Anda di halaman 1dari 11

PERADILAN HAM

DI INDONESIA DAN DUNIA

Oleh
Sri Desri Herdiyanti - 2170010016
Ilmu Hukum - Reguler
PENDAHULUAN
Berdirinya HAM telah membawa perubahan dan arus global di dunia Internasional untuk
mengubah cara pandang dan kesadarannya terhadap pentingnya suatu perlindungan hak-hak asasi manusia
(HAM). Pemahaman HAM di Indonesia sebagai nilai, konsep dan norma yang hidup dan berkembang
dimasyarakat sebenarnya dapat ditelusuri melalui studi terhadap sejarah perkembangan HAM, yang mulai sejak
zaman pergerakan hingga kini, yaitu pada saat terjadi amandemen terhadap UUD 1945 yang kemudian
membuat konstitusi tersebut secara eksplisit memuat atau mencantumkan pasal-pasal yang berhubungan
dengan HAM. Tiga konstitusi yang pernah berlaku sejak masa kemerdekaan sebelum diamandemen (UUD
1945, Konstitusi RIS 1949, dan UUDS 1950), memuat pasal-pasal tentang HAM dalam kadar dan penekanan
yang berbeda, yang disusun secara kontekstual sejalan dengan suasana dan kondisi sosial-politik pada saat
penyusunannya.
Diawali dengan berakhirnya rezim Orde Baru dibawah kepemimpinan Soeharto yang begitu
represif selama 32 tahun berkuasa, telah menimbulkan kesadaran akan pentingnya penghormatan HAM.
Euforia atas sejumlah tuntutan agar dilakukan peradilan tehadap para pelanggar HAM masa lalu ketika itu kian
merebak dan meluas, sementara pelanggaran-pelanggaran HAM terus berlangsung dalam berbagai bentuk, pola
dan aktor yang berbeda. Sehubungan dengan itu, wacana untuk memiliki suatu peraturan perundang-undangan
yang melegitimasikan penghormatan, pemajuan dan penegakan nilai-nilai HAM juga mendapat respon yang
positif dari berbagai kalangan masyarakat, terutama dari keluarga korban pelanggaran HAM berat.
Sebagai bentuk pelaksanaan dan penjabaran dari amandemen UUD 1945, Pemerintah dan DPR
akhirnya merumuskan suatu peraturan perundang-undangan khusus dibidang HAM, antara lain yaitu: UU No
39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia dan Perppu No 1 Tahun 1999 Tentang Pengadilan HAM yang
kemudian menjadi UU No 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM. Berangkat dari terpenuhinya sistem
hukum yang mengakomodir seperangkat peraturan perundang-undangan dibidang HAM tersebut (law making
policy) maka terbentuk pula politik hukum pemerintah terhadap hal-hal yang berkaitan mengenai HAM, salah
satunya adalah tentang Peradilan HAM.
PEMBAHASAN
A. Peradilan HAM di Indonesia
Penegakan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia (HAM) di Indonesia mencapai kemajuan ketika
pada tanggal 6 November 2000 disahkannya UU No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM oleh Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia dan kemudian diundangkan tanggal 23 November 2000. Berdasarkan UU No 26 Tahun
2000, Pengadilan HAM merupakan pengadilan khusus yang berada dibawah peradilan umum, dan merupakan lex
specialis dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pengadilan ini dikatakan khusus karena dari segi
penamaan bentuk pengadilannya sudah secara spesifik menggunakan istilah Pengadilan HAM dan kewenangan
pengadilan ini juga mengadili kejahatan-kejahatan tertentu.
Kedudukan pengadilan HAM di Indonesia adalah sebagai pengadilan khusus terhadap pelanggaran HAM
yang berat yang masuk dalam lingkungan Peradilan Umum (Pasal 1 Butir 3 jo. Pasal 2 UU No 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan HAM). Sistem peradilan HAM Indonesia dapat dibagi atas dua macan, yaitu :
1. Peradilan khusus HAM, yaitu peradilan khusus HAM yang diselenggarakan dalam lingkungan pengadilan umum
diadakan untuk pelanggaran HAM yang berat. Kompetensi Peradilan khusus HAM yang berada dalam lingkungan
Pengadilan Umum, adalah: “Memeriksa dan memutus perakara pelanggaran HAM yang berat baik yang terjadi dalam
wilayah teritorial NKRI maupun diluar wilayah dimaksud yang dilakukan oleh WNI”.
2. Peradilan Ad Hoc HAM, yaitu peradilan Ad Hoc HAM yang diselenggarakan dalam lingkungan Pengadilan Umum
diadakan untuk pelanggaran HAM yang berat yang terjadi sebelum berlakunya UU No 26 Tahun 2000. Kompetensi
Peradilan Ad Hoc HAM, adalah “Memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM yang berat yang terjadi
sebelum diberlakukannya UU No 26 Tahun 2000”.
Kejahatan-kejahatan yang merupakan yurisdiksi pengadilan HAM adalah kejahatan genosida dan
kejahatan terhadap kemanusiaan yang keduanya merupakan pelanggaran HAM yang berat.
Istilah pengadilan HAM sering dipertentangkan dengan istilah peradilan pidana karena memang
pada hakikatnya kejahatan yang merupakan kewenangan pengadilan HAM juga merupakan perbuatan pidana.
UU No 26 Tahun 2000 yang menjadi landasan berdirinya pengadilan HAM ini mengatur tentang beberapa
kekhususan atau pengaturan yang berbeda dengan pengaturan dalam hukum acara pidana. Pengaturan yang
berbeda atau khusus ini mulai sejak tahap penyelidikan dimana yang berwenang adalah Komnas HAM
sampai pengaturan tentang majelis hakim dimana komposisinya berbeda dengan pengadilan pidana biasa.
Dalam pengadilan HAM ini komposisi hakim adalah lima orang yang mewajibkan tiga orang diantaranya
adalah hakim ad hoc. Namun, meskipun terdapat kekhususan dalam penangannya, hukum acara yang
digunakan, masih menggunakan hukum acara pidana terutama prosedur pembuktiannya.
Pelanggaran HAM yang berat adalah kejahatan yang sifatnya extraordinary crimes yang merupakan
kejahatan internasional dan musuh umat manusia. Kejahahatan ini mempunyai perumusan dan sebab
terjadinya yang sangat berbeda dengan kejahatan pidana biasa. Dengan perbedaan jenis kejahatan dan akibat
yang ditimbulkan dari kejahatan ini tidak mungkin memperlakukan pelanggaran HAM yang berat dengan
dengan upaya biasa dan memerlukan sebuah pengadilan yang sifatnya khusus dengan hukum acara yang
bersifat khusus pula. UU No 26 Tahun 2000 disamping mengatur tentang delik kejahatan yang termasuk
pelanggaran HAM yang berat juga mengatur tentang kekhususan dari proses pengadilan HAM. Kekhususan
mengenai proses pengadilan HAM ad hoc meliputi proses beracara yang khusus bila dikaitkan dengan proses
peradilan pidana yang berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Kekhususan itu adalah
berkaitan dengan kewenangan lembaga penegak hukum dalam proses pemeriksaan baik dalam tahap
penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan.
Hukum acara yang digunakan dalam Pengadilan HAM adalah Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) sepanjang tidak diatur secara khusus oleh UU No 26 Tahun 2000 (lex specialis derogat lex generalis). Adapun
proses penyelesaian pelanggaran berat HAM menurut UU No.26 Tahun 2000 adalah sebagai berikut:
a. Penyelidikan
Penyelidikan dilakukan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia ( Komnas HAM). Hal ini bertujuan
adanya objektifitas hasil penyelidikan, apabila dilakukan oleh lembaga independen. Dalam penyelidikan, penyelidik
berwenang melakukan penyelidikan dan pemeriksaan terhadap peristiwa yang timbul dalam masyarakat yang berdasarkan
sifat atau lingkupnya patut diduga terdapat pelanggaran berat HAM; menerima laporan atau pengaduan dari seseorang
atau kelompok orang tentang terjadinya pelanggaran berat HAM serta mencari keterangan dan barang bukti; memanggil
pihak pengadu, korban atau pihak yang diadukan untuk diminta dan didengar keterangannya; memanggil saksi untuk
dimintai kesaksiannya; meninjau dan mengumpulkan keterangan di tempat kejadian dan tempat lainnya jika dianggap
perlu; memanggil pihak terkait untuk melakukan keterangan secara tertulis atau menyerahkan dokumen yang diperlukan
sesuai dengan aslinya; dan atas perintah penyidik dapat melakukan tindakan berupa pemeriksaan surat, penggeledahan
dan penyitaan, pemeriksaan setempat, mendatangkan ahli dalam hubungan dengan penyelidikan.
b. Penyidikan
Penyidikan pelanggaran berat HAM dilakukan oleh Jaksa Agung. Dalam pelaksanaan tugasnya Jaksa Agung
dapat mengangkat penyidik ad hoc yang terdiri atas unsur pemerintah dan masyarakat. Sebelum melaksanakan tugasnya,
penyidik ad hoc mengucapkan sumpah atau janji menurut agamanya masing-masing. Penyidikan diselesaikan paling
lambat 90 hari terhitung sejak tanggal hasil penyelidikan diterima dan dinyatakan lengkap oleh penyidik. Penyidikan
dapat diperpanjang 90 hari oleh Ketua Pengadilan HAM sesuai daerah hukumnya dan dapat diperpanjang lagi 60 hari.
Jika dalam waktu tersebut, penyidikan tidak juga terselesaikan, maka dikeluarkan surat perintah penghentian penyidikan
oleh Jaksa Agung.
c. Penuntutan
Penuntutan dilakukan oleh Jaksa Agung. Jaksa Agung dapat mengangkat penuntut umum ad hoc yang
terdiri dari unsur pemerintah dan masyarakat. Syarat untuk diangkat menjadi penuntut umum sama halnya dengan syarat
diangkat menjadi penyidik ad hoc. Penuntutan dilakukan paling lama 70 hari sejak tanggal hasil penyidikan diterima.
d. Pemeriksaan di Pengadilan
Pemeriksaan perkara pelanggaran berat HAM dilakukan oleh majelis hakim Pengadilan HAM berjumlah 5
orang, terdiri atas 2 orang hakim pada Pengadilan HAM dan 3 orang hakim ad hoc. Perkara paling lama 180 hari
diperiksa dan diputus sejak perkara dilimpahkan ke Pengadilan HAM. Banding pada Pengadilan Tinggi dilakukan paling
lama 90 hari terhitung sejak perkara dilimpahkan ke Pengadilan Tinggi. Kasasi paling lama 90 hari sejak perkara
dilimpahkan ke Mahkamah Agung.
B. Peradilan HAM di Dunia (Internasional)
Tahun 1948 PBB mengeluarkan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration
of Human Rights) yang menjadi dasar hukum Internasional baru bagi persoalan HAM. International
Criminal Court (ICC) adalah pengadilan pidana internasional permanen yang pertama kali dibentuk yang
berwenang melakukan penyelidikan, mengadili dan menghukum setiap orang yang melakukan kejahatan
internasional yang paling serius yang menjadi perhatian masyarakat internasional.
Mekanisme penyelesaian pelanggaran berat HAM ditingkat Internasional terdiri dari
Mahkamah HAM yang bersifat Ad hoc dan Permanen. Mahkamah HAM internasional Ad hoc dibentuk
berdasarkan suatu resolusi DK PBB atas dasar ancaman atas keamanan dan perdamaian dunia.
ketidakmauan (unwillingness) dan ketidakmampuan (inability) dari negara yang diduga melakukan
pelanggaran berat HAM untuk menyelesaikan masalah pelanggaran tersebut di tingkat nasional dapat
mendasari dibentuknya Mahkamah Internasional Ad hoc dan diambil alihnya Mahkamah Pidana
Internasional (ICC). Berdasarkan Pasal 5 Statuta Roma yurisdiksi ICC mencakup empat kejahatan
internasional yang paling serius yang menjadi perhatian masyarakat internasional, yaitu: Kejahatan
genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang dan kejahatan agresi.
Dalam hal penerapan yurisdiksi ICC pada suatu Negara, terdapat prinsip yang paling
fundamental, yakni ICC harus merupakan komplementer (pelengkap) dari yurisdiksi pidana nasional
suatu negara (complementarity principle). Fungsi ICC bukanlah untuk menggantikan fungsi sistem hukum
nasional suatu negara, namun ICC merupakan mekanisme pelengkap bagi Negara ketika negara
menunjukkan ketidakmauan (unwillingness) atau ketidakmampuan (inability) untuk menghukum pelaku
kejahatan yang merupakan yurisdiksi ICC. Selanjutnya Statuta Roma menegaskan bahwa pengadilan
nasional yang merupakan kedaulatan suatu negara tidak dapat dikontrol oleh ICC. Prinsip komplementer
berlaku juga terhadap negara yang bukan merupakan negara pihak akan tetapi memberikan pernyataan
pengakuannya atas yurisdiksi ICC. Dengan demikian, ICC merupakan the last resort dan hal ini
merupakan jaminan bahwa ICC bertujuan untuk mengefektifkan sistem pengadilan pidana nasional
suatu negara.
Pelanggaran dan kejahatan HAM dapat diajukan ke pengadilan Internasional jika terjadi act on
commission (tindakan kekerasan) yang dapat dilakukan oleh negara/ institusi/ organisasi/ perkumpulan
kelompok (nonstate actor) dan act of omission (tindakan pembiaran) yang dilakukan oleh negara. Dengan
demikian, pelanggaran HAM bukan sekedar melanggar hukum nasional suatu negara, melainkan
merupakan pelangaran hukum HAM internasional. Hukum HAM individu atau kelompok yang
dilindungi secara internasional dari pelanggaran terutama yang dilakukan oleh pemerintah atau aparatya,
termasuk di dalamnya upaya penegakan hak-hak tersebut.
Dalam perserikatan bangsa-bangsa (PBB) terdapat lembaga-lembaga yang bertugas mengadili
dan menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran hukum-hukum internasional, persengketaan antar negara,
yang kemudian melimpahkannya untuk mengadili tindakan kejahatan dimaksud kepada lembaga-lembaga
yang berwenang, yaitu:
a. Makhamah Internasional (Mahkamah Internasional adalah lembaga pengadilan internasional yang
terbatas hanya untuk negara PBB yang bersengketa. Pelaku pelanggaran atau sengketa selain negara
anggota PBB berada diluar wewenang Mahkamah Internasional. Mahkamah internasional dibentuk
pada tahun 1920 dengan nama Mahkamah Tetap Internasional yang berkedudukan di Den Haag
Belanda)
b. Mahkamah Militer Internasional (Mahkamah militer internasional (International Military Tribunal),
dibentuk di London pada tanggal 8 Agustus 1945 untuk menuntut, mengadili, dan menghukum
penjahat perang utama dari poros Eropa dalam kasus kejahatan Perang Dunia II. Lingkup yuridiski
Mahkamah Internasional, antara lain menetapkan kejahatan terhadap perdamaian, kejahatan
terhadap manusia, dan kejahatan perang.)
c. Mahkamah Pidana Internasional (Mahkamah pidana internasional dibentuk berdasarkan Statuta
Roma 17 Juli 1998 (Status Pengadilan Kriminal Internasional) mulai berlaku bulan Juli 2002 yang
menetapkan bahwa yurisdiksi ICC hanya terbatas pada kejahatan paling serius yang menjadi
kepentingan komunitas internasional secara keseluruhan yaitu kejahatan terhadap kemanusiaan,
agresi, perang, dan genosida. Dengan meretifikasi Statute Roma 1998 tersebut membawa dampak
hukum yang luas, artinya jika pemerintah Indonesia tidak mampu melindungi dan menegakkan
HAM maka konsekuensinya dunia internasional dapat memberikan tekanan politik untuk
membawa kasus pelanggaran HAM di Indonesia ke pengadilan HAM Internasional. Dalam proses
pengadilan Pidana Internasional, tidak berlaku surut (asas retroaktif). Sebaliknya bagi suatu negara
tersebut tidak dapat dibawa ke pengadilan pidana Internasional.)
Proses penanganan dan peradilan terhadap pelaku kejahatan HAM Internasional secara
umum sama dengan penanganan dan peradilan terhadap pelaku kejahatan yang lain, sebagaimana
diatur dalam hukum acara pidana di Indonesia. Secara garis besar, apabila terjadi pelanggaran
HAM yang berat dan berskala Internasional, proses peradilannya sebagai berikut:
a. Jika suatu negara sedang melakukan penyelidikan, penyidikan atau penuntutan atas kejahatan
yang terjadi, maka pengadilan pidana internasional berada dalam posisi inadmissible (ditolak)
untuk menangani perkara kejahatan tersebut. Akan tetapi, posisi inadmissible dapat berubah
menjadi admissible (diterima untuk menangani perkaran pelanggaran HAM), apabila negara
yang bersangkutan enggan (unwillingness) atau tidak mampu (unable) untuk melaksanakan
tugas investigasi dan penuntutan;
b. Perkara yang telah diinvestigasi oleh suatu negara, kemudian negara yang bersangkutan telah
memutuskan untuk tidak melakukan penuntutan lebih lanjut terhadap pelaku kejahatan
tersebut, maka pengadilan pidana internasional berada dalam posisi inadmissible. Namun,
dalam hal ini, posisi inadmissible dapat berubah menjadi admissible bila putusan yang
berdasarkan keengganan (unwillingness) dan ketidakmampuan (unability) dari negara untuk
melakukan penuntutan;
c. Jika pelaku kejahatan telah diadili dan memperoleh kekuatan hukum yang tetap, maka
terhadap pelaku kejahatan tersebut sudah melekat asas nebus in idem. Artinya, seseorang tidak
dapat dituntut untuk kedua kalinya dalam perkara yang sama setelah terlebih dahulu
diputuskan perkaranya oleh putusan pengadilan peradilan yang berkekuatan tetap.
KESIMPULAN
Indonesia perlu membentuk suatu peraturan perundang-undangan yang mengakomodir mengenai institusi
peradilan khusus yang bersifat permanen dalam menangani masalah pelanggaran HAM (Pengadilan HAM). Ini penting
untuk menjaga reformasi dalam langkah demokrasi politik ke depan yang dapat diwujudkan dari politik hukum
pemerintah, dimana salah satunya merevisi perundang-undangan dibidang kehakiman dan pemberlakuan UU HAM
dan Pengadilan HAM. Oleh sebab itu jika dikaitkan dengan politik hukum, maka dalam sistem yang demokratis akan
menghasilkan produk yang responsif. Sementara itu dalam upaya menutup masa lalu dan menyongsong masa depan
yang lebih beradab, tenteram, sejahtera dan damai, ada baiknya mencontoh apa yang telah dilakukan oleh Afrika
Selatan dalam melaksanakan program rekonsiliasinya. Suatu negara yang pernah teraniaya oleh bangsa kulit putih
melalui sistem apartheid nya, kini dapat hidup berdampingan dengan mengubur permasalahan masa lalu sedalam-
dalamnya dan menjadi bangsa yang besar. Rekonsiliasi merupakan alternatif proses penyelesaian permasalahan HAM
melalui pemberian pengampunan.
UU No 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM masih banyak mengandung kelemahan-kelemahan yang
mengakibatkan hambatan-hambatan yuridis dalam penerapannya. Kelemahan-kelemahan tersebut antara lain tidak
secara lengkap menyesuaikan tindak pidana yang diatur yaitu kajahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan genosida
yang seharusnya juga disertai dengan penjelasan mengenai unsur-unsur tindak pidananya (elements of crimes). UU No 26
Tahun 2000 tentang Pengadilah HAM ini juga tidak mengatur tentang prosedur pembuktian secara khusus untuk
mengadili kejahatan yang sifatnya “extra-ordinary crimes”. Kelemahan-kelemahan UU No 26 Tahun 2000 dalam
prakteknya menyulitkan proses peradilan HAM yang mengakibatkan majelis hakim melakukan terobosan-terobosan
hukum untuk menafsirkan atau menerjemahkan peraturan sesuai dengan pertimbangan majelis hakim. Kedepan, untuk
memperkuat jaminan kepastian hukum dan pencapaian keadilan kepada korban maka UU No 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan HAM ini perlu diamandemen sesuai dengan kebutuhan dan pengalaman pelaksanaan peradilan-peradilan
HAM sebelumnya.
TERIMAKASIH

Anda mungkin juga menyukai