dan kebijakan regional dan nasional yang tidak
memihak pada kepentingan terbaik anak.
k. Memberikan penilaian dan pendapat kepada pemerintah dalam rangka
mengintegrasikan hak-hak anak dalam setiap kebjijakan.
l. Memberikan pendapat dan laporan independen tentang hukum dan
kebijakan berkaitan dengan anak
m. Menyebasluaskan, publikasi dan sosialisasi tentang hak-hak anak dan
situasi anak di Indonesia.
n. Menyampaikan pendapat dan usulan tentang pemantauan pemajuan dan
kemajuan, dan perlindungan hak anak kepada parlemen, pemerintah dan
lembaga terkait.
o. Mempunyai mandat untuk membuat laporan alternatif kemajuan
perlindungan anak di tingkat nasional.
p. Melakukan perlindungan khusus.
E. Kewajiban dan Tanggung Jawab Perlindungan Anak
1. Negara
2. Pemerintah
3. Masyarakat
4. Keluarga dan Orang tua
Berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan
anak (Pasal UU 20 PA)
F. Hak Anak Dunia (Berdasarkan Konvensi Hak Anak PBB tahun 1989)
a. Hak Untuk Bermain
b. Hak Untuk Pendidikan
c. Hak untuk Perlindungan
d. Hak untuk mendapatkan nama (Identitas)
e. Hak untuk mendapatkan status kebangsaan
f. Hak untuk mendapatkan Makanan
g. Hak untuk mendapatkan rekreasi
h. Hak untuk mendapatkan Kesamaan
i. Hak untuk memiliki Peranan dalam pembangunan
Daftar Pustaka
http://www.smansax1-edu.com/2014/09/fungsi-dan-tujuan-komnas-pelindungan.html
http://blog.ub.ac.id/arikartikashp/tentang-kpai/tugas-fungsi/
http://www.kpai.go.id/artikel/menuju-restorative-justice-dalam-sistem-peradilan-anak/
https://id.wikipedia.org/wiki/Komisi_Perlindungan_Anak_Indonesia
http://lailameika13.blogspot.com/2013/09/makalah-komnas-anak.html
https://gendhonzz.wordpress.com/10-hak-anak-dunia/
http://paschall-ab.blogspot.com/2015/02/pengadilan-ham-di-indonesia.html
http://peunebah.blogspot.com/2011/12/pengadilan-ham-dalam-sistem-hukum.html
http://referensi.elsam.or.id/2014/09/pengadilan-ham-di-indonesia/
http://scancopypaste.blogspot.com/2009/04/sejarah-pengadilan-ham-di-indonesia.html
https://nunutngombe.wordpress.com/2010/10/28/perlindungan-hak-asasi-manusia-anak-
di-indonesia-perkembangan-implementasi-dan-rekomendasi-dwi-yanto/
http://www.artikelbagus.com/2012/05/kelembagaan-ham.html
http://idukasi.blogspot.com/2014/08/lembaga-perlindungan-ham-di-indonesia.html
http://akbarmuzaqir.blogspot.com/2013/04/hak-hak-perempuan.html
http://www.smansax1-edu.com/2014/09/fungsi-dan-tujuan-komisi-nasional-anti.html
https://rennymagdawiharnani.wordpress.com/sih/hukum-tata-negara/komisi-anti-
kekerasan-terhadap-perempuan-atau-komisi-nasional-komnas-perempuan/
https://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20120211201932AAQ3CEm
http://www.komnasperempuan.or.id/struktur-organisasi-2/
http://www.komnasperempuan.or.id/visi/
http://simplenews05.blogspot.com/2014/08/tugas-dan-wewenang-pengadilan-ham.html
http://simplenews05.blogspot.com/2014/08/tugas-komisi-nasional-perlindungan-anak.html