Anda di halaman 1dari 31

“HAK ASASI MANUSIA”

“PENGADILAN HAM UNTUK ANAK DAN PEREMPUAN”


Disajikan Untuk Memenuhi salah satu Tugas Perkuliahan Program Alih Tahun
Dosen : Mariatul Kiptiah, S.Pd., M.Pd

Di susun Oleh:

Nana Yunita A1A213066

Rabibah A1A213046
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT

BANJARMASIN

2015

PENGADILAN HAM
A. Sejarah Pembentukan Pengadilan HAM

Gelombang reformasi yang melanda Indonesia pada tahun 1998 telah


membawa banyak perubahan yang cukup signifikan terhadap permasalahan Hak
Asasi Manusia di Indonesia. Setelah lebih dari 32 tahun hidup dalam kekuasaan yang
otoriter Indonesia memasuki babak baru kehidupan bernegara, namun hal ini masih
banyak menyisakan pekerjaan rumah bagi pemerintah sekarang. Masa 32 tahun
pemerintahan orde baru disinyalir telah melakukan berbagai tindakan pelanggaran
HAM.

Selanjutnya pasca orde baru terutama pada masa transisi antara tahun 1998 –
2000 banyak kasus kekerasan yang terjadi di Indonesia menelan ratusan bahkan
ribuan orang apalagi kasus timor timur pasca jajak pendapat menambah rentetan
panjang pelanggaran HAM di Indonesia. Berbagai kasus pelanggaran HAM yang
terjadi belum pernah terselesaikan secara tuntas antara lain kasus Tanjung Priok,
DOM Aceh, Papua dan kasus pelanggaran HAM berat di Timor-timur selama pra dan
pasca jajak pendapat belum ada yang terselesaikan. Atas kondisi ini sorotan dunia
internasional terhadap Indonesia sehubungan dengan maraknya pelanggaran HAM
yang terjadi kian menguat terlebih sorotan atas pertanggungjawaban pelanggaran
HAM yang terjadi di Timor-timur selama proses jajak pendapat.

Masyarakat nasional maupun internasional sangat prihatin dengan situasi yang


terjadi di Timor Timur bahkan Komisi Hak Asasi Manusia PBB di Geneva pada
tanggal, 23 – 27 September 1999 menyelenggarakan special session mengenai 1
situasi di Timor Timur. Special session tersebut adalah yang keempat diadakan sejak
komisi ini dibentuk 50 tahun yang lalu. Ini menunjukkan betapa seriusnya penilaian
dunia internasional terhadap masalah pelanggaran hak asasi manusia di Timor Timur.
Special Session tersebut mengeluarkan Resolusi 1999/S-4/1 yang menuntut kepada
Pemerintah Indonesia agar antara lain: Dalam kerjasama dengan Komnas HAM
menjamin bahwa orang-orang yang bertanggung jawab atas tindak kekerasan dan
pelanggaran sistematis terhadap hak asasi manusia akan diadili. Resolusi tersebut
juga meminta kepada Sekjen PBB untuk membentuk komisi penyelidik internasional
dengan komposisi anggota yang terdiri dari ahli-ahli dari Asia, dan bekerjasama
dengan Komnas HAM Indonesia, serta mengirimkan pelapor khusus ke Timor Timur.
Selain itu resolusi juga merekomendasikan untuk membentuk International tribunal
atas kasus tersebut. Atas resolusi Komisi HAM PBB tersebut Indonesia secara tegas
menolak dan akan menyelesaikan kasus pelanggaran HAM dengan menggunakan
ketentuan nasional karena konstitusi Indonesia memungkinkan untuk
menyelenggarakan peradilan hak asasi manusia. Atas penolakan tersebut, mempunyai
konsekuensi bahwa Indonesia harus melakukan proses peradilan atas terjadinya
pelanggaran HAM di Timor- Timur . Dorongan untuk adanya pembentukan peradilan
internasional ini juga didasarkan atas ketidakpercayaan dunia internasional pada
sistem peradilan Indonesia jika dilihat antara keterkaitan antara pelaku kejahatan
yang merupakan alat negara. Kepentingan untuk mengadakan proses peradilan untuk
kejahatan yang termasuk kejahatan terhadap kemanusiaan melalui mekanisme
nasional mengharuskan dipenuhinya instrumen hukum nasional yang memadai sesuai
dengan prinsip-prinsip dalam hukum internasional. Meskipun mekanisme/sistem
hukum nasional yang akan dipilih untuk menegakkan pertanggungjawaban
pelanggaran HAM yang terjadi tetapi penting untuk memenuhi syarat adanya
pengadilan nasional yang efektif. Dengan berbagai desakan yang muncul tersebut
maka pada tanggal 23 September 1999 pemerintah mengeluarkan Undang-undang no.
39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang di dalam pasal 104 mengamanatkan
pembentukan Pengadilan HAM untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM
berat Pada tanggal 8 Oktober 1999, Presiden Habibie mengeluarkan Perpu No. 1
tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Perpu tersebut memberikan kewenangan
hanya kepada Komnas HAM untuk mengadakan penyelidikan pelanggaran hak asasi
manusia yang nantinya akan diajukan ke pengadilan. Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia ini merupakan peraturan
perundang-undang yang bersifat regulatif dan represif, sehingga di satu sisi dapat
melindungi hak asasi manusia baik perorangan maupun masyarakat dan di sisi lain
dapat memberikan penegakan, kepastian, keadilan, dan perasaan aman baik
perorangan maupun masyarakat terhadap tindakan pelanggaran atas hak asasi
manusia. Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang tentang
Pengadilan Hak Asasi Manusia didasarkan pada pertimbangan sebagai berikut :

a. Ada dugaan telah terjadi pelanggaran hak asasi manusia yang berat di
berbagai tempat yang seringkali cenderung berupa tindakan yang bersifat
serperti pembunuhan massal (genocide), pembunuhan sewenang-wenang atau
di luar putusan pengadilan (arbitrary/extra judicial killing), penyiksaan,
penghilangan orang secara paksa, atau yang dilakukan secara sistematis
(systematic discrimination), yang menimbulkan kerugian baik materiil
maupun imateriil serta mengakibatkan perasaan tidak aman baik terhadap
perorangan maupun masyarakat;
b. Kondisi sebagaimana dimaksud dalam angka 1 mempunyai dampak sangat
luas baik nasional maupun internasional, antara lain mengakibatkan
menurunnya kepercayaan terhadap Pemerintah Republik Indonesia akibat
banyaknya pelanggaran terhadap hak asasi manusia, yang perlu segera diatasi;
c. Tuntutan sebagian reformasi baik yang bersifat nasional maupun internasional
yang sangat mengganggu jalannya pemerintahan sehingga harus segera diatasi
dan diciptakan suasana kondusif berupa ketertiban, ketentraman, dan
keamanan harus memperhatikan prinsip-prinsip hak asasi manusia yang
diakui oleh bangsa yang beradab.

Perpu ini telah menjadi landasan yuridis untuk adanya penyelidikan kasus
pelanggaran HAM berat di Timor-timur oleh Komnas HAM. Karena berbagai alasan
Perpu No. 1 Tahun 1999 ini yang kemudian ditolak oleh DPR untuk menjadi undang-
undang. Alasan mengenai ditolaknya Perpu tersebut adalah sebagai berikut :
a. Secara konstitusional pembentukan perpu tentang pengadilan HAM dengan
mendasarkan pada Pasal 22 ayat 1 Undang-undang Dasar 1945 yang berbunyi
“dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa”, yang dijadikan dasar untuk
mengkualifikasikan adanya kegentingan yang memaksa dianggap tidak tepat;
b. Subtansi yang diatur dalam Perpu tentang Pengadilan HAM masih terdapat
kekurangan atau kelemahan antara lain, sebagai berikut: Kurang
mencerminkan rasa keadilan karena ketentuan dalam perpu tersebut tidak
berlaku surut (retroaktif), sehingga pelanggaran HAM yang berat yang
dilakukan sebelum Perpu ini disahkan menjadi undang-undang tidak tercakup
pengaturannya.
c. Masih terdapat ketentuan yang dinilai menyimpang dari ketentuan yang diatur
dalam konvensi tentang pencegahan dan penghukuman kejahatan genosida
tahun 1948 dan tidak sesuai dengan asas-asas hukum yang berlaku. Masih
menggunakan standar konvensional, yakni dengan mendasarkan pada KUHP
yang hanya membatasi tuntutan pada personal sehingga tidak mampu
menjangkau tuntutan secara lembaga.
d. Masih terdapat subtansi yang kontradiktif dan berpotensi untuk berbenturan
atau overlapping dengan hukum positif.

Setelah adanya penolakan Perpu tersebut diatas oleh DPR maka pemerintah
mengajukan rancangan undang-undang tentang Pengadilan HAM. Dalam
penjelasannya, pengajuan RUU tentang Pengadilan HAM adalah : Pertama,
merupakan perwujudan tanggung jawab bangsa Indonesia sebagai salah satu anggota
PBB. Dengan demikian merupakan salah satu misi yang mengembangkan tanggung
jawab moral dan hukum dalam menjunjung tinggi dan melaksanakan deklarasi HAM
yang ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-bangsa, serta yang terdapat dalam berbagai
instrumen hukum lainnya yang mengatur mengenai HAM yang telah dan atau
diterima oleh negara Indonesia. Kedua, dalam rangka melaksanakan Tap MPR No.
XVII/MPR/1998 tentang HAM dan sebagai tindak lanjut dari Pasal 104 ayat 1
Undang-undang No. 39 Tahun 1999. Ketiga, untuk mengatasi keadaan yang tidak
menentu di bidang keamanan dan ketertiban umum, termasuk perekonomian nasional.
Keberadaan pengadilan HAM ini sekaligus diharapkan dapat mengembalikan
kepercayaan masyarakat dan dunia internasional terhadap penegakan hukum dan
jaminan kepastian hukum mengenai penegakan HAM di Indonesia. Dari ketiga alasan
di atas, landasan hukum bahwa perlu adanya pengadilan HAM untuk mengadili
pelanggaran HAM berat adalah alasan yang ketiga dimana terbentuknya pengadilan
HAM ini adalah pelaksanaan dari TAP MPR No. XVII/MPR/1998 tentang HAM dan
sebagai tindak lanjut dari Pasal 104 ayat 1 Undang-undang No. 39 Tahun 1999. Pasal
104 ayat 1 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Komnas HAM
menyatakan bahwa untuk mengadili pelanggaran HAM yang berat dibentuk
pengadilan HAM di lingkungan peradilan umum. Ayat 2 menyatakan pengadilan
sebagaimana dimaksud ayat dalam ayat 1 dibentuk dengan undang-undang dalam
jangka waktu paling lama 4 tahun. Tidak sampai 4 tahun, undang-undang yang
khusus mengatur tentang Pengadilan HAM adalah Undang-undang Nomor 26 Tahun
2000.

Berangkat dari terpenuhinya sistem hukum yang mengakomodir seperangkat


peraturan perundang-undangan dibidang HAM tersebut (law making policy) maka
terbentuk pula politik hukum pemerintah terhadap hal-hal yang berkaitan mengenai
HAM, salah satunya adalah tentang Peradilan HAM

B. Pengadilan HAM Pertama di Indonesia

Berkenaan dengan penugasan MPR kepada Presiden untuk menyelesaikan kasus-


kasus pelanggaran HAM, maka Presiden Abdurrahman Wahid kemudian
menindaklanjutinya dengan menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) No. 53
Tahun 2001 tentang Pembentukan Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc pada
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tanggal 23 April 2001. Pembentukan Keppres
ini dilakukan sebagai pelaksanaan Pasal 43 ayat (1) UU Nomor 26 Tahun 2000, yang
menentukan bahwa pelanggaran HAM yang berat yang terjadi sebelum berlakunya
UU tersebut diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM Ad Hoc. Dalam Keppres
tersebut disebutkan bahwa Pengadilan HAM tersebut berwenang memeriksa dan
memutus perkara pelanggaran HAM berat yang terjadi di Timor Timur pasca jajak
pendapat dan perkara pelanggaran HAM berat yang terjadi di Tanjung Priok pada
tahun 1984.

Belum sempat dilaksanakannya Keppres tersebut, pada awal masa


kepresidenan Megawati Soekarnoputri Keppres ini langsung mengalami revisi, yakni
dengan diterbitkannya Keppres No. 96 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Keppres
No. 53 Tahun 2001. Pasal 2 merupakan bagian yang mengalami perubahan dengan
maksud untuk lebih memperjelas tempat dan waktu tindak pidana (locus dan tempus
delicti) pelanggaran HAM berat yang terjadi di Timor Timur dan Tanjung Priok,
yaitu penambahan kalimat wilayah hukum Liquica, Dilli, Suai pada bulan April 1999
dan bulan September 1999 untuk kasus Timor Timur serta bulan September 1984
untuk kasus Tanjung Priok. Dalam kaitan tersebut, dapat terlihat adanya politik
hukum dari kedua rezim untuk melaksanakan proses penegakan hukum bidang HAM
pada suatu institusi peradilan melalui diterbitkanya Keppres-keppres pembentukan
Pengadilan HAM. Sehingga, disini terlihat bahwa konfigurasi politik tertentu akan
melahirkan karakter produk hukum tertentu juga (terbentuknya Pengadilan HAM Ad
Hoc).
Selanjutnya pada tanggal 31 Januari 2002, Menteri Kehakiman dan HAM RI,
Prof. DR. Yusril Ihza Mahendra dan Ketua Mahkamah Agung, Prof. DR. Bagir
Manan, SH, MCL meresmikan beroperasinya Pengadilan HAM yang pertama di
Indonesia sebagai salah satu pelaksanaan UU No. 26 Tahun 2000, yaitu bertempat di
Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat. Pengadilan HAM bukanlah badan peradilan
baru atau badan peradilan yang berdiri sendiri yang terlepas dari keempat badan
peradilan yang selama ini kita ketahui (Peradilan Umum, Peradilan Militer, Peradilan
Agama dan Peradilan Tata Usaha Negara). Pengadilan HAM hanyalah salah satu
divisi atau bagian dari peradilan yang dibentuk dalam lingkungan badan Peradilan
Umum. Pembentukan pengadilan seperti itu dimungkinkan oleh ketentuan Pasal 13
UU No. 14 Tahun 1970 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 35 Tahun 1999
seperti Pengadilan Anak atau Pengadilan Niaga. Akan tetapi, ada perbedaan yang
mendasar dengan pengadilan lain, baik yang berada dalam kamar Pengadilan Niaga
atau Pengadilan TUN, dimana Pengadilan HAM tidak sepenuhnya bergantung kepada
hakim karier, melainkan pada hakim nonkarier (hakim ad hoc) yang merupakan
mayoritas dalam majelis hakim. 
Pengadilan HAM merupakan pengadilan khusus yang berada di lingkungan peradilan
umum yang dibentuk pada pengadilan negeri. Untuk pertama kali, Pengadilan HAM
tersebut dibentuk serempak di Jakarta Pusat, Surabaya, Medan dan Makassar, dengan
wilayah hukumnya sebagai berikut:

1. Jakarta Pusat meliputi wilayah Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten,
Sumsel, Lampung, Bengkulu, Kalbar dan Kalteng;
2. Surabaya meliputi wilayah Provinsi Jatim, Jateng, Yogyakarta, bali, Kalsel,
Kaltim, NTB dan NTT;
3. Medan meliputi wilayah Provinsi Sumut, Aceh, Riau, Jambi dan Sumbar;
4. Makasar meliputi wilayah Provinsi Sulsel, Sultra, Sulteng, Sulut, Maluku,
Maluku Utara dan Papua.

Pengadilan HAM berwenang untuk memeriksa dan memutus perkara


pelanggaran HAM berat. Pelanggaran HAM yang terjadi disamping kasus Timor
Timur dan Tanjung Priok seperti disebutkan diatas, kasus Aceh, Papua, Trisakti,
Semanggi I dan Semanggi II, Kerusuhan Massa di berbagai tempat di Indonesia
merupakan yurisdiksi kewajiban Pengadilan HAM untuk memprosesnya lebih lanjut
demi tercapainya keadilan. Dengan demikian, berdirinya Pengadilan HAM di
Indonesia dengan pemberlakuan UU No. 26 Tahun 2000 merupakan bagian dari
program strategis pemerintah untuk menunjukkan kepada masyarakat luas bahwa
Indonesia dapat menyelesaikan persoalan pelanggaran HAM dengan sistem hukum
nasional yang berlaku dan dilaksanakan oleh bangsa sendiri. Hal ini merupakan
kebijakan pemerintah dalam menjalankan politik hukumnya mewujudkan supremasi
hukum yang berasaskan nilai-nilai HAM dengan didasari adanya pengaturan
mengenai HAM karena konfigurasi politik tentang pengangkatan wacana HAM
dalam UUD 1945, yang kemudian diatur dengan UU mengenai HAM serta UU
mengenai pengadilan HAM itu sendiri.

Dalam pasal 1 ayat 2, yang dikatakan dengan pengadilan ham adalah suatu
pengadilan khusus terhadap pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang berat. Ada
dua bentuk pengadilan ham di Indonesia, yaitu: pengadilan ham yang bersifat
permanent dan pengadilan ham yang bersifat ad hoc. Beda diantara keduanya adalah
dalam hal pemberlakuannya, jika pengadilan ham permanent itu menyidangkan atau
mengusut kasus-kasus ham pada masa lampau artinya pelanggaran yang dilakukan
sesudah undang-undang tentang ham disahkan. Sedangkan pengadilan ham yang
bersifat ad hoc adalah sebaliknya, yaitu: menyelesaikan atau mengusut setiap
pelanggaran ham yang dilakukan pada masa sebelum undang-undang tentang ham
disahkan. Dalam permasalahan ham berlaku azas retroaktif, yang dimaksudkan agar
tidak ada permasalahan ham yang pernah terjadi tidak lolos begitu saja tanpa ada
upaya yang pasti untuk menyelesaikannya.

C. Pengaturan tentang Pengadilan HAM UU No. 26 Tahun 2000

Pengaturan tentang Pengadilan HAM sesuai dengan UU No. 26 Tahun 2000 adalah
sebagai berikut:

1. Kedudukan dan Tempat Kedudukan

Pengadilan HAM adalah pengadilan khusus yang berada di lingkungan


peradilan umum. Kedudukannya di daerah kabupaten atau daerah kota yang daerah
hukumnya meliputi daerah hokum Pengadilan Negeri yang bersangkutan, sedangkan
daerah khusus ibukota pengadilan HAM berkedudukan di setiap wilayah Pengadilan
Negeri yang bersangkutan. pada saat undang-undang ini berlaku pertama kali maka
pengadilan HAM dibentuk di Jakarta Pusat, Surabaya, Medan, dan Makassar.

Kedudukan dalam pengadilan HAM mengikuti Pengadilan Umum atau


Pengadilan Negeri termasuk dukungan administrasinya. Hal ini membawa
konsekuensi bahwa pengadilan HAM ini akan sangat tergantung dengan dukungan
dari pengadilan negeri tersebut. Dukungan administratif itu adalah :
a. Ruangan pengadilan
Merupakan ruangan pengadilan untuk kasus lainnya dan tidak ada ruangan yang
khusus untuk pengadilan HAM. Hal ini membawa konsekuensi bahwa jadwal
persidangan akan sangat bergantung dengan jadwal persidangan kasus-kasus lainnya
yang juga ditangani oleh Pengadilan Negeri tempat Pengadilan HAM ini digelar.
b. Dukungan staf administrasi
Staf administrasi adalah staf yang menangani perkara pengadilan HAM selain
panitera yang juga bertugas untuk membantu para hakim yang mengadili perkara
pelanggaran HAM yang berat.
c. Dukungan panitera
Panitera juga diambilkan dari Pengadilan Negeri setempat. Panitera ini adalah
panitera biasa dan bukan panitera yang dibentuk khusus untuk menangani kasus
pelanggaran HAM yang berat. Panitera ini juga menangani kasus lainnya.
d. Ruangan hakim 
Ruangan hakim untuk hakim ad hoc adalah ruangan tersendiri, namun untuk
hakim karir yang merupakan hakim pengadilan setempat maka mereka mempunyai
ruangan tersendiri.
2. Lingkup kewenangan Pengadilan HAM
a. Kewenangan untuk memeriksa dan mengadili

Perkara pelanggaran HAM berat yang berwenang memutus dan mengadili


adalah pengadilan HAM. Kewenangan untuk memutus dan memeriksa juga termasuk
menyelesaikan perkara yang menyangkut perkara tentang kompensasi, restitusi dan
rehabilitasi bagi korban pelanggaran HAM berat sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Kewenangan untuk memutus tentang kompensasi, retribusi
dan rehabilitasi ini sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kewenangan untuk memutus tentang kompensasi, retribusi, rehabilitasi ini sesuai
dengan Pasal 35 UU No. 26 Tahun 2000 yang menyatakan bahwa kompensasi,
rehabilitasi dicantumkan dalam amar putusan pengadilan HAM.

Pengadilan HAM berwenang untuk memeriksa dan memutus perkara


pelanggaran HAM yang berat yang dilakukan diluar batas territorial wilayah Negara
Republik Indonesia. Dalam penjelasannya ketentuan ini dimaksudkan untuk
melindungi warga Negara Indonesia yang melakukan pelanggaran HAM yang berat
di luar batas teritorial, dalam arti tetap dilakukan sesuai dengan undang-undang
tentang pengadilan hak asasi manusia. Undang-undang No. 26 Tahun 2000
memberikan larangan atau membatasi kewenangan untuk memeriksa dan memutus
perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dilakukan oleh seseorang
yang berumur di bawah 18 tahun yang melakukan pelanggaran HAM yang berat
diperiksa dan diputus dalam pengadilan negeri. Ketentuan tentang pembatasan
perkecualian yuradiksi terhadap mereka yang berumur di bawah 18 tahun pada saat
tindak pidana dilakukan (exclusion of jurisdiction over person under eighteen) sesuai
dengan norma yang diatur dalam Statuta Roma 1998.

b. Jenis-jenis kejahatan yang dapat diadili

Jenis kejahatan yang dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat yang dapat
diperiksa atau diputus dan merupakan yurisdiksi pengadilan Ham adalah:

1) Kejahatan genoseda,
2) Kejahatan terhadap kemanusiaan,
D. Hukum Acara Pengadilan HAM

Hukum acara yang digunakan adalah hukum acara yang berdasarkan hukum
acara pidana kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini. Hal ini berarti hukum
acara yang akan digunakan untuk proses pemeriksaan di pengadilan menggunakan
hukum acara dengan mekanisme sesuai dengan Kitab Undang-undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP).
UU No. 26 Tahun 2000 juga mengatur Kekhususan pengadilan HAM di luar
ketentuan KUHAP untuk pelanggaran HAM yang berat. Kekhususan dalam
penanganan pelanggaran HAM yang berat dalam UU No. 26 Tahun 2000 adalah :
a. Diperlukan penyelidik dengan membentuk tim ad hoc, proses penyelidikan
dilakukan oleh komnas ham dan melibatkan unsure masyarakat, berbeda
dengan penyelidikan pidana biasa yang hanya dilakukan oleh polisi. penyidik
ad hoc, proses penyidikan di lakukan oleh jaksa agung dengan melibatkan
unsur pemerintah dan masyarakat. Berbeda dengan KUHAP yang melakukan
penyidikan adalah polisi dan pengawai sipil lainnya yag diberi kewenangan.
penuntut ad hoc, penuntutan dilakukan oleh jaksa agung yang
menggabungkan pemerintah dengan masyarakat. dan hakim ad hoc,
pemeriksaan perkara dilakukan oleh majelis hakim yang berjumlah 5 orang,
terdiri dari 2 hakim pengadilan ham dan 3 hakim ad hoc.
b. Diperlukan ketentuan mengenai tenggang waktu tertentu untuk melakukan
penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan.
Jangka waktu penahanan untuk penyidikan dapat dilakukan paling lama 90
hari dan dapat diperpanjang selama 90 hari oleh ketua pengadilan HAM dan
jika waktu penahanan telah selesai tapi penyidikan belum dapat diselesaikan
makan dapat diperpanjang selama 60 hari oleh ketua pengadilan HAM yang
bersangkutan. Jangka waktu penahanan untuk penuntutan paling lama 30 hari
dan dapat diperpanjang 20 hari, tetapi jika belum selesai maka dapat
diperpanjang selama 20 hari lagi oleh ketua pengadilan sesuai dengan daerah
hukumnya. Ketentuan mengenai lamanya penahanan ini tidak disertai dengan
konsekuensi mengenai hak tersangka untuk dikeluarkan dari tahanan jika
selama waktu penahanan itu proses penyidikan dan penuntutan belum dapat
diselesaikan.
KUHAP disamping mengatur tentang lamanya panahanan juga mengatur
tentang hak tersangka untuk dikeluarkan dari tahanan jika tidak telah selesai
masa penahanannya tetapi proses penyidikan dan penuntutan belum selesai.
Penahanan untuk kepentingan pemeriksaan disidang pengadilan dapat
dilakukan selama 90 hari dan dapat diperpanjang oleh ketua pengadilan HAM
selama 30 hari. Dalam pemeriksaan tingkat banding di pengadilan tinggi dapat
dilakukan paling lama 60 hari dan dapat diperpanjang paling lama 30 hari
oleh ketua pengadilan tinggi.Sedangkan untuk tingkat kasasi di Mahkamah
Agung penahanan dapat dilakukan selama 60 hari dan dapat diperpanjang
selama 30 hari oleh ketua MA. Selama total 60 hari tersebut, tersangka atau
terdakwa harus sudah dikeluarkan demi hukum meskipun perkaranya belum
selesai diperiksa maupun belum diputus.
c. Diperlukan ketentuan mengenai perlindungan korban dan saksi.

KOMISI NASIONAL PEREMPUAN

1. Sejarah Pembentukan

Sebagai negara yang ikut meratifikasi konvensi Convention on the


Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW), dengan
membentuk beberapa undan-undang antara lain UU No 1 tahun 1974, Undang-
Undang No. 7 tahun 1984, UU No 39 1999, dan UU No 23 tahun 2004. Beberapa
undang-undang ini diharapkan akan memberikan perlindungan terhadap perempuan
lebih serius khususnya terhadap tindak kekerasan dalam rumah tangga. Namun
keefektifan Undang-Undang tersebut tanpa didukung oleh beberapa infrastruktur
organisasi baik formal maupun non- formal, penulis kira kefektifan dan keberhasilan
atas keberadaan UU tersebut dipertanyakan.

Untuk itu maka pada 1998 dilatar belakangi oleh peristiwa kerusuhan dan
kekerasan seksual terhadap kelompok-kelompok cina, kelompok-kelompok maupun
organisasi-organisasi sosial dalam masyarakat telah membuat berbagai pernyataan
yang meminta Pemerintah untuk mengutuk kerusuhan termasuk terjadinya kekerasan
terhadap perempuan. Presiden sebagai Kepala Negara menyetujui dibentuknya suatu
Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan pada 1998 telah dikukuhkan
dengan suatu Surat Keputusan Presiden No. 181 tahun 1998 . Kemudian keputusan
presiden ini diperbaharui dengan peraturan presiden No 65 tahun 2005 TENTANG
KOMISI NASIONAL ANTI KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN. Komnas
Perempuan lahir dari tuntutan masyarakat sipil, terutama kaum perempuan, kepada
pemerintah untuk mewujudkan tanggung jawab negara dalam menangapi dan
menangani persoalan kekerasan terhadap perempuan. Tuntutan tersebut berakar dari
tragedi kekerasan seksual yang dialami terutama perempuan etnis Tionghoa dalam
kerusuhan Mei 1998 di berbagai kota besar di Indonesia. Pada pertengahan bulan Mei
1998, terjadi kerusuhan di Jakarta dan beberapa kota lain. Di tengah penjarahan,
pembakaran serta pembunuhan, perempuan etnik Tionghoa dijadikan sasaran
perkosaan dalam penyerangan massal pada komunitas Tionghoa secara umum.
Tim Relawan Untuk Kemanusiaan, sebuah organisasi masyarakat yang memberi
bantuan pada korban kerusuhan, mencatat adanya 152 perempuan yang menjadi
korban perkosaan, 20 diantaranya kemudian dibunuh. Tim Gabungan Pencari Fakta,
yang didirikan pada tahun yang sama oleh pemerintahan Habibie untuk melakukan
investigasi terhadap kerusuhan ini, menghasilkan verifikasi terhadap 76 kasus
perkosaan dan 14 kasus pelecehan seksual. Atas tuntutan para pejuang hak
perempuan akan pertanggungjawaban negara atas kejadian ini, tercapai kesepakatan
dengan Presiden RI untuk mendirikan sebuah komisi independen di tingkat nasional
yang bertugas menciptakan kondisi yang kondusif bagi penghapusan segala bentuk
kekerasan terhadap perempuan dan penegakan HAM perempuan di Indonesia.
Komnas Perempuan memaknai ‘Kekerasan terhadap Perempuan’ sesuai dengan
definisi pada deklarasi yang dikeluarkan pada Konperensi HAM di Wina pada tahun
1993 dan sudah merupakan hasil sebuah konsensus internasional. Definisi ini
mencakup kekerasan yang dialami perempuan di dalam keluarga, dalam komunitas
maupun kekerasan negara. Pada konferensi internasional ini juga ditegaskan bahwa
kekerasan terhadap perempuan adalah pelanggaran HAM, dan bahwa pemenuhan
hak-hak perempuan adalah pemenuhan hak-hak asasi manusia. Fokus perhatian
Komnas Perempuan pada saat ini adalah perempuan korban kekerasan dalam rumah
tangga; perempuan pekerja rumah tangga yang bekerja di dalam negeri maupun di
luar negeri sebagai buruh migran; perempuan korban kekerasan seksual yang
menjalankan proses peradilan; perempuan yang hidup di daerah konflik bersenjata;
dan, perempuan kepala keluarga yang hidup di tengah kemiskinan di daerah
pedesaan.
Pada saat ini, Komnas Perempuan mempunyai 17 komisioner yang berasal dari latar
belakang yang beragam, baik dari segi agama dan suku, umur dan jenis kelamin,
maupun dari segi disiplin ilmu dan profesi. Mereka dipilih melalui proses nominasi
oleh para komisioner periode terdahulu yang kemudian diseleksi berdasarkan kriteria
yang telah disepakati bersama atas fasilitas dari sebuah tim independen.

2. Pembentukan Komnas Perempuan

Ide pembentukan komnas Perempuan yang salah satu tugasnya antara lain
menyebarluaskan pemahaman atas segala bentuk kekerasan terhadap perempuan
Indonesia dan upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan serta penghapusan
segala bentuk kekerasan terhadap perempuan telah disuarakan oleh kelompok-
kelompok maupun organisasi-organisasi sosial independen dalam masyarakat yang
prihatin dengan para nasib perempuan yang semakin hari terpinggirkan. Tuntutan
tersebut berakar dari tragedi kekerasan seksual yang dialami terutama perempuan
etnis Tionghoa dalam kerusuhan Mei 1998 di berbagai kota besar di Indonesia.
Kelompok-kelompok maupun organisasi-organisasi sosial dalam masyarakat dalam
melakukan tutntutab tersebut telah membuat berbagai pernyataan yang meminta
Pemerintah untuk mengutuk kerusuhan termasuk terjadinya kekerasan terhadap
perempuan. Presiden sebagai Kepala Negara menyetujui dibentuknya suatu Komisi
Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan pada 1998 telah dikukuhkan dengan
suatu Surat Keputusan Presiden No. 181 tahun 1998. Kemudian keputusan presiden
ini diperbaharui dengan peraturan presiden No 65 tahun 2005.

3. Kedudukan, Tujuan, Asas, dan Tugas.


a. Kedudukan

Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan merupakan salah satu


komisi yang berfungsi untuk menangani berbagi persoalan khususnya terkait dengan
pelanggaran terhadap perempuan. Komisi yang sekarang lebih konsen pada persoalan
KDRT ini ternyata dalam Peraturan Presiden tersebut tidak disebutkan secara
ekplisist menegenai kedudukannya. Hanya saja kita bisa menjumpai Komnas
Perempuan ini di JL. LATUHARHARI 4B JAKARTA 10310 INDONESIA.
Melihat kondisi ini menjadi bertanya-tanya apakah efektif suatu badan yang
berwenang menangani kasus-kasus pelanggaran terhadap wanita di Indonesia yang
memiliki wilayah yang amat luas hanya berkedudukan di Jakarta. Selain itu seperti
diatas dikatakan bahwa kecenderungan pelanggaran terhadap perempuan justru sering
terjadi di daerah.

b. Tujuan Dan Asas

Kalau kita kaji keberadaan Komnas Perempaun Dari sisi tujuan dan asas,
komisi cukup jelasa mengenai tujuan dan asasnya, yaitu Komisi Nasional Anti
Kekerasan Terhadap Perempuan bertujuan :
 mengembangkan kondisi yang kondusif bagi penghapusan segala bentuk
kekerasan terhadap perempuan dan penegakan hak-hak asasi manusia
perempuan di Indonesia;
 meningkatkan upaya pencegahan dan penanggulangan segala bentuk
kekerasan terhadap perempuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia
perempuan.

Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan berasaskan Pancasila


dan bersifat independen. Untuk pengeluaran rutin, Komnas Perempuan memperoleh
dukunganan dari Sekretariat Negara. Selain itu Komnas Perempuan juga menerima
dukungan dari individu-individu dan berbagai organisasi nasional dan internasional.
Komnas Perempuan melakukan pertanggungjawaban publik tentang program kerja
maupun pendanaanya. Hal ini dilakukan melalui laporan tertulis yang bisa diakses
oleh publik maupun melalui acara “Pertanggungjawaban Publik” di mana masyarakat
umum dan konstituen Komnas Perempuan dari lingkungan pemerintah dan
masyarakat dapat bertatap muka dan berdialog langsung

c. Tugas

Dalam menjalankan fungsinya komisi ini memiliki beberapa tugas antara lain
yakni sebagai berikut:

 menyebarluaskan pemahaman atas segala bentuk kekerasan terhadap


perempuan Indonesia dan upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan serta
penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan;
 melaksanakan pengkajian dan penelitian terhadap berbagai peraturan
perundang-undangan yang berlaku serta berbagai instrument internasional
yang relevan bagi perlindungan hak-hak asasi manusia perempuan;
 melaksanakan pemantauan, termasuk pencarian fakta dan pendokumentasian
tentang segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan pelanggaran hak
asasi manusia perempuan serta penyebarluasan hasil pemantauan kepada
publik dan pengambilan langkah-langkah yang mendorong
pertanggungjawaban dan penanganan;
 memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah, lembaga legislatif
dan yudikatif serta organisasi-organisasi masyarakat guna mendorong
penyusunan dan pengesahan kerangka hukum dan kebijakan yang mendukung
upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan segala bentuk kekerasan
terhadap perempuan Indonesia serta perlindungan, penegakan, dan pemajuan
hak-hak asasi manusia perempuan;
 mengembangkan kerja sama regional dan internasional guna meningkatkan
upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan segala bentuk kekerasan
terhadap perempuan Indonesia serta perlindungan, penegakan dan pemajuan
hak-hak asasi manusia perempuan.
4. Mandat dan Kewenangan Komnas Perempuan:

a. Menyebarluaskan pemahaman atas segala bentuk kekerasan terhadap


perempuan Indonesia dan upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan,
serta penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan;
b. Melaksanakan pengkajian dan penelitian terhadap berbagai peraturan
perundang-undangan yang berlaku, serta berbagai instrumen internasional
yang relevan bagi perlindungan hak-hak asasi perempuan;
c. Melaksanakan pemantauan, termasuk pencarian fakta dan
pendokumentasian kekerasan terhadap perempuan dan pelanggaran HAM
perempuan, serta penyebarluasan hasil pemantauan kepada publik dan
pengambilan langkah-langkah yang mendorong pertanggungjawaban dan
penanganan;
d. Memberi saran dan pertimbangan kepada pemerintah, lembaga legislative,
dan yudikatif, serta organisasi-organisasi masyarakat guna mendorong
penyusuanan dan pengesahan kerangka hukum dan kebijakan yang
mendukung upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan segala bentuk
kekerasan terhadap perempuan, serta perlindungan, penegakan dan
pemajuan hak-hak asasi perempuan.;
e. Mengembangkan kerja sama regional dan internasional guna
meningkatkan upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan segala
bentuk kekerasan terhadap perempuan Indonesia, serta perlindungan,
penegakan dan pemajuan hak-hak asasi perempuan.
5. Peran atau Fungsi

Dalam menjalankan mandatnya, Komnas Perempuan mengambil peran sebagai


berikut :

a. Pemantau dan pelapor tentang pelanggaran HAM berbasis gender dan kondisi
pemenuhan hak perempuan korban;
b. Pusat pengetahuan (resource center) tentang hak asasi perempuan;
c. Pemicu perubahan serta perumusan kebijakan;
d. Negosiator dan mediator antara pemerintah dengan komunitas korban dan
komunitas pejuang hak asasi perempuan, dengan menitikberatkan pada
pemenuhan tanggungjawab negara pada penegakan hak asasi manusia dan
pada pemulihan hak-hak korban;
e. Fasilitator pengembangan dan penguatan jaringan di tingkat lokal, nasional,
regional dan internasional untuk kepentingan pencegahan, peningkatan
kapasitas penanganan dan penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap
perempuan.

Hak-Hak Perempuan

Hak asasi perempuan, adalah hak yang dimiliki oleh seorang perempuan, baik
karena ia seorang manusia maupun sebagai seorang perempuan, dalam khasanah
hukum hak asasi manusia dapat ditemui pengaturannya dalam berbagai sistem hukum
tentang hak asasi manusia. Dalam pengertian tersebut dijelaskan bahwa pengaturan
mengenai pengakuan atas hak seorang perempuan terdapat dalam berbagai sistem
hukum tentang hak asasi manusia. Sistem hukum tentang hak asasi manusia yang
dimaksud adalah sistem hukum hak asasi manusia baik yang terdapat dalam ranah
internasional maupun nasional. Khusus mengenai hak-hak perempuan yang terdapat
dalam sistem hukum tentang hak asasi manusia dapat ditemukan baik secara eksplisit
maupun implisit. Dengan penggunaan kata-kata yang umum terkadang membuat
pengaturan tersebut menjadi berlaku pula untuk kepentingan perempuan. Dalam hal
ini dapat dijadikan dasar sebagai perlindungan dan pengakuan atas hak-hak
perempuan.
Dari seluruh sistem hukum tentang hak asasi manusia, kita dapat menemukan
jenis-jenis hak-hak perempuan yang terdapat dalam sistem hukum tersebut. Jenis hak-
hak perempuan yang ada, antara lain:
1. Hak-Hak Perempuan di Bidang Politik
Sama halnya dengan seorang pria, seorang perempuan juga mempunyai hak yang
sama untuk turut serta dalam pemerintahan. Hak-hak perempuan yang diakui dan
dilakukan perlindungan terhadapnya terkait dengan hak-hak perempuan di bidang
politik, antara lain :
a. Hak untuk berpartisipasi dalam pemerintahan dengan ikut serta dalam perumusan
kebijakan pemerintah dan pelaksanaan kebijakan.
b. Hak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan berkala yang bebas untuk
menentukan wakil rakyat di pemerintahan
c. Hak untuk ambil bagian dalam organisasi-organisasi pemerintah dan non-
pemerintah dan himpunan-himpunan yang berkaitan dengan kehidupan
pemerintah dan politik negara tersebut.
Dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dapat
ditemukan dalam Pasal 46 yang berbunyi sebagai berikut : “sistem pemilihan umum,
kepartaian, pemilihan anggota badan legislatif, dan sistem pengangkatan di bidang
eksekutif, yudikatif, harus menjamin keterwakilan wanita sesuai persyaratan yang
ditentukan”.

2. Hak-hak perempuan di bidang kewarganegaraan

Setiap manusia yang hidup dalam suatu negara mempunyai hak untuk mendapatkan
kewarganegaraan yang sesuai dengan negara dimana dia tinggal. Misalnya seseorang
yang hidup dan tinggal di negara Indonesia, sesuai dengan Undang-Undang
Kewarganegaraan maka terdapat syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi seseorang
untuk mendapatkan kewarganegaraan Indonesia. Apabila syarat-syarat tersebut dapat
dipenuhi maka setiap orang tersebut mempunyai hak untuk mendapatkan
kewarganegaraannya. Hal inilah yang menjai salah satu hak yang harus dipenuhi
terhadap perempuan. Setiap perempuan mempunyai hak yang sama untuk
mendapatkan kewarganegaraan suatu negara ketika mereka dapat memenuhi syarat-
syarat yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan di negara terkait.
Dasar hukum atas hak-hak perempuan di bidang kewarganegaraan tersebut dapat
ditemukan dalam instrumen internasional. Dimana hak-hak tersebut dapat ditemukan
dalam bahasa yang umum dalam Pasal 15 DUHAM yang berbunyi :
1. “Setiap orang berhak atas sesuatu kewarganegaraan
2. Tidak seorangpun dengan semena-mena dapat dikeluarkan dari
kewarganegaraannya atau ditolak haknya untuk mengganti
kewarganegaraannya”.

3. Hak-hak perempuan di bidang pendidikan dan pengajaran


Pendidikan adalah dasar yang paling penting bagi kehidupan manusia. Dengan
pendidikan seseorang dapat meningkatkan kualitas hidupnya, baik dari kualitas akal,
pemikiran, perilaku hingga ekonomi. Dan pendidikan tersebut tentunya didapatkan
dengan pengajaran. Pengajaran harus diberikan pada setiap orang untuk mendapatkan
pendidikan yang layak dan berkualitas. Oleh karena itulah maka kemudian setiap
manusia di dunia ini berhak untuk mendapatkan pendidikan dan pengajaran, tidak
terkecuali untuk semua perempuan. Setiap perempuan sama halnya dengan setiap pria
mempunyai hak untuk mendapatkan pendidikan dan pengajaran.
4. Hak-hak perempuan di bidang profesi dan ketenagakerjaan

Saat mendapat pekerjaan, seorang perempuan juga mempunyai hak-hak yang harus
dipenuhi, yaitu mendapatkan upah sesuai dengan pekerjaannya, mendapatkan kondisi
kerja yang aman dan sehat, kesempatan yang sama untuk dapat meningkatkan
pekerjaannya ke tingkat yang lebih tinggi, termasuk juga hak untuk mendapatkan
pelatihan untuk meningkatkan kualitas pekerjaannya. Setelah mendapat pekerjaan,
tentunya ada saatnya ketika perempuan harus berhenti dan meninggalkan
pekerjaannya. Maka ketika pekerjaan itu berakhir, seorang perempuan juga
mempunyai hak untuk mendapatkan pesangon yang adil dan sesuai dengan kinerja
dan kualitas pekerjaan yang dilakukannya. Dalam instrumen nasional mengenai hal
ini dapat ditemukan dalam Pasal 76 Undang-Undang Nomor 76 tentang
Ketenagakerjaan dan Pasal 49 (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang
HAM. Dalam Pasal 49 (1) UU HAM disebutkan bahwa ”Wanita berhak untuk
memilih, dipilih, diangkat dalam pekerjaan, jabatan, dan profesi sesuai dengan
persyaratan dan peraturan perundang-undangan”.

5. Hak-hak perempuan di bidang kesehatan


Perlu diketahui lebih lanjut bahwa yang dimaksud dengan hak-hak perempuan di
bidang kesehatan adalah penjaminan kepada para perempuan untuk mendapatkan
perlindungan yang lebih dan khusus. Hal ini terutama akibat rentannya kesehatan
wanita berkaitan dengan fungsi reproduksinya. Seorang wanita telah mempunyai
kodrat dari Tuhan Yang Maha Esa untuk mengalami kehamilan, menstruasi setiap
bulan dan juga kekuatan fisik yang lebih lemah dibandingkan pria. Adanya hal-hal
tersebut inilah maka kemudian dirasakan perlu untuk melakukan perlindungan yang
lebih khusus kepada mereka perempuan.
Instrumen nasional dapat ditemukan dalam Pasal 28 H UUD 1945 yaitu “setiap orang
berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan
lingkungan hidup yang sehat serta berhak memperoleh kesehatan”. Adanya dasar
pengaturan ini menunjukkan bahwa negara kita menjamin setiap warganya untuk
mendapatkan jaminan kesehatan dari negara. Khusus untuk setiap wanita
perlindungan kesehatan dijaminkan lebih lagi dalam Pasal 49 (2) Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM yang menyebutkan bahwa “perempuan berhak
untuk mendapatkan perlindungan khusus dalam pelaksanaan pekerjaan atau
profesinya terhadap hal-hal yang dapat mengancam keselamatan dan atau
kesehatannya berkenaan dengan fungsi reproduksi wanita”.
6. Hak-hak perempuan untuk melakukan perbuatan hukum
Sebelum dikenalnya hak-hak atas perempuan dan keberadaan perempuan yang
sederajat dengan pria, perempuan selalu berada di bawah kedudukan pria. Hal ini
seringkali terlihat terutama pada keadaan dimana perempuan untuk melakukan
perbuatan hukum tertentu harus mendapatkan persetujuan atau di bawah kekuasaan
pria. Keadaan inilah yang kemudian menimbulkan kesadaran bagi para perempuan
bahwa setiap perempuan mempunyai kedudukan yang sama dengan laki-laki di mata
hukum, sehingga kemudian muncul salah satu hak perempuan lainnya yang diakui
baik di tingkat internasional maupun nasional. Dalam instrument nasional dasar
hukum atas hak-hak ini dapat ditemukan dalam Pasal 50 UU HAM yang berbunyi
“wanita yang telah dewasa dan atau telah menikah berhak untuk melakukan
perbuatan hukum sendiri, kecuali ditentukan lain oleh hukum agamanya”.
Sehubungan dengan jaminan atas hak-hak perempuan yang berhubungan dengan
hukum dan masyarakat, terdapat beberapa permasalahan yang menimpa perempuan
di Indonesia diantaranya
a. Kekerasan terhadap perempuan,
b. Perempuan sebagai korban perkosaan,
c. Perempuan sebagai pekerja seks komersial dalam praktek prostitusi,
d. Perempuan dan aborsi,
e. Perempuan dan pornografi dan pornoaksi,
f. Perdagangan perempuan.
7. Hak-hak perempuan dalam ikatan /putusnya perkawinan

Dalam sebuah perkawinan adakalanya dimana pasangan suami istri terpaksa harus
melakukan perceraian atau yang disebut dengan putusnya perkawinan. Atas putusnya
perkawinan ini setiap pihak dari perkawinan mempunyai hak dan kewajiban yang
sama terutama jika atas perkawinannya menghasilkan anak-anak. Selain itu kedua
belah pihak juga mempunyai hak yang sama untuk mendapat bagian harta bersama
dengan persentase yang adil. Dalam instrumen nasional dapat ditemukan dalam Pasal
51 ayat (1) dan (2) UU HAM yang berbunyi sebagai berikut :

(2) “Setelah putusnya perkawinan, seorang wanita mempunyai hak dan


tanggungjawab yang sama dengan mantan suaminya atas semua hal yang
berkenaan dengan anak-anaknya, dengan memperhatikan kepentingan terbaik
bagi anak”.

(3) “Setelah putusnya perkawinan, seorang wanita mempunyai hak yang sama
dengan mantan suaminya atas semua hal yang berkenaan dengan harta
bersama tanpa mengurangi hak anak sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan”.

KOMNAS PERLINDUNGAN ANAK INDONESIA


A. Sejarah Komisi Perlindungan Anak
Sejarah mencatat dan membuktikan bahwa anak adalah pewaris dan pembentuk
masa depan bangsa. Oleh karena itu, pemajuan, pemenuhan dan penjaminan
perlindungan hak anak, serta memegang teguh prinsip-prinsip non- diskriminasi,
kepentingan terbaik bagi anak, melindungi kelangsungan hidup dan tumbuh kembang
anak, serta menghormati pandangan atau pendapat anak dalam setiap hal yang
menyangkut dirinya, merupakan prasyarat mutlak dalam upaya perlindungan anak
yang efektif guna pembentukan watak serta karakter bangsa.
Pencanangan Gerakan Nasional Perlindungan Anak 23 Juli 1987 merupakan
kebijakan negara untuk menjadikan upaya perlindungan terhadap anak sebagai
sebuah gerakan bersama, dimana keluarga dan masyarakat menjadi basis utama dan
terdepan demi terjaminnya kualitas perlindungan dan kesejahteraan anak anak-anak
Indonesia. Hal ini ditindaklanjuti dengan kebijakan pemerintah melalui Surat
Keputusan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 81/HUK/1997 tentang
Pembentukan Lembaga Perlindungan Anak Pusat yang tidak lain menjadi cikal bakal
lahirnya sebuah Komisi khusus yang mengurus upaya perlindungan dan peningkatan
kesejahteraan anak secara independen.
Atas berkat rahmat Tuhan Yang Maha Esa serta prakarsa Departemen Sosial
RI, Tokoh Masyarakat, Perguruan Tinggi, Organisasi Non-Pemerintah dan
Pemerintah, Media Massa dan kalangan Profesi serta dukungan Badan Dunia urusan
anak-anak (UNICEF) melalui Forum Nasional Perlindungan Anak yang Pertama (I)
tanggal 26 Oktober 1998, dibentuklah Komisi Nasional Perlindungan Anak yang
selanjutnya disebut KOMNAS ANAK sebagai wahana masyarakat yang independen
guna ikut memperkuat mekanisme nasional dan internasional dalam mewujudkan
situasi dan kondisi yang kondusif bagi pemantauan, pemajuan dan perlindungan hak
anak dan solusi bagi permasalahan anak yang timbul.
B. Pengertian Komnas Pelindungan Anak Indonesia
Komisi perlidungan anak Indoesia (KPAI) merupakan lembaga resmi yang
memiliki wewenang memberi referensi, rujukan, pertimbangan dan pengawasan atas
penyelenggaraan perlindungan anak di Indonesia. KPAI dibentuk
berdasarkan Keppres No.77 Tahun 2004 Tahun 2004. UU No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak yang memuat bahwa KPAI adalah Lembaga negara independen.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dibentuk berdasarkan amanat UU


Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Undang-Undang tersebut
disahkan oleh Sidang Paripurna DPR pada tanggal 22 September 2002 dan
ditandatangani Presiden Megawati Soekarno putri, pada tanggal 20 Oktober 2002.
Setahun kemudian sesuai ketentuan Pasal 75 dari undang-undang tersebut, Presiden
menerbitkan Keppres No. 77 Tahun 2003 tentang Komisi Perlindungan Anak
Indonesia. Diperlukan waktu sekitar 8 bulan untuk memilih dan mengangkat Anggota
KPAI seperti yang diatur dalam peraturan per-undang-undangan tersebut.

Dalam Pasal 76 UU Perlindungan Anak, dijelaskan tugas pokok KPAI yang berbunyi
sebagai berikut : 

 Melakukan sosialisasi seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan yang


berkaitan dengan perlindungan anak, mengumpulkan data dan informasi,
menerima pengaduan masyarakat, melakukan penelaahan, pemantauan,
evaluasi, dan pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan anak. 
 Memberikan laporan, saran, masukan, dan pertimbangan kepada Presiden
dalam rangka perlindungan anak.

Berdasarkan pasal tersebut di atas, mandat KPAI adalah mengawal dan mengawasi
pelaksanaan perlindungan anak yang dilakukan oleh para pemangku kewajiban
perlindungan anak sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 20 yakni : “Negara,
Pemerintah, Masyarakat, Keluarga, dan Orangtua” di semua strata, baik pusat
maupun daerah, dalam ranah domestik maupun publik, yang meliputi pemenuhan
hak-hak dasar dan perlindungan khusus. KPAI bukan institusi teknis yang
menyelenggarakan perlindungan anak.

Adapun tujuan dari KPAI sebagai berikut :

1. Meningkatkan pemahaman dan peran serta masyarakat dalam perlindungan


anak;
2. Membangun sistem dan jejaring pengawasan perlindungan anak;
3. Meningkatkan jumlah dan kompetensi pengawas perlindungan anak;
4. Meningkatkan kuantitas, kualitas, dan utilitas laporan pengawasan
perlindungan anak;
5. Meningkatkan kapasitas, aksesibilitas, dan kualitas layanan pengaduan
masyarakat;
6. Meningkatkan kinerja organisasi KPAI.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Komnas Perlindungan Anak Indonesia
memiliki tugas pokok dan fungsi melakukan sosialisasi seluruh ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak, mengumpulkan data
dan informasi, menerima pengaduan masyarakat, melakukan penelaahan,
pemantauan, evaluasi dan pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan anak.
KPAI juga  memberikan laporan saran, masukan, dan pertimbangan kepada Presiden
dalam rangka perlindungan anak
C. Dasar Hukum
Dasar hukum perlindungan anak adalah sebagai berikut:
a. Undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
b. Undang-undang nomor 35 tahun 2014 tentang perubahan atas undang-
undang nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak.
c. Kepres No. 77 tahun 2003
d. Undang-Undang Kesejahteraan Anak Nomor 4 Tahun 1979
e. Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990
f. UUPA (Undang-Undang Perlindungan Anak)
D. TUGAS DAN WEWENANG
a. Melakukan pemantauan dan pengembangan perlindungan anak
b. Melakukan advokasi dan pendampingan pelaksanaan hak-hak anak.
c. Menerima pengaduan pelanggaran hak-hak anak.
d. Melakukan kajian strategis terhadap berbagai kebijakan yang menyangkut
kepentingan terbaik bagi anak.
e. Melakukan koordinasi antar lembaga, baik tingkat regional, nasional
maupun international.
f. Memberikan pelayanan bantuan hukum untuk beracara di pengadilan
mewakili kepentingan anak
g. Melakukan rujukan untuk pemulihan dan penyatuan kembali anak.
h. Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan, pengenalan dan
penyebarluasan informasi tentang hak anak.
i. Melakukan pengumpulan data, informasi dan investigasi terhadap
pelanggaran hak anak.
j. Melakukan kajian hukum dan kebijakan regional dan nasional yang tidak
memihak pada kepentingan terbaik anak.
k. Memberikan penilaian dan pendapat kepada pemerintah dalam rangka
mengintegrasikan hak-hak anak dalam setiap kebjijakan.
l. Memberikan pendapat dan laporan independen tentang hukum dan
kebijakan berkaitan dengan anak
m. Menyebasluaskan, publikasi dan sosialisasi tentang hak-hak anak dan
situasi anak di Indonesia.
n. Menyampaikan pendapat dan usulan tentang pemantauan pemajuan dan
kemajuan, dan perlindungan hak anak kepada parlemen, pemerintah dan
lembaga terkait.
o. Mempunyai mandat untuk membuat laporan alternatif kemajuan
perlindungan anak di tingkat nasional.
p. Melakukan perlindungan khusus.
E. Kewajiban dan Tanggung Jawab Perlindungan Anak
1. Negara
2. Pemerintah
3. Masyarakat
4. Keluarga dan Orang tua
Berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan
anak (Pasal UU 20 PA)
F. Hak Anak Dunia (Berdasarkan Konvensi Hak Anak PBB tahun 1989)
a. Hak Untuk Bermain
b. Hak Untuk Pendidikan
c. Hak untuk Perlindungan
d. Hak untuk mendapatkan nama (Identitas)
e. Hak untuk mendapatkan status kebangsaan
f. Hak untuk mendapatkan Makanan
g. Hak untuk mendapatkan rekreasi
h. Hak untuk mendapatkan Kesamaan
i. Hak untuk memiliki Peranan dalam pembangunan
Daftar Pustaka
http://www.smansax1-edu.com/2014/09/fungsi-dan-tujuan-komnas-pelindungan.html

http://blog.ub.ac.id/arikartikashp/tentang-kpai/tugas-fungsi/

http://www.kpai.go.id/artikel/menuju-restorative-justice-dalam-sistem-peradilan-anak/

https://id.wikipedia.org/wiki/Komisi_Perlindungan_Anak_Indonesia

http://lailameika13.blogspot.com/2013/09/makalah-komnas-anak.html

https://gendhonzz.wordpress.com/10-hak-anak-dunia/

http://paschall-ab.blogspot.com/2015/02/pengadilan-ham-di-indonesia.html

http://peunebah.blogspot.com/2011/12/pengadilan-ham-dalam-sistem-hukum.html

http://referensi.elsam.or.id/2014/09/pengadilan-ham-di-indonesia/

http://scancopypaste.blogspot.com/2009/04/sejarah-pengadilan-ham-di-indonesia.html

https://nunutngombe.wordpress.com/2010/10/28/perlindungan-hak-asasi-manusia-anak-
di-indonesia-perkembangan-implementasi-dan-rekomendasi-dwi-yanto/

http://www.artikelbagus.com/2012/05/kelembagaan-ham.html

http://idukasi.blogspot.com/2014/08/lembaga-perlindungan-ham-di-indonesia.html

http://akbarmuzaqir.blogspot.com/2013/04/hak-hak-perempuan.html

http://www.smansax1-edu.com/2014/09/fungsi-dan-tujuan-komisi-nasional-anti.html

https://rennymagdawiharnani.wordpress.com/sih/hukum-tata-negara/komisi-anti-
kekerasan-terhadap-perempuan-atau-komisi-nasional-komnas-perempuan/

https://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20120211201932AAQ3CEm

http://www.komnasperempuan.or.id/struktur-organisasi-2/

http://www.komnasperempuan.or.id/visi/

http://simplenews05.blogspot.com/2014/08/tugas-dan-wewenang-pengadilan-ham.html

http://simplenews05.blogspot.com/2014/08/tugas-komisi-nasional-perlindungan-anak.html

Anda mungkin juga menyukai