Anda di halaman 1dari 31

1.

Penegakan HAM di Indonesia


Sejak Negara Indonesia diproklamirkan menjadi Negara yang
merdeka, para pendiri Republik ini sepakat bahwa negara ini
berlandaskan pada hukum (yang diartikan sebagai konstitusi dan hukum
tertulis) yang mencerminkan penghormatan kepada hak asasi manusia
(HAM). Dalam Undang-undang Negara Republik Indonesia 1945
ditegaskan bahwa sistem pemerintahan negara Indonesia berdasarkan
atas hukum (rechstaat), tidak berdasar atas kekuasaan belaka
(maachstaat).
Rasionya bahwa dalam negara hukum harus ada elemen-elemen
sebagai berikut :
a. Azas pengakuan dan perlindungan terhadap HAM
b. Azas legalitas
c. Azas pembagian kekuasaan
d. Azas peradilan yang bebas dan tidak memihak
e. Azas kedaulatan rakyat
Namun penghargaan terhadap HAM yang sudah di cetuskan oleh
“pendiri negara” Indonesia tidak berjalan sebagaimana mestinya seiring
dengan perkembangan perjalanan bangsa Indonesia dalam 3 periode.
a. Penegakan HAM pada Orde Lama
Orde lama merupakan kelanjutan pemerintahan pasca
kemerdekaan, yang lebih menitikberatkan pada perjuangan revolusi.
Sehingga banyak UU yang dibuat atas nama revolusi yang telah
dimanfaatkan oleh kekuasaan pemerintah, seperti contoh UU No.
11/PNPS/1963 tentang pemberantasan kegiatan subversi yang tidak
sesuai dengan HAM.
b. Penegakan HAM pada Orde Baru
Berdirinya orde baru adalah respon dari kegagalan orde lama
telah membuat berbagai perubahan secara tegas dengan
perkembangan demokratisasi dan perlindungan HAM. Namun dalam
perjalanannya era demokratisasi dan perlindungan HAM yang selama
ini dilakukan orde baru mulai kabur, dengan maraknya praktek
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) serta banyak lagi rekayasa untuk
kepentingan penguasa. Seringkali pemerintahan masa orde baru
melakukan tindakan-tindakan yang mengarah kepada crimes by
government, seperti penculikan aktivis pro demokrasiyang
bertentangan dengan HAM. Sebagai puncaknya pada tahun 1998,
orde baru jatuh dengan adanya multi krisis di Indonesia serta tuntutan
reformasi di segala bidang.
c. Penegakan HAM pada Orde Reformasi
Jika pada Orde Baru, yang sering melakukan pelanggaran hak
asasi manusia adalah aparat pemerintah, dalam hal ini TNI, maka
pada era sekarang, hak asasi manusia dilanggar secara “bersama-
sama”. Dalam konteks ini, pelanggaran hak asasi manusia merupakan
hal yang biasa terjadi di tengah masyarakat atau oleh masyarakat
sendiri. Pada masa orde reformasi ini pemerintah dalam rangka
penegakan HAM telah membuat peraturan-peraturan yang terkait
dengan HAM, antara lain UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM, ratifikasi
terhadap instrumen internasional tentang HAM. UU No. 26 tahun 2000
tentang pengadilan HAM yang memungkinkan dibukanya lagi kasus-
kasus pelanggaran HAM berat masa lalu serta pemberantasan KKN.
2. Peluang membuka kembali kasus pelanggaran HAM
Otoritarianisme rezim Orde Baru antara lain ditandai dengan
banyaknya kasus-kasus pelanggaran HAM baik yang terselubung maupun
yang terbuka. Memang pada masa itu instrumen instrumen penegakan
HAM telah ada sekalipun tidak selengkap di era reformasi misalnya
ketentuan tentang HAM yang tersebar dalam peraturan perundang-
undangan yang sudah ada, Deklarasi Universal Tentang Hak Asasi Manusia
(DUHAM) yang telah disetujui dan diumumkan oleh Resolusi Majlis Umum
PBB pada tanggal 10 Desember 1948, dibentuknya KOMNAS HAM
berdasarkan Keppres No 50 Tahun 1993 yang bertugas sebagaimana
diatur dalam Pasal 5 antara lain : 1) menyebarluaskan wawasan nasional
dan internasional mengenai HAM baik kepada masyarakat Indonesia
maupun internasional 2) mengkaji berbagai instrument PBB tentang HAM
dengan tujuan memberikan saran-saran untuk diratifikasi, 3) memantau
dan menyelidiki pelaksanaan HAM serta menberikan pendapat,
pertimbangan dan saran kepada badan pemerintahan negara mengenai
pelaksanaan HAM, 4) mengadakan kerjasama regional dan internasional
dalam memajukan dan perlindungan HAM.
Sungguhpun rezim Orde Baru telah tumbang dan berganti dengan
Orde Reformasi, tetapi pengaruh dari sistem dan paradigma lama (status
quo) masih sangat kuat, sebab pengertian reformasi yang terjadi di
Indonesia bukan mengganti orang orang lama (kelompok status quo)
secara total tetapi memunculkan orang-orang baru (kelompok reformis)
dan bergabung dengan orang orang lama dalam menjalankan
pemerintahan. Pada orde Reformasi lebih menitikberatkan pada
perlindungan hukum dan penegakan HAM melalui MPR telah melakukan
Amandemen UUD 45 dengan memasukkan pasal khusus mengatur
tentang HAM. Pemerintah juga mengeluarkan UU No. 39 tahun 1999
tentang HAM dan UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Dalam
UU HAM tersebut tugas Komnas HAM berubah meliputi : 1) fungsi
pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan dan mediasi tentang
HAM, 2) tugas penyelidikan terhadap pelanggaran HAM berat.
Pada ketentuan UU Pengadilan HAM terdapat peluang untuk
dibukanya kembali kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi
sebelum di undangkan UU Pengadilan HAM yang diatur dalam pasal 43-44
tentang Pengadilan HAM Ad Hoc dan pasal 46 tentang tidak berlakunya
ketentuan kadaluarsa dalam pelanggaran HAM berat. Ketentuan tersebut
dimaksudkan untuk kasus-kasus yang terjadi sebelum diundangkannya UU
Pengadilan HAM dapat diadili.
Ketentuan tersebut diatas diadopsi dari Statua Roma 1998 yakni
ketentuan dalam artikel 28 tentang “ Tidak dapat diterapkannya
ketentuan pembatasan.” Ada dua alasan dimasukkannya asas
Retroactive ke dalam UU Pengadilan HAM, antara lain : 1) jauh sebelum
diundangkannya UU No 29 tahun 2000 belum dikenal jenis kejahatan
genoside dan kejahatan terhadap kemanusiaan, 2) asas Retroactive
dalam UU Pengadilan HAM merupakan political wisdom (kebijaksanaan
politik) dari DPR untuk merekomendasikan kepada presiden dengan
pertimbangan bahwa kedua jenis kejahatan tersebut merupakan
extraordinary crimes (kejahatan luar biasa)
Menurut Barda Nawawi Arief pemberlakuan asas retroactive sangat
bertentangan dengan ide perlindungan HAM yang diatur dalam DUHAM
pasal 15 ayat (1) dan pasal 24 ayat (1) Statuta Roma. Dengan demikian
asas Retroactive yang memungkinkan dibukakannya kembali kasus-kasus
pelanggaran HAM berat merupakan penyimpangan terhadap asas
legalitas dari sisi hukum positif Indonesia (KUHP). Akan tetapi, dari sisi lain
menurut Hukum Pidana Internasional, pemberlakuan asas Retroactive
sangat dimungkinkan untuk mencapai keadilan yang diwujudkan dengan
pembentukan pengadilan. Walaupun telah terjadi perbedaan pendapat
tentang keberadaan asas retroactive sebagai celah dibukanya kembali
kasus-kasus pelanggaran HAM berat, akan tetapi tetap diperlakukan
adanya penyaring yang dapat memfilter kasus-kasus pelanggaran HAM
berat di masa lampau melalui political wisdom dari DPR. Dalam kata lain
dalam penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lampau,
yang memerlukan dibentuknya pengadilan HAM ad hoc tersebut terdapat
subjektivitas dan relativitas serta tergantung pada kepentingan yang ada
serta lebih tertumpu pada nilai politis yang tersembunyi.
Selain beberapa hal yang telah dijelaskan sebelumnya, gejala
mandulnya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia juga mengkhawatirkan. Hal
ini disebabkan gaungnya pada era reformasi tidak memberikan implikasi
yang signifikan terhadap perjalanan HAM di Indonesia. Di era Orde Baru,
mereka dipandang sebagai tempat terakhir mengadu setiap ada
pelanggaran HAM. Namun sampai saat ini setiap ada temuan, Komnas
HAM ini kurang efektif dalam penanganannya.
3. Upaya penyelesaian pelanggaran HAM
Sampai sejauh ini, terdapat dua mekanisme penyelesaian
pelanggaran HAM di masa lalu yaitu Pengadilan HAM ad-hoc dan Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Pengadilan HAM ad-hoc merupakan
satu mekanisme penyelesaian kasus yang menggunakan logika sistem
yudisial sementara Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi menggunakan logika
sistem non-yudisial.
a. Pengadilan HAM Ad-hoc
Seperti yang telah dijelaskan diatas, mekanisme ini berdasarkan
pada pasal 43 UU No. 26/2000. Sementara itu, untuk sistem acara
pidana tetap mengikuti Kitab Umum Hukum Acara Pidana (KUHAP)
yang digunakan dalam sistem peradilan di Indonesia. Selanjutnya,
penuntutan perkara dapat dilakukan oleh penuntut umum dari
Kejaksaan Agung atau ad-hoc yang berasal dari unur masyarakat.
Kemudian, pemeriksaan perkara dilakukan oleh majelis hakim yang
terdiri dari hakim karier dan non-karier.
Munurut UU No. 26/2000, proses terbentuknya pengadilan terdiri
dari tiga bagian yang ideal. Pertama, Komnas HAM melakukan
penyelidikan berdasarkan pengaduan dari kelompok korban atau
kelompok masyarakat tentang satu kasus yang terjadi di masa lalu.
Komnas HAM kemudian membentuk satu tim untuk melakukan
penyelidikan dan kemudian mengeluarkan rekomendasi. Jika dalam
rekomendasi tersebut terdapat bukti terhadap dugaan terjadinya
kejahatan terhadap kemanusiaan atau genosida, maka akan
dilanjutkan pada tahap penuntutan oleh Kejaksaan Agung. Kedua,
DPR kemudian membahas hasil penyelidikan dari Komnas HAM dan
kemudian membuat rekomendasi kepada Presiden untuk membentuk
pengadilan HAM ad-hoc. Ketiga, Presiden kemudian mengeluarkan
keputusan presiden untuk pembentukan satu pengadilan HAM ad-
hoc. Pada tahap kedua dan ketiga tampak jelas bagaimana political
will dari pemerintahan yang berkuasa memegang peranan penting.
Beberapa kasus pelanggaran HAM yang berat di masa lalu yang
telah ditangani oleh mekanisme ini adalah kasus Timor Timur dan Tg.
Priok. Peradilan pertama dilakukan pada tahun 2003 atau sekitar
terlambat dua tahun dari yang direncanakan. Pemerintah
mengatakan bahwa keterlambatan tersebut hanya masalah teknis
seperti pembangunan infrastruktur peradilan dan rekrutmen jaksa dan
hakim ad-hoc.
b. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
Komisi ini dibentuk berdasarkan UU No. 27 tahun 2004 tentang
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang telah disahkan pada tanggal
7 September 2004. Sebelumnya, UU ini telah diusulkan oleh TAP MPR
No. VI/MPR/200 yang kemudian juga tertuang dalam pasal 47 (ayat 1)
UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM yang menyatakan
“Pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum
berlakunya Undang-undang ini tidak menutup kemungkinan
penyelesaiannya dilakukan oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.”
Dalam UU-nya, Komisi ini bertugas untuk untuk mengungkapkan
pelanggaran HAM yang berat di masa lalu dan melaksanakan proses
rekonsiliasi nasional demi keutuhan bangsa. Selain itu, komisi
mendefinisikan lebih detil tentang siapa yang menjadi korban dan
apa saja yang menjadi hak dari mereka seperti untuk mendapatkan
kebenaran, kompensasi, restitusi dan rehabilitasi. Komisi ini juga
mengatur bahwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang
telah diungkapkan dan diselesaikan oleh Komisi, perkaranya tidak
dapat diajukan lagi kepada pengadilan hak asasi manusia ad hoc.
Menurut beberapa narasumber, komisi ini merupakan komplementer
dari UU No. 26/2000. Komisi ini terdiri dari tiga sub-komisi yang terdiri
dari subkomisi penyelidikan dan klarifikasi, subkomisi kompensasi,
restitusi, dan rehabilitasi serta subkomisi pertimbangn amnesti.
4. Penegakan Hak Asasi Manusia di era globalisasi
Perkembangan upaya penegakkan hak asasi manusia di Indonesia
selama ini dicatat lebih menekankan kepada penegakan hak sipil dan hak
politik. Sedangkan advokasi terhadap hak ekonomi, sosial dan budaya (
Economic, Social and Cultural Rights ) kurang mendapat tempat yang
semestinya. Demikain pula penegakan terahadap Hak atas
Pembangunan (Rights to Development ). Oleh karena itu upaya
penegakan HAM di era globalisasi harus dilakukan dalam perspektif
indivisibility, yaitu prinsip ketidak terpisahan atau prinsip saling
ketergantungan antara satu hak asasi dengan hak asasi manusia lainnya.
Hal tersebut misalnya telah pula ditegaskan di dalam Konferensi Dunia Hak
Asasi Manusia di Wina, 1993.
Penegakan HAM harus dilakukan dalam seluruh proses demokratisasi
dan penegakan hukum. Oleh karena itu persoalan penegakan HAM harus
dilakukan sesuai dengan jalur hukum, dan terpenuhinya rasa keadilan.
Termasuk di dalamnya upaya penegakan HAM lewat proses “transitional
Justice”, serta pembentukan Komisi Rekonsiliasi dan Kebenaran ( Truth and
Reconciliation Commission ). Dan di dalam upaya rekonsiliasi dan
kebenaran ini perlu pula dipertimbangkan proses pemaafan (forgiveness),
terutama terhadap pelanggaran HAM di masa lalu.
Termasuk di dalam prinsisp-prinsip Transitional Justice, antara lain : 1.
Penindakan terhadap pelaku pelanggaran HAM masa lalu, 2. Pemulihan
Hak korban, 3. Pengakuan adanya korban, 4. Prinsip non-recurrement,
atau jaminan akan tidak terulangnya pelanggaran HAM. Sebenarnya
telah ada berbagai instrumen yang dapat difungsikan dan dijadikan
referensi sebagai mekanisme untuk menyelesaikan masalah pelanggaran
HAM. Bahan-bahan yang bersifat nasional misalnya, UU mengenai
pengadilan HAM, Tap MPR No. XVII/98, Tap MPR N0. V/ 2000, UU HAM dll.
Adapun bahan-bahan yang bersifat internasional misalnya Statuta Roma,
untuk kejahatan terhadap kemanusiaan, hukum kebiasaan internasional
yang berlaku bagi semua orang tanpa batas-batas negara.
Hubungan antara HAM dengan globalisasi dapat dilihat secara linier
dan saling berbenturan. Sabagai sebuah konsep yang universal, HAM
merupakan kesepakatan internasional yang telah diterima, disisi lain
globalisasi juga telah mendorong lahirnya nilai-nilai yang menjadi
kesepakatan bersama. Akan tetapi tak dapat di pungkiri bahwa
globalisasi juga telah memberikan dampak pahit bagi masyarakat
khususnya di Negara-negara dunia ke tiga seperti Indonesia yang
mengintregasikan system ekonomi dan politiknya pada system global.
Universal Declaration of Human Rights Dokumen ini sangat penting
karena merupakan kelanjutan dari rumusan berbagai Negara yang telah
ada pada beberapa abad sebelumnya. Globalisasi dapat dilihat sebagai
system yang ingin membawa satu dunia ke dalam satu system ekonomi
dunia yang berhasil, menginisiasi politik Internasional dan kebudayaan
yang dapat diterima semua pihak. Lebih jauh, era pasca globalisasi yang
diinginkan adalah harmonisasi politik dan kebudayaan serta bangunan
system ekonomi yang terintegrasi dalam pasar bebas yang Universal.
Sebagaimana konsep HAM, banyak pendapat menyatakan bahwa
globalisasi bukanlah sesuatu yang baru. Tetapi sudah ada yang
berlangsung ratusan tahun yang lalu.
Saat ini yang terjadi hanyalah proses pengulangan. Indonesia sebagai
warga dunia sudah mengambil posisi yang tepat, penghormatan pada
prinsip-prinsip dasar manusia yang asasi dengan diberlakukan Undang-
undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, dan di dalamnya
menegaskan bahwa KOMNAS HAM adalah satu-satunya lembaga yang
memiliki kewenagan untuk melakukan penyelidikan atas dugaan
terjadinya pelanggaran HAM yang berat.
Disamping melakukan tugas dan fungsi Pengkajian dan Penelitian,
Penyuluhan dan Meditasi, Motivasi utama keberadaan Komnas HAM
adalah untuk menciptakan situasi yang kondusif bagi terpenuhinya
perlindungan dan penegakan HAM bagi martabat pribadi manusia,
komunitas dan masyarakat Indonesia secara utuh menyeluruh (holistic),
nondiskriminatif demi terwujudnya karakter manusia, masyarakat dan
bangsa yang selalu sadar, bertanggung jawab, dan menjujung nilai-nilai
HAM dalam praktik kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Dalam era globalisassi, penegakan HAM dituntut untuk dapat
menyesuaikan dengan faktor perkembangan teknologi, terutama dalam
hal yang menyangkut proses dan alat pembuktian dalam pengadilan
HAM. Beberapa norma Internasional dalam proses pengadilan HAM telah
diikuti dalam proses pengadilan HAM antara lain tentang adanya
Disenting Opinion dalam putusan pengadilan. Keberadaan lembaga Pre-
Trial akan dapat mendukung proses peradilan yang tidak menyita waktu,
tenaga, pikiran dan biaya. Lebih dari itu, perlu dihindari adanya proses
peradilan yang dapat menimbulkan kecurigaan publik nasional maupun
internasional tentang adanya kesan proses peradilan yang melindungi
pelaku kejahatan HAM.
Tingkah laku hukum (legal behavior) maupun tingkah laku di ruang
pengadilan (courtroom behavior) para penegak hukum akan selalu
mengundang respon baik secara sosial, moral, maupun yuridis. Menjaga
integritas Pengadilan HAM merupakan prasyarat untuk adanya respon
positif terhadap penegakan HAM di masa mendatang. Eksistensi peran
dan yurisdiksi pengadilan berkorelasi dengan perubahan dan
perkembangan ideologi hukum yang hidup dalam masyarakat. Misalnya
Pasal 49 UU No. 26 Tahun 2000 menentukan bahwa ketentuan mengenai
kewenangan atasan yang berhak menghukum dan Perwira Penyerah
Perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 dan Pasal 23 UU No. 31
Tahun 1977 tentang Peradilan Militer dinyatakan tidak berlaku dalam
pemeriksaan pelanggaran HAM yang berat menurut undang-undang.

5. Hambatan dan Tantangan dalam Penegakan HAM di Indonesia


Sejak tahun 1998, desakan yang begitu besar dari kelompok
korban terus mengalir ke lembaga-lembaga terkait. Bahkan kelompok
korban bersama elemen masyarakat lainnya terus melakukan
berbagai kegiatan, mulai dari audiensi, lobby politik hingga
demonstrasi. Dua kasus yang telah ditangani oleh pengadilan HAM
ad-hoc telah menjadi pertanyaan besar bagi banyak pihak tentang
efektifitas dari mekanisme ini untuk mendapatkan rasa kebenaran
dan keadilan bagi korban.
Dalam pengadilan HAM ad-hoc untuk kasus Timor Timur telah
menunjukkan hasil yang mengecewakan banyak kalangan,
khususnya kelompok korban. Beberapa orang yang berada dalam
tingkatan komando pada saat kejadian tersebut dan diduga kuat
bertanggung jawab lepas dari tuntutan hukum. Hasil yang serupa
dialami oleh pengadilan HAM ad-hoc untuk kasus Tg. Priok. Belajar
dari pengalaman beberapa negara lain yang mengalami masalah
yang serupa serta melihat peluang mendapatkan keadilan melalui
mekanisme peradilan, wacana tentang KKR kemudian muncul.
Namun, kehadiran KKR sendiri dalam bentuk UU mendapat sambutan
yang dingin dari para kelompok korban. Walaupun belum berjalan
sampai saat ini, sinyalemen ketidakpercayaan sudah terlihat dari
berbagai kelompok masyarakat. UU KKR sekarang memang dinilai
oleh banyak pihak menyimpang dari konsep dasarnya.
Terdapat beberapa masalah yang selama ini mewarnai proses
tersebut antara lain;
Pertama, tidak adanya political will dari pemerintahan yang
berkuasa. Banyak pihak yang menilai bahwa pemerintah selama ini
tidak memiliki niatan yang serius untuk melakukan penyelesaian
pelanggaran HAM di masa lalu. Hal ini dapat terlihat dengan jelas
dalam proses penyelesaian kasus Trisakti, Semanggi I dan II. Seperti
yang telah dijelaskan sebelumnya, DPR mempunyai peranan dalam
memberikan rekomendasi terhadap satu kasus tertentu untuk dibawa
ke pengadilan HAM ad-hoc. Panitia Khusus (Pansus) DPR untuk
Tragedi Trisakti, Semanggi I dan II (TSS) dalam kesimpulan akhirnya
menyatakan bahwa tidak terjadi suatu pelanggaran HAM yang berat
dalam kasus TSS. Yang menjadi pertanyaan banyak pihak, DPR
mengambil satu keputusan tanpa melakukan satu proses penyelidikan
melainkan hanya melalui Rapat Dengar Pendapat dengan berbagai
pihak. Komnas HAM mengecam keras tindakan yang dilakukan oleh
DPR.
Kedua, kebijakan yang memperpanjang rantai impunitas. Masih
senada dengan masalah pertama, kebijakan yang dihasilkan oleh
pemerintahan yang berkuasa sejak kejatuhan orde baru hingga saat
ini masih tetap menunjukkan kecenderungan untuk melakukan
praktek-praktek impunitas (bebas dari hukuman). Kritik yang keras
tentang UU No. 26/2000 mulai berkembang sejak melihat kenyataan
bahwa banyak pasal yang disalahartikan sehingga memungkinkan
para pelaku untuk bebas. Kemudian, UU KKR yang belum berjalan
juga sudah mendapat kritik tajam dari berbagai pihak. Kelompok
korban merasa bahwa UU ini telah memasung hak mereka untuk
mendapatkan keadilan.
Ketiga, kendala di sistem peradilan diantara insititusi yang berwenang.
Kondisi ini ditunjukkan oleh kinerja dari Kejaksaan Agung dalam
menangani kasus pelanggaran HAM di Timor Timur. Komisi
Penyelidikan terhadap Pelanggaran (KPP) HAM kasus Timor-Timur
mengeluarkan beberapa hasil penyelidikannya yang kemudian jauh
berbeda dengan tuntutan yang dihasilkan oleh Kejaksaan Agung.
Alih-alih dari Kejaksaan Agung adalah alasan politik. Terlebih lagi
dalam proses pengadilan, dangkalnya penuntutan serta
meragukannya kapasitas dari para penuntut umum telah
memberikan hasil yang sangat jelas. Sebagian besar dari para
terdakwa dikemudian diputus bebas oleh pengadilan atau
pengadilan banding. Kondisi ini memperlihatkan secara jelas bahwa
masing-masing institusi melakukan interpertasi masing-masing
terhadap satu proses penyelesaian kasus, baik itu karena
pertimbangan politik maupun tidak.
Keempat, usaha pembungkaman oleh para pelaku. Mereka yang
diduga terlibat atau menjadi pelaku tentunya tidak tinggal diam saat
mereka akan diajukan dalam sebuah proses hukum. Mereka
kemudian mencari berbagai cara untuk menghambat terjadinya
proses peradilan tersebut. Selain melalui teror atau intimidasi, mereka
juga melakukan pendekatan kepada kelompok korban dengan
iming-iming materi. Apalagi, mayoritas kelompok korban berasal dari
kelompok masyarakat menegah ke bawah. Sebagai salah satu
contoh kasus adalah proses ishlah antara beberapa orang yang
diduga seperti Try Sutrisno dengan sejumlah korban dalam peristiwa
Tg. Priok. Proses ini kemudian berimbas pada proses peradilan dimana
banyak diantara korban yang kemudian menarik tuntutan mereka
serta menolak mengakui BAP (Berita Acara pemeriksaan) yang
pernah dibuat.
Tentang berbagai hambatan dalam pelaksanaan dan
penegakan HAM di Indonesia, secara umum dapat kita identifikasi
sebagai berikut :
a. Faktor Kondisi Sosial-Budaya
1) Stratifikasi dan status sosial; yaitu tingkat pendidikan,
usia,pekerjaan, keturunan dan ekonomi masyarakat
Indonesia yangmultikompleks (heterogen).
2) Norma adat atau budaya lokal kadang bertentangan dengan
HAM,terutama jika sudahbersinggung dengan kedudukan
seseorang,upacara-upacara sakral, pergaulan
dansebagainya.
3) Masih adanya konflik horizontal di kalangan
masyarakatyang hanya disebabkan oleh hal-hal sepele.
b. Faktor Komunikasi dan Informasi
1) Letak geografis Indonesia yang luas dengan laut, sungai,
hutan,dan gunung yang membatasi komunikasi
antardaerah.
2) Sarana dan prasarana komunikasi dan informasi yang
belumterbangun secara baik yangmencakup seluruh
wilayah Indonesia.
3) Sistem informasi untuk kepentingan sosialisasi yang
masihsangat terbatas baik sumber daya manusia-nya
maupun perangkat (software dan hardware) yang
diperlukan.
c. Faktor Kebijakan Pemerintah
1) Tidak semua penguasa memiliki kebijakan yang
samatentang pentingnya jaminanhak asasi manusia.
2) Ada kalanya demi kepentingan stabilitas nasional,persoalan
hak asasi manusiasering diabaikan
3) Peran pengawasan legislatif dan kontrol sosial
olehmasyarakat terhadap pemerintahsering diartikan oleh
penguasasebagai tindakan ‘pembangkangan’.
d. Faktor Perangkat Perundangan
1) Pemerintah tidak segera meratifikasikan hasil-hasil
konvensiinternasional tentang hakasasi manusia.
2) Kalaupun ada, peraturan perundang-undangan masih
sulituntuk diimplementasikan.
e. Faktor Aparat dan Penindakannya (Law Enforcement).
1) Masih adanya oknum aparat yang secara institusi atau
pribadimengabaikan prosedur kerja yang sesuai dengan
hak asasi manusia.
2) Tingkat pendidikan dan kesejahteraan sebagian aparat
yang dinilai masih belum layaksering membuka peluang
‘jalan pintas’untuk memperkaya diri.
3) Pelaksanaan tindakan pelanggaran oleh oknum aparat
masihdiskriminatif, tidak konsekuen,dan tindakan
penyimpangan berupa KKN (Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme).Dari faktor-faktor yang menjadi hambatan
dalam penegakan hakasasi manusia tersebutdiatas, mari
kita upayakan untuk sedikit demisedikit dikurangi (Eliminasi.)
Demi terwujudnya perlindungan hak asasimanusia yang
baik, mulailah dari diri kita sendiri untuk belajar menghormati
hak-hak orang lain. Kita harus terus berupaya
untukmenyuarakan tetap tegaknya hak asasi manusia, agar
harkat dan martabat yang ada pada setiap manusia
sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa tetap terpelihara
dengan sebaik-baiknya (ekobudi CG)
Diposkan oleh EKOBUDI di 05.53 1 komentar:

Pengaturan Hak Asasi Manusia di Indonesia

Pada periode reformasi ini muncul kembali perdebatan mengenai


konstitusionalitas perlindungan hak asasi manusia (HAM). Perdebatkan
bukan lagi soal-soal konseptual berkenaan dengan teori HAM, tetapi pada
soal basis hukumnya, apakah ditetapkan melalui TAP MPR atau
dimasukkan dalam UUD. Gagasan mengenai Piagam HAM yang pernah
muncul di awal Orde Baru itu muncul dalam wacana perdebatan HAM
ketika itu. Karena kuatnya tuntutan dari kelompok-kelompok reformasi
ketika itu, maka perdebatan bermuara pada lahirnya Ketetapan MPR No.
XVII/MPR/1998 tentang HAM. Isinya bukan hanya memuat Piagam HAM,
tetapi juga memuat amanat kepada Presiden dan lembaga-lembaga
tinggi negara untuk memajukan perlindungan HAM, termasuk
mengamanatkan untuk meratifikasi instrumen-instrumen internasional
tentang HAM.
Hasil Pemilu 1999 merubah peta kekuatan politik di MPR/DPR.
Kekuatan politik pro-reformasi mulai memasuki gelanggang politik formal,
yakni MPR/DPR. Selain berhasil mengangkat K.H. Abdurrachman Wahid
sebagai presiden, mereka juga berhasil menggulirkan terus isu
amandemen Undang-Undang Dasar 1945. Pada Sidang Tahunan MPR
tahun 2000, perjuangan untuk memasukkan perlindungan HAM ke dalam
Undang-Undang Dasar akhirnya berhasil dicapai. Majelis Permusyawaratan
Rakyat sepakat memasukan HAM ke dalam Bab XA, yang berisi 10 Pasal
HAM (dari pasal 28A-28J) pada Amandemen Kedua Undang-Undang
Dasar 1945 yang ditetapkan pada 18 Agustus 2000. Hak-hak yang
tercakup di dalamnya mulai dari kategori hak-hak sipil, politik hingga pada
kategori hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Selain itu, dalam bab ini
juga dicantumkan pasal tentang tanggung jawab negara terutama
pemerintah dalam perlindungan, pemajuan, penegakan, dan
pemenuhan HAM. Di samping itu ditegaskan bahwa untuk menegakkan
dan melindungi HAM sesuai prinsip negara hukum yang demokratis maka
pelaksanaan HAM dijamin, diatur dan dituangkan dalam peraturan
perundang-undangan. Salah satu isu yang menjadi riak perdebatan
dalam proses amandemen itu adalah masuknya pasal mengenai hak
bebas dari pemberlakuan undang-undang yang berlaku surut (non-
retroactivity principle) yakni pasal 28I. Masuknya ketentuan ini dipandang
oleh kalangan pejuang HAM dan aktifis pro-reformasi yang tergabung
dalam Koalisi untuk Konstitusi Baru sebagai “sabotase” terhadap upaya
mengungkapkan pelanggaran berat hak asasi manusia di masa lalu,
khsususnya di masa Orde Baru. Alasannya pasal itu dapat digunakan oleh
para pelaku pelanggaran HAM masa lalu untuk menghindari tuntutan
hukum. Undang-Undang Pengadilan HAM dan Undang-Undang Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), yang lahir setelah Amandemen Kedua
menjadi senjata yang tak dapat digunakan untuk pelanggaran HAM di
masa lalu.
Terdapat tiga kemungkinan bentuk hukum yang dapat menampung
rincian HAM itu :
a. Menjadikannya sebagai bagian integral dari UUD 45 yaitu dengan
melakukan amandemen UUD 45.
b. Menetapkan rincian HAM dalam Ketetapan MPR. Keberatannya adalah
bahwa suatu Ketetapan MPR pada umumnya tidak mengatur
ancaman hukuman bagi pelanggarnya.
c. Mengundangkannya dalam suatu Undang Undang yang mengatur
tentang sanksi hukum terhadap pelanggarnya.
Dari tiga kemungkinan bentuk hukum di atas dalam realitasnya
secara keseluruhan telah dipraktekkan oleh pemerintah Indonesia dalam
menguraikan rincian HAM. Berikut ini akan dijelaskan secara lebih detail
bentuk-bentuk hukum di atas sebagai instrumen penegakan HAM di
Indonesia.
a. Amandemen UUD 1945
Wacana tentang perlunya HAM dimasukkan dalam UUD 45
berkembang ketika kesadaran akan pentingnya jaminan
perlindungan HAM semakin meningkat menyusul jatuhnya rezim Orde
Baru yang represif dan otoriter. Telah diakui bahwa UUD 45 tidak
secara eksplisit mengatur tentang HAM, bahkan beberapa pakar
secara tegas menyatakan bahwa konstitusi negara kita tidak
mengenal HAM karena dirumuskan sebelum adanya Deklarasi
Universal HAM. Atas dasar itu amandemen UUD 45 untuk memasukkan
HAM didalamnya merupakan tuntutan reformasi yang tidak bisa
dielakkan. Dan usaha ini diharapkan akan semakin memperkuat
komitmen negara Indonesia untuk menegakkan dan melindungi HAM
di Indonesia, karena dengan menjadi bagian integral UUD 45 HAM itu
akan menjadi hak yang dilindungi secara konstitusional (constitutiona
right). Pemikiran ini kemudian direalisasikan pada Sidang Tahunan
MPR Tahun 2000 melalui amandemen II UUD 45. HAM dalam
amandemen UUD 1945 antara lain :
1) Pasal 27 Hak jaminan dalam bidang hukum dan ekonomi.
2) Pasal 28 memberikan jaminan dalam bidang politik berupa hak
untuk mengadakan perserikatan, berkumpul dan menyatakan
pendapat baik lisan maupun tulisan.
a) Pasal 28 A Pasal ini memberikan jaminan akan hak hidup
dan mempertahankan kehidupan.
b) Pasal 28 B Pasal ini memberikan jaminan untuk membentuk
keluarga, melanjutkan keturunan melalui perkawinan sah,
jaminan atas hak anak untuk hidup, tumbuh dan
berkembang serta perlindungan anak dari kekerasan dan
diskriminasi.
c) Pasal 28 C Pasal ini memberikan jaminan setiap orang untuk
mengembangkan diri, mendapat pendidikan, memperoleh
manfaat dari iptek, seni dan budaya, hak kolektif dalam
bermasyarakat.
d) Pasal 28 D Pasal ini mengakui jaminan, perlindungan,
perlakuan dan kepastian hukum yang adil, hak untuk
berkerja dan mendapatkan imbalan yang layak,
kesempatan dalam pemerintahan dan hak atas
kewarganegaraan.
e) Pasal 28 E Pasal ini mengakui kebebasan memeluk agama,
memilih pendidikan, memilih pekerjaan, memilih
kewarganegaraan, memilih tempat tinggal. Juga mengakui
kebebasan untuk berkumpul dan mengeluarkan pendapat.
f) Pasal 28 F Pasal ini mengakui hak untuk berkomunikasi dan
memperoleh informasi dengan melalui segala jenis saluran
yang ada.
g) Pasal 28 G Pasal ini hak perlindungan diri, keluarga,
kehormatan, martabat dan harta benda, rasa aman serta
perlindungan dari ancaman. Juga mengakui hak untuk
bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan
martabat manusia, serta suaka politik dari negara lain.
h) Pasal 28 H Pasal ini mengakui hak hidup sejahtera lahir batin,
hak bertempat tinggal dan hak akan lingkungan hidup
yang baik dan sehat, hak pelayanan kesehatan, hak
jaminan sosial, hak milik pribadi.
i) Pasal 28 I Pasal ini mengakui hak yang tidak dapat dikurangi
dalam keadaan apapun yaitu hak hidup, hak untuk tidak
disiksa, hak beragama, hak tidak diperbudak, hak diakui
sebagai pribadi di depan hukum, hak tidak dituntut atas
dasar hukum yang berlaku surut. Pasal ini juga mengakui hak
masyarakat tradisional dan identitas budaya.
j) Pasal 28 J Pasal ini menegaskan perlunya setiap orang
menghormati hak asasi orang lain. Juga penegasan bahwa
pelaksanaan hak asasi manusia harus tunduk pada
pembatasan-pembatasannya sesuai dengan perimbangan
moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum
dalam negara demokratis.
3) Pasal 29 mengakui kebebasan dalam menjalankan perintah
agama sesuai kepercayaan masing-masing.
4) Pasal 31 mengakui hak setiap warga negara akan pengajaran.
5) Pasal 32 mengakui adanya jaminan dan perlindungan budaya.
6) Pasal 33 mengandung pengakuan hak-hak ekonomi berupa hak
memiliki dan menikmati hasil kekayaan alam Indonesia.
7) Pasal 34 mengatur hak-hak asasi di bidang kesejahteraan sosial.
Negara berkewajiban menjamin dan melindungi fakir miskin,
anak-anak yatim, orang terlantar dan jompo untuk dapat hidup
secara manusiawi.
b. Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998 Tentang HAM
Ketetapan ini disahkan oleh Rapat Paripurna Sidang Istimewa
MPR pada tanggal 13 Nopember 1998. Pada masa awal reformasi
tuntutan mengenai perlunya suatu aturan yang memuat ketentuan
tentang HAM yang lebih rinci mengemuka dengan kuat dan menjadi
isu sentral yang cukup luas. Untuk mengakomodasi tuntutan tersebut
bentuk hukum yang dipilih untuk mengatur tentang HAM adalah
Ketetapan MPR, karena pada saat itu masih terjadi tarik menarik
antara kelompok yang menghendaki amandemen UUD 45 dan
kelompok yang menolaknya. Maka untuk menjembatani dua
kolompok yang saling berseberangan ini dicarilah suatu pola yang
secara relatif lebih dapat diterima oleh mereka yaitu dengan
membuat Ketetapan MPR yang mengatur tentang HAM, di samping
secara prosedural pola ini lebih mudah dilakukan dibanding dengan
amandemen UUD 45.
c. Undang Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang HAM
Undang Undang ini dipandang sebagai Undang Undang
pelaksana dari Ketetapan MPR No XVII/MPR/1998 Tentang HAM di
atas, karena salah satu dasar hukumnya adalah Ketetapan MPR
tersebut. Ketika Undang Undang ini didiskusikan terdapat dua
pendapat yang kontradiktif tentang perlunya Undang-Undang
tentang HAM. Pendapat pertama menyatakan bahwa pada
dasarnya ketentuan mengenai HAM tersebar dalam berbagai
Undang-Undang. Oleh karenanya tidak perlu dibuat Undang-Undang
khusus tentang HAM. Pendapat lain menyatakan bahwa Undang-
Undang tentang HAM diperlukan mengingat TAP MPR tentang HAM
yang sudah ada tidak berlaku operasional dan Undang-Undang yang
sudah ada tidak seluruhnya menampung materi HAM. Selain itu,
Undang-Undang tentang HAM akan berfungsi sebagai payung bagi
peraturan perundang-undangan mengenai HAM yang sudah ada
selama ini.
Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 selain memuat ketentuan
tentang HAM juga mengatur tentang Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia yang fungsi pokoknya adalah melakukan pengkajian,
penelitian, penyuluhan, pemantauan dan mediasi tentang HAM.
d. Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM
Undang-Undang ini dapat dianggap sebagai tonggak hukum
kedua dalam penegakan HAM dalam level Undang- Undang setelah
UU. No. 39 Tahun 1999 tentang HAM. Undang-Undang ini merupakan
pengganti dari Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
(Perpu) No. 1 Tahun 1999 yang mengatur hal yang sama yang telah
ditolak oleh DPR sebelumnya.
e. Undang Undang No. 09 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan
Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum.
Pengaturan tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat
dimuka umum melalui Undang Undang ini bertujuan :
1) Mewujudkan kebebasan yang bertanggung jawab sebagai salah
satu pelaksanaan HAM sesuai dengan Pancasila dan UUD 45.
2) Mewujudkan perlindungan hukum yang konsisten dan
berkesinambungan dalam menjamin kemerdekaan
menyampaikan pendapat.
3) Mewujudkan iklim yang kondusif bagi berkembangnya partisipasi
dan kreativitas setiap warga negara sebagai perwujudan hak
dan tanggung jawab dalam kehidupan berdemokrasi.
4) Menempatkan tanggung jawab sosial dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara tanpa mengabaikan
kepentingan perorangan atau kelompok.
HAM dalam Peraturan Perundang-undangan lainnya antara lain :
a. UU No. 3/ 1997 tentang Peradilan Anak
b. UU No. 23/ 2002 tentang Perlindungan Anak
c. UU No. 23/ 2004 tentang PKDRT
d. UU No. 13/ 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban
Pembahasan selanjutnya terkait dengan penerapan instrumen
internasional hak asasi manusia ke dalam hukum nasional. Perbincangan
mengenai isu ini biasanya diletakkan dalam konteks dua ajaran berikut,
yakni ajaran dualis (dualistic school) dan ajaran monis (monistic school).
Ajaran yang pertama melihat hukum internasional dan nasional sebagai
dua sistem hukum yang terpisah dan berdiri sendiri-sendiri. Sedangkan
ajaran yang kedua melihat hukum internasional dan nasional sebagai
bagian integral dari sistem yang sama. Sebagai bagian dari masyarakat
internasional, Indonesia juga tidak bisa menafikan hukum internasional,
tetapi penerapannya harus sesuai dengan ketentuan hukum Indonesia.
Jadi meskipun Indonesia telah memiliki basis hukum perlindungan hak asasi
manusia yang kuat di dalam negeri seperti dipaparkan di muka, tetap
dipandang perlu untuk mengikatkan diri dengan sistem perlindungan
internasional hak asasi manusia. Sebab dengan pengikatan itu, selain
menjadikan hukum internasional sebagai bagian dari hukum nasional
(supreme law of the land), juga memberikan legalitas kepada warga
negaranya untuk menggunakan mekanisme perlindungan HAM
internasional, apabila ia (warga negara) merasa mekanisme domestik
telah mengalami “exshausted” alias menthok.
Sampai saat ini Indonesia baru meratifikasi 8 (delapan) instrumen
internasional hak asasi manusia dari 25 (dua puluh lima) instrumen
internasional pokok hak asasi manusia. Delapan instrumen internasional
hak asasi manusia yang diratifikasi itu meliputi :
a. Konvensi Internasional tentang Hak-Hak Politik Perempuan;
b. Konvensi Internasional tentang Hak Anak;
c. Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
terhadap Perempuan;
d. Konvensi Internasional tentang Anti Apartheid di Bidang Olah Raga;
e. Konvensi Internasional tentang Menentang Penyiksaan;
f. Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
Rasial;
g. Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik;
h. Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.
Sejak tahun 1998, Indonesia telah memiliki Rencana Aksi Nasional Hak
Asasi Manusia (RANHAM) untuk mengejar ketertinggalan di bidang ratifikasi
tersebut. Dengan adanya RANHAM, diharapkan proses ratifikasi dapat
berjalan dengan terencana. Ratifikasi tersebut diprioritaskan pada
konvensi-konvensi berikut ini :
a. Konvensi untuk Penindasan Perdagangan Orang dan Eksploitasi Prostitusi
Orang Lain (pada 2004);
b. Konvensi tentang Perlindungan Hak Pekerja Migran dan Keluarganya
(pada 2005);
c. Protokol Opsional tentang Hak Anak tentang Perdagangan Anak,
Pornografi Anak dan Prostitusi Anak (pada 2005);
d. Protokol Opsional tentang Konvensi Hak Anak tentang Keterlibatan Anak
dalam Konflik Bersenjata (pada 2006);
e. Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida
(pada 2007); Statuta Roma (pada 2008).(ekobudi cg)

Masa Orde Baru

Sejak PKI berhasil ditumpas, Presiden Soekarno belum bertindak tegas terhadap G 30 S/PKI.
Hal ini menimbulkan ketidaksabaran di kalangan mahasiswa dan masyarakat. Pada tanggal 26
Oktober 1965 berbagai kesatuan aksi seperti KAMI, KAPI, KAGI, KASI, dan lainnya
mengadakan demonsrasi. Mereka membulatkan barisan dalam Front Pancasila. Dalam kondisi
ekonomi yang parah, para demonstran menyuarakan Tri Tuntutan Rakyat (Tritura). Oleh karena
itu presiden memberi mandat kepada Letjen Soeharto untuk memulihkan keadaan dan
kewibawaan pemerintah. Mandat itu dikenal sebagai Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar).
Keluarnya Supersemar dianggap sebagai tonggak lahirnya Orde Baru .

Orde Baru adalah sebutan bagi masa pemerintahan Presiden Soeharto di Indonesia. Orde Baru
menggantikan Orde Lama yang merujuk kepada era pemerintahan Soekarno. Orde Baru hadir
dengan semangat "koreksi total" atas penyimpangan yang dilakukan Orde Lama Soekarno. Orde
Baru tersebut berlangsung dari tahun 1968 hingga 1998. Dalam jangka waktu tersebut, ekonomi
Indonesia berkembang pesat meski hal ini dibarengi praktek korupsi yang merajalela di negara
ini. Selain itu, kesenjangan antara rakyat yang kaya dan miskin juga semakin melebar. Dalam
beberapa aspek, HAM terjamin. Tetapi dalam beberapa aspek lainnya, HAM tidak dilindungi.

Penegakan HAM pada Orde Baru

Orde Baru membawa banyak perubahan positif pada penegakan HAM. Perubahan-perubahan
tersebut antara lain menyangkut aspek politik, ekonomi, dan pendidikan.

a. Politik
Salah satu kebijakan politik yang mendukung persamaan HAM terhadap masyarakat Indonesia
di dunia internasional adalah didaftarkannya Indonesia menjadi anggota PBB lagi pada tanggal
19 September 1966. Dengan mendaftarkan diri sebagai anggota PBB, hak asasi manusia
Indonesia diakui persamaannya dengan warga negara di dunia. Ini menjadi langkah yang baik
untuk membawa masyarakat Indonesia pada keadilan dan kemakmuran.

b. Ekonomi
Orde Baru memilih perbaikan dan perkembangan ekonomi sebagai tujuan utamanya dan
menempuh kebijakannya melalui struktur administratif yang didominasi militer namun dengan
nasehat dari ahli ekonomi didikan Barat. Dalam hal ekonomi, masyarakat mendapatkan hak-hak
mereka untuk mendapatkan hidup yang layak. Program transmigrasi, repelita, dan swasembada
pangan mendorong masyarakat untuk memperoleh kemakmuran dan hak hidup secara layak.

c. Pendidikan
Dalam bidang pendidikan, masa Orde Baru menampilkan kinerja yang positif. Pemerintah Orde
Baru bisa dianggap sukses memerangi buta huruf dengan beberapa program unggulan, yaitu
gerakan wajib belajar dan gerakan nasional orang tua asuh (GNOTA). Dengan demikian,
masyarakat Indonesia mendapatkan hak asasinya untuk mendapatkan pendidikan.

Pelanggaran HAM pada Orde Baru

Harus diakui pada masa Orde Baru dari segi pembangunan fisik memang ada dan keamanan
terkendali, tetapi pada masa Orde Baru demokrasi tidak ada, kalangan intelektual dibelenggu,
pers di daerah di bungkam, KKN dan pelanggaran HAM terjadi di mana-mana . Secara garis
besar ada lima keburukan Orde Baru, yaitu: kekuasaan pemerintah yang absolut, rendahnya
transparansi pengelolaan negara, lemahnya fungsi lembaga perwakilan rakyat, hukum yang
diskriminatif, dan dan lemahnya perlindungan HAM.
a. kekuasaan pemerintah yang absolut
Suharto, presiden Republik Indonesia ke-2, menduduki tahta kepresidenan Indonesia selama 32
tahun. Itu berarti, Suharto telah memenangkan sekitar enam kali pemilihan umum (Pemilu).
Pada waktu itu, kekuasaan Suharto didukung oleh partai Golongan Karya yang dibayang-bayangi
oleh Partai Demokasi Indonesia dan Partai Persatuan Pembangunan. Tampak jelas dalam
pemerintahan Suharto di mana pemerintahan dijalankan secara absolut. Presiden Suharto
mengkondisikan kehidupan politik yang sentralistik untuk melanggengkan kekuasaan. Salah satu
hak sebagai warga negara untuk mendapatkan kedudukan dalam pemerintahan menjadi hak yang
sulit didapatkan tanpa melakukan kolusi dan nepotisme.

b. rendahnya transparansi pengelolaan


Rendahnya transparansi pengelolaan negara juga menjadi salah satu keburukan pemerintahan
Orde Baru. Transparansi merupakan bentuk kredibilitas dan akuntabilitasnya. Suatu undang-
undang tidak mengikat jika tidak diundangkan melalui lembaran negara. Suatu sidang pengadilan
dianggap tidak sah apabila tidak dibuka untuk umum. Penelitian yang dilakukan oleh lembaga
peneliti yang menyangkut kepentingan masyarakat harus dipublikasikan. Pada masa Orde Baru,
hak penyiaran dikekang. Berita-berita televisi dan surat kabar tidak boleh membicarakan
keburukan-keburukan pemerintahan, kritik terhadap pemerintah, dan berita-berita yang dapat
mengganggu stabilitas dan keamanan nasional.

Keuangan negara juga menjadi rahasia internal pemerintahan. Hutang negara menjadi terbuka
jelas pun saat krisis dunia melanda. Indonesia tidak mampu membayar hutang luar negeri yang
bertumpuk-tumpuk. Lebih dari itu, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika yang menurun
tajam memaksa perusahaan-perusahaan memecat sebagian karyawannya untuk mengurangi biaya
produksi. Bahkan, banyak perusahaan tumbang dan gulung tikar karena negara tidak mampu
membayar hutang luar negeri. Bila dirunut lebih dalam, semua itu berakar dari rendahnya
transparasi pemerintah terhadap masyarakat.

c. Lemahnya fungsi lembaga perwakilan rakyat


Lemahnya fungsi lembaga perwakilan rakyat menjadi salah satu keburukan Orde Baru. Dewan
Perwakilan Rakyat dan Majelis Permusyawaratan Rakyat menjadi semacam boneka yang
dikendalikan oleh pemimpin negara. Dalam hal ini, aspirasi-aspirasi dan keinginan rakyat tidak
mampu diwujudkan oleh pemerintah. Program-program pemerintah seperti LKMD, Inpres desa
tertinggal, dan seterusnya, menjadi semacam program penjinakan yang dilakukan oleh penguasa
agar rakyat miskin tidak berteriak menuntut hak-hak mereka.

d. Hukum yang diskriminatif


Hukum yang diskriminatif menjadi keburukan Orde Baru selanjutnya. Hukum hanya berlaku
bagi masyarakat biasa atau masyarakat menengah ke bawah. Pejabat dan kelas atas menjadi
golongan yang kebal hukum. Hak masyarakat untuk mendapatkan perlakukan yang sama di
depan hukum menjadi hal yang sangat langka. Hak asasi sosial dilanggar oleh pemerintah.
Beberapa kekurangan sistem orde baru dapat dirangkum dengan enam poin, yaitu:


 semaraknya korupsi, kolusi, nepotisme,
 pembangunan Indonesia yang tidak merata dan timbulnya kesenjangan pembangunan
antara pusat dan daerah, sebagian disebabkan karena kekayaan daerah sebagian besar
disedot ke pusat,
 munculnya rasa ketidakpuasan di sejumlah daerah karena kesenjangan pembangunan,
terutama di Aceh dan Papua,
 kecemburuan antara penduduk setempat dengan para transmigran yang memperoleh
tunjangan pemerintah yang cukup besar pada tahun-tahun pertamanya,
 bertambahnya kesenjangan sosial (perbedaan pendapatan yang tidak merata bagi si kaya
dan si miskin),
 kritik dibungkam dan oposisi diharamkan,
 kebebasan pers sangat terbatas, diwarnai oleh banyak koran dan majalah yang dibreidel,
 penggunaan kekerasan untuk menciptakan keamanan, antara lain dengan program
"Penembakan Misterius" (petrus), dan
 tidak ada rencana suksesi (penurunan kekuasaan ke pemerintah/presiden selanjutnya).

Perlindungan HAM dalam Orde Baru memang dirasa masih lemah. Berita mengenai
penembakan misterius terhadap musuh-musuh negara ----termasuk teroris, menjadi catatan
hitam Orde Baru. Diskriminasi terhadap hak-hak asasi kaum minoritas dan Chinese pun menjadi
pelanggaran HAM yang tidak bisa dilupakan. Meski demikian, Orde Baru memperlihatkan peran
yang besar untuk menjaga stabilitas nasional. Stabilitas nasional ini memungkinkan negara untuk
menjaga terlaksananya pelaksanaan perlindungan HAM bagi masyarakat.

Periode Reformasi

Penyebab utama runtuhnya kekuasaan Orde Baru adalah adanya krisis moneter tahun 1997 .
Sejak tahun 1997 kondisi ekonomi Indonesia terus memburuk seiring dengan krisis keuangan
yang melanda Asia. Keadaan terus memburuk. KKN semakin merajalela, sementara kemiskinan
rakyat terus meningkat. Terjadinya ketimpangan sosial yang sangat mencolok menyebabkan
munculnya kerusuhan sosial. Muncul demonstrasi yang digerakkan oleh mahasiswa. Tuntutan
utama kaum demonstran adalah perbaikan ekonomi dan reformasi total.
Periode Reformasi diawali dengan pelengseran Soeharto dari kursi Presiden Indonesia oleh
gerakan reformasi. Pada tanggal 21 Mei 1998 Presiden Soeharto mengundurkan diri dari
jabatannya sebagai presiden RI dan menyerahkan jabatannya kepada wakil presiden B.J.
Habibie. Peristiwa ini menandai berakhirnya kekuasaan Orde Baru dan dimulainya Orde
Reformasi.

Penegakan HAM pada Masa Reformasi

Orde reformasi membawa banyak perubahan ke arah yang lebih baik. Beberapa perubahan
positif yang dibawa oleh reformasi pada periode jabatan presiden B.J. Habibie adalah:

a. Kebijakan dalam bidang politik


Reformasi dalam bidang politik berhasil mengganti lima paket undang-undang masa Orde Baru
dengan tiga undang-undang politik yang lebih demokratis. Berikut ini tiga undang-undang
tersebut.
• UU No. 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik.
• UU No. 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum.
• UU No. 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan DPR/MPR.
Kebijakan dalam bidang politik ini membawa pengaruh pada tata politik yang adil. Hak warga
negara untuk mendapatkan kedudukan di bidang politik dan pemerintahan menjadi terbuka. DPR
dan MPR mulai berfungsi dengan baik sebagai aspirasi rakyat untuk memperoleh hak-hak
mereka.
b. Kebijakan dalam bidang ekonomi
Untuk memperbaiki perekonomian yang terpuruk, terutama dalam sektor perbankan, pemerintah
membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Selanjutnya pemerintah
mengeluarkan UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Tidak
Sehat, serta UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Perbankan menjadi sektor
yang penting untuk menjaga stabilitas ekonomi. Masalah utang negara dan inflasi menyebabkan
masyarakat tidak berdaya untuk memperoleh kehidupan yang layak. Bank Indonesia menjadi
pusat keuangan negara untuk mengatur aliran uang demi stabilitas ekonomi rakyat.

c. Kebebasan menyampaikan pendapat dan pers


Kebebasan menyampaikan pendapat dalam masyarakat mulai terangkat kembali. Hal ini terlihat
dari munculnya partai-partai politik dari berbagai golongan dan ideologi. Masyarakat bisa
menyampaikan kritik secara terbuka kepada pemerintah. Di samping kebebasan dalam
menyatakan pendapat, kebebasan juga diberikan kepada pers. Reformasi dalam pers dilakukan
dengan cara menyederhanakan permohonan Surat Izin Usaha Penerbitan (SIUP). Dengan pers,
masyarakat dapat menyerukan aspirasi mereka. Hak masyarakat untuk mendapatkan informasi
secara jelas dan terbuka pun mulai dibuka.

d. Pelaksanaan Pemilu
Pada masa pemerintahan Habibie, berhasil diselenggarakan pemilu multipartai yang damai dan
pemilihan presiden yang demokratis. Pemilu tersebut diikuti oleh 48 partai politik. Keberhasilan
lain masa pemerintahan Habibie adalah penyelesaian masalah Timor Timur. Usaha Fretilin yang
memisahkan diri dari Indonesia mendapat respon. Pemerintah Habibie mengambil kebijakan
untuk melakukan jajak pendapat di Timor Timur. Referendum tersebut dilaksanakan pada
tanggal 30 Agustus 1999 di bawah pengawasan UNAMET. Hasil jajak pendapat tersebut
menunjukkan bahwa mayoritas rakyat Timor Timur lepas dari Indonesia. Sejak saat itu Timor
Timur lepas dari Indonesia. Pada tanggal 20 Mei 2002 Timor Timur mendapat kemerdekaan
penuh dengan nama Republik Demokratik Timor Leste dengan presidennya yang pertama
Xanana Gusmao dari Partai Fretilin.

Beberapa Pelanggaran HAM pada Masa Reformasi

Sekalipun terdapat berbagai pembenahan, di masa reformasi masih terjadi banyak pelanggaran
HAM. Dalam beberapa hal, HAM sudah cukup ditegakkan. Tetapi dalam beberapa hal lain,
pelanggaran HAM justru semakin marak setelah masa reformasi berlangsung. Berikut ini adalah
beberapa kasus pelanggaran HAM yang terjadi pada masa reformasi.

a. Kebijakan Yang Anti Rakyat Miskin


Dalam pelaksanaan hak asasi manusia, khususnya hak ekonomi sosial dan budaya, kinerja
pemerintah sangat lemah. Pemahaman aparat pemerintah terhadap hak asasi, baik di lembaga
eksekutif – termasuk aparat penegak hukum maupun di lembaga legislatif menjadi hambatan
utama bagi pelaksanaan instrumen-instrumen HAM internasional yang sudah diratifikasi.
Pemahaman yang lemah terhadap hak asasi manusia, dan lemahnya komitmen untuk
menjalankan kewajiban menghormati, melindungi, dan memenuhi hak telah berdampak pada
meluasnya pelanggaran HAM, khususnya terhadap warga yang lemah secara ekonomi, sosial dan
politik. Ini diperparah dengan kebijakan/strategi ekonomi pasar yang pro-modal kuat yang telah
membawa dua dampak di bidang aturan hukum/perundangan. Pertama, aturan hukum telah
diskriminatif terhadap kaum miskin dan secara sistematis menghilangkan hak-hak dasar kaum
miskin; Kedua, diabaikannya/ tidak dijalankannya hukum dan peraturan yang secara substansial
berpihak pada kelompok miskin

b. Meningkatnya Pengangguran dan Masalah Perburuhan


Di antara regulasi yang disusun sepanjang tahun 2000 hingga 2006, paling tidak ada tiga
perundang-undangan yang selama tahun 2007 selalu mewarnai seluruh dinamika perburuhan.
Perundang-undangan itu adalah UUNo 21 tahun 2000 tentang Serikat Buruh, UU No 13 tahun
2003, dan UU No. 2 tahun 2004 yang mengatur tentang PPHI. Ketiga Undang-undang itu
kemudian menjadi roh sistem perburuhan di Indonesia. Melalui UU No 13 tahun 2003,
pemerintah mengundang para investor untuk membuka lapangan kerja dengan mengurangi
“perlindungan” terhadap buruh. Tingkat upah yang tinggi di Indonesia sering dipandang
membebani kaum pengusaha sehingga mereka menuntut agar biaya tersebut ditekan.Alih-alih
mengurangi jumlah pengangguran, justru PHK massa dilegalkan. Akibat PHK tersebut, ribuan
buruh ikut menambah jumlah pengangguran. Berdasarkan survey yang dilakukan BPS, pada
bulan Oktober 2005 tingkat pengangguran terbuka diperkirakan mencapai 11,6 juta oarang atau
10,84% dari angkatan kerja yang ada yaitu 106,9 juta orang. Angka ini jauh lebih tinggi 700.000
dibandingkan awal tahun 2005. Kemudian pada Februari 2006 angka pengangguran mencapai
11,10 juta orang (10,40%). Sementara itu, pada bulan Februari 2007, jumlah pengangguran
terbukti tetap masih tinggi yaitu sekitar 10,55 juta dengan tingkat pengangguran
terbukamencapai 9,75%. Hingga pertengahan tahun 2007, masih ada 60.000 kasus pemutusan
hubungan kerja (PHK) yang belum terselesaikan. Nilai pesangon dari seluruh kasus tersebut
mencapai sekitar 500 milyar rupiah. Salah satu di antaranya adalah kasus PT. Dirgantara
Indonesia (PT. DI). Selama kasus belum terselesaikan, agar tetap hidup, puluhan ribu buruh
tersebut kemudian bekerja lagi dengan sistem kerja baru yang mencekik. Pada tahun 2007 buruh
kembali diresahkan dengan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) yang menurutnya akan
mengatasi berbagai klausul kontroversial dalam undang-undang ketenagakerjaan tersebut. Paket
rancangan tersebut berisi dua judul RPP. Pertama, RPP tentang Perubahan Perhitungan Uang
Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja dan Uang Penggantian Hak. Kedua, RPP tentang
Program Jaminan Pemutusan Hubungan Kerja (RPP Jaminan PHK). Singkatnya, paket-paket
RPP tersebut mengandung arti melestarikan sistem kontrak dan outsorcing dan mempertegas
pelegalan PHK. Dengan demikian perjuangan kaum buruh menuntut hak-hak normatifnya akan
semakin jauh dari realitas.

c. Terabaikannya hak-hak dasar rakyat


Rubrik Fokus dalam Harian Kompas membuat deskripsi secara detail mengenai fenomena
kemiskinan paling kontemporer di negeri ini . Ulasan Fokus ini antara lain menyebutkan bahwa
pemerintah sudah semestinya merasa malu! Sudah membangun selama 60 tahun, dibekali
wilayah yang sangat luas dan kaya sumber daya alam, iklim cuaca yang kondusif, tanah yang
subur, dan selama puluhan tahun rajin berutang miliaran dollar AS ke berbagai negara dan
lembaga internasional, kok bisa sampai rakyatnya mengalami busung lapar atau mati kelaparan.
Dibandingkan dengan negara-negara tetangga di Asia seperti Malaysia, Thailand, Filipina, dan
China, jumlah anak kurang gizi, angka kematian bayi, angka kematian ibu, anak putus sekolah,
tingkat kemiskinan, tingkat pengangguran, tingkat pendapatan,dan berbagai indikator
kesejahteraan lainnya, lebih buruk. Bahkan dibandingkan Vietnam pun Indonesia kalah.
Merebaknya kasus busung lapar dan sejumlah penyakit lain yang diakibatkan oleh kemiskinan,
juga menunjukkan kegagalan pemerintah memenuhi kebutuhan pangan, sandang, dan kesehatan
sebagai hak paling dasar minimum rakyat. Meskipun tidak semua kasus malnutrisi adalah akibat
faktor ekonomi, kasus busung lapar yang mengancam sekitar 1,67 juta atau delapan persen dari
total anak balita di Indonesia diakui terkait erat dengan rendahnya daya beli dan akses
masyarakat miskin ke pangan. Masih tingginya tingkat kelaparan di masyarakat menunjukkan
ada yang tidak beres dengan kebijakan pembangunan. Secara normatif orientasi kebijakan
pembangunan memang telah berubah. Pemenuhan hak dasar rakyat merupakan salah satu
komitmen yang tertuang dalam Strategi Pembangunan Nasional 2004-2005. Namun pada
kenyataanya, implementasi kebijakan itu hingga sekarang sepertinya belum berubah dimana
pembangunan masih menekankan pada pertumbuhan ekonomi, dengan mengabaikan pemerataan
dan keadilan.

Kesimpulan

Melihat seluruh kenyataan yang ada penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa HAM di
Indonesia sangat memprihatinkan dan masih sangat minim penegakannya. Sekalipun terjadi
perubahan ketika bangsa Indonesia memasuki masa reformasi, tetapi toh tidak banyak perubahan
yang terjadi secara signifikan. Banyaknya pelanggaran HAM yang terjadi bisa disebabkan oleh
beberapa faktor seperti : Telah terjadi krisis moral di Indonesia, Aparat hukum yang berlaku
sewenang-wenang, Kurang adanya penegakan hukum yang benar, dan masih banyak sebab-
sebab yang lain.

Maka untuk dapat menegakkan HAM di Indonesia perlu :


1. Kesadaran rasa kemanusiaan yang tinggi,
2. Aparat hukum yang bersih, dan tidak sewenang-wenang,
3. Sanksi yang tegas bagi para pelanggara HAM, dan
4. Penanaman nilai-ilai keagamaan pada masyarakat.

Penegakan HAM di Indonesia tidak hanya menjadi tanggungjawab pemerintah tetapi juga
tanggungjawab semua umat manusia. Hak Asasi Manusia merupakan hak kodrati manusia.
Melanggar dan menciderai HAM berarti juga menciderai kasih dan kebaikan Allah bagi umat
manusia.

Tentang berbagai hambatan dalam pelaksanaan dan


penegakan HAM di Indonesia, secara umum dapat kita identifikasi
sebagai berikut :
a. Faktor Kondisi Sosial-Budaya
1) Stratifikasi dan status sosial; yaitu tingkat pendidikan,
usia,pekerjaan, keturunan dan ekonomi masyarakat
Indonesia yangmultikompleks (heterogen).
2) Norma adat atau budaya lokal kadang bertentangan dengan
HAM,terutama jika sudahbersinggung dengan kedudukan
seseorang,upacara-upacara sakral, pergaulan
dansebagainya.
3) Masih adanya konflik horizontal di kalangan
masyarakatyang hanya disebabkan oleh hal-hal sepele.
b. Faktor Komunikasi dan Informasi
1) Letak geografis Indonesia yang luas dengan laut, sungai,
hutan,dan gunung yang membatasi komunikasi
antardaerah.
2) Sarana dan prasarana komunikasi dan informasi yang
belumterbangun secara baik yangmencakup seluruh
wilayah Indonesia.
3) Sistem informasi untuk kepentingan sosialisasi yang
masihsangat terbatas baik sumber daya manusia-nya
maupun perangkat (software dan hardware) yang
diperlukan.
c. Faktor Kebijakan Pemerintah
1) Tidak semua penguasa memiliki kebijakan yang
samatentang pentingnya jaminanhak asasi manusia.
2) Ada kalanya demi kepentingan stabilitas nasional,persoalan
hak asasi manusiasering diabaikan
3) Peran pengawasan legislatif dan kontrol sosial
olehmasyarakat terhadap pemerintahsering diartikan oleh
penguasasebagai tindakan ‘pembangkangan’.
d. Faktor Perangkat Perundangan
1) Pemerintah tidak segera meratifikasikan hasil-hasil
konvensiinternasional tentang hakasasi manusia.
2) Kalaupun ada, peraturan perundang-undangan masih
sulituntuk diimplementasikan.
e. Faktor Aparat dan Penindakannya (Law Enforcement).
1) Masih adanya oknum aparat yang secara institusi atau
pribadimengabaikan prosedur kerja yang sesuai dengan
hak asasi manusia.
2) Tingkat pendidikan dan kesejahteraan sebagian aparat
yang dinilai masih belum layaksering membuka peluang
‘jalan pintas’untuk memperkaya diri.
3) Pelaksanaan tindakan pelanggaran oleh oknum aparat
masihdiskriminatif, tidak konsekuen,dan tindakan
penyimpangan berupa KKN (Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme).Dari faktor-faktor yang menjadi hambatan
dalam penegakan hakasasi manusia tersebutdiatas, mari
kita upayakan untuk sedikit demisedikit dikurangi (Eliminasi.)
Demi terwujudnya perlindungan hak asasimanusia yang
baik, mulailah dari diri kita sendiri untuk belajar menghormati
hak-hak orang lain. Kita harus terus berupaya
untukmenyuarakan tetap tegaknya hak asasi manusia, agar
harkat dan martabat yang ada pada setiap manusia
sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa tetap terpelihara
dengan sebaik-baiknya (ekobudi CG)

Anda mungkin juga menyukai